By: MARDIANTO
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang sempurna yang sudah barang-tentu mengandung aturan dan hukum yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh seluruh ummatnya. Setiap aturan dan hukum memiliki sumbernya sendiri sebagai pedoman dalam pelaksanaannya.
Sumber hukum yang pertama dalam Islam adalah al-Quran. Ketika suatu permasalahan tidak ditemukan penyelesaiannya dalam al-Quran maka as-Sunnah akan muncul memainkan peranannya sebagai sumber hukum yang kedua. Al-Quran dan as-Sunnah adalah dua hal pokok yang tidak dapat dipisahkan, dimana al-Quran berfungsi membenarkan as-Sunnah dan sebaliknya, as-Sunnah memiliki fungsi merincikan hukum dalam al-Qur’an.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penulisan makalah di atas, maka penulis dapat merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan al-Sunnah?
2. Bagaimana kehujjahan al-Sunnah?
3. Apa saja pembagian al-Sunnah?
C. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan berdasarkan rumusan masalah di atas adalah sebagai berikut:
1. Kita dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan al-Sunnah.
2. Kita dapat memahami kehujjahan al-Sunnah.
3. Kita dapat mengetahui pembagian al-Sunnah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian al-Sunnah
Secara etimology (Bahasa) al-sunnah berasal dari bahasa Arab yang berarti jalan yang diikuti, jalan ini dapat berupa kebaikan maupun keburukan.[1]
Seperti sabda Rasulullah SAW:
من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بهامن بعد.
Artinya: ” Barangsiapa berbuat (memberi contoh) yang baik, maka dia akan mendapatkan pahala dan pahala dari orang yang mengikuti perbuatan baiknya tersebut ” (HR. Muslim).
Sedangkan secara Terminology (Istilah) berdasarkan pendapat beberapa ulama yaitu:
1. Menurut ulama fiqih: al-sunnah adalah anonim dari wajib. Dan dapat juga sebagai anonim dari bid’ah. Dalam hal ini ulama ahli fiqih memandang perbuatan Rasulullah SAW yang dipastikan tidak keluar dari petunjuk terhadap adanya hukum syara'. Tinjauan ulama ahli fiqih ini berhubungan dengan hukum syar'i terhadap perbuatan hamba Allah dari segi wajib, atau sunnah, atau haram, atau makruh, atau mubah.
2. Menurut ulama hadits: al-sunnah adalah sesuatu yang lahir dari Rasulullah SAW selain Al-Qur’an, yang meliputi qoul (perkataan), fi’il (perbuatan), taqrîr (pengakuan), dan sifat (termasuk didalamnya akhlak dan jasmaninya). Dalam hal ini ulama ahli hadits memandang Rasulullah sebagai seorang imam yang diberitakan oleh Allah, bahwa beliau sebagai suri teladan dan panutan bagi umat manusia. Maka para perawi meriwayatkan segala yang berkaitan dengan perilaku, akhlak, tabiat, berita-berita, perkataan, dan perbuatan dari Rasulullah SAW, baik yang telah ditetapkan sebagai hukum syar'i maupun tidak.
3. Menurut ulama ushul fiqih: al-sunnah adalah sesuatu yang lahir dari Rasulullah SAW selain Al-Qur’an, yang meliputi qoul (perkataan), fi’il (perbuatan), taqrîr (pengakuan), tulisan, isyarat, sesuatu yang penting dan sesuatu yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW.[2] Dalam hal ini ulama ahli ushul fikih memandang Rasulullah SAW sebagai penyampai syariat Allah dengan meletakkan kaidah-kaidah bagi para mujtahid dimasa sesudahnya, juga menjelaskan kepada manusia undang-undang kehidupan di dunia. Maka mereka memperhatikan perkataan, perbuatan serta ketetapan Rasulullah SAW dalam menetapkan hukum dan memutuskannya pada suatu masalah hukum yang harus segera mendapatkan kepastian hukumnya.
4. Al-sunnah adalah hikmah seperti dalam firman Allah SWT:
Artinya: “Dan (juga karena) Allah telah menurunkan kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu”. Seperti yang dinyatakan imam Syafi’i: ”Hikmah merupakan al-sunnah yang datang dari Rasulullah SAW”. [3]
Dibawah ini penjelasan yang berhubungan dengan al-sunnah qouliyah, fi’liyah dan taqrîriyah.
a. Yang dimaksud dengan al-sunnah qouliyah adalah ucapal-ucapan Rasulullah SAW dalam tujuan dan hubungan yang berbeda-beda. seperti: إنما الأعمال بالنيات dan المسلم أخو المسلم.
b. Yang dimaksud dengan al-sunnah fi’liyah adalah perbuatal-perbuatan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW seperti: Cara mengerjakan shalat , manasik haji, puasa dan sebagainya.
c. Dan yang dimaksud dengan al-sunnah taqrîriyah adalah pengakuan Rasulullah SAW terhadap perkataan, perbuatan sebagian sahabat secara terus terang dan tidak mengingkarinya secara terus terang.[4]
Al-sunnah taqrîriyah ini terkadang berupa diamnya Rasulullah SAW tanpa mengingkarinya (dan Rasulullah SAW tidak memberikan pernyataan sedikitpun dan beliau menyetujui perkataan, perbuatan sahabat tersebut). Tetapi juga terkadang Rasulullah SAW memberikan isyarat untuk menyetujuinya.
Seperti dalam suatu riwayat ada dua sahabat bepergian ketika sudah masuk waktu shalat keduanya tidak menemukan air lalu mereka tayammum sebagai ganti dari wudlu’ kemudian mereka melanjutkan perjalanannya dan ditengah perjalanan menemukan air sedangkan waktu shalat masih ada, lalu salah satu dari mereka berdua berwudlu’ dan mengulangi shalatnya sedangkan yang satunya tidak. Ketika keduanya sudah kembali kemadinah hal tersebut diceritakan pada rasul dan rasul bersabda pada yang tidak mengulangi shalatnya Engkau telah melaksanakan sunnah dan cukuplah shalatmu. Dan rasul bersabda kepada yang mengulangi shalatnya engkau mendapatkan dua pahala.
B. Kehujjahan Al-Sunnah Dari al-Qur’ân
Dalam menggunakan al-sunnah sebagai sumber hukum utama setelah al-Qur’ân didukung oleh banyaknya ayat-ayat al-Qur’ân yang menyuruh kita taat kepada Rasulullah SAW. Berikut beberapa ayat yang berisi tentang kehujjahan al-sunnah:
$tBur tb%x. 9`ÏB÷sßJÏ9 wur >puZÏB÷sãB #sÎ) Ó|Ós% ª!$# ÿ¼ã&è!qßuur #·øBr& br& tbqä3t ãNßgs9 äouzÏø:$# ô`ÏB öNÏdÌøBr& 3 `tBur ÄÈ÷èt ©!$# ¼ã&s!qßuur ôs)sù ¨@|Ê Wx»n=|Ê $YZÎ7B ÇÌÏÈ
Artinya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata” (al-Ahzab: 36)
Maksud ayat ini adalah kita hendaknya selalu mengikuti pada perintah Allah dan rasul-Nya, dan mengikuti al-sunnah Rasulullah SAW sebagai sebuah kewajiban, karena beliaulah yang diberi wahyu al-Qur’ân, hikmah dan kerasulullahan dan kita tidak diperbolehkan untuk menentang dan mengingkari keberadaan al-sunnah (yang mutawâtir dan ahâd).
ö@è% (#qãèÏÛr& ©!$# ^qߧ9$#ur ( bÎ*sù (#öq©9uqs? ¨bÎ*sù ©!$# w =Ïtä tûïÍÏÿ»s3ø9$# ÇÌËÈ
Artinya: ”Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir" (Ali ’Imran: 32) .
!$¨B y7t/$|¹r& ô`ÏB 7puZ|¡ym z`ÏJsù «!$# ( !$tBur y7t/$|¹r& `ÏB 7py¥Íhy `ÏJsù y7Å¡øÿ¯R 4 y7»oYù=yör&ur Ĩ$¨Z=Ï9 Zwqßu 4 4s"x.ur «!$$Î/ #YÍky ÇÐÒÈ
Artinya: ”Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi” (an-Nisa’: 79)
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#qãBÏds)è? tû÷üt/ Äyt «!$# ¾Ï&Î!qßuur ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 ¨bÎ) ©!$# ììÏÿx ×LìÎ=tæ ÇÊÈ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui” (al-Hujurat: 1)
C. Pembagian Al-Sunnah
1. Ditinjau Dari Hubungannya Dengan al-Qur’ân
a. Al-sunnah al-Muakkadah, yakni al-sunnah yang mempunyai kesesuaian dengan al-Qur’ân dari semua segi, seperti adanya kewajiban shalat merupakan ketetapan hukum wajib yang didasarkan pada al-Qur’ân dan al-sunnah.
b. Al-sunnah al-Mubayyanah, yakni al-sunnah yang berfungsi menafsirkan ayat al-Qur’ân yang masih bersifat global dari segi lafazh dan maknanya. Menurut imam Syafi’i: “ayat dari al-Qur’ân ini secara global menjelaskan adanya hukum-hukum yang berlaku bagi manusia, tetapi al-sunnah disini berfungsi sebagai penjelas tata cara dan konsekwensi hukum, seperti jumlah hitungan dalam shalat, zakat dan pelaksanaan waktu mengerjakannya dan juga konsekwensi hukum bagi yang taat dan yang tidak mentaati hukum tersebut”.
c. Al-sunnah al-Istiqlâliyyah, yakni al-sunnah yang berfunsi sebagai penambah terhadap hukum yang ada dalam al-Qur’ân. Maksudnya adalah hukum tersebut ditambah oleh al-sunnah tatkala di dalam al-Qur’ân tidak ditemukan jawaban hukum atas sebuah permasalahan baik berupa kewajiban, keharaman seperti hukum warisan bagi nenek, hukum syuf’ah (hukum membeli lebih dahulu). [5]
2. Ditinjau Dari Cara Sampainya Kepada Umat Islam
Yang dimaksud al-sunnah ditinjau dari cara sampainya kepada umat islam adalah jumlah penutur dalam tiap tingkatan dari sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad al-sunnah tersebut. Berdasarkan klasifikasi ini al-sunnah dibagi menjadi mutawâtir dan ahâd.
a. Al-sunnah Mutawâtir
1) Pengertian Mutawâtir
Menurut bahasa, mutawâtir berasal dari bahasa Arab yang berarti yang berurutan. Sedangkan menurut Istilah ulama ushul fiqih adalah al-sunnah yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa mereka semua sepakat untuk berdusta bersama akan hal itu. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah sanad minimum al-sunnah mutawâtir (sebagian menetapkan 20 dan 40 orang pada tiap lapisan sanad).
2) Pembagian al-sunnah Mutawâtir
Al-sunnah mutawâtir sendiri dapat dibedakan antara dua jenis yakni:
Pertama: mutawâtir lafzhî, yakni kesepakatan atas redaksi al-sunnah yang sama pada tiap riwayat baik lafazh dan maknanya,
Kedua: mutawâtir ma’nawî, yakni kesepakatan atas makna al-sunnah pada tiap riwayat tetapi terdapat perbedaan dalam redaksinya. Seperti al-sunnah tentang adanya syafaat dari Rasulullah, shirâtal mustaqim, telaga di surga.
3) Kedudukan al-sunnah mutawâtir
Al-sunnah mutawâtir ini mempunyai kedudukan sebagai dalil qath’î, hal ini sudah disepakati oleh para ulama, dengan demikian adanya kewajiban dalam mengamalkannya dan tidak dapat diragukan lagi atas keberadaan al-sunnah mutawâtir ini.
4) Syarat-syarat al-sunnah Mutawâtir
a) Periwayatan yang disampaikan adalah untuk memberitahukan adanya informasi sebagai ilmu pengetahuan dan mempunyai kepastian, bukan atas dasar keraguan dan ketidak pastian.
b) Periwayatan yang disampaikan harus didasarkan pada perasaan, bukan untuk atas dasar logika atau lainnya.
c) Orang yang meriwayatkan sebuah al-sunnah harus banyak tidak boleh sedikit jumlahnya.
d) Periwayat yang banyak ini tidak berkolusi untuk menyampaikan al-sunnah dengan cara berdusta atau merahasiakannya.
Sedangkan syarat-syarat khusus al-sunnah mutawâtir adalah periwayat beragama islam dan mempunyai kompetensi dalam bidang keilmuannya.
b. Al-sunnah Ahâd.
1) Pengertian ahâd
Menurut bahasa ahâd berasal dari bahasa Arab berbentuk kata majemuk dari kata ahâd yang berarti satu atau individu. Sedangkan menurut istilah berarti al-sunnah yang diriwayatkan oleh sekelompok orang namun tidak mencapai tingkatan mutawâtir.
2) Kedudukan al-sunnah ahâd
Ulama telah bersepakat atas penggunaan al-sunnah dengan riwayat ahâd ini. Dalil-dalil yang mendukung pendapat ini adalah:
a) Bahwa Muhammad SAW dalam menjalankan tugasnya sebagai Rasulullah selalu menyampaikan hukum-hukum Allah seperti menarik pajak dan berdakwah, semuanya itu dilakukan oleh beliau sendiri dan diberitakan melalui al-sunnah.
b) Kedua: ijma’ sahabat Rasulullah SAW yang menyatakan al-sunnah ahâd yang bersumber dari Rasulullah SAW harus diterima dan dapat dijadikan sebagai sumber hukum.
c) Ketiga: firman Allah SWT:
Artinya: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.
Bahwa Allah SWT memerintahkan kepada beberapa orang (disini menunjukkan pada arti sedikit dan banyak) untuk memberikan peringatan kepada kaumnya. sehingga hal ini dapat menjadi hujjah kaum itu akhirnya dapat menjaga dirinya setelah mendapat peringatan. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa khabar, al-sunnah, hadits ahâd dapat dijadikan sebagai hujjah[7].
DAFTAR PUSTAKA
Ali bin Muhammad al-Amidy, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, Beirut: Dâr Al-Kutub al-‘Arabi, 1984
Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz II, hlm., 862. Muslim, Shahih Muslim.
Muhammad bin Idris Abu Abdullah Al-Syafi’i, Al-Risalah Beirut: Maktabah Ilmiyah, t.th
Muhammad bin Mukrim Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab.Beirut: Dâr Shadr, tt.
Rahmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2010
[2] Ali bin Muhammad al-Amidy, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm (Beirut: Dâr Al-Kutub al-‘Arabi, 1984), Juz I, hlm., 156
[3] Muhammad Bin Idris Abu Abdullah Al-Syafi’i, Al-Risalah (Beirut: Maktabah Ilmiyah, t.th) hlm., 78
[7] Muhammad Bin Ahmad Abu Abdullah al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Qur’ân (Beirut: Dâr Ihya’ at-Turâts, tt.), Juz VIII hal. 294.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar