By: MARDIANTO
BAB
I
PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG
Filsafat eksistensialisme adalah salah satu aliran filsafat
yang mengguncangkan dunia walaupun filsafat ini tidak luar biasa dan
akar-akarnya ternyata tidak dapat bertahan dari berbagai kritik.[6]
Filsafat selalu lahir dari suatu krisis. Krisis berarti
penentuan. Bila terjadi krisis, orang biasanya meninjau kembali pokok pangkal
yang lama dan mencoba apakah ia dapat tahan uji[7].
Dengan demikian filsafat adalah perjalanan dari satu krisis ke krisis yang
lain. Begitu juga filsafat eksistensialisme lahir dari berbagai krisis atau
merupakan reaksi atas aliran filsafat yang telah ada sebelumnya atau situasi
dan kondisi dunia, yaitu:
1. Materialisme
Menurut pandangan materialisme, manusia itu pada akhirnya
adalah benda seperti halnya kayu dan batu. Memang orang materialis tidak
mengatakan bahwa manusia sama dengan benda, akan tetapi mereka mengatakan bahwa
pada akhirnya, jadi pada prinsipnya, pada dasarnya, pada instansi yang terakhir
manusia hanyalah sesuatu yang material; dengan kata lain materi; betul-betul
materi. Menurut bentuknya memang manusia lebih unggul ketimbang sapi tapi pada
eksistensinya manusia sama saja dengan sapi.[8]
2. Idealisme
Aliran ini memandang manusia hanya sebagai subyek, hanya
sebagai kesadaran; menempatkan aspek berpikir dan kesadaran secara berlebihan
sehingga menjadi seluruh manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi
tidak ada barang lain selain pikiran.[9]
3. Situasi dan Kondisi Dunia
Munculnya eksistensialisme didorong juga oleh situasi dan
kondisi di dunia Eropa Barat yang secara umum dapat dikatakan bahwa pada waktu
itu keadaan dunia tidak menentu. Tingkah laku manusia telah menimbulkan rasa
muak atau mual. Penampilan manusia penuh rahasia, penuh imitasi yang merupakan
hasil persetujuan bersama yang palsu yang disebut konvensi atau tradisi.
Manusia berpura-pura, kebencian merajalela, nilai sedang mengalami krisis,
bahkan manusianya sendiri sedang mengalami krisis. Sementara itu agama di sana
dan di tempat lain dianggap tidak mampu memberikan makna pada kehidupan.[10]
2.
RUMUSAN MASALAH
a. Apa pengertian Eksistensialisme?
b. Tokoh-tokoh Eksistensialisme dan
ajarannya?
3.
TUJUAN PPEMBAHASAN
a. Untuk mengetahui pengertian
eksistensialisme
b. Untuk mengetahui Tokoh-tokoh
Eksistensialisme dan Ajarannya
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Eksistensialisme
Definisi eksistensialisme tidak
mudah dirumuskan, bahkan kaum eksistensialis sendiri tidak sepakat mengenai
rumusan apa sebenarnya eksistensialisme itu.[1][1] Sekalipun demikian, ada sesuatu
yang disepakati, baik filsafat eksistensi maupun filsafat eksistensialisme
sama-sama menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral Namun tidak ada
salahnya, untuk memberikan sedikit gambaran tentang eksistensialisme ini,
berikut akan dipaparkan pengertiannya.
Kata dasar eksistensi (existency)
adalah exist yang berasal dari bahasa Latin ex yang berarti keluar dan sistere
yang berarti berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri
sendiri. Artinya dengan keluar dari dirinya sendiri, manusia sadar tentang
dirinya sendiri; ia berdiri sebagai aku atau pribadi. Pikiran semacam ini dalam
bahasa Jerman disebut dasein (da artinya di sana, sein artinya berada).[2]
Dari uraian di atas dapat diambil
pengertian bahwa cara berada manusia itu menunjukkan bahwa ia merupakan
kesatuan dengan alam jasmani, ia satu susunan dengan alam jasmani, manusia
selalu mengkonstruksi dirinya, jadi ia tidak pernah selesai. Dengan demikian,
manusia selalu dalam keadaan membelum; ia selalu sedang ini atau sedang itu.[3]
Untuk lebih memberikan kejelasan
tentang filsafat eksistensialisme ini, perlu kiranya dibedakan dengan filsafat
eksistensi. Yang dimaksud dengan filsafat eksistensi adalah benar-benar seperti
arti katanya, yaitu filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema
sentral.[4]
Sedangkan filsafat eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menyatakan
bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di
dunia; sapi dan pohon juga. Akan tetapi cara beradanya tidak sama. Manusia
berada di dalam dunia; ia mengalami beradanya di dunia itu; manusia menyadari
dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia, menghadapi dengan mengerti
yang dihadapinya itu. Manusia mengerti guna pohon, batu dan salah satu di
antaranya ialah ia mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti. Artinya bahwa
manusia sebagai subyek. Subyek artinya yang menyadari, yang sadar.
Barang-barang yang disadarinya disebut obyek.[5]
B.
Tokoh-tokoh Eksistensialisme dan
Ajarannya
Tokoh-tokoh eksistensialisme ini
cukup banyak, di antaranya: Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, Karl Jaspers, Martin
Heidegger, Gabriel Marcel, dan Sartre. Namun dalam makalah ini penulis
membatasi pada dua tokoh ini yang dipandang mewakili tokoh-tokoh lainnya, yaitu
Soren Aabye Kierkegaard dan Jean Paul Sartre.
1. Soren Aabye Kierkegaard
Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855) lahir di Kopenhagen,
Denmark. Ia lahir ketika ayahnya berumur 56 tahun dan ibunya 44 tahun. Ia mulai
belajar teologi di Universitas Kopenhagen. Ia menentang keras pemikiran Hegel
yang mendominasi di Universitas tersebut. Dalam kurun waktu ini ia apatis
terhadap agama, ingin hidup bebas dari lingkungan aturan agama. Setelah
mengalami masa krisis religius, ia kembali menekuni ilmu pengetahuan dan
menjadi Pastor Lutheran.[11]
Pada tahun 1841 ia mempublikasikan buku pertamanya
(disertasi MA) Om Begrebet Ironi (The Concept of Irony). Karya ini sangat
orisinal dan memperlihatkan kecemerlangan pemikirannya. Ia mengecam keras
asumsi-asumsi pemikiran Hegel yang bersifat umum. Karya agungnya terjelma dalam
Afsluttende Uvidenskabelig Efterskriff (Consluding Unscientific Postcript)
tahun 1846, mengungkapkan ajaran-ajarannya yang bermuara pada kebenaran subyek.
Karya-karya lainnya adalah Enten Eller (1843) dan Philosophiske Smuler (1844).
Sedangkan buku-buku yang [2]bernada
kristiani adalah Kjerlighedens Gjerninger (Work of Love) 1847, Christelige
Taler (Christian Discourses) 1948, dan Sygdomen Til Doden (The Sickness into
Death) tahun 1948). [12]
Ide-ide pokok Soren Aabye
Kierkegaard adalah sebagai berikut:
a.
Tentang Manusia.
Kierkegaard menekankan posisi penting dalam diri seseorang
yang "bereksistensi" bersama dengan analisisnya tentang segi-segi
kesadaran religius seperti iman, pilihan, keputusasaan, dan ketakutan.
Pandangan ini berpengaruh luas sesudah tahun 1918, terutama di Jerman. Ia
mempengaruhi sejumlah ahli teologi protestan dan filsuf-filsuf eksistensial termasuk
Barh, Heidegger, Jaspers, Marcel, dan Buber.[13]
Alur pemikiran Kierkegaard mengajukan persoalan pokok dalam
hidup; apakah artinya menjadi seorang Kristiani? Dengan tidak memperlihatkan
"wujud" secara umum, ia memperhatikan eksistensi orang sebagai
pribadi. Ia mengharapkan agar kita perlu memahami agama Kristen yang otentik.
Ia berpendapat bahwa musuh bagi agama Kristiani ada dua, yaitu filsafat Hegel
yang berpengaruh pada saat itu. Baginya, pemikiran abstrak, baik dalam bentuk
filsafat Descartes atau Hegel akan menghilangkan personalitas manusia dan
membawa kita kepada kedangkalan makna kehidupan. Dan yang kedua adalah
konvensi, khususnya adat kebiasaan jemaat gereja yang tidak berpikir secara
mendalam, tidak menghayati agamanya, yang akhirnya ia memiliki agama yang
kosong dan tak mengerti apa artinya menjadi seorang kristiani.[14]
Kierkegaard bertolak belakang dengan Hegel. Keberatan utama yang diajukannya
adalah karena Hegel meremehkan eksistensi yang kongkrit, karena ia (Hegel)
mengutamakan idea yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard manusia tidak pernah
hidup sebagai sesuatu "aku umum", tetapi sebagai "aku
individual" yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam
sesuatu yang lain.[15]
Kierkegaard sangat tidak suka pada usaha-usaha untuk menjadikan agama Kristen
sebagai agama yang masuk akal (reasonable) dan tidak menyukai pembelaan
terhadap agama Kristiani yang menggunakan alasan-alasan obyektif.[16]
Penekanan Kierkegaard terhadap dunia Kristiani, khususnya
gereja-gerejanya, pendeta-pendetanya, dan ritus-ritus (ibadat-ibadat)nya sangat
mistis. Ia tidak menerima faktor perantara seperti pendeta, sakramen, gereja
yang menjadi penengah antara seorang yang percaya dan Tuhan Yang Maha Kuasa.[17]
b. Pandangan
tentang Eksistensi
Kierkegaard mengawali pemikirannya bidang eksistensi dengan
mengajukan pernyataan ini; bagi manusia, yang terpenting dan utama adalah
keadaan dirinya atau eksistensi dirinya. Eksistensi manusia bukanlah statis
tetapi senantiasa menjadi, artinya manusia itu selalu bergerak dari kemungkinan
kenyataan. Proses ini berubah, bila kini sebagai sesuatu yang mungkin, maka
besok akan berubah menjadi kenyataan. Karena manusia itu memiliki kebebasan,
maka gerak perkembangan ini semuanya berdasarkan pada manusia itu sendiri.
Eksistensi manusia justru terjadi dalam kebebassannya. Kebebasan itu muncul
dalam aneka perbuatan manusia. Baginya bereksistensi berarti berani mengambil
keputusan yang menentukan bagi hidupnya. Konsekuensinya, jika kita tidak berani
mengambil keputusan dan tidak berani berbuat, maka kita tidak bereksistensi
dalam arti sebenarnya.[18][3]
·
Eksistensi estetis menyangkut kesenian, keindahan.[5]
Manusia hidup dalam lingkungan dan masyarakat, karena itu fasilitas yang
dimiliki dunia dapat dinikmati manusia sepuasnya. Di sini eksistensi estetis
hanya bergelut terhadap hal-hal yang dapat mendatangkan kenikmatan pengalaman
emosi dan nafsu. Eksistensi ini tidak mengenal ukuran norma, tidak adanya
keyakinan akan iman yang menentukan.
·
Eksistensi etis. Setelah manusia menikmati fasilitas dunia,
maka ia juga memperhatikan dunia batinnya. Untuk keseimbangan hidup, manusia
tidak hanya condong pada hal-hal yang konkrit saja tapi harus memperhatikan
situasi batinnya yang sesuai dengan norma-norma umum. Sebagai contoh untuk
menyalurkan dorongan seksual (estetis) dilakukan melalui jalur perkawinan
(etis).
·
Eksistensi religius. Bentuk ini tidak lagi membicarakan
hal-hal konkrit, tetapi sudah menembus inti yang paling dalam dari manusia. Ia
bergerak kepada yang absolut, yaitu Tuhan. Semua yang menyangkut Tuhan tidak
masuk akal manusia. Perpindahan pemikiran logis manusia ke bentuk religius
hanya dapat dijembatani lewat iman religius.
c. Teodise
Menurut Kierkegaard, antara Tuhan dengan alam, antara
pencipta dan makhluk terdapat jurang yang tidak terjembatani. Ia menjelaskan
bahwa Tuhan itu berdiri di atas segala ukuran sosial dan etika. Sedangkan
manusia jauh berada di bawah-Nya. Keadaan seperti ini menyebabkan manusia cemas
akan eksistensinya. Tetapi dalam kecemasan ini, seseorang itu dapat menghayati
makna hidupnya. Jika seseorang itu berada dalam kecemasan, maka akan membawa
dirinya pada suatu keyakinan tertentu. Perilaku ini memperlihatkan suatu
loncatan yang dahsyat di mana manusia memeluk hal yang tidak lagi masuk akal.[20]
Selanjutnya ia mengatakan bahwa agama Kristen itu mengambil
langkah yang dahsyat, langkah menuju yang tidak masuk akal. Di sana agama
Kristen mulai. Alangkah bodohnya orang yang ingin mempertahankan agama
Kristiani. Tetapi menurut Kierkegaard iman adalah segala-galanya. Bila
seseorang itu memihak agama Kristen atau memusuhinya atau memihak kebenaran
atau memusuhinya. Agama Kristen itu bisa benar secara mutlak tetapi bisa juga
salah secara mutlak.[21]
2. Jean Paul
Sartre
Jean Paul Sartre (1905-1980) lahir tanggal 21 Juni 1905 di
Paris. Ia berasal dari keluarga Cendikiawan. Ayahnya seorang Perwira Besar
Angkatan Laut Prancis dan ibunya anak seorang guru besar yang mengajar bahasa
modern di Universitas Sorbone. Ketika ia masih kecil ayahnya meninggal,
terpaksa ia diasuh oleh ibunya dan dibesarkan oleh kakeknya. Di bawah pengaruh
kakeknya ini, Sartre dididik secara mendalam untuk menekuni dunia ilmu
pengetahuan dan bakat-bakatnya dikembangkan secara maksimal. Pengalaman masa kecil
ini memberi ia banyak inspirasi. Diantaranya buku Les Most (kata-kata) berisi
nada negatif terhadap hidup masa kanak-kanaknya.[22][6]
Meski Sartre berasal dari keluarga Kristen protestan dan ia
sendiri dibaptiskan menjadi katolik, namun dalam perkembangan pemikirannya ia
justru tidak menganut agama apapun. Ia atheis. Ia memngaku sama sekali tidak
percaya lagi akan adanya Tuhan dan sikap ini muncul semenjak ia berusia 12
tahun. Bagi dia, dunia sastra adalah agama baru, karena itu ia menginginkan
untuk menghabiskan hidupnya sebagai pengarang.[23]
Sartre
tidak pernah kawin secara resmi, ia hidup bersama Simone de Beauvoir tanpa
nikah. Mereka menolak menikah karena bagi mereka pernikahan itu dianggap suatu
lembaga borjuis saja. Dalam perkembangan pemikirannya, ia berhaluan kiri.
Sasaran kritiknya adalah kaum kapitalis dan tradisi masyarakat pada masa itu.
Ia juga mengeritik idealisme dan para pemikir yang memuja idealisme.[24]
Pada
tahun 1931 ia mengajar sebagai guru filsafat di Laon dan Paris. Pada periode
ini ia bertemu dengan Husserl. Semenjak pertemuan itu ia mendalami fenomenologi
dalam mengungkapkan filsafat eksistensialisme-nya. Ia menjadi mashur melalui
karya-karya novel dan tulisan dramanya. Dalam bidang filsafat, karyanya yang
sangat terkenal adalah Being ang Nithingness, buku ini membicarakan tentang
alam dan bentuk eksistensinya. Eksistensialisme dan Humanism yang berisi
tentang manusia. Ia juga termasuk tokoh yang membantu gerakan-gerakan haluan
kiri dan pembela kebebasan manusia. Dengan lantang ia mengatakan bahwa manusia
tidak mempunyai sandaran keagamaan atau tidak dapat mengendalikan pada kekuatan
yang ada di luar dirinya, manusia harus mengandalkan kekuatan yang ada dalam
dirinya. Karya-karya yang lain adalah Nausea, No Exit, The Files, dan The Wall.[25]
Ide-ide pokok Sartre adalah sebagai berikut:
1. Tentang Manusia
Bagi Sartre, manusia itu memiliki kemerdekaan untuk membentuk
dirinya, dengan kemauan dan tindakannya. Kehidupan manusia itu mungkin tidak
mengandung arti dan bahkan mungkin tidak masuk akal. Tetapi yang jelas, manusia
dapat hidup dengan aturan-aturan integritas, keluhuran budi, dan keberanian,
dan dia dapat membentuk suatu masyarakat manusia. Dalam novel semi-otobiografi
La Nausee (1938) dan essei L'Eksistensialisme est un Humanism (1946), ia
menyatakan keprihatinan fundamental terhadap eksistensi manusiawi dan kebebasan
kehendak. Menurutnya, manusia tidak memiliki apa-apa sejak ia lahir. Dan
sepertinya, dari kodratnya manusia bebas dalam pilihan-pilihan atas tindakannya
atau memikul beban tanggung jawab.[26]
Sartre mengikuti Nietzsche yakni mengingkari adanya Tuhan.
Manusia tak ada hubungannya dengan kekuatan di luar dirinya. Ia mengambil
kesimpulan lebih lanjut, yakni memandang manusia sebagai kurang memiliki watak
yang semestinya. Ia harus membentuk pribadinya dan memilih kondisi yang sesuai
dengan kehidupannya. Maka dari itu "tak ada watak manusia", oleh
karena tak ada Tuhan yang memiliki konsepsi tentang manusia. Manusia hanya
sekedar ada. Bukan karena ia itu sekedar apa yang ia konsepsikan setelah
ada---seperti apa yang ia inginkan sesudah meloncat ke dalam eksistensi".
Sartre mengingkari adanya bantuan dari luar diri manusia. Manusia harus
bersandar pada sumber-sumbernya sendiri dan bertanggung jawab sepenuhnya bagi
pilihan-pilihannya. Karena itu bagi Sartre, pandangan eksistensialis adalah
suatu doktrin yang memungkinkan kehidupan manusia. Eksistensialime mengajarkan
bahwa tiap kebenaran dan tiap tindakan mengandung keterlibatan lingkungan dan
subyektifitas manusia.[27]
2. Dua Tipe Ada: L'etre-pour-Soi dan
L'etre-en-Soi
Pemikiran Sartre tentang 'ada' tertuang dalam karya
monumentalnya L'etre et Le neant (Keberadaan dan Ketiadaan). Menurut dia, ada
dua macam "etre" atau :'ada', yaitu L'etre-pour-Soi (ada-untuk
dirinya sendiri) dan L'etre-en-Soi (ada-dalam dirinya sendiri).
a.
L'etre-en-Soi (being in itself/ada dalam dirinya sendiri)
L'etre-en-Soi sama sekali identik dengan dirinya.
L'etre-en-Soi tidak aktif, tidak juga paisf, tidak afirmatif dan juga tidak
negatif: kategori-kategori macam itu hanya mempunyai arti dalam kaitan dengan
amnesia. L'etre-en-Soi tidak mempunyai masa silam, masa depan: tidak mempunyai
kemungkinan ataupun tujuan. L'etre-en-Soi sama sekali kontingen, yang berarti
ia ada begitu saja, tanpa dasar, tanpa diciptakan, tanpa diturunkan, dari
sesuatu yang lain. Jadi ada dalam dirinya sendiri. Istilah L'etre-en-Soi ini
untuk menunjukkan eksistensi di dalamnya seseorang bertindak sebagai sesuatu
yang ada begitu saja, tanpa menyadari bahwa pilihan otentik, bebas, terbuka
bagi semua tindakan seseorang. Kualitas ada-dalam dirinya sendiri adalah milik
semua benda dan manusia sejauh mereka bertindak sebagai obyek yang diam.[28]
b. L'etre-pour-Soi
b. L'etre-pour-Soi
Konsep ini tidak mentaati prinsip identitas seperti halnya
dengan etre-en-soi. Diungkapkan di sini, bahwa manusia mempunyai hubungan
dengan keberadaannya. Ia bertanggung jawab atas fakta bahwa ia ada dan
bertanggung jawab atas fakta bahwa ia seorang pekerja. Kalau benda-benda itu
tidak menyadari dirinya ada, tetapi manusia sadar bahwa ia berada. Di dalam
kesadaran ini, yaitu di dalam kesadaran yang disebut reflektif, ada yang menyadari
dan ada yang disadari, ada subyek dan ada obyek.[29]
3. Mauvaise Foi
Konsep
ini menjelaskan bahwa penyangkalan diri seseorang terutama faal tidak mengakui
dan tidak menerima bahwa seseorang mempunyai kebebasan memilih. Sikap ini
menghindar tanggung jawab dan takut membuat keputusan. Konsep ini juga
mengandung pengertian kurangnya penerimaan diri, teristimewa tidak menerima
atau menipu diri sendiri tentang apa yang benar mengenai diri sendiri.[30]
4. Kebebasan
Dalam pemikiran Sartre selalu bermuara pada konsep
kebebasan. Ia mendefinisikan manusia sebagai kebebasan. Sartre memberikan
perumusan bahwa pada manusia itu eksistensi mendahului esensi, maksudnya
setelah manusia mati baru dapat diuraikan ciri-ciri seseorang. Perumusan ini
menjadi intisari aliran eksistensialisme dari Sartre. Kebebasan akan memberi rasa
hormat pada dirinya dan menyelamatkan diri dari sekedar menjadi obyek.
Kebebasan manusia tampak dalam rasa cemas. Maksudnya karena setiap perbuatan
saya adalah tanggung jawab saya sendiri. Bila seseorang menjauhi kecemasan,
maka berarti ia menjauhi kebebasan. Kebebasan merupakan suatu kemampuan manusia
dan merupakan sifat kehendak. Posisi kebebasan itu tidak dapat tertumpu pada
sesuatu yang lain, tetapi pada kebebasan itu sendiri.[31]
Sartre mengakui pemikiran Mark lebih dekat dengan keadaan masyarakat dan satu-satunya filsafat yang benar dan definitif. Filsafat Mark telah memberikan kesatuan konkrit dan dialektis antara ide-ide dengan kenyataan pada masyarakat. Mark telah menekankan konsep keberadaan sosial ketimbang kesadaran sosial. Dan bagi Sartre, Mark adalah seorang pemikir yang berhasil meletakkan makna yang sebenarnya tentang kehidupan dan sejarah. Meski demikian, Sartre tidak menganggap pemikiran Mark sebagai akhir suatu pandangan filsafat, karena setelah cita-cita masyarakat tanpa kelas versi Mark terbentuk, maka persoalan filsafat bukan lagi soal kebutuhan manusia makan-makanan dan pakaian, tetapi persoalan filsafat mungkin dengan memunculkan tema yang baru, seperti soal kualitas hidup manusia masa depan. Tetapi pemikiran Mark itu dinilai relevan untuk masa kini.[32][7][8]
Sartre mengakui pemikiran Mark lebih dekat dengan keadaan masyarakat dan satu-satunya filsafat yang benar dan definitif. Filsafat Mark telah memberikan kesatuan konkrit dan dialektis antara ide-ide dengan kenyataan pada masyarakat. Mark telah menekankan konsep keberadaan sosial ketimbang kesadaran sosial. Dan bagi Sartre, Mark adalah seorang pemikir yang berhasil meletakkan makna yang sebenarnya tentang kehidupan dan sejarah. Meski demikian, Sartre tidak menganggap pemikiran Mark sebagai akhir suatu pandangan filsafat, karena setelah cita-cita masyarakat tanpa kelas versi Mark terbentuk, maka persoalan filsafat bukan lagi soal kebutuhan manusia makan-makanan dan pakaian, tetapi persoalan filsafat mungkin dengan memunculkan tema yang baru, seperti soal kualitas hidup manusia masa depan. Tetapi pemikiran Mark itu dinilai relevan untuk masa kini.[32][7][8]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Meskipun bermacam-macam pandangan
dan metode dan sikap dalam gerakan eksistensialisme, para filsuf dari kelompok
ini senantiasa memperhatikan kedudukan manusia. Titik sentral pembicaraan
mereka adalah soal keterasingan manusia dengan dirinya dan dengan dunia.
2. Gerakan eksistensialisme ini muncul
sebagai protes atau reaksi dari aliran filsafat terdahulu, yaitu materialisme
dan idealisme serta situasi dan kondisi dunia pada umumnya yang tidak menentu.
Penampilan manusia penuh rahasia, penuh imitasi yang merupakan hasil
persetujuan bersama yang palsu yang disebut konvensi atau tradisi.
3. Kierkegaard dan Sartre merupakan
tokoh yang mewakili aliran istensialime ini. Dari latar belakang yang berbeda
yang satu agamawan dan lainnya atheis, mereka mengusung konsep tentang
keberdaan manusia sebagai subyek di dunia ini.
B. Saran-saran
Dalam perincian
makalah kami ini, sebagai manusia tentunya menyadari masih banyak terdapat
kekurangan, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun kami
butuhkan untuk pembaharuan dalam penyusunan makalah yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Beerling, R.F. 1966. Filsafat Dewasa Ini. Terj. Hasan Amin,
Djakarta:Balai Pustaka. aagun, Save M. 1990. Filsafat Eksistensialisme,
Jakarta:Rineka Cipta.
Hadiwijono,
Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta:Kanisius.
Hasan,
Fuad. 1974. Kita dan Kami, Jakarta:Bulan Bintang.
Tafsir,
Ahmad. 1992. Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai James, Bandung:
PT. Remaja Rosda Karya.
Titus,
Smith dan Nolan. 1984. Persoalan-persoalan Filsafat Terj. H.M. Rasjidi
Jakarta:Bulan Bintang. (Jakarta:Bulan Bintang. 1984), hlm.
388.
[2] R.F. Beerling,
Filsafat Dewasa Ini.Terj. Hasan Amin (Djakarta:Balai Pustaka.1966), hlm. 11.
[3] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2
(Yogyakarta:Kanisius. 1980), hlm. 125.
[6] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales
sampai James (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 1992), cet. ke-2, hlm. 191.
[7] Smith Titus dan Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat Terj.
H.M. Rasjidi.
[8] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar