Senin, 06 Mei 2013

SATU AGAMA ATAU BANYAK AGAMA


By: Ayatullah Murtadha Muthahhari

Dari sudut pandang Al-Qur’an, dari awal hingga akhir, hanya ada satu agama Tuhan. Semua nabi, terlepas dari fakta apakah mereka memiliki syariat sendiri atau tidak, memiliki misi yang sama dan mendakwahkan risalah yang sama. Prinsip-prinsip dasar mereka yang disebut agama adalah sama. Ajaran-ajaran mereka hanya berbeda dalam soal hukum dan masalah-masalah subsider yang nilai pentingnya sekunder. Hukum dan masalah subsider ini beragam sesuai dengan kebutuhan zaman, keadaan lingkungan dan sifat khas masyarakat yang didakwahi para nabi ini. Sekalipun bentuk ajaran-ajaran mereka berbeda, namun semua nabi memvisualisasikan satu tujuan yang sama. Di samping berbeda bentuk, juga berbeda tataran.
Nabi-nabi yang diutus belakangan, ajaran-ajaran mereka lebih tinggi tingkat keselarasannya dengan tahap perkembangan manusia. Misal, ada perbedaan yang besar pada tataran ajaran Islam dan nabi-nabi sebelumnya dalam hal asal-usul manusia, akhirat dan konsepsi tentang dunia. Dengan kata lain, manusia dalam kaitannya dengan ajaran para nabi adalah laksana siswa yang secara bertahap naik dari kelas satu ke kelas yang paling tinggi. Proses ini menunjukkan perkembangan agama, bukan perbedaan agama. Al-Qur’an Suci tidak menggunakan kata “agama” dalam bentuk jamak. Dari sudut pandang Al-Qur’an Suci, yang ada adalah satu agama, bukan banyak agama. Ada perbedaan yang besar antara nabi dari filosof besar dan pemimpin masyarakat terkemuka. Filosof besar memiliki mazhabnya sendiri. Itulah sebabnya di dunia ini selalu ada sedemikian banyak mazhab filsafat. Sedangkan para nabi, mereka justru selalu saling membenarkan atau memperkuat dan tak pernah saling bertentangan. Seandainya seorang nabi hidup di zaman dan di lingkungan nabi yang lain, tentu dia akan mendakwahkan juga norma hukum dan norma perilaku yang didakwahkan oleh nabi yang lain itu.
Al-Qur’an Suci dengan tegas menyatakan bahwa nabi-nabi itu merupakan satu rangkaian tunggal. Nabi-nabi sebelumnya meramalkan nabi-nabi belakangan, dan nabi-nabi belakangan mengakui dan menerima nabi-nabi sebelumnya. Al-Qur’an Suci juga mengatakan bahwa Allah telah membuat akad dengan para nabi yang isinya kira-kira menyebutkan bahwa para nabi akan saling percaya dan saling membantu.
Allah Swt dalam al-Qur’an Suci berfirman:
Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi, “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa Kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya.” Allah berfirman: “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang denakian itu? “Mereka menjawab: “Kami mengakui.” Allah berfirman: “Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi), dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu.” (QS. Âli ‘Imrân: 81)
Al-Qur’an menyebut agama Tuhan itu Islam, dan menggambarkannya sebagai suatu proses berkelanjutan sejak dari Adam as hingga Nabi terakhir, Muhammad saw. Ini tidak berarti bahwa agama Allah itu selalu dikenal dengan nama Islam. Maksudnya adalah bahwa Islam merupakan kata yang paling baik untuk menggambarkan karakter agama ini. Itulah sebabnya Al-Qur’an Suci menyebutkan:
Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. (QS. Âli ‘Imrân: 19)
Al-Qur’an Suci juga menyebutkan, yang artinya:
Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi menyerahkan diri kepada Allah (Muslim) dan sekati-kati bukanlah dia dari golongan orang-orang musyrik. (QS. Âli ‘Imrân: 67)
Sudah kami paparkan bahwa sekalipun ada perbedaan dalam detail, namun semua nabi menyampaikan risalah yang sama, dan mazhab ideologi merekajuga sama. Prinsip dan ajaran mazhab ini dijelaskan kepada masyarakat manusia secara berangsur sesuai dengan perkembangan masyarakat manusia tersebut, sampai masyarakat manusia ini sampai pada tahap yang memungkinkan disampaikannya seluruh ajaran ini dalam bentuknya yang lengkap. Pada tahap ini kenabian sampai pada ujungnya. Nabi Muhammad saw membawa ideologi sempurna itu, sedangkan Al-Qur’an Suci merupakan kitab samawi terakhir. Al-Qur’an sendiri mengatakan:
Telah sempumalah kalimat Tuhanmu (Al-Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tak ada yang dapat mengubah Kalimat-kalimat-Nya. (QS. al-An’âm: 115)
Sekarang mari kita lihat kenapa di masa lalu kenabian diperbarui dari waktu ke waktu, dan berturut-turut diutus begitu banyak nabi, sekalipun kebanyakan mereka tidak membawa syariat sendiri, dan diutus hanya untuk mendakwahkan syariat yang sudah ada? Kenapa prosedur ini berakhir pada Nabi Muhammad saw, yang sejak beliau saw tak ada lagi nabi pembawa syariat, atau tak ada lagi nabi yang hanya mendakwahkan syariat yang sudah ada? Secara ringkas alasan-alasannya akan kami bahas.
Alasan Diperbaruinya Kenabian
Kendatipun kenabian merupakan satu proses berkelanjutan, sedangkan risalah Tuhan, sebagai agama, tak lebih daripada satu realitas, namun beberapa alasan kenapa berturut-turut diutus sedemikian banyak nabi pembawa syariat dan nabi pendakwah syariat yang sudah ada, dan berakhirnya kenabian setelah datangnya Nabi terakhir, Muhammad saw, adalah sebagai berikut:
a)       akibat belum matang pemikirannya, manusia kuno atau manusia purba tak sanggup menjaga kitab samawinya. Biasanya kitab-kitab samawi ini diubah dan dirusak isinya. Atau kalau tidak, hilang sama sekali. Karena itu, dari waktu ke waktu, risalah perlu diperbarui. Al-Qur’an Suci turun ketika manusia sudah melewati masa kanak-kanaknya dan sudah mampu menjaga warisan pemikirannya. Itulah sebabnya Al-Qur’an Suci, Kitab terakhir Allah, tidak mengalami perubahan. Kaum Muslim menghafalkan dan mencatat dalam bentuk tulisan setiap ayat Al-Qur’an Suci yang turun, dan meniadakan setiap kemungkinan penambahan, penghapusan atau penggantian. Dengan demikian, hilanglah sudah salah satu alasan pembaruan kenabian.
b)      karena manusia belum matang, maka manusia belum cukup mampu untuk memiliki skema paripurna untuk membimbing dirinya sendiri, dan karena itu manusia perlu mendapat bimbingan tahap demi tahap dari para nabi. Namun, pada masa kenabian terakhir, manusia sudah berkembang sedemikian sehingga mampu memiliki skema perilaku yang paripurna, dan tak lagi perlu mendapat bimbingan tahap demi tahap dari nabi. Di samping hilangnya kitab-kitab samawi lama dan terdistorsinya kitab-kitab tersebut, alasan lain kenapa kenabian mengalami pembaruan berkelanjutan adalah karena manusia di zaman-zaman dahulu belum mampu menerima skema yang paripurna. Ketika kemampuannya sudah cukup berkembang, manusia sudah mampu memiliki skema yang paripurna, sehingga hilanglah sudah alasan pembaruan kenabian ini. Sekarang para ulama yang ahli di bidang ini dapat membimbing kaum Muslim dengan skema ini, dan dapat merumuskan hukum serta prosedur bagi kaum Muslim yang sesuai untuk setiap masa.
c)      kebanyakan nabi hanya mendakwahkan syariat yang sudah ada. Jumlah nabi yang membawa syariat sendiri tak lebih dari lima orang. Tugas nabi yang mendakwahkan syariat yang sudah ada adalah mendakwahkan, menafsirkan dan menyebarluaskan hukum agama yang berlaku di masanya. Sekarang ulama di zaman Nabi terakhir saw, yang merupakan zaman ilmu pengetahuan, mampu menerapkan prinsip-prinsip umum Islam sesuai dengan tuntutan zaman dan tempat, dan mampu menyimpulkan hukum agama. Proses penyimpulan hukum agama ini disebut ijtihad. Dengan demikian, ulama-ulama terkemuka mengemban banyak tugas nabi pendakwah, dan sebagian dari mereka bahkan mengemban tugas nabi pembawa syariat tanpa harus menjadi pembuat hukum. Mereka membimbing umat Muslim.
Dengan demikian, sekalipun kebutuhan akan agama masih ada, dan diperkirakan kebutuhan ini akan semakin meningkat bersamaan dengan perkembangan budaya manusia, namun kebutuhan akan nabi baru dan kitab suci baru sudah tak ada lagi. Karena itu kenabian sudah berakhir dengan diutusnya Nabi terakhir, Muhammad saw.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa kematangan sosial dan kematangan berpikir manusia memiliki peran yang besar dalam mengakhiri kenabian. Peran tersebut adalah:
1.      Memungkinkan manusia untuk menjaga kitab samawinya agar tak didistorsi.
2.      Memungkinkan manusia untuk menerima program evolusinya sekaligus, bukan secara bertahap.
3.      Memungkinkan manusia untuk mengemban tugas menyebar-luaskan agama, untuk menegakkan institusi-institusi agama, untuk mengajak orang berbuat baik dan mencegah orang berbuat keji. Dengan demikian tak lagi dibutuhkan nabi-nabi pendakwah yang hanya mendakwahkan ajaran nabi pembawa syariat. Kebutuhan ini sekarang dapat dipenuhi secara memadai oleh ulama.
4.      Dari sudut pandang perkembangan mental, manusia sekarang sudah sampai pada tahap di mana, menurut ijtihadnya, dia dapat menafsirkan ayat dan dapat menerapkan prinsip-prinsipnya yang relevan pada segala keadaan yang senantiasa berubah. Tugas ini juga diemban oleh ulama.
Jelaslah bahwa makna kenabian terakhir bukanlah bahwa manusia tak lagi membutuhkan ajaran Tuhan yang diterima melalui wahyu. Kenabian belumlah berakhir, karena akibat perkembangan mentalnya, manusia sekarang mampu melepaskan agama.
Sarjana terkemuka sekaligus pemikir besar Muslim, Dr. Iqbal, sekalipun pembahasannya mengenai masalah-masalah Islam luar biasa cerdas, dan pembahasannya ini secara pribadi banyak bermanfaat bagi kami, dan juga telah kami gunakan dalam buku ini dan buku-buku lainnya, telah sedemikian salah paham ketika menjelaskan filosofi finalitas kenabian. Kesimpulannya didasarkan pada poin-poin tertentu:
1.      Kata “wahyu” yang secara harfiah berarti “membisikkan”, digunakan oleh Al-Qur’an Suci dalam pengertian yang diperluas sehingga mencakup setiap ilham bimbingan apakah penerima bimbingan itu makhluk inorganis, tumbuhan, binatang atau manusia. Iqbal mengatakan: “Kontak dengan akar wujudnya sendiri ini sama sekali bukan khas manusia saja. Sungguh, penggunaan kata “wahyu”dalam Al-Qur’an Suci menunjukkan bahwa Al-Qur’an Suci memandang wahyu sebagai sifat universal  kehidupan, sekalipun karakter wahyu beda pada berbagai tahap evolusi kehidupan. Tanaman yang tumbuh leluasa, binatang yang berkembang organ barunya sedemikian sehingga sesuai dengan lingkungan yang baru, dan manusia yang menerima cahaya dari lubuk jiwa kehidupan, semuanya merupakan contoh-contoh wahyu yang beragam karakternya sesuai dengan kebutuhan si penerima atau kebutuhan spesies si penerima.” (The Reconstruction of Religious Thought in Islam, hal. 125)
2.      Wahyu merupakan semacam naluri, dan bimbingan melalui wahyu merupakan semacam bimbingan naluriah.
3.      Wahyu merupakan bimbingan, bila dilihat dari sudut pandang kolektif. Masyarakat manusia yang merupakan unit yang bergerak dan tunduk kepada hukum gerak, pasti membutuhkan bimbingan. Dalam hal ini (bimbingan—pen.), nabi hanyalah seperti wadah penerima yang secara naluriah menerima apa yang dibutuhkan oleh umat manusia. Berkata Dr. Iqbal: “Kehidupan dunia ini secara intuisi melihat kebutuhannya sendiri, dan pada saat-saat kritis merumuskan arahnya sendiri. Inilah, dalam bahasa agama, yang kita sebut wahyu kenabian.” (The Reconstruction of Religious Thought in Islam, hal. 147)
4.      Pada tahap-tahap awalnya, makhluk hidup mendapat bimbingan dari nalurinya. Setelah sampai pada tahap-tahap evolusi yang lebih tinggi, dan setelah daya perasaan, imajinasi dan pemikirannya berkembang, daya nalurinya pun mengalami reduksi dan digantikan oleh daya perasaan dan daya pikirnya. Dengan demikian serangga memiliki naluri yang sangat kuat, sedangkan naluri manusia sangat lemah.
5.      Dari sudut pandang sosiologis, masyarakat manusia tengah menjalani proses evolusi. Pada tahap-tahap awalnya, binatang membutuhkan naluri dan berangsur-angsur daya perasaan dan daya imajinasinya berkembang, dan dalam kasus-kasus tertentu daya pikirnya juga, dan bimbingan melalui nalurinya digantikan oleh bimbingan melalui perasaan dan imajinasi. Begitu pula, manusia, dalam proses evolusinya, berangsur-angsur sampai pada tahap di mana rasionalitasnya sedemikian berkembang sehingga daya nalurinya (wahyu atau inspirasi) menjadi lemah. Kata Dr. Iqbal: “Pada masa kanak-kanak, energi jiwa manusia mengembangkan apa yang saya sebut kesadaran kenabian—suatu bentuk ekonomisasi pemikiran dan pilihan orang seorang dengan memberikan penilaian yang sudahjadi, pilihan dan cara bertindak. Namun dengan lahirnya akal dan daya kritis, maka kehidupan, untuk kepentingannya sendiri, mencegah muncul dan berkembangnya bentuk-bentuk kesadaran yang non-rasional. Bentuk-bentuk inilah yang mengalirkan energi jiwa ketika evolusi manusia berada pada tahapnya yang lebih awal. Manusia terutama diatur oleh nafsu dan naluri. Jalan pikiran yang logislah yang membuat manusia dapat mengendalikan lingkungannya. Jalan pikiran yang logis itu sendiri merupakan suatu prestasi. Setelah jalan pikiran yang logis ini lahir, maka harus diperkuat, caranya yaitu dengan mencegah tumbuhnya bentuk-bentuk lain pengetahuan.” (The Reconstruction of Religious Thought in Islam, hal. 125)
6.      Pada dasarnya dunia melewati dua zaman: Zaman ilham serta zaman refleksi dan pemikiran rasional tentang alam dan sejarah. Dunia purba melahirkan beberapa sistem besar filsafat (seperti Yunani dan Romawi). Namun nilainya terbatas, karena manusia masih dalam proses melewati periode belum matangnya. Dr. Iqbal mengatakan: “Tak diragukan lagi, dunia purba melahirkan beberapa sistem besar filsafat ketika manusia relatif masih belum matang, dan lebih kurang yang mengatur manusia adalah ilham. Namun kita tak boleh lupa bahwa pembangunan sistem ini di dunia purba merupakan kerja pemikiran spekulatif, yang tak bisa lebih dari sistematisasi keyakinan agama dan tradisi yang tak jelas, sehingga tak ada pengaruhnya pada situasi konkret kehidupan.” (The Reconstruction of Religious Thought in Islam, hal. 126)
7.      Nabi Muhammad saw, Nabi terakhir, adalah bagian dari dunia purba maupun dunia modern. Karena sumber ilhamnya adalah wahyu, bukan studi experimental atas alam dan sejarah, maka dia adalah bagian dari dunia purba. Namun karena semangat ajarannya menuntut adanya pemikiran rasional dan studi atas alam dan sejarah, dan dua hal ini (pemikiran rasional dan studi atas alam dan sejarah—pen.) mengakhiri kerja wahyu, maka dia adalah bagian dari dunia modern. Dr. Iqbal mengatakan: “Kalau masalah ini dilihat dari sudut pandang ini, maka Nabi saw tampaknya berada antara dunia purba dan dunia modern. Sejauh menyangkut sumber wahyunya, dia adalah bagian dari dunia purba. Dan sejauh menyangkut jiwa wahyunya, dia adalah bagian dari dunia modern. Pada diri Nabi saw kehidupan menemukan sumber-sumber lain pengetahuan yang sesuai dengan arah barunya. Lahirnya Islam adalah lahirnya akal induktif (logis). Dalam Islam, kenabian barulah sempurna kalau sudah didapati perlunya menghapus kenabian itu sendiri. Ini melibatkan persepsi yang tajam bahwa hidup tak mungkin selamanya dikendalikan secara ketat. Karena itu, untuk bisa sepenuhnya sadar diri, manusia pada akhirnya haruslah bersandar pada sumbernya sendiri. Penghapusan kependetaan dan jabatan raja yang turun-temurun dalam Islam, seruan terus-menerus dalam Al-Qur’an Suci untuk menggunakan nalar dan pengalaman serta penekanan Al-Qur’an Suci pada alam dan sejarah sebagai sumber pengetahuan manusia, semuanya merupakan segi-segi yang berbeda dari pikiran yang sama tentang finalitas (kenabian—pen.).” (The Reconstruction of Religious Thought in Islam, hal. 126)
Itulah poin-poin utama filosofi finalitas kenabian menurut pemahaman Dr. Iqbal. Sayangnya, filosofi ini keliru, dan beberapa prinsipnya tidak benar.
Keberatan pertama—dan keberatan ini dapat dipertanggung-jawabkan—adalah bahwa jika filosofi ini diterima, maka artinya adalah bahwa bukan saja tak lagi diperlukan adanya nabi baru atau wahyu baru, namun juga tak lagi dibutuhkan adanya bimbingan melalui wahyu, karena fungsi membimbing ini sudah dapat dilakukan oleh akal eksperimental. Filosofi ini adalah filosofi akhir agama, bukan filosofi finalitas kenabian. Jika filosofi ini diterima, maka yang dapat dilakukan oleh wahyu Islam hanyalah memaklumkan akhir era agama dan awal era nalar dan ilmu pengetahuan. Jelaslah pikiran semacam ini bukan saja bertentangan dengan keyakinan pentingnya Islam, namun juga bertentangan dengan pandangan Dr. Iqbal sendiri. Sesungguhnya semua upayanya dimaksudkan untuk membuktikan bahwa nalar dan ilmu pengetahuan, sekalipun penting bagi masyarakat manusia, namun belum cukup. Manusia butuh iman dan agama. Dia juga butuh sains dan pengetahuan. Dr. Iqbal mengatakan dengan jelas bahwa dalam hidup dibutuhkan adanya prinsip-prinsip yang pasti dan juga faktor-faktor sekunder yang bisa berubah-ubah, dan bahwa ijtihad dimaksudkan untuk menerapkan prinsip-prinsip itu pada situasi-situasi tertentu. Dia mengatakan:
“Budaya baru menemukan fondasi unitas-dunia dalam prinsip “tauhid” (monoteisme). Islam sebagai sebuah bangsa merupakan satu-satunya sarana praktis untuk membuat prinsip ini menjadi faktor yang hidup dalam kehidupan pemikiran dan emosi umat manusia. Islam menuntut agar kita setia kepada Allah, bukan kepada tahta. Karena Allah adalah basis spiritual final segenap kehidupan, maka kesetiaan kepada-Nya berarti kesetiaan manusia kepada karakter idealnya sendiri. Menurut Islam, basis spiritual final segenap kehidupan itu abadi dan terlihat dalam keragaman dan perubahan. Suatu masyarakat yang didasarkan pada konsepsi realitas seperti itu harus menerima, dalam hidupnya, permanensi dan perubahan. Masyarakat seperti ini harus memiliki prinsip-prinsip abadi untuk mengatur kehidupan kolektifnya. Berkat keabadian, kita jadi punya tempat berpijak di dunia yang senantiasa berubah ini. Namun prinsip-prinsip abadi bila dipahami sebagai tak mengenal kemungkinan adanya perubahan yang, menurut Al-Qur’an Suci, merupakan salah satu ayat Allah, cenderung menghentikan apa yang pada hakikatnya berkarakter aktif. Kegagalan Eropa dalam ilmu politik dan sosial mengilustrasikan prinsip yang pertama. Kelumpuhan Islam selama lima ratus tahun terakhir ini menggambarkan prinsip yang kedua. Lantas dalam Islam apa prinsip aktif itu? Ini dikenal sebagai ijtihad.” (The Reconstruction of Religious Thought in Islam, hal. 147)
Dan uraian di atas terlihat bahwa bimbingan wahyu akan selalu dibutuhkan, dan bimbingan akal experimental tak akan pernah dapat menggantikan posisi bimbingan wahyu. Dr. Iqbal sendiri mendukung prinsip yang mengatakan bahwa bimbingan selalu dibutuhkan. Namun filosofi yang dikemukakannya untuk menjelaskan finalitas kenabian menyebutkan bahwa bukan saja nabi baru atau wahyu baru tidak dibutuhkan, namun agama itu sendiri juga harus berakhir. Interpretasi Dr. Iqbal yang salah mengenai finalitas mengandung arti bahwa kebutuhan manusia akan bimbingan dan pendidikan dari nabi, karakternya sama dengan kebutuhan anak terhadap kelas.
Anak, setiap tahun naik kelas dan berganti guru. Begitu pula, pada setiap periode manusia beralih ke tahap berikutnya, dan membutuhkan syariat baru. Bila anak sudah sampai di kelas paling tinggi, berarti dia akan menamatkan pendidikannya dan lalu mendapat ijazah. Setelah itu dia tak lagi membutuhkan guru, dan dapat melakukan penelitian sendiri. Begitu pula, orang yang hidup di zaman finalitas kenabian, maka dia mendapat surat tanda tamat belajar. Sekarang dia dapat melakukan studi alam dan sejarah sendiri. Itulah arti ijtihad. Setelah kenabian berakhir, manusia sampai pada tahap mampu mencukupi kebutuhan sendiri.
Tak diragukan lagi, interpretasi tentang akhir kenabian yang seperti itu salah. Karena itu, interpretasi itu tak dapat diterima oleh Dr. Iqbal sendiri, dan juga ditolak oleh mereka yang membuat kesimpulan seperti ini dari paparannya.
Kalau pandangan Dr. Iqbal benar, maka apa yang disebutnya “pengalaman jiwa” (ilham dan cahaya spiritual yang diterima oleh orangorang suci) juga jadi tak ada, karena diduga juga merupakan bagian dari naluri, sedangkan naluri jadi tak berdaya setelah munculnya pikiran eksperimental. Namun menurut Dr. Iqbal, pengalaman mistis itu masih terus ada. Menurutnya, dari sudut pandang Islam, pengalaman jiwa merupakan satu di antara tiga sumber pengetahuan manusia, sedangkan dua lainnya adalah alam dan sejarah.
Secara pribadi juga kecenderungan mistis Dr. Iqbal kuat. Dia sangat mempercayai ilham. Katanya, “Namun gagasan itu tidak berarti bahwa pengalaman mistis, yang secara kualitatif tidak beda dengan pengalaman para nabi, kini tak ada lagi sebagai fakta yang penting sekali. Sungguh, Al-Qur’an Suci memandang “anfus” (diri) dan “âfâq” (dunia) sebagai sumber pengetahuan. Allah menyingkapkan ayat-ayat-Nya dalam jiwa maupun pengalaman lahiriah, dan tugas manusia adalah menilai apakah semua aspek pengalaman itu memiliki kapasitas memberikan pengetahuan, ataukah tidak. Karena itu gagasan bahwa kenabian sudah berakhir janganlah diartikan bahwa nasib akhir kehidupan benar-benar ada di tangan akal. Hal seperti ini mustahil dan juga tidak diharapkan. Nilai intelektual gagasan itu adalah gagasan itu cenderung menciptakan sikap yang kritis terhadap pengalaman mistis dengan melahirkan kepercayaan bahwa semua wewenang pribadi, yang mengklaim berasal dari (kekuatan) supranatural, sudah berakhir dalam sejarah manusia. Maka pengalaman mistis, kendatipun luar biasa, kini harus dianggap oleh seorang Muslim sebagai pengalaman yang betul-betul alami yang dapat dikaji secara kritis seperti aspek-aspek lain pengalaman manusia.” (The Reconstruction of Religious Thought in Islam, hal. 126)
Yang hendak dikatakan Dr. Iqbal adalah bahwa sekalipun kenabian sudah berakhir, namun ilham dan mukjizat orang suci belum berakhir, kendatipun tak lagi begitu otoritatif seperti di masa lalu. Sebelum lahirnya pikiran eksperimental, mukjizat benar-benar alamiah otoritasnya dan tak dapat diragukan lagi. Namun setelah pikiran manusia maju (pada zaman berakhirnya kenabian), mukjizat jadi tak otoritatif, dan sekarang tak ubahnya seperti kejadian-kejadian dan fenomena lain yang dapat dikaji secara kritis. Periode sebelum berakhirnya kenabian merupakan periode mukjizat dan kejadian supranatural, namun zaman berakhirnya kenabian merupakan zaman akal, yang memandang peristiwa supranatural tidak dapat membuktikan apa-apa. Akal menilai setiap realitas yang didapat melalui pengalaman mistis dengan standar-standarnya sendiri.
Pada bagian ini, apa yang dikemukakan Dr. Iqbal juga tidak betul, baik mengenai periode sebelum berakhirnya kenabian maupun mengenai periode setelah berakhirnya kenabian. Bagian ini akan kami ulas dalam sub-sub Bab berikut ini.

Mukjizat Nabi Terakhir
Pandangan yang dikemukakan oleh Dr. Iqbal bahwa wahyu merupakan semacam naluri, juga salah. Karena pandangan ini, Dr. Iqbal melakukan beberapa kesalahan lagi. Tentu saja Dr. Iqbal sadar betul bahwa sesungguhnya naluri merupakan suatu kecenderungan bawaan dan tanpa sadar. Naluri merupakan suatu kemampuan yang lebih rendah dibanding indera dan akal. Menurut hukum alam, binatang-binatang primitif seperti serangga dan binatang lain yang kelasnya lebih rendah dibanding serangga memiliki kemampuan yang disebut naluri ini. Dengan berkembangnya sarana lain untuk memberikan bimbingan, seperti indera dan akal, naluri jadi lemah dan pasif. Itulah sebabnya manusia yang daya pikirnya sangat tinggi, daya nalurinya sangat lemah.
Wahyu justru merupakan sarana pembimbing yang lebih tinggi derajatnya dibanding indera dan akal, dan untuk sebagian besar merupakan sesuatu yang diupayakan. Terutama wahyu merupakan kesadaran yang sangat tinggi tingkatannya, dan bidang temuan wahyu jauh lebih luas keumbang bidang kerja pikiran eksperimental. Pada bagian sebelumnya, ketika membahas masalah ideologi, sudah kami buktikan bahwa kalau melihat keragaman kemampuan indi­vidual dan sosial manusia, kompleksitas hubungan sosialnya dan masih dipertanyakannya tujuan perjalanan evolusinya, maka ideologi-ideologi yang dikemukakan oleh para filosof dan sosiolog itu menyesatkan serta membingungkan. Kalau manusia mau memiliki ideologi yang benar, hanya ada satu jalan baginya, yaitu jalan wahyu. Kalau jalan wahyu ditolak, maka harus diakui bahwa manusia memang sama sekali tak mampu memiliki ideologi.
Kaum pemikir modern percaya bahwa hanya secara bertahap ideologi-ideologi manusia dapat menentukan perkembangan umat manusia di masa mendatang. Dengan kata lain, pada setiap tahap, yang dapat ditentukan hanyalah tahap berikutnya, dan itu juga menurut keyakinan kaum ini. Mengenai tahap-tahap berikutnya, dan apakah ada tahap final, tak ada yang diketahui. Jelaslah sudah nasib ideologi-ideologi seperti itu.
Semestinya Dr. Iqbal—karena lebih kurang telah mengkaji karya-karya ahli-ahli makrifat, dan karena khususnya tekun mengkaji Matsnawi-nya. Jalaludin Rumi—dapat lebih mendalami karya-karya ini dan menemukan penjelasan yang lebih bark mengenai berakhirnya kenabian. Para ahli makrifat mengatakan, bahwa berakhirnya kenabian disebabkan semua tahap individual dan tahap sosial perkembangan manusia beserta cara yang harus ditempuh manusia untuk mencapai tahap-tahap itu sudah diungkapkan semuanya. Karena setelah itu tak ada lagi yang perlu ditambahkan, maka tugas setiap orang adalah mengikuti risalah terakhir ini.
Kaum sufi mengatakan bahwa orang yang telah menyelesaikan semua tahap, dan tak ada lagi tahap yang harus dilalui, maka dialah yang terakhir. Inilah basis finalitas, bukan perkembangan pikiran eksperimental masyarakat seperti dipahami oleh Dr. Iqbal. Kalau dia lebih dalam lagi mengkaji karya-karya sufi-sufi yang dikagumi-nya sendiri (seperti Rumi), tentu dia akan tahu bahwa wahyu bukanlah naluri. Wahyu adalah roh dan jiwa yang lebih tinggi derajatnya dibanding jiwa rasional. Rumi, sang penyair sufi, mengatakan:
“Ketahuilah bahwa jiwa manusia beda dengan jiwa sapi dan keledai, dan lagi jiwa nabi dan wali (orang suci) beda dengan jiwa orang biasa. Raga itu kasat mata, sedang jiwa gaib. Lagi, pikiran lebih gaib ketimbang jiwa. Jiwa wahyu lebih gaib lagi. Pikiran Rasulullah saw, siapa pun dapat merasakannya. Namun jiwa wahyunya tak begitu dapat dimengerti.”
“Beliau dibimbing oleh Lauh Mahfuzh, itulah sebabnya beliau terlindung dari kekeliruan dan kesalahan. Wahyu ilahi bukan astrologi, bukan geomansi (ramalan berdasarkan konfigurasi segenggam tanah atau titik-titik acak—pen.), bukan pula mimpi. Wahyu adalah fakta dan realitas.”
Tampaknya Dr. Iqbal tanpa sadar telah membuat kesalahan seperti yang dilakukan oleh Dunia Barat. Dunia Barat berpandangan bahwa pengetahuan telah menggantikan agama. Tentu saja Dr. Iqbal menentang keras teori penggantian ini. Namun filosofi Dr. Iqbal tentang berakhirnya kenabian, entah bagaimana, kesimpulannya sama. Dr. Iqbal menggambarkan wahyu sebagai semacam naluri. Dia juga menyatakan bahwa naluri tak berfungsi lagi ketika daya pikir mulai bekerja. Pernyataannya ini memang benar kalau diterapkan untuk kasus-kasus di mana daya pikir melakukan fungsi yang sebelumnya dilakukan oleh naluri. Namun dalam kasus-kasus di mana fungsi daya pikir dan fungsi naluri beda, tak ada alasan kenapa naluri harus berhenti bekerja ketika daya pikir jadi aktif. Karena itu, meski diasumsikan bahwa wahyu ilahi merupakan semacam naluri yang fungsinya adalah mengemukakan semacam konsepsi tentang dunia dan mengemukakan ideologi yang tidak dilahirkan oleh akal dan daya pikir, namun tak ada alasan kenapa setelah akal logis berkembang, dalam kata-kata Dr. Iqbal, fungsi naluri ini harus berakhir.
Faktanya adalah bahwa Dr. Iqbal—terlepas bahwa dia memiliki bakat yang luar biasa, kecerdasan yang luar biasa, dan kecintaan kepada Islam yang luar biasa pula—pada dasarnya merupakan produk budaya Barat, karena segenap pendidikannya adalah Barat, meskipun dia melakukan beberapa studi atas budaya Islam, khususnya hukum Islam, tasawuf dan filsafat. Itulah sebabnya kenapa dia terkadang membuat kekeliruan yang serius. Dalam pengantar buku kami “Prinsip-prinsip Filsafat dan Metode Reatisme”, jilid V, kami sebutkan kekeliruan gagasan-gagasan Dr. Iqbal mengenai masalah-masalah filosofis yang berat. Itulah sebabnya tidak pada tempatnya kalau membandingkan dia dengan Sayid Jamaludin Asadabadi.[1]
Kendatipun dari sudut pandang bakat mental Jamaludin tak dapat dibandingkan dengan Dr. Iqbal, namun pendidikan primer Jamaludin adalah Islam, sedangkan pendidikan Barat adalah pendidikan sekundernya. Selain itu, almarhum Jamaludin— berkat banyak melakukan perjalanan di negara-negara Muslim, dan berkat melakukan studi saksama atas urusan-urusan mereka—lebih tahu situasi di dunia Muslim ketimbang Dr. Iqbal. Karena itu, tak seperti Dr. Iqbal, dia tak melakukan kekeliruan serius ketika menilai peristiwa-peristiwa tertentu yang terjadi di beberapa negara Mus­lim seperti Turki dan Iran. Penilaiannya tentang negara-negara tersebut lebih baik ketimbang penilaian Dr. Iqbal.

[1] Terkenal dengan narna Jamaluddin al-Afghani.

MUNCULNYA ISLAM LIBERAL DALAM ISLAM


By: MARDIANTO
MUNCULNYA ISLAM LIBERAL DALAM ISLAM

Ulil Absahar Abdallah

Menurut pendapat sebagian orang tentang istilah liberal dalam Islam liberal mempunyai makna kebebasan yang tampa batas atau dengan kata lain melakukan segala sesuatu tampa ada yang membatasi perbuatan yang di lakukan. Dengan demikian, cara pandang seperti ini, Islam liberal dipandang sebagai ancaman terhadap keberagaman yang sudah di lembagakan.
Dalam Islam, persoalan “batasan” anatara mana yang baik dan yang buruk, menempati kedudukan yang begitu sentral. Setiap orang Islam selalu peduli yterhadap apa yang dia kerjakan,apakah itu baik atau tidak. Dari sinilah mencul suatu kajian yang meninggalkan berbagai literatur yang canggih, yaitu bidang fikih. Segalah yang membicarakan tentang hukum Islam serta ketiaka berdiskusi tentang penerapan hukum Islam maka yang menjadi fokus perhatian adalah fikih, karena didalam fikih sebagaian besar hukum Islam dirumuskan.
Dalam diskusi-diskusi, kelihatan sekali bahwa tekanan diberiakan kepada kewajiban, yaitu kewajiban seorang  Muslim kepada Allah, sesame manusia, dan dirinya sendiri. Disini jelah bahwa bahasa kewajiban lebih menonjol daripada bahasa Hak dan kebebasan manusia. Padahal dalam diri seseorang selain kewajibannya harus dilakukan tapi mereka juga punya Hak untuk melakukan, maka dari itu Islam liberal muncul untuk menyeimbangakan neraca antara bahasa kewajiban dana bahasa Hak/kebebasan.
Sehinggah dalam menjalankan kehidupan kita di muka bumi ini akan lebih sepurna dengan terpenuhinya hak-hak kita dan terselenggaranya kewajiban kita kepada yang Absoulute. Maka dari itu dalam memandang sesuatu harus berangkt dari akarnya untuk menemukan  titik terang dari sesuatu itu agar tidak muncul kesalah pahaman yang menyesatkan kelompok atau institute tertentu.
Maka dari itu pemaham merupakan sloah satu jembatang yang sangat berpengaruh dalam memandang sesuatu untuk memberi penilaian, apakah itu benar atau tidak. Jangan kita langsung mengklaim pendapat orang sesat sebelum kita pahami apa maksud dari yang di sampaikannya itu.

Sumber: Mosqsith Ghazali ,dalam buku Ijtihad Islam Liberal: upay merumuskan kebaragaman yang dinamis.


KONSEP-KONSEP KEADILAN MENURUT GUS DUR


BY: KH Abdurrahman Wahid

BIOGRAFI 


Abdurrahman Wahid lahir di Jombang, 4 Agustus 1940. Ayahnya, KH Wahid Hasyim adalah anak pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Hasyim Asy'ari. Ibunya, Hj Sholehah juga merupakan keturunan tokoh besar NU, KH Bisri Sansuri. Ketika kecil, Gus Dur -- demikian ia biasa dipanggil -- sempat bercita-cita menjadi anggota ABRI. Namun, keinginannya itu kandas di tengah jalan karena sejak berusia 14 tahun ia sudah harus memakai kacamata minus.
Menyelesaikan SD di Jakarta, Gus Dur melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menengah Ekonomi Pertama di Yogyakarta hingga lulus pada tahun 1957. Selepas itu, Gus Dur memasuki dunia pendidikan agama secara intensif. Mula-mula ia menimba ilmu agama selama sekitar dua tahun di Pesantren Tegalrejo (Magelang) di bawah bimbingan Kiai Chudori. Selanjutnya di Pesantren Tambak Beras (Jombang), Gus Dur bekerja sambil meneruskan pendidikan di pesantren sebagai santri senior. Bagi Gus Dur, kehidupan pesantren tentu saja bukan hal yang baru. Sewaktu kecil, ia sudah diajar mengaji dan membaca Alquran oleh kakeknya di Pesantren Tebuireng (Jombang).
Salah satu kesenangan Gus Dur yang terus 'diidapnya' hingga sekarang adalah mendengarkan musik klasik Barat. Kebiasaan ini berawal sejak usia SD dari pengalamannya mengikuti les privat bahasa Belanda. Untuk menambah pelajaran bahasa Belanda, gurunya kerap memutarkan lagu-lagu klasik Barat.
Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat menuju Mekah untuk menunaikan ibadah haji, sekaligus untuk melanjutkan studinya di Universitas Al-Azhar di Kairo. Selama di sana ia tinggal bersama para pelajar asal Indonesia dan sempat menjadi Sekretaris Persatuan Pelajar Indonesia di Mesir. Saat di luar negeri itu jugalah Gus Dur melangsungkan 'pernikahan jarak jauh' dengan Siti Nuriah. Pasangan ini kemudian dikaruniai empat orang putri: Alissa Munawarah, Arifah, Chayatunnufus, dan Inayah.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Mesir, pada tahun 1966 Gus Dur pindah ke Baghdad, Irak. Di sana ia masuk Department of Religion di Universitas Baghdad dengan mengambil spesialisasi ilmu sastra dan humaniora. Dari Baghdad, Gus Dur meneruskan pengembaraan akademisnya ke sejumlah negara Eropa, dari satu universitas ke universitas lainnya. Terakhir, ia tinggal di Belanda selama sekitar enam bulan, dan sempat mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia.
Sekembalinya di Tanah Air, pada tahun 1971 Gus Dur bergabung dengan Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy'ari. Di universitas kota kelahirannya itu, Gus Dur mengajar teologi dan beberapa ilmu agama. Selanjutnya sejak tahun 1974 ia dipercaya sebagai sekretaris pesantren Tebuireng. Berbarengan dengan itu, nama Gus Dur mulai dikenal orang melalui tulisannya di berbagai surat kabar, majalah, dan jurnal.
Kiprahnya di dunia politik dimulai sekitar awal 1980-an, ketika ia mulai banyak bersinggungan dan secara terbuka menawarkan ide-ide tentang pluralisme, demokrasi, HAM, dan lain-lain. Tindakan politiknya semakin kentara sejak ia terpilih menjadi Ketua Umum PBNU pada Muktamar 1984 di Situbondo -- justru ketika NU ditetapkan kembali pada khittah 1926, yang berarti NU menarik diri dari dunia politik praktis. Hal ini bisa terjadi karena memang dengan khittah itulah hubungan NU dengan pemerintah Orde Baru yang semula tegang menjadi cair. Melalui peran Gus Dur pula NU menjadi ormas Islam pertama yang menerima pemberlakuan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Meskipun kemudian hubungan Gus Dur dengan pemerintah kembali merenggang karena sikap kritisnya terhadap pemerintahan Soeharto, posisinya sebagai Ketua Umum PBNU tetap dapat dipertahankannya selama dua kali muktamar berturut-turut, yaitu pada tahun 1989 dan 1994.
Oleh sebagian orang, gagasan-gagasan dan tindakan Gus Dur kerap dipandang sebagai ide kontroversial dan mengejutkan, tak jarang pula melawan arus. Sekali waktu, Gus Dur menggagas untuk mengganti salam assalamu'alaikum dengan selamat pagi -- gagasan yang kontan mendatangkan sergahan dari umat Islam. Pada lain waktu, Gus Dur mengejutkan banyak orang melalui kunjungannya ke Israel pada tahun 1994, justru ketika masyarakat banyak menyoroti kelicikan negeri tersebut terhadap nasib rakyat Palestina. Bahkan, sepulangnya dari sana Gus Dur menyarankan agar pemerintah membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Belakangan, Gus Dur seolah memantapkan gelarnya sebagai tokoh kontroversial ketika ia justru beberapa kali menyambangi Soeharto setelah penguasa Orde Baru itu lengser. Kontroversi lainnya, ia dicalonkan sebagai presiden bukan oleh PKB yang dideklarasikannya, tapi justru oleh beberapa partai Poros Tengah.
Gus Dur menghadap Allah swt., hari Rabu 30 Desember 2009

 KONSEP-KONSEP KEADILAN

oleh Abdurrahman Wahid

Tidak dapat dipungkiri, al-Qur'an meningkatkan  sisi  keadilan dalam   kehidupan   manusia,   baik   secara  kolektif  maupun individual.  Karenanya,  dengan  mudah  kita  lalu  dihinggapi semacam  rasa  cepat  puas diri sebagai pribadi-pribadi Muslim dengan  temuan  yang  mudah  diperoleh  secara  gamblang  itu. Sebagai  hasil  lanjutan  dari rasa puas diri itu, lalu muncul idealisme atas al-Qur'an sebagai sumber pemikiran paling  baik tentang  keadilan.  Kebetulan  persepsi  semacam  itu  sejalan dengan doktrin keimanan Islam sendiri  tentang  Allah  sebagai Tuhan  Yang  Maha  Adil.  Bukankah  kalau Allah sebagai sumber keadilan itu sendiri, lalu sudah  sepantasnya  al-Qur'an  yang menjadi   firmanNya   (kalamu   'l-Lah)  juga  menjadi  sumber
pemikiran tentang keadilan? Cara berfikir  induktif  seperti  itu  memang  memuaskan  bagi mereka  yang  biasa  berpikir sederhana tentang kehidupan, dan cenderung menilai refleksi filosofis yang sangat kompleks  dan rumit.  Mengapakah  kita  harus  sulit-sulit mencari pemikiran dengan kompleksitas sangat tinggi tentang  keadilan?  Bukankah lebih  baik  apa  yang  ada  itu  saja segera diwujudkan dalam kenyataan hidup kaum Muslimin secara tuntas? Bukankah refleksi yang  lebih  jauh  hanya  akan  menimbulkan  kesulitan belaka?
"Kecenderungan praktis" tersebut,  memang  sudah  kuat  terasa dalam  wawasan  teologis  kaum skolastik (mutakallimin) Muslim sejak delapan abad terakhir ini.

Argumentasi seperti itu memang tampak menarik  sepintas  lalu. Dalam  kecenderungan  segera  melihat  hasil penerapan wawasan Islam tentang keadilan dalam hidup nyata. Apalagi  dewasa  ini justru    bangsa-bangsa    Muslim   sedang   dilanda   masalah ketidakadilan  dalam  ukuran  sangat  massif.  Demikian  juga,
persaingan  ketat  antara  Islam  sebagai sebuah paham tentang kehidupan, terlepas  dari  hakikatnya  sebagai  ideologi  atau bukan,  dan  paham-paham  besar  lain  di  dunia ini, terutama ideologi-ideologi   besar   seperti   Sosialisme,   Komunisme,Nasionalisme  dan Liberalisme. Namun, sebenarnya kecenderungan serba praktis seperti itu adalah sebuah  pelarian  yang  tidak akan  menyelesaikan  masalah. Reduksi sebuah kerumitan menjadi masalah  yang  disederhanakan,  justru  akan  menambah   parah
keadaan.  Kaum  Muslim akan semakin menjauhi keharusan mencari pemecahan yang  hakiki  dan berdayaguna  penuh  untuk  jangka panjang,  dan  merasa  puas  dengan "pemecahan" sementara yang
tidak akan berdayaguna efektif dalam jangka panjang.
Ketika Marxisme dihadapkan kepada  masalah  penjagaan  hak-hak perolehan  warga  masyarakat,  dan dihadapkan demikian kuatnya wewenang  masyarakat  untuk   memiliki   alat-alat   produksi, pembahasan  masalah itu oleh pemikir Komunis diabaikan, dengan menekankan slogan "demokrasi sosial" sebagai pemecahan praktis yang  menyederhanakan  masalah. Memang berdayaguna besar dalam jangka   pendek,   terbukti    dengan    kemauan    mendirikan negara-negara   Komunis   dalam  kurun  waktu  enam  dasawarsa terakhir ini. Namun, "pemecahan masalah" seperti itu  ternyata membawa  hasil  buruk,  terbukti dengan "di bongkar pasangnya" Komunisme dewasa ini oleh  para  pemimpin  mereka  sendiri  di mana-mana.  Rendahnya  produktivitas individual sebagai akibat langsung dari hilangnya kebebasan individual warga  masyarakat yang  sudah  berwatak  kronis,  akhirnya  memaksa parta-partai Komunis untuk melakukan perombakan total  seperti  diakibatkan oleh  perestroika  dan  glasnost  di Uni Soviet beberapa waktu lalu.

Tilikan atas pengalaman orang lain itu mengharuskan kita untuk juga  meninjau  masalah  keadilan dalam pandangan Islam secara lebih cermat dan mendasar. Kalaupun ada persoalan, bahkan yang paling  rumit  sekalipun,  haruslah  diangkat ke permukaan dan selanjutnya dijadikan bahan kajian mendalam untuk pengembangan wawasan   kemasyarakatan   Islam  yang  lebih  relevan  dengan perkembangan kehidupan umat manusia  di  masa-masa  mendatang. Berbagai masalah dasar yang sama akan dihadapi juga oleh paham yang dikembangkan Islam, juga  akan  dihadapkan  kepada  nasib yang  sama  dengan  yang  menentang Komunisme, jika tidak dari sekarang dirumuskan pengembangannya secara  baik  dan  tuntas,
bukankah hanya melalui jalan pintas belaka.

Pembahasan  berikut  akan  mencoba mengenal (itemize) beberapa aspek yang harus dijawab oleh Islam tentang  wawasan  keadilan sebagaimana tertuang dalam al-Qur'an. Pertama-tama akan dicoba untuk mengenal wawasan yang ada, kemudian  dicoba  pula  untuk menghadapkannya kepada keadaan dan kebutuhan nyata yang sedang dihadapi umat manusia. Jika dengan cara ini lalu menjadi jelas hal-hal  pokok  dan  sosok kasar dari apa yang harus dilakukan selanjutnya, tercapailah sudah apa yang dikandung dalam hati.

PENGERTIAN KEADILAN

Al-Qur'an menggunakan pengertian yang berbeda-beda  bagi  kata atau istilah yang bersangkut-paut dengan keadilan. Bahkan kata yang digunakan untuk menampilkan sisi  atau  wawasan  keadilan juga  tidak  selalu  berasal  dari  akar  kata 'adl. Kata-kata sinonim seperti qisth,  hukm  dan  sebagainya  digunakan  oleh al-Qur'an dalam pengertian keadilan. Sedangkan kata 'adl dalam berbagai bentuk konjugatifnya bisa saja  kehilangan  kaitannya yang  langsung  dengan  sisi keadilan itu (ta'dilu, dalam arti mempersekutukan Tuhan dan 'adl dalam arti tebusan).

Kalau dikatagorikan, ada beberapa  pengertian  yang  berkaitan dengan keadilan dalam al-Qur'an dari akar kata 'adl itu, yaitu sesuatu  yang  benar,  sikap  yang  tidak  memihak,  penjagaan hak-hak   seseorang   dan  cara  yang  tepat  dalam  mengambil keputusan  ("Hendaknya  kalian   menghukumi   atau   mengambil
keputusan   atas   dasar   keadilan").   Secara   keseluruhan, pengertian-pengertian di atas  terkait  langsung  dengan  sisi keadilan,  yaitu  sebagai  penjabaran  bentuk-bentuk  keadilan dalam kehidupan. Dari terkaitnya beberapa pengertian kata 'adl dengan  wawasan  atau  sisi keadilan secara langsung itu saja, sudah  tampak  dengan  jelas  betapa  porsi  "warna  keadilan" mendapat  tempat  dalam  al-Qur'an,  sehingga dapat dimengerti sikap  kelompok  Mu'tazilah  dan  Syi'ah   untuk   menempatkan keadilan  ('adalah) sebagai salah satu dari lima prinsip utama al-Mabdi al-Khamsah.) dalam keyakinan atau akidah mereka.

Kesimpulan  di  atas  juga  diperkuat  dengan  pengertian  dan dorongan  al-Qur'an  agar  manusia  memenuhi  janji, tugas dan amanat yang dipikulnya, melindungi yang menderita,  lemah  dan kekurangan, merasakan solidaritas secara konkrit dengan sesama warga  masyarakat,  jujur  dalam  bersikap,  dan   seterusnya. Hal-hal yang ditentukan sebagai capaian yang harus diraih kaum Muslim  itu  menunjukkan  orientasi  yang  sangat  kuat   akar keadilan  dalam al-Qur'an. Demikian pula, wawasan keadilan itu tidak hanya dibatasi hanya pada lingkup mikro  dari  kehidupan warga  masyarakat  secara  perorangan,  melainkan juga lingkup makro kehidupan masyarakat itu sendiri. Sikap adil tidak hanya dituntut  bagi  kaum  Muslim  saja  tetapi  juga  mereka  yang beragama lain. Itupun tidak hanya dibatasi  sikap  adil  dalam urusan-urusan  mereka  belaka,  melainkan juga dalam kebebasan mereka untuk mempertahankan keyakinan dan melaksanakan  ajaran agama masing-masing.

Yang cukup menarik adalah dituangkannya kaitan langsung antara wawasan  atau  sisi  keadilan  oleh  al-Qur'an  dengan   upaya peningkatan  kesejahteraan  dan  peningkatan taraf hidup warga masyarakat, terutama mereka yang menderita dan lemah posisinya dalam percaturan masyarakat, seperti yatim-piatu, kaum muskin, janda, wanita hamil atau yang baru saja mengalami  perceraian. Juga sanak keluarga (dzawil qurba) yang memerlukan pertolongansebagai  pengejawantahan  keadilan.  Orientasi  sekian  banyak
"wajah  keadilan"  dalam  wujud  konkrit itu ada yang berwatak karikatif maupun yang mengacu kepada transformasi sosial,  dan dengan demikian sedikit banyak berwatak straktural.

Fase terpenting dari wawasan keadilan yang dibawakan al-Qur'an itu adalah sifatnya  sebagai  perintah  agama,  bukan  sekedar sebagai  acuan etis atau dorongan moral belaka. Pelaksanaannya merupakan pemenuhan kewajiban agama, dan dengan demikian  akan diperhitungkan  dalam  amal  perbuatan  seorang Muslim di hari perhitungan (yaum al-hisab) kelak.  Dengan  demikian,  wawasan keadilan dalam al-Qur'an mudah sekali diterima sebagai sesuatu yang  ideologis,  sebagaimana  terbukti  dari  revolusi   yang dibawakan  Ayatullah  Khomeini  di  Iran.  Sudah  tentu dengan segenap bahaya-bahaya  yang  ditimbulkannya,  karena  ternyata dalam  sejarah, keadilan ideologis cenderung membuahkan tirani
yang mengingkari keadilan itu

Sebab kenyataan penting juga harus dikemukakan dalam hal  ini, bahwa sifat dasar wawasan keadilan yang dikembangkan al-Qur'an ternyata bercorak mekanistik, kurang bercorak  reflektif.  Ini mungkin  karena  "warna"  dari bentuk konkrit wawasan keadilan itu  adalah  "warna"  hukum  agama,  sesuatu  yang  katakanlah legal-formalistik.

PERMASALAHAN

Mengingat  sifat dasar wawasan keadilan yang legal-formalistik dalam al-Qur'an itu, secara langsung kita dapat melihat adanya dua buah persoalan utama yaitu keterbatasan visi yang dimiliki wawasan keadilan itu sendiri,  dan  bentuk  penuangannya  yang terasa    "sangat   berbalasan"   (talionis,   kompensatoris).
Keterbatasan visi itu tampak dari kenyataan, bahwa kalau suatu bentuk  tindakan telah dilakukan, terpenuhilah sudah kewajiban berbuat  adil,  walaupun  dalam  sisi-sisi  yang  lain  justru wawasan  keadilan  itu  dilanggar.  Dapat  dikemukakan sebagai contoh, umpamanya, seorang suami telah "bertindak  adil"  jika
"berbuat  adil"  dengan menjaga ketepatan bagian menggilir dan memberikan nafkah antara dua orang isteri, tanpa mempersoalkan apakah  memiliki  dua  orang  isteri itu sendiri adalah sebuah tindakan  yang  adil.  Dengan  demikian,  pemenuhan   tuntutan keadilan  yang  seharusnya  berwajah utuh, lalu menjadi sangat
parsial dan tergantung  kepada  pelaksanaan  di  satu  sisinya belaka.

Warna  kompensatoris  dari  wawasan  keadilan  yang  dibawakan al-Qur'an itu juga terlihat dalam sederhananya  perumusan  apa yang  dinamakan  keadilan  itu sendiri. Wanita yang diceraikan dalam keadaan  hamil  berhak  memperoleh  santunan  hingga  ia melahirkan   anak   yang  dikandungnya,  cukup  dengan  jumlah tertentu berupa uang atau bahan makanan. Sangat  terasa  watak berbalasan  dari  "pemenuhan  keadilan" yang berbentuk seperti ini, karena ada "pertukaran jasa" antara mengandung anak (bagi suami) dan memberikan santunan material (bagi isteri).

Dari  pengamatan  akan  kedua  hal di atas lalu menjadi jelas, bahwa permasalahan utama bagi wawasan keadilan dalam pandangan al-Qur'an   itu  masih  memerlukan  pengembangan  lebih  jauh, apalagi jika dikaitkan  dengan  perkembangan  wawasa  keadilan dalam kehidupan itu sendiri.

Sampai  sejauh  manakah  dapat  dikembangkan wawasan demokrasi yang utuh bila dipandang  dari  sudut  wawasan  keadilan  yang dimiliki  al-Qur'an  itu?  Dapatkah  kepada kelompok demokrasi yang utuh bila dipandang  dari  sudut  wawasan  keadilan  yang dimiliki  al-Qur'an  itu?  Dapatkah  kepada kelompok minoritas agama diberikan hak yang sama untuk memegang tampuk kekuasaan? Dapatkah   wawasan   keadilan  itu  menampung  kebutuhan  akan persamaan derajat agama  dikesampingkan  oleh  kebutuhan  akan hukum  yang  mencerminkan  kebutuhan  akan persamaan perlakuan hukum secara mutlak bagi  semua  warga  negara  tanpa  melihat asal-usul   agama,   etnis,  bahasa  dan  budayanya?  Dapatkah dikembangkan sikap untuk  membatasi  hak  milik  pribadi  demi meratakan pemilikan sarana produksi dan konsumsi guna tegaknya demokrasi  ekonomi?  Deretan  pertanyaan   fundamental,   yang jawaban-jawabannya akan menentukan mampukah atau tidak wawasan keadilan yang terkandung dalam  al-Qur'an  memenuhi  kebutuhan sebuah masyarakat modern di masa datang.

Diperlukan    kajian-kajian    lebih   lanjut   tentang   peta permasalahan seperti dikemukakan di atas, namun  jelas  sekali bahwa  visi keadilan yang ada dalam al-Qur'an dewasa ini harus direntang  sedemikian   jauh,   kalau   diinginkan   relevansi berjangka  panjang dari wawasan itu sendiri. Jelas, masalahnya lalu menjadi  rumit  dan  memerlukan  refleksi  filosofis,  di samping    kejujuran    intelektual    yang    tinggi    untuk
merampungkannya secara kolektif.  Masalahnya,  masih  punyakah umat  Islam  kejujuran  intelektual  seperti  itu, atau memang sudah  tercebur  semuanya  dalam  pelarian   sloganistik   dan "kerangka  operasionalisasi"  serba terbatas, sebagai pelarian yang manis?

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174