Oleh
Umdah El-Baroroh
Meski
Cak Nur banyak dinilai orang sebagai seorang pluralis sejati, tapi bagi mantan
pengurus Muhammadiyah, Dawam Raharjo, Cak Nur bukanlah seorang pluralis. “Ia
lebih tepat disebut sebagai seorang inklusif, bukan pluralis”, tandasnya dalam
forum itu. Menurut tokoh Muhamadiyah yang berpikiran liberal ini, seorang
pluralis bukan sekadar orang yang menerima perbedaan terhadap kebenaran agama
yang berbeda. Tapi lebih jauh ia juga harus mempelajari kebenaran agama-agama
lain dengan sikap yang adil.
“Cak
Nur tidak memaknai pluralisme sebagai gagasan yang menganggap semua agama sama,
seperti anggapan orang awam. Pluralisme bagi Cak Nur adalah suatu landasan
sikap positif untuk menerima kemajemukan semua hal dalam kehidupan sosial dan
budaya, termasuk agama. Yang dimaksud dengan sikap positif adalah sikap aktif
dan bijaksana.” Demikian papar Mohamad Monib, dosen Paramadina Mulya dalam
diskusi “Membedah Pemikiran Pluralisme Nurcholis Madjid”, 22/1 lalu.
Diskusi yang diadakan di aula Universitas Islam Bandung itu juga menghadirkan dua pembicara lainnya sebagai panel. Tampak di sana Dawam Raharjo, wakil Jaringan Islam Liberal, serta Miftah Fauzi Rahmat, dosen IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung.
Diskusi yang diadakan di aula Universitas Islam Bandung itu juga menghadirkan dua pembicara lainnya sebagai panel. Tampak di sana Dawam Raharjo, wakil Jaringan Islam Liberal, serta Miftah Fauzi Rahmat, dosen IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung.
Lebih
lanjut, Monib juga menjelaskan bahwa pluralisme menurut rumusan Cak Nur
(panggilan akrab Nurcholis Madjid) merupakan bagian dari sikap dasar dalam berislam.
“Yaitu sikap terbuka untuk berdialog dan menerima perbedaan secara adil”,
tandasnya. “Dengan keterbukaan dan sikap dialogis itu dimaksudkan agar kita
memiliki etos membaca, membina, belajar, dan selalu arif.”
Pandangan
pluralis Cak Nur tampaknya belum dipahami oleh masyarakat dan tokoh agama
dengan baik. Menurut dosen Paramadina itu, masih banyak kalangan yang
menyalahartikan makna pluralisme. Sebagian menganggap bahwa pluralisme adalah
sikap atau gagasan yang meyakini kebenaran semua agama. Sehingga para pendukung
gagasan pluralisme sering digolongkan dalam penganut relativisme agama. Bahkan
tak jarang dari mereka yang dianggap sesat dan murtad.
Sikap
seperti itulah yang nampaknya diyakini oleh mayoritas ulama yang ada di MUI
(Majelis Ulama Indonesia). Hingga mereka pun terdesak untuk mengeluarkan fatwa
tentang haramnya pluralisme. Pengharaman terhadap gagasan tersebut dinilai oleh
Monib bukan tanpa konsekwensi. Fatwa anti pluralisme yang dikeluarkan oleh MUI
berdampak luas dalam memengaruhi cara pandang masyarakat yang semakin kuat
untuk memusuhi dan menolak kelompok lain agama atau kepercayaan. Hal itu
terbukti dengan sikap penolakan masyarakat yang semakin lantang terhadap
keberadaan Jama’ah Ahmadiyah yang juga difatwakan oleh MUI sebagai aliran sesat.
Sementara
itu bagi Miftah, salah seorang pengelola IJABI (Ikatan Jama’ah Ahlul Bait) aksi
kekerasan yang menimpa Ahmadiyah itu dikhawatirkan akan menimpa syiah. Karena
syiah juga banyak ditentang oleh sebagian masyarakat. Pada masa-masa seperti
sekarang inilah kita semakin merindukan sosok Cak Nur, tegasnya. “Ia selalu
membela komunitas yang minoritas dan termarginalkan.”
Lebih
lanjut dosen IAIN Sunan Gunung Djati itu menjelaskan sikap Cak Nur terhadap
pluralisme. “Cak Nur selalu membedakan antara pluralitas dan pluralisme”,
tandasnya. “Pluralitas bagi guru besar UIN Jakarta itu adalah keragaman hidup
yang telah menjadi sunnatullah. Sedangkan pluralisme merupakan suatu sikap
kejiwaan dan kedewasaan mental dalam menerima keragaman itu.”
“Yang
ditekankan pada pluralisme Cak Nur adalah sebuah sikap mental dan kedewasaan
untuk bisa menerima perbedaan, karena tidak semuanya bisa menerima perbedaan”,
tegasnya. “Dan apabila seseorang tidak dapat menerima pluralisme, itu karena
pemahamannya yang belum dewasa.”
Meski
Cak Nur banyak dinilai orang sebagai seorang pluralis sejati, tapi bagi mantan
pengurus Muhammadiyah, Dawam Raharjo, Cak Nur bukanlah seorang pluralis. “Ia
lebih tepat disebut sebagai seorang inklusif, bukan pluralis”, tandasnya dalam
forum itu. Menurut tokoh Muhamadiyah yang berpikiran liberal ini, seorang
pluralis bukan sekadar orang yang menerima perbedaan terhadap kebenaran agama
yang berbeda. Tapi lebih jauh ia juga harus mempelajari kebenaran agama-agama
lain dengan sikap yang adil.
Dapat
diumpamakan dalam penganut teologi inklusif bahwa agama adalah sebagai
cahaya-cahaya tapi yang paling terang adalah cahaya agamanya. Sementara seorang
pluralis beranggapan bahwa semua agama bercahaya. Di sinilah terlihat perbedaan
antara teologi inklusif dan pluralis.
Dawam
menilai Cak Nur masih memandang semua agama sebagai cahaya, tetapi cahaya yang
paling terang adalah Islam. Selain itu ia juga terjebak pada anggapan bahwa
agama samawi lebih unggul dari agama bumi. Karena agama samawi diyakini sebagai
agama pemberian Tuhan kepada manusia.
Cak
Nur, lanjut Dawam, merupakan seorang teolog muslim dengan acuan Qur’an dan
Sunnah (lebih khusus pada Qur’an). Dan dengan ide tauhidnya yang keras Cak Nur
telah bersikap kurang adil. Di sinilah keterbatasan Cak Nur yang menurut Dawam
belum sepenuhnya pluralis, tetapi baru sebagai seorang teolog inklusif. “Untuk
menjadi pluralis, seseorang harus mempelajari agama-agama lain,” tegas Dawam.
“Sementara Cak Nur tidak pernah mempelajari agama-agama lain.”[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar