ISLAM DAN
PLURALITAS(ISME)AGAMA
• Abd Moqsith Ghazali
ABD.MOQSITH GHAZALI pernah belajar di beberapa pesantren di Jawa Timur.Menyelesaikan
program S2 dalam bidang Tasawuf Islam dan S3nya dalam bidang Tafsir al-Qur’an
di UIN SyarifHidayatullah Jakarta. Aktif menulis di beberapa koran dan jurnal seperti
Media Indonesia, Suara Pembaruan, Koran Tempo, Kompas, Jawa Pos, Jurnal ITIQRA’
Ditperta Depag RI, Jurnal DIALOG Litbang Depag RI. Sekarang sebagai dosen UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dpk Universitas Paramadina Jakarta, Redaktur Jurnal
Tashwirul Afkar PP Lakpesdam NU Jakarta, Assosiate The WAHIDInstitute Jakarta,
Fasilitator dan Narasumber isu Gender, HAM, dan Pluralisme, Koordinator
Jaringan Islam Liberal Jakarta. Salah satu buku karyanya adalah Argumen Pluralisme Agama:
MembangunToleransi Berbasis al-Qur’an (2009).
A.
PENGERTIAN DASAR
Kata “pluralisme”
berasal dari bahasa inggris, pluralism.Kata inididuga berasal dari
bahasa Latin, plures, yang berarti beberapadengan implikasi
perbedaan.Dari asal-usul kata ini diketahui bahwapluralisme agama tidak
menghendaki keseragaman bentuk agama.Sebab, ketika keseragaman sudah terjadi,
maka tidak ada lagipluralitas agama (religious plurality).Keseragaman
itu sesuatu yangmustahil. Allah menjelaskan bahwa sekiranya Tuhanmu
berkehendakniscaya kalian akan dijadikan dalam satu umat. Pluralisme agam tidak
identik dengan model beragama secara eklektik, yaitu mengambil bagian-bagian
tertentu dalam suatu agama dan membuangsebagiannya untuk kemudian mengambil
bagian yang lain dalamagama lain dan membuang bagian yang tak relevan dari
agama yanglain itu.
Pluralisme agama
tidak hendak menyatakan bahwa semua agamaadalah sama. Franz Magnis-Suseno
berpendapat bahwa menghormatiagama orang lain tidak ada hubungannya dengan
ucapan bahwasemua agama adalah sama. Agama-agama jelas berbeda-beda satusama
lain. Perbedaan-perbedaan syariat yang menyertai agamaagamamenunjukkan bahwa
agama tidaklah sama. Setiap agamamemiliki konteks partikularitasnya sendiri
sehingga tak mungkinsemua agama menjadi sebangun dan sama persis. Yang
dikehendakidari gagasan pluralisme agama adalah adanya pengakuan secara
aktifterhadap agama lain. Agama lain ada sebagaimana keberadaan agamayang
dipeluk diri yang bersangkutan. Setiap agama punya hak hidup.
Nurcholish Madjid
menegaskan, pluralisme tidak saja mengisyaratkan adanya sikap bersedia mengakui
hak kelompok agama lainuntuk ada, melainkan juga mengandung makna kesediaan
berlakuadil kepada kelompok lain itu atas dasar perdamaian dan
salingmenghormati. Allah berfirman, “Allah tidak melarang kamu untukberbuat
baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidakmemerangi dalam urusan
agama dan tidak pula mengusir kamu darinegerimu.Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlakuadil”. QS, al-Mumtahanah [60]: ayat 8.
Paparan di atas
menyampaikan pada suatu pengertian sederhanabahwa pluralisme agama adalah suatu
sistem nilai yang memandangkeberagaman atau kemajemukan agama secara positif
sekaligusoptimis dengan menerimanya sebagai kenyataan (sunnatullâh)
danberupaya untuk berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu.Dikatakan
secara positif, agar umat beragama tidak memandangpluralitas agama sebagai kemungkaran
yang harus dibasmi.Dinyatakan secara optimis, karena kemajemukan agama itu
sesungguhnya sebuah potensi agar setiap umat terus berlomba menciptakankebaikan
di bumi.
B.
SIKAP TERHADAP NON-MUSLIM
Pluralitas agama dan
umat beragama adalah kenyataan.SebelumIslam datang, di tanah Arab sudah muncul
berbagai jenis agama,seperti Yahudi, Nashrani, Majusi, Zoroaster, dan Shabi’ah.Sukusuk
Yahudi sudah lama terbentuk di wilayah pertanian Yatsrib (kelakdisebut sebagai
Madinah), Khaibar, dan Fadak.Di wilayah Arab adabeberapa komunitas Yahudi yang
terpencar-pencar dan beberapaorang sekurang-kurangnya disebut Kristen.Pada abad
ke-empatsudah berdiri Gereja Suriah.Karena itu tak salah jika dinyatakan,Islam
lahir di tengah konteks agama-agama lain, terutama agamaYahudi dan Nasrani.
Al-Qur’an memiliki
pandangan sendiri dalam menyikapi pluralitasumat beragama tersebut.Terhadap
Ahli Kitab (meliputi Yahudi,Nasrani, Majusi, dan Shabi’ah), umat Islam
diperintahkan untukmencari titik temu (kalimat sawa`). Kalau terjadi
perselisihan antaraumat Islam dan umat agama lain, umat Islam dianjurkan
untukberdialog (wa jâdilhum billatî hiya ahsan). Terhadap siapa saja
yangberiman kepada Allah, meyakini Hari Akhir, dan melakukan amalkebajikan,
al-Qur`an menegaskan bahwa mereka, baik beragamaIslam maupun bukan, kelak di
akhirat akan diberi pahala. Tak adakeraguan bahwa orang-orang seperti ini akan
mendapakankebahagiaan ukhrawi. Ini karena, sebagaimana dikemukakanMuhammad
Rasyid Ridha, keberuntungan di akhirat tak terkaitdengan jenis agama yang
dianut seseorang.
Al-Qur’an mengizinkan
sekiranya umat Islam hendak bergaulbahkan menikah dengan Ahli Kitab.Tidak
sedikit para sahabat Nabiyang memperistri perempuan-perempuan dari kalangan
Ahli Kitab.Utsman ibn `Affan, Thalhah ibn Abdullah, Khudzaifah ibn Yaman,Sa`ad
ibn Abi Waqash adalah di antara sahabat Nabi yang menikahdengan perempuan Ahli
Kitab.Alkisah, Khudzaifah adalah salahseorang sahabat Nabi yang menikah dengan
perempuan beragamaMajusi. Nabi Muhammad juga pernah memiliki budak
perempuanberagama Kristen, Maria binti Syama`un al-Qibtiyah al-Mishriyah.
Dari perempuan ini,
Nabi memiliki seorang anak laki-laki bernamaIbrahim.Ia meninggal dalam usia
balita. Sejarah juga menuturkan,ayah kandung dari Shafiyah binti Hayy yang
menjadi istri Nabiadalah salah seorang pimpinan kelompok Yahudi.Nabi Muhammad
dan para pengikutnya sangat intensberkomunikasi dengan orang-orang Ahli Kitab.
Muhammad mudapernah mendengarkan khotbah Qus ibn Sa`idah, seorang
pendetaKristen dari Thaif. Muhammad Husain Haikal, sebagaimana dikutipKhalil
Abdul Karim, menjelaskan isi khotbah Qus ibn Sa`idah itusebagai berikut;
“Wahai manusia, dengarkan dan sadarlah.Siapa yang
hidup pasti mati, dan siapa yang mati pasti musnah. Semuanya pasti akan datang.
Malam gelap gulita, langit yang berbintang, laut yang pasang, bintang-bintang
yang bercahaya, cahaya dan kegelapan, kebaikan dan kemaksiatan, makanan dan
minuman, pakaian dan kendaraan.Aku tidak melihat manusia pergi dan tidak
kembali, menetap dan tinggal di sebuah tempat, atau meninggalkannya kemudian
tidur.
Tuhannya Qus ibn
Sa’adah tidak ada di mukabumi.Agama yang paling mulia semakin dekat
waktunyadenganmu, semakin dekat saatnya.Maka sungguh beruntungbagi orang yang
mendapati dan kemudian mengikutinya, dancelaka bagi yang mengingkarinya”.
Muhammad Husain
Haikal melanjutkan kisah tentang Qus ibnSa`idah. Alkisah, utusan Bani Iyadsuku
Qus ibn Sa`idahmenemui Nabi. Nabi bertanya keberadaan Qus. Mereka menjawab,Qus
ibn Sa`idah sudah meninggal dunia. Mendengar informasitersebut, Nabi teringat
akan khotbahnya di Pasar Ukazh; iamenunggang unta yang berwarna keabuan sambil
berbicara. Tapi,aku tidak hapal detail ungkapannya.Seseorang (ada yang bilang
AbuBakar) berkata, “saya hapal wahai Nabi”.Ia kemudian merapalkanisi khotbah
Qus tersebut. Rasulullah berkata, “semoga Tuhanmemberi rahmat kepada Qus dan
aku berharap agar ia kelak di harikiamat dibangkitkan dalam umat yang
mengesakan-Nya”.`Imad al-Shabbagh menceritakan, Nabi pada akhirnya hapal isi
khutbah Qustersebut.Nabi bersabda, berbeda dengan kecenderungan orangorangArab
yang menyembah patung, Qus salah seorang yangmenyembah Allah Yang Esa.
Pengakuan tentang
kenabian Muhammad datang pertama kalidari pendeta Yahudi bernama Buhaira dan
tokoh Kristen bernamaWaraqah ibn Nawfal. Melalui pendeta Buhaira terdengar
informasi,Muhammad akan menjadi nabi pamungkas (khâtam al-nabiyyîn).Buhaira
(kerap disebut Jirjis atau Sirjin) pernah mendengar hâtif(informasi
spritual) yang menyatakan bahwa ada tiga manusia palingbaik di permukaan bumi
ini, yaitu Buhaira, Rubab al-Syana, dan satuorang lagi sedang ditunggu.
Menurutnya, yang ketiga itu adalahMuhammad ibn Abdillah.Dan ketika Muhammad
baru pertama kalimendapatkan wahyu, Waraqah menjelaskan bahwa sosok yangdatang
kepada Muhammad adalah Namus yang dulu juga dating kepada Nabi Musa.Waraqah
mencium kening Muhammad sebagaisimbol pengakuan terhadap kenabiannya, seraya
berkata, “Berbahagialah, berbahagialah.Sesungguhnya kamu adalah orang
yangdikatakan `Isa ibn Maryam sebagai kabar gembira.Engkau sepertiMusa ketika
menerima wahyu.Engkau seorang utusan”. Nabipernah bersabda bahwa Waraqah akan
dimasukkan ke dalam surga oleh Allah.
Nabi Muhammad tak
menganggap ajaran agama sebelum Islamsebagai ancaman.Islam adalah terusan dan
kontinyuasi dari agama-agamasebelumnya. Allah berfirman kepada Nabi Muhammad
agaria mengikuti agama Nabi Ibrahim (millat Ibrahim). Sebagaimana
Isaal-Masih datang untuk menggenapi hukum Taurat, begitu juga NabiMuhammad.Ia
hadir bukan untuk menghapuskan Taurat dan Injil,melainkan untuk menyempurnakan
dan mengukuhkannya. Disebutkan dalam Al-Qur’an, “Dia menurunkan al-Kitab (Al-Qur’an)
kepadamudengan sebenarnya, membenarkan kitab (mushaddiq) yang
telahditurunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil sebelumAl-Qur’an
menjadi petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan al-Furqan”.
Al-Qurthubi mengutip
pendapat jumhur ulama yang menyatakan bahwa arti kata mushaddiq dalam
ayat itu adalah muwâfiq(cocok atau sesuai). Menurut Ibnu `Abbas dan
al-Dlahhak, maknaatau esensi dasar ajaran Al-Qur’an sesungguhnya telah
tercantumdalam kitab-kitab sebelum Al-Qur’an semisal Taurat Musa,
ShuhufIbrahim. Yang berbeda hanya redaksionalnya, bukan makna
atauesensinya.Ketika ragu tentang sebuah wahyu, Al-Qur’an memerintahkan Nabi
Muhammad untuk bertanya pada orang-orang yang sudahmembaca kitab-kitab sebelum Al-Qur’an.Sebab,
di dalam kitab-kitabsuci itu, ada prinsip-prinsip dasar yang merekatkan seluruh
ajaranpara nabi.
Ini tidak berarti
bahwa semua agama adalah sama. Sebab, disamping memang mengandung kesamaan
tujuan untuk menyembahAllah dan berbuat baik, tak bisa dipungkiri bahwa setiap
agamamemiliki keunikan, kekhasan, dan syariatnya sendiri. Sebagianmufasir
berkata, al-dîn wâhid wa al-syarî`at mukhtalifat [agama itusatu,
sementara syariatnya berbeda-beda]. Detail-detail syariat iniyang membedakan
satu agama dengan agama lain. Sebab, tidaklahmustahil bahwa sesuatu yang
bernilai maslahat dalam suatu tempatdan waktu tertentu, kemudian berubah
menjadi mafsadat dalamruang dan waktu yang lain. Bila kemaslahatan dapat
berubah karenaperubahan konteks, maka dapat saja Allah menyuruh berbuat
sesuatukarena diketahui mengandung maslahat, kemudian Allah melarangnya pada
waktu lain karena diketahui ternyata aturan tersebut tidaklagi menyuarakan
kemaslahatan..
Namun, perbedaan
syariat itu tak menyebabkan Islam kehilangan apresiasinya terhadap para
nabi.Dalam pandangan Islam,semua nabi adalah bersaudara.Nabi Muhammad bersabda,
“tak adaorang yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengan Isa al-Masih
ketimbang aku”.Ia bersabda, umat Islam yang mengimaniNabi Isa dan Muhammad saw.
akan mendapatkan dua pahala. NabiMuhammad juga bersabda, sebagaimana dalam
Shahih Bukhari,”sesungguhnya perumpamaan antara aku dengan para nabisebelumnya
adalah ibarat seseorang yang membangun sebuah rumah.Lalu ia buat rumah itu
bagus dan indah, kecuali ada tempat bagisebuah ubin di sebuah sudut. Orang
banyak pun berkeliling rumahitu dan mereka takjub, lalu berkata, “mengapa ubin
itu tidakdipasang.Nabi bersabda, “Akulah ubin itu, Aku adalah penutup
paranabi”.Umat Islam pun diperintahkan meyakini dan menghargaiseluruh para nabi
plus kitab suci yang dibawanya.Jika para nabi yangmembawa ajaran-ajaran
ketuhanan itu dikatakan Muhammadsebagai bersaudara, maka para pengikut atau
pemeluk agama-agamaitu disebut sebagai Ahli Kitab.
Ketika Nabi Muhammad
memasuki Mekah dengan kemenangandan menyuruh menghancurkan berhala dan patung,
dia menemukangambar Bunda Maria (Sang Perawan) dan Isa al-Masih (Sang Anak)di
dalam Ka`bah.Dengan menutupi gambar tersebut denganjubahnya, dia memerintahkan
semua gambar dihancurkan kecualigambar dua tokoh itu. Dalam riwayat lain
disebutkan, yangdiselamatkan itu bukan hanya gambar Isa al-Masih dan
ibunya(Maryam), melainkan juga gambar Nabi Ibrahim. Patung Maryamyang terletak
di salah satu tiang Ka`bah dan patung Nabi Isa diHijirnya yang dipenuhi
berbagai hiasan dibiarkan berdiri tegak.
Tindakan ini
diceritakan berbagai sumber sebagai penghargaanMuhammad terhadap Isa, Maryam
(Bunda Maria), dan Ibrahim.Inimenunjukkan, sikap saling menghargai telah
dikukuhkan Nabisemenjak awal kehadiran Islam.Itulah sikap teologis Al-Qur’an
dalam merespon pluralitas agamadan umat beragama.Sementara sikap
sosial-politisnya berjalandinamis dan fluktuatif.Adakalanya tampak mesra. Di
kala yang lain,sangat tegang. Ketika Romawi yang Kristen kalah perang
melawanPersia, umat Islam ikut bersedih.Satu ayat Al-Qur’an turun
menghiburkesedihan umat Islam tersebut. Disebutkan pula, ketika Muhammadsaw.
mengadakan perjalanan ke Thaif, ia bertemu seorang budakpemeluk agama Kristen
bernama `Uddas di Ninawi Irak (kota asalNabi Yunus). Ketika Muhammad dikejar-kejar,
`Uddas yang memberi kan setangkai anggur untuk dimakan.
Diceritakan, ketika
Muhammad dan pengikutnya mendapatkanintimidasi dan ancaman dari kaum Musyrik
Mekah, perlindungandiberikan raja Abisinia yang Kristen.Puluhan sahabat Nabi
hijrah keAbisinia untuk menyelamatkan diri, seperti `Utsman ibn `Affan
danistrinya (Ruqayah, puteri Nabi), Abu Hudzaifah ibn `Utbah, Zubairibn `Awwam,
Abdurrahman ibn `Auf, Ja`far ibn Abi Thalib, hijrahke Abisinia untuk
menghindari ancaman pembunuhan kafir Quraisy.
Di saat kafir Quraisy
memaksa sang raja mengembalikan umat Islamke Mekah, ia tetap pada pendiriannya;
pengikut Muhammad harusdilindungi dan diberikan haknya memeluk agama. Sebuah
ayat al-Qur`an menyebutkan, “kalian (umat Islam) pasti mendapati orangorangyang
paling dekat persahabatannya dengan orang-orang Islam adalah orang-orang yang
berkata, “sesungguhnya kami orangKristen”. Disebutkan pula, waktu raja Najasyi
meninggal dunia,Muhammad saw. pun melaksanakan salat jenazah dan
memohonkanampun atasnya.
Alkisah, Nabi pernah
menerima kunjungan para tokoh KristenNajran yang berjumlah 60 orang.Rombongan
dipimpin AbdulMasih, al-Ayham dan Abu Haritsah ibn Alqama.Abu Haritsah
adalahseorang tokoh yang disegani karena kedalaman ilmunya dan kononkarena
beberapa karamah yang dimilikinya.Menurut Muhammadibn Ja’far ibn
al-Zubair, ketika rombongan itu sampai di Madinah,mereka langsung menuju mesjid
tatkala Nabi melaksanakan salatashar bersama para sahabatnya. Mereka datang
dengan memakaijubah dan sorban, pakaian yang juga lazim dikenakan Muhammadsaw.
Ketika waktu kebaktian telah tiba, mereka pun tak mencarigereja.Nabi Muhammad
memperkenankan rombongan melakukankebaktian atau sembahyang di dalam masjid.
Hal yang sama juga dilakukan
Nabi pada kalangan Yahudi. Ketika pertama sampai di Madinah, Nabi membuat
konsensus untukmengatur tata hubungan antara kaum Yahudi, Musyrik Madinah,dan
Islam. Traktat politik itu dikenal dengan “Piagam Madinah” atau“Miytsaq
al-Madinah”, dibuat pada tahun pertama hijriyah. Sebagianahli berpendapat bahwa
Piagam Madinah itu dibuat sebelumterjadinya perang Badar. Sedang yang lain
berpendapat bahwa Piagam itu dibuat setelah meletusnya perang Badar. Piagam
inimemuat 47 pasal. Pasal-pasal ini tak diputuskan sekaligus. MenurutAli Bulac,
23 pasal yang pertama diputuskan ketika Nabi barubeberapa bulan sampai di
Madinah.Pada saat itu, Islam belummenjadi agama mayoritas. Berdasarkan sensus
yang dilakukan ketika
pertama kali Nabi
berada di Madinah itu, diketahui bahwa jumlahumat Islam hanya 1.500 dari 10.000
penduduk Madinah. Sementaraorang Yahudi berjumlah 4.000 orang dan orang-orang
Musyrikberjumlah 4.500 orang.Dikatakan dalam piagam tersebut misalnya, bahwa
seluruhpenduduk Madinah, apapun latar belakang etnis dan agamanya,harus saling
melindungi tatkala salah satu di antara merekamendapatkan serangan dari luar. Sekiranya
kaum Yahudi mendapatkan serangan dari luar, maka umat Islam membantu
menyelamatkannyawa dan harta benda mereka.Begitu juga, tatkala umat Islamdiserang
pihak luar, maka kaum Yahudi ikut melindungi danmenyelamatkan. Pada paragraf
awal Piagam itu tercantum “Jikaseorang pendeta atau pejalan berlindung di
gunung atau lembah ataugua atau bangunan atau dataran raml atau Radnah
(nama sebuahdesa di Madinah) atau gereja, maka aku (Nabi) adalah pelindung
dibelakang mereka dari setiap permusuhan
terhadap mereka demijiwaku, para pendukungku, para pemeluk agamaku dan
parapengikutku, sebagaimana mereka (kaum Nasrani) itu adalahrakyatku dan
anggota perlindunganku”.
Apa yang dilakukan
Nabi Muhammad di Madinah ini menginspirasi Umar ibn Khattab untuk membuat
traktat serupa diYerusalem, dikenal dengan “Piagam Aelia”, ketika Islam
menguasaiwilayah ini. Piagam ini berisi jaminan keselamatan dari penguasaIslam
terhadap penduduk Yerusalem, yang beragama non-Islamsekalipun. Salah satu
penggalan paragrafnya berbunyi:
“Inilah jaminan
keamanan yang diberikan Abdullah, Umar,Amirul Mukminin kepada penduduk Aelia:
Ia menjaminkeamanan mereka untuk jiwa dan harta mereka, dan untukgereja-gereja
dan salib-salib mereka, dalam keadaan sakitmaupun sehat, dan untuk agama mereka
secara keseluruhan.
Gereja-gereja mereka
tidak akan diduduki dan tidak puladirusak, dan tidak akan dikurangi sesuatu
apapun dari gereja-gerejaitu dan tidak pula dari lingkungannya, serta tidak
darisalib mereka, dan tidak sedikitpun dari harta kekayaan mereka(dalam
gereja-gereja itu). Mereka tidak akan dipaksa meninggalkan agama mereka, dan
tidak seorang pun dari merekaboleh diganggu”.
Muhammad Rasyid Ridla
menuturkan bahwa Umar ibn Khattabpernah mengangkat salah seorang stafnya dari
Romawi. Ini jugadilakukan Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, raja-raja
BaniUmayyah, hingga suatu waktu Abdul Malik ibn Marwan menggantikan staf orang
Romawi ke orang Arab. Daulah Abbasiyah jugabanyak mengangkat staf dari kalangan
Yahudi, Nasrani, dan Shabiun.Daulah Utsmaniyah juga mengangkat duta besar di
negara-negaraasing dari kalangan Nasrani. Di kala yang lain, hubungan umat
Islamdengan umat agama lain itu tegang bahkan keras.
Islam
pernahberkonflik dengan Yahudi, juga dengan Kristen. Sejauh yang bisadipantau,
sikap tegas dan keras yang ditunjukkan al-Qur`an lebihmerupakan reaksi terhadap
pelbagai penyerangan orang-orang non-Muslim dan orang-orang Musyrik Mekah.
Islam bukanlah agamayang memerintahkan umat Islam untuk menyerahkan pipi kiri
ketikapipi kanan ditampar.Membela diri dan melawan ketidakadilandibenarkan.
Dalam konteks itulah, ayat jihad dan perang dalam al-Qur`an diturunkan. Jihad
melawan keganasan orang-orang Musyrikdan Kafir Mekah tak dilarang, bahkan
diperintahkan.Sebab, orangorangMusyrik Mekah bukan hanya telah mengintimidasi
umatIslam, tetapi juga mengusir umat Islam dari kediamannya.
Fakta ini membenarkan
sebuah pandangan bahwa peperanganpada zaman Nabi dipicu karena persoalan
ekonomi-politik daripadasoal agama atau keyakinan.Ini bisa dimaklumi karena Al-Qur’an
sejakawal mendorong terwujudnya kebebasan beragama dan berkeyakinan.Al-Qur’an
tak memaksa seseorang memeluk Islam. Allah berfirman(QS, al-Baqarah [2]: 256), lâ
ikrâha fî al-dîn (tak ada paksaan dalamsoal agama). Di ayat lain (QS,
al-Kafirun [106]: 6) disebutkan, lakumdinukum wa liya dini [untukmulah
agamamu, dan untukkulahagamaku]. Al-Qur’an memberikan kebebasan kepada manusia
untukberiman dan kafir [Faman syâ’a falyu’min waman syâ’a falyakfur](QS,
al-Kahfi [18]: 29).
Al-Qur’an melarang
umat Islam untukmencerca patung-patung sesembahan orang-orang Musyrik.Al-Qur’antak
memberikan sanksi hukum apapun terhadap orang Islam yangmurtad.Seakan Al-Qur’an
hendak menegaskan bahwa soal pindahagama merupakan soal yang bersangkutan
dengan Allah. Tuhan yangakan memberikan keputusan hukum terhadap orang yang
pindahagama, kelak di akhirat. Sejarah mencatat, Rasulullah tak pernahmenghukum
bunuh orang yang pindah agama.
PENUTUP
Bisa dikatakan,
relasi sosial-politik umat Islam dengan umat agamalain sangat dinamis. Sikap
Islam terhadap umat lain sangattergantung pada penyikapan mereka terhadap umat
Islam. Jika umatnon-Islam memperlakukan umat Islam dengan baik, maka tak ada
larangan bagi umat
Islam berteman dan bersahabat dengan mereka.Sebaliknya, sekiranya mereka
bersikap keras bahkan hingga mengusirumat Islam dari tempat kediamannya, maka
umat Islam diijinka membela diri dan melawan.Setelah kurang lebih 13 tahun
lamanyaNabi dan umatnya bersabar menghadapi ketidakadilan dan penyiksaan di
Mekah, maka baru pada tahun ke-15 ketika Nabi sudah beradadi Madinah,
perlawanan dan pembelaan diri dilakukan.Dalamkonteks itulah, ayat-ayat perang
dan jihad militer diperintahkan.
Oleh karena itu,
jelas bahwa pandangan Al-Qur’an terhadap umatagama lain dalam soal
ekonomi-politik bersifat kondisional dansituasional sehingga tak bisa
diuniversalisasikan dan diberlakukandalam semua keadaan. Ayat demikian bisa
disebut sebagai ayat-ayatfushul (fushûl al-Qur’ân), ayat juz’iyyât,
atau fiqh Al-Qur’an.Ayat-ayat
kontekstual seperti
itu, dalam pandangan para mufasir, tak bisamembatalkan ayat-ayat yang memuat
prinsip-prinsip umum ajaranIslam, seperti ayat yang menjamin kebebasan beragama
danberkeyakinan. Tambahan pula, ayat lâ ikrâha fî al-dîn adalahtermasuk lafzh
`âm (pernyataan umum) yang menurut ushul fikihHanafi adalah tegas
dan pasti (qath`i), sehingga tak bisa dihapuskan(takhshish, naskh)
oleh ayat-ayat kontekstual apalagi hadits ahâd(seperti hadits yang
memerintahkan membunuh orang pindahagama) yang dalâlahnya adalah zhanni
(relatif).Ayat lâ ikrâha fî aldînbersifat universal, melintasi ruang
dan waktu.Ayat yang berisinilai-nilai umum ajaran disebut sebagai ayat ushûl
(ushûl al-Qur’ân)atau ayat kulliyât.
Dalam masyarakat
plural seperti Indonesia, saatnya umat Islamlebih memperhatikan ayat-ayat
universal, setelah sekian lamamemfokuskan diri pada ayat-ayat
partikular.Ayat-ayat particular pun kerap dibaca dengan dilepaskan dari konteks
umum yangmelatar-belakangi kehadirannya.Berbeda dengan ayat-ayat partikular,
ayat-ayat universal mengandung pesan-pesan dan prinsip-prinsipumum yang berguna
untuk membangun tata kehidupan Indonesia yang damai.
Untuk membangun
Indonesia yang damai tersebut, makabeberapa langkah berikut perlu dilakukan:
Pertama, harus
dibangunpengertian bersama dan mencari titik temu (kalimat sawa`)
antarumatberagama.Ini untuk membantu meringankan ketegangan yangkerap mewarnai
kehidupan umat beragama di Indonesia. Dalamkonteks Islam, membangun kerukunan
antar-umat beragama jelasmembutuhkan tafsir Al-Qur’an yang lebih menghargai
umat agamalain. Tafsir keagamaan eksklusif yang cenderung mendiskriminasiumat
agama lain tak cocok buat cita-cita kehidupan damai, terlebihdi Indonesia.
Sebab, sudah maklum, Indonesia adalah negara bangsayang didirikan bukan hanya
oleh umat Islam, tetapi juga oleh umatlain seperti Hindu, Buddha, dan
Kristen.Dengan demikian, diIndonesia tak dikenal warga negara kelas dua (kafir
dzimmi) sebagaimana dikemukakan sebagian ulama.Menerapkan tafsir-tafsir
keagamaan eksklusif tak cukup menolong bagi terciptanya kerukunandan kedamaian.
Kedua, setiap orang perlu
menghindari stigmatisasi dangeneralisasi menyesatkan tentang umat agama lain.
Generalisasimerupakan simplifikasi (penyederhanaan) dan stigmatisasi
jelasmerugikan orang lain. Al-Qur’an berusaha menjauhi generalisasi.Al-Qur’an
menyatakan, tak seluruh Ahli Kitab memiliki perilaku dantindakan sama. Di
samping ada yang berperilaku jahat, tak sedikit diantara mereka yang konsisten
melakukan amal saleh dan berimankepada Allah.
Ketiga, sebagaimana
diperintahkan Al-Qur’an dan diteladankanNabi Muhammad, umat Islam seharusnya
memberikan perlindungandan jaminan terhadap implementasi kebebasan beragama
danberkeyakinan. Sebagaimana orang Islam bebas menjalankan ajaranagamanya,
begitu juga dengan umat dan sekte lain. Seseorang takboleh didiskriminasi dan
diekskomunikasi berdasarkan agama yangdipilih dan diyakininya. Dalam kaitan
ini, umat Islam perlumengembangkan sikap toleran, simpati dan empati
terhadapkelompok atau umat agama lain.
Dikutip dalam buku, Elza Peldi Taher,Merayakan Kebebasan beragama: Bunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi ( Eds. Digital, Jakarta: Demokrasi Proceject, 2011), h.287-297.