Senin, 25 November 2013

ISLAM DAN PLURALISME AGAMA ( ABDUL MOQOSITH GHAZALI)



ISLAM DAN PLURALITAS(ISME)AGAMA
• Abd Moqsith Ghazali
ABD.MOQSITH GHAZALI pernah belajar di beberapa pesantren di Jawa Timur.Menyelesaikan program S2 dalam bidang Tasawuf Islam dan S3nya dalam bidang Tafsir al-Qur’an di UIN SyarifHidayatullah Jakarta. Aktif menulis di beberapa koran dan jurnal seperti Media Indonesia, Suara Pembaruan, Koran Tempo, Kompas, Jawa Pos, Jurnal ITIQRA’ Ditperta Depag RI, Jurnal DIALOG Litbang Depag RI. Sekarang sebagai dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dpk Universitas Paramadina Jakarta, Redaktur Jurnal Tashwirul Afkar PP Lakpesdam NU Jakarta, Assosiate The WAHIDInstitute Jakarta, Fasilitator dan Narasumber isu Gender, HAM, dan Pluralisme, Koordinator Jaringan Islam Liberal Jakarta. Salah satu buku karyanya adalah Argumen Pluralisme Agama: MembangunToleransi Berbasis al-Qur’an (2009).
A.    PENGERTIAN DASAR
Kata “pluralisme” berasal dari bahasa inggris, pluralism.Kata inididuga berasal dari bahasa Latin, plures, yang berarti beberapadengan implikasi perbedaan.Dari asal-usul kata ini diketahui bahwapluralisme agama tidak menghendaki keseragaman bentuk agama.Sebab, ketika keseragaman sudah terjadi, maka tidak ada lagipluralitas agama (religious plurality).Keseragaman itu sesuatu yangmustahil. Allah menjelaskan bahwa sekiranya Tuhanmu berkehendakniscaya kalian akan dijadikan dalam satu umat. Pluralisme agam tidak identik dengan model beragama secara eklektik, yaitu mengambil bagian-bagian tertentu dalam suatu agama dan membuangsebagiannya untuk kemudian mengambil bagian yang lain dalamagama lain dan membuang bagian yang tak relevan dari agama yanglain itu.
Pluralisme agama tidak hendak menyatakan bahwa semua agamaadalah sama. Franz Magnis-Suseno berpendapat bahwa menghormatiagama orang lain tidak ada hubungannya dengan ucapan bahwasemua agama adalah sama. Agama-agama jelas berbeda-beda satusama lain. Perbedaan-perbedaan syariat yang menyertai agamaagamamenunjukkan bahwa agama tidaklah sama. Setiap agamamemiliki konteks partikularitasnya sendiri sehingga tak mungkinsemua agama menjadi sebangun dan sama persis. Yang dikehendakidari gagasan pluralisme agama adalah adanya pengakuan secara aktifterhadap agama lain. Agama lain ada sebagaimana keberadaan agamayang dipeluk diri yang bersangkutan. Setiap agama punya hak hidup.
Nurcholish Madjid menegaskan, pluralisme tidak saja mengisyaratkan adanya sikap bersedia mengakui hak kelompok agama lainuntuk ada, melainkan juga mengandung makna kesediaan berlakuadil kepada kelompok lain itu atas dasar perdamaian dan salingmenghormati. Allah berfirman, “Allah tidak melarang kamu untukberbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidakmemerangi dalam urusan agama dan tidak pula mengusir kamu darinegerimu.Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlakuadil”. QS, al-Mumtahanah [60]: ayat 8.
Paparan di atas menyampaikan pada suatu pengertian sederhanabahwa pluralisme agama adalah suatu sistem nilai yang memandangkeberagaman atau kemajemukan agama secara positif sekaligusoptimis dengan menerimanya sebagai kenyataan (sunnatullâh) danberupaya untuk berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu.Dikatakan secara positif, agar umat beragama tidak memandangpluralitas agama sebagai kemungkaran yang harus dibasmi.Dinyatakan secara optimis, karena kemajemukan agama itu sesungguhnya sebuah potensi agar setiap umat terus berlomba menciptakankebaikan di bumi.
B.     SIKAP TERHADAP NON-MUSLIM
Pluralitas agama dan umat beragama adalah kenyataan.SebelumIslam datang, di tanah Arab sudah muncul berbagai jenis agama,seperti Yahudi, Nashrani, Majusi, Zoroaster, dan Shabi’ah.Sukusuk Yahudi sudah lama terbentuk di wilayah pertanian Yatsrib (kelakdisebut sebagai Madinah), Khaibar, dan Fadak.Di wilayah Arab adabeberapa komunitas Yahudi yang terpencar-pencar dan beberapaorang sekurang-kurangnya disebut Kristen.Pada abad ke-empatsudah berdiri Gereja Suriah.Karena itu tak salah jika dinyatakan,Islam lahir di tengah konteks agama-agama lain, terutama agamaYahudi dan Nasrani.
Al-Qur’an memiliki pandangan sendiri dalam menyikapi pluralitasumat beragama tersebut.Terhadap Ahli Kitab (meliputi Yahudi,Nasrani, Majusi, dan Shabi’ah), umat Islam diperintahkan untukmencari titik temu (kalimat sawa`). Kalau terjadi perselisihan antaraumat Islam dan umat agama lain, umat Islam dianjurkan untukberdialog (wa jâdilhum billatî hiya ahsan). Terhadap siapa saja yangberiman kepada Allah, meyakini Hari Akhir, dan melakukan amalkebajikan, al-Qur`an menegaskan bahwa mereka, baik beragamaIslam maupun bukan, kelak di akhirat akan diberi pahala. Tak adakeraguan bahwa orang-orang seperti ini akan mendapakankebahagiaan ukhrawi. Ini karena, sebagaimana dikemukakanMuhammad Rasyid Ridha, keberuntungan di akhirat tak terkaitdengan jenis agama yang dianut seseorang.
Al-Qur’an mengizinkan sekiranya umat Islam hendak bergaulbahkan menikah dengan Ahli Kitab.Tidak sedikit para sahabat Nabiyang memperistri perempuan-perempuan dari kalangan Ahli Kitab.Utsman ibn `Affan, Thalhah ibn Abdullah, Khudzaifah ibn Yaman,Sa`ad ibn Abi Waqash adalah di antara sahabat Nabi yang menikahdengan perempuan Ahli Kitab.Alkisah, Khudzaifah adalah salahseorang sahabat Nabi yang menikah dengan perempuan beragamaMajusi. Nabi Muhammad juga pernah memiliki budak perempuanberagama Kristen, Maria binti Syama`un al-Qibtiyah al-Mishriyah.
Dari perempuan ini, Nabi memiliki seorang anak laki-laki bernamaIbrahim.Ia meninggal dalam usia balita. Sejarah juga menuturkan,ayah kandung dari Shafiyah binti Hayy yang menjadi istri Nabiadalah salah seorang pimpinan kelompok Yahudi.Nabi Muhammad dan para pengikutnya sangat intensberkomunikasi dengan orang-orang Ahli Kitab. Muhammad mudapernah mendengarkan khotbah Qus ibn Sa`idah, seorang pendetaKristen dari Thaif. Muhammad Husain Haikal, sebagaimana dikutipKhalil Abdul Karim, menjelaskan isi khotbah Qus ibn Sa`idah itusebagai berikut;
“Wahai manusia, dengarkan dan sadarlah.Siapa yang hidup pasti mati, dan siapa yang mati pasti musnah. Semuanya pasti akan datang. Malam gelap gulita, langit yang berbintang, laut yang pasang, bintang-bintang yang bercahaya, cahaya dan kegelapan, kebaikan dan kemaksiatan, makanan dan minuman, pakaian dan kendaraan.Aku tidak melihat manusia pergi dan tidak kembali, menetap dan tinggal di sebuah tempat, atau meninggalkannya kemudian tidur.
Tuhannya Qus ibn Sa’adah tidak ada di mukabumi.Agama yang paling mulia semakin dekat waktunyadenganmu, semakin dekat saatnya.Maka sungguh beruntungbagi orang yang mendapati dan kemudian mengikutinya, dancelaka bagi yang mengingkarinya”.
Muhammad Husain Haikal melanjutkan kisah tentang Qus ibnSa`idah. Alkisah, utusan Bani Iyadsuku Qus ibn Sa`idahmenemui Nabi. Nabi bertanya keberadaan Qus. Mereka menjawab,Qus ibn Sa`idah sudah meninggal dunia. Mendengar informasitersebut, Nabi teringat akan khotbahnya di Pasar Ukazh; iamenunggang unta yang berwarna keabuan sambil berbicara. Tapi,aku tidak hapal detail ungkapannya.Seseorang (ada yang bilang AbuBakar) berkata, “saya hapal wahai Nabi”.Ia kemudian merapalkanisi khotbah Qus tersebut. Rasulullah berkata, “semoga Tuhanmemberi rahmat kepada Qus dan aku berharap agar ia kelak di harikiamat dibangkitkan dalam umat yang mengesakan-Nya”.`Imad al-Shabbagh menceritakan, Nabi pada akhirnya hapal isi khutbah Qustersebut.Nabi bersabda, berbeda dengan kecenderungan orangorangArab yang menyembah patung, Qus salah seorang yangmenyembah Allah Yang Esa.
Pengakuan tentang kenabian Muhammad datang pertama kalidari pendeta Yahudi bernama Buhaira dan tokoh Kristen bernamaWaraqah ibn Nawfal. Melalui pendeta Buhaira terdengar informasi,Muhammad akan menjadi nabi pamungkas (khâtam al-nabiyyîn).Buhaira (kerap disebut Jirjis atau Sirjin) pernah mendengar hâtif(informasi spritual) yang menyatakan bahwa ada tiga manusia palingbaik di permukaan bumi ini, yaitu Buhaira, Rubab al-Syana, dan satuorang lagi sedang ditunggu. Menurutnya, yang ketiga itu adalahMuhammad ibn Abdillah.Dan ketika Muhammad baru pertama kalimendapatkan wahyu, Waraqah menjelaskan bahwa sosok yangdatang kepada Muhammad adalah Namus yang dulu juga dating kepada Nabi Musa.Waraqah mencium kening Muhammad sebagaisimbol pengakuan terhadap kenabiannya, seraya berkata, “Berbahagialah, berbahagialah.Sesungguhnya kamu adalah orang yangdikatakan `Isa ibn Maryam sebagai kabar gembira.Engkau sepertiMusa ketika menerima wahyu.Engkau seorang utusan”. Nabipernah bersabda bahwa Waraqah akan dimasukkan ke dalam surga oleh Allah.
Nabi Muhammad tak menganggap ajaran agama sebelum Islamsebagai ancaman.Islam adalah terusan dan kontinyuasi dari agama-agamasebelumnya. Allah berfirman kepada Nabi Muhammad agaria mengikuti agama Nabi Ibrahim (millat Ibrahim). Sebagaimana Isaal-Masih datang untuk menggenapi hukum Taurat, begitu juga NabiMuhammad.Ia hadir bukan untuk menghapuskan Taurat dan Injil,melainkan untuk menyempurnakan dan mengukuhkannya. Disebutkan dalam Al-Qur’an, “Dia menurunkan al-Kitab (Al-Qur’an) kepadamudengan sebenarnya, membenarkan kitab (mushaddiq) yang telahditurunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil sebelumAl-Qur’an menjadi petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan al-Furqan”.
Al-Qurthubi mengutip pendapat jumhur ulama yang menyatakan bahwa arti kata mushaddiq dalam ayat itu adalah muwâfiq(cocok atau sesuai). Menurut Ibnu `Abbas dan al-Dlahhak, maknaatau esensi dasar ajaran Al-Qur’an sesungguhnya telah tercantumdalam kitab-kitab sebelum Al-Qur’an semisal Taurat Musa, ShuhufIbrahim. Yang berbeda hanya redaksionalnya, bukan makna atauesensinya.Ketika ragu tentang sebuah wahyu, Al-Qur’an memerintahkan Nabi Muhammad untuk bertanya pada orang-orang yang sudahmembaca kitab-kitab sebelum Al-Qur’an.Sebab, di dalam kitab-kitabsuci itu, ada prinsip-prinsip dasar yang merekatkan seluruh ajaranpara nabi.
Ini tidak berarti bahwa semua agama adalah sama. Sebab, disamping memang mengandung kesamaan tujuan untuk menyembahAllah dan berbuat baik, tak bisa dipungkiri bahwa setiap agamamemiliki keunikan, kekhasan, dan syariatnya sendiri. Sebagianmufasir berkata, al-dîn wâhid wa al-syarî`at mukhtalifat [agama itusatu, sementara syariatnya berbeda-beda]. Detail-detail syariat iniyang membedakan satu agama dengan agama lain. Sebab, tidaklahmustahil bahwa sesuatu yang bernilai maslahat dalam suatu tempatdan waktu tertentu, kemudian berubah menjadi mafsadat dalamruang dan waktu yang lain. Bila kemaslahatan dapat berubah karenaperubahan konteks, maka dapat saja Allah menyuruh berbuat sesuatukarena diketahui mengandung maslahat, kemudian Allah melarangnya pada waktu lain karena diketahui ternyata aturan tersebut tidaklagi menyuarakan kemaslahatan..
Namun, perbedaan syariat itu tak menyebabkan Islam kehilangan apresiasinya terhadap para nabi.Dalam pandangan Islam,semua nabi adalah bersaudara.Nabi Muhammad bersabda, “tak adaorang yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengan Isa al-Masih ketimbang aku”.Ia bersabda, umat Islam yang mengimaniNabi Isa dan Muhammad saw. akan mendapatkan dua pahala. NabiMuhammad juga bersabda, sebagaimana dalam Shahih Bukhari,”sesungguhnya perumpamaan antara aku dengan para nabisebelumnya adalah ibarat seseorang yang membangun sebuah rumah.Lalu ia buat rumah itu bagus dan indah, kecuali ada tempat bagisebuah ubin di sebuah sudut. Orang banyak pun berkeliling rumahitu dan mereka takjub, lalu berkata, “mengapa ubin itu tidakdipasang.Nabi bersabda, “Akulah ubin itu, Aku adalah penutup paranabi”.Umat Islam pun diperintahkan meyakini dan menghargaiseluruh para nabi plus kitab suci yang dibawanya.Jika para nabi yangmembawa ajaran-ajaran ketuhanan itu dikatakan Muhammadsebagai bersaudara, maka para pengikut atau pemeluk agama-agamaitu disebut sebagai Ahli Kitab.
Ketika Nabi Muhammad memasuki Mekah dengan kemenangandan menyuruh menghancurkan berhala dan patung, dia menemukangambar Bunda Maria (Sang Perawan) dan Isa al-Masih (Sang Anak)di dalam Ka`bah.Dengan menutupi gambar tersebut denganjubahnya, dia memerintahkan semua gambar dihancurkan kecualigambar dua tokoh itu. Dalam riwayat lain disebutkan, yangdiselamatkan itu bukan hanya gambar Isa al-Masih dan ibunya(Maryam), melainkan juga gambar Nabi Ibrahim. Patung Maryamyang terletak di salah satu tiang Ka`bah dan patung Nabi Isa diHijirnya yang dipenuhi berbagai hiasan dibiarkan berdiri tegak.
Tindakan ini diceritakan berbagai sumber sebagai penghargaanMuhammad terhadap Isa, Maryam (Bunda Maria), dan Ibrahim.Inimenunjukkan, sikap saling menghargai telah dikukuhkan Nabisemenjak awal kehadiran Islam.Itulah sikap teologis Al-Qur’an dalam merespon pluralitas agamadan umat beragama.Sementara sikap sosial-politisnya berjalandinamis dan fluktuatif.Adakalanya tampak mesra. Di kala yang lain,sangat tegang. Ketika Romawi yang Kristen kalah perang melawanPersia, umat Islam ikut bersedih.Satu ayat Al-Qur’an turun menghiburkesedihan umat Islam tersebut. Disebutkan pula, ketika Muhammadsaw. mengadakan perjalanan ke Thaif, ia bertemu seorang budakpemeluk agama Kristen bernama `Uddas di Ninawi Irak (kota asalNabi Yunus). Ketika Muhammad dikejar-kejar, `Uddas yang memberi kan setangkai anggur untuk dimakan.
Diceritakan, ketika Muhammad dan pengikutnya mendapatkanintimidasi dan ancaman dari kaum Musyrik Mekah, perlindungandiberikan raja Abisinia yang Kristen.Puluhan sahabat Nabi hijrah keAbisinia untuk menyelamatkan diri, seperti `Utsman ibn `Affan danistrinya (Ruqayah, puteri Nabi), Abu Hudzaifah ibn `Utbah, Zubairibn `Awwam, Abdurrahman ibn `Auf, Ja`far ibn Abi Thalib, hijrahke Abisinia untuk menghindari ancaman pembunuhan kafir Quraisy.
Di saat kafir Quraisy memaksa sang raja mengembalikan umat Islamke Mekah, ia tetap pada pendiriannya; pengikut Muhammad harusdilindungi dan diberikan haknya memeluk agama. Sebuah ayat al-Qur`an menyebutkan, “kalian (umat Islam) pasti mendapati orangorangyang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang Islam adalah orang-orang yang berkata, “sesungguhnya kami orangKristen”. Disebutkan pula, waktu raja Najasyi meninggal dunia,Muhammad saw. pun melaksanakan salat jenazah dan memohonkanampun atasnya.
Alkisah, Nabi pernah menerima kunjungan para tokoh KristenNajran yang berjumlah 60 orang.Rombongan dipimpin AbdulMasih, al-Ayham dan Abu Haritsah ibn Alqama.Abu Haritsah adalahseorang tokoh yang disegani karena kedalaman ilmunya dan kononkarena beberapa karamah yang dimilikinya.Menurut Muhammadibn Ja’far ibn al-Zubair, ketika rombongan itu sampai di Madinah,mereka langsung menuju mesjid tatkala Nabi melaksanakan salatashar bersama para sahabatnya. Mereka datang dengan memakaijubah dan sorban, pakaian yang juga lazim dikenakan Muhammadsaw. Ketika waktu kebaktian telah tiba, mereka pun tak mencarigereja.Nabi Muhammad memperkenankan rombongan melakukankebaktian atau sembahyang di dalam masjid.
Hal yang sama juga dilakukan Nabi pada kalangan Yahudi. Ketika pertama sampai di Madinah, Nabi membuat konsensus untukmengatur tata hubungan antara kaum Yahudi, Musyrik Madinah,dan Islam. Traktat politik itu dikenal dengan “Piagam Madinah” atau“Miytsaq al-Madinah”, dibuat pada tahun pertama hijriyah. Sebagianahli berpendapat bahwa Piagam Madinah itu dibuat sebelumterjadinya perang Badar. Sedang yang lain berpendapat bahwa Piagam itu dibuat setelah meletusnya perang Badar. Piagam inimemuat 47 pasal. Pasal-pasal ini tak diputuskan sekaligus. MenurutAli Bulac, 23 pasal yang pertama diputuskan ketika Nabi barubeberapa bulan sampai di Madinah.Pada saat itu, Islam belummenjadi agama mayoritas. Berdasarkan sensus yang dilakukan ketika
pertama kali Nabi berada di Madinah itu, diketahui bahwa jumlahumat Islam hanya 1.500 dari 10.000 penduduk Madinah. Sementaraorang Yahudi berjumlah 4.000 orang dan orang-orang Musyrikberjumlah 4.500 orang.Dikatakan dalam piagam tersebut misalnya, bahwa seluruhpenduduk Madinah, apapun latar belakang etnis dan agamanya,harus saling melindungi tatkala salah satu di antara merekamendapatkan serangan dari luar. Sekiranya kaum Yahudi mendapatkan serangan dari luar, maka umat Islam membantu menyelamatkannyawa dan harta benda mereka.Begitu juga, tatkala umat Islamdiserang pihak luar, maka kaum Yahudi ikut melindungi danmenyelamatkan. Pada paragraf awal Piagam itu tercantum “Jikaseorang pendeta atau pejalan berlindung di gunung atau lembah ataugua atau bangunan atau dataran raml atau Radnah (nama sebuahdesa di Madinah) atau gereja, maka aku (Nabi) adalah pelindung dibelakang mereka  dari setiap permusuhan terhadap mereka demijiwaku, para pendukungku, para pemeluk agamaku dan parapengikutku, sebagaimana mereka (kaum Nasrani) itu adalahrakyatku dan anggota perlindunganku”.
Apa yang dilakukan Nabi Muhammad di Madinah ini menginspirasi Umar ibn Khattab untuk membuat traktat serupa diYerusalem, dikenal dengan “Piagam Aelia”, ketika Islam menguasaiwilayah ini. Piagam ini berisi jaminan keselamatan dari penguasaIslam terhadap penduduk Yerusalem, yang beragama non-Islamsekalipun. Salah satu penggalan paragrafnya berbunyi:
“Inilah jaminan keamanan yang diberikan Abdullah, Umar,Amirul Mukminin kepada penduduk Aelia: Ia menjaminkeamanan mereka untuk jiwa dan harta mereka, dan untukgereja-gereja dan salib-salib mereka, dalam keadaan sakitmaupun sehat, dan untuk agama mereka secara keseluruhan.
Gereja-gereja mereka tidak akan diduduki dan tidak puladirusak, dan tidak akan dikurangi sesuatu apapun dari gereja-gerejaitu dan tidak pula dari lingkungannya, serta tidak darisalib mereka, dan tidak sedikitpun dari harta kekayaan mereka(dalam gereja-gereja itu). Mereka tidak akan dipaksa meninggalkan agama mereka, dan tidak seorang pun dari merekaboleh diganggu”.
Muhammad Rasyid Ridla menuturkan bahwa Umar ibn Khattabpernah mengangkat salah seorang stafnya dari Romawi. Ini jugadilakukan Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, raja-raja BaniUmayyah, hingga suatu waktu Abdul Malik ibn Marwan menggantikan staf orang Romawi ke orang Arab. Daulah Abbasiyah jugabanyak mengangkat staf dari kalangan Yahudi, Nasrani, dan Shabiun.Daulah Utsmaniyah juga mengangkat duta besar di negara-negaraasing dari kalangan Nasrani. Di kala yang lain, hubungan umat Islamdengan umat agama lain itu tegang bahkan keras.
Islam pernahberkonflik dengan Yahudi, juga dengan Kristen. Sejauh yang bisadipantau, sikap tegas dan keras yang ditunjukkan al-Qur`an lebihmerupakan reaksi terhadap pelbagai penyerangan orang-orang non-Muslim dan orang-orang Musyrik Mekah. Islam bukanlah agamayang memerintahkan umat Islam untuk menyerahkan pipi kiri ketikapipi kanan ditampar.Membela diri dan melawan ketidakadilandibenarkan. Dalam konteks itulah, ayat jihad dan perang dalam al-Qur`an diturunkan. Jihad melawan keganasan orang-orang Musyrikdan Kafir Mekah tak dilarang, bahkan diperintahkan.Sebab, orangorangMusyrik Mekah bukan hanya telah mengintimidasi umatIslam, tetapi juga mengusir umat Islam dari kediamannya.
Fakta ini membenarkan sebuah pandangan bahwa peperanganpada zaman Nabi dipicu karena persoalan ekonomi-politik daripadasoal agama atau keyakinan.Ini bisa dimaklumi karena Al-Qur’an sejakawal mendorong terwujudnya kebebasan beragama dan berkeyakinan.Al-Qur’an tak memaksa seseorang memeluk Islam. Allah berfirman(QS, al-Baqarah [2]: 256), lâ ikrâha fî al-dîn (tak ada paksaan dalamsoal agama). Di ayat lain (QS, al-Kafirun [106]: 6) disebutkan, lakumdinukum wa liya dini [untukmulah agamamu, dan untukkulahagamaku]. Al-Qur’an memberikan kebebasan kepada manusia untukberiman dan kafir [Faman syâ’a falyu’min waman syâ’a falyakfur](QS, al-Kahfi [18]: 29).
Al-Qur’an melarang umat Islam untukmencerca patung-patung sesembahan orang-orang Musyrik.Al-Qur’antak memberikan sanksi hukum apapun terhadap orang Islam yangmurtad.Seakan Al-Qur’an hendak menegaskan bahwa soal pindahagama merupakan soal yang bersangkutan dengan Allah. Tuhan yangakan memberikan keputusan hukum terhadap orang yang pindahagama, kelak di akhirat. Sejarah mencatat, Rasulullah tak pernahmenghukum bunuh orang yang pindah agama.
PENUTUP
Bisa dikatakan, relasi sosial-politik umat Islam dengan umat agamalain sangat dinamis. Sikap Islam terhadap umat lain sangattergantung pada penyikapan mereka terhadap umat Islam. Jika umatnon-Islam memperlakukan umat Islam dengan baik, maka tak ada
larangan bagi umat Islam berteman dan bersahabat dengan mereka.Sebaliknya, sekiranya mereka bersikap keras bahkan hingga mengusirumat Islam dari tempat kediamannya, maka umat Islam diijinka membela diri dan melawan.Setelah kurang lebih 13 tahun lamanyaNabi dan umatnya bersabar menghadapi ketidakadilan dan penyiksaan di Mekah, maka baru pada tahun ke-15 ketika Nabi sudah beradadi Madinah, perlawanan dan pembelaan diri dilakukan.Dalamkonteks itulah, ayat-ayat perang dan jihad militer diperintahkan.
Oleh karena itu, jelas bahwa pandangan Al-Qur’an terhadap umatagama lain dalam soal ekonomi-politik bersifat kondisional dansituasional sehingga tak bisa diuniversalisasikan dan diberlakukandalam semua keadaan. Ayat demikian bisa disebut sebagai ayat-ayatfushul (fushûl al-Qur’ân), ayat juz’iyyât, atau fiqh Al-Qur’an.Ayat-ayat
kontekstual seperti itu, dalam pandangan para mufasir, tak bisamembatalkan ayat-ayat yang memuat prinsip-prinsip umum ajaranIslam, seperti ayat yang menjamin kebebasan beragama danberkeyakinan. Tambahan pula, ayat lâ ikrâha fî al-dîn adalahtermasuk lafzh `âm (pernyataan umum) yang menurut ushul fikihHanafi adalah tegas dan pasti (qath`i), sehingga tak bisa dihapuskan(takhshish, naskh) oleh ayat-ayat kontekstual apalagi hadits ahâd(seperti hadits yang memerintahkan membunuh orang pindahagama) yang dalâlahnya adalah zhanni (relatif).Ayat lâ ikrâha fî aldînbersifat universal, melintasi ruang dan waktu.Ayat yang berisinilai-nilai umum ajaran disebut sebagai ayat ushûl (ushûl al-Qur’ân)atau ayat kulliyât.
Dalam masyarakat plural seperti Indonesia, saatnya umat Islamlebih memperhatikan ayat-ayat universal, setelah sekian lamamemfokuskan diri pada ayat-ayat partikular.Ayat-ayat particular pun kerap dibaca dengan dilepaskan dari konteks umum yangmelatar-belakangi kehadirannya.Berbeda dengan ayat-ayat partikular, ayat-ayat universal mengandung pesan-pesan dan prinsip-prinsipumum yang berguna untuk membangun tata kehidupan Indonesia yang damai.
Untuk membangun Indonesia yang damai tersebut, makabeberapa langkah berikut perlu dilakukan:
Pertama, harus dibangunpengertian bersama dan mencari titik temu (kalimat sawa`) antarumatberagama.Ini untuk membantu meringankan ketegangan yangkerap mewarnai kehidupan umat beragama di Indonesia. Dalamkonteks Islam, membangun kerukunan antar-umat beragama jelasmembutuhkan tafsir Al-Qur’an yang lebih menghargai umat agamalain. Tafsir keagamaan eksklusif yang cenderung mendiskriminasiumat agama lain tak cocok buat cita-cita kehidupan damai, terlebihdi Indonesia. Sebab, sudah maklum, Indonesia adalah negara bangsayang didirikan bukan hanya oleh umat Islam, tetapi juga oleh umatlain seperti Hindu, Buddha, dan Kristen.Dengan demikian, diIndonesia tak dikenal warga negara kelas dua (kafir dzimmi) sebagaimana dikemukakan sebagian ulama.Menerapkan tafsir-tafsir keagamaan eksklusif tak cukup menolong bagi terciptanya kerukunandan kedamaian.
Kedua, setiap orang perlu menghindari stigmatisasi dangeneralisasi menyesatkan tentang umat agama lain. Generalisasimerupakan simplifikasi (penyederhanaan) dan stigmatisasi jelasmerugikan orang lain. Al-Qur’an berusaha menjauhi generalisasi.Al-Qur’an menyatakan, tak seluruh Ahli Kitab memiliki perilaku dantindakan sama. Di samping ada yang berperilaku jahat, tak sedikit diantara mereka yang konsisten melakukan amal saleh dan berimankepada Allah.
Ketiga, sebagaimana diperintahkan Al-Qur’an dan diteladankanNabi Muhammad, umat Islam seharusnya memberikan perlindungandan jaminan terhadap implementasi kebebasan beragama danberkeyakinan. Sebagaimana orang Islam bebas menjalankan ajaranagamanya, begitu juga dengan umat dan sekte lain. Seseorang takboleh didiskriminasi dan diekskomunikasi berdasarkan agama yangdipilih dan diyakininya. Dalam kaitan ini, umat Islam perlumengembangkan sikap toleran, simpati dan empati terhadapkelompok atau umat agama lain.
Dikutip dalam buku, Elza Peldi Taher,Merayakan Kebebasan beragama: Bunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi ( Eds. Digital, Jakarta: Demokrasi Proceject, 2011), h.287-297.