BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengetahuan tentang Tuhan dan kesetiaan
terhadap aturan-aturan-Nya, merupakan
dasar bagi tiap agama, baik agama langit atau pun bumi.
Namun kesadaran manusia akan eksistensinya menggiring ia untuk melihat
bahwa eksistensinya dipengaruhi oleh tiga sifat, yaitu: faktisitas, transendensi, dan kebutuhan untuk mengerti.
Faktisitas berarti, bahwa
eksistentsi selalu nampak di depan
kesadaran manusia sebagai sesuatu yang sudah ada. Sedangkan yang
dimaksud dengan transendensi pada
eksistensi manusia merupakan sifat yang nampak secara langsung dalam kesadaran
manusia bahwa ia manusia, bukan hanya sekedar tubuh yang nampak dalam ruang dan
waktu bersama “ada” yang lain, namun manusia adalah makhluk yang dapat
melampaui dirinya melebihi dari batas ruang dan waktu dalam kesadarannya. Keberadaan kebutuhan untuk mengerti merupakan
modus yang paling jelas dari transendensi kesadaran manusia. Termasuk dalam
kesadaran ini adalah bahwa manusia selalu terdorong untuk selalu mempertanyakan
hakikat dirinya dan dunianya. Karena hal inilah kemudian menimbulkan suatu
pertanyaan mengenai dari mana ia dan dunianya berasal.
Dalam filsafat ketuhanan, pertanyaan ini akan
bermuara pada wilayah mengenai eksistensi Tuhan. Persoalan mengenai eksistensi
Tuhan walau kadang suka melingkar pada pengulangan kata “ada dan tiada” namun dapat diterangkan
dengan beberapa argumentasi, yakni: argumentasi ontology, teologi dan
kosmologi. Pendekatan ontology lebih bersifat apriori, yang
mencakup tentang pengetahuan mistik dan kesadaran manusia, sedangkan
argumentasi teologi dan kosmologi merupakan argumentasi yang bersifat aposteriori.
Setiap yang “ada” memiliki eksistensinya, dan
yang bereksistensi pasti memiliki sebab keberadaannya dalam mengada untuk
sebuah “ada” dari eksistensinya. Oleh karena hal itu, alam semestapun memiliki
sebab dari bermulanya. Pengejaran sebab atau alasan inilah yang menjadi kajian
hangat dalam argumentasi sebuah penciptaan, baik dari kalangan filsafat ataupun saintis.
Dengan demikian pencarian tentang eksistensi
tuhan seperti yang telah disampaikan di atas menurut penulis sangat perlu untuk
diketahuai. Namun pada makalah yang penulis bahas sekarang ini akan lebih
terfokus kepada aliran filsafat ketuhanan yaitu pantaisme dan panenteisme
mengenai pandangan-pandangan dan ajaran-ajarannya tentang ketuhanan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang
telah diuraikan di atas. Maka penulis memberikan rumusan masalah tentang judul
dari makalah ini sebagai berikut:
1.
Apa yang dimaksud dengan panteisme dan
bagaimana pandangan tentang ketuhanannya?
2.
Apa yang dimaksud dengan panenteisme dan
Bagaimana pandanagan tentang ketuhanannya?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
dan Konsep Ketuhanan Aliran Panteisme
Panteisme dalam
bahasa Yunani, yaitu Pan, “Segala sesuatu”, Theos, berarti “Allah”,
mengajarkan bahwa seluruh kosmos sama dengan Allah, sehingga tidak ada
perbedaan antara pencipta dan ciptaan. Allah dan alam itu “sama saja”, sehingga
pantaisme juga dapat disebut teo-panteisme.
Menurut Harun Nasution
Panteisme
berpendapat bahwa seluruh kosmos ini adalah Tuhan. Semua yang ada dalam
keseluruhannya ialah Tuhan dan Tuhan ialah semua yang adadalam keseluruhanya.
Benda-benda yang dapat ditangkap dengan pancaindra adalah bahagian dari Tuhan.
Pantaisme
melihat Yang Ilahi bersemayam dalam segala-galanya. Alam raya dipenuhi dengan
Yang Ilahi dan semua kekuatan, baik alami maupun diantara manusia, merupakan
peryataan Yang Ilahi. Jadi pantaisme sangat menegaskan imanensi
Yang Ilahi.
Berdasarkan
dari pengertian di atasa bahwa Panteisme berpendapat seluruh alam ini adalah
Tuhan dan Tuhan adalah seluruh alam. Tuhan dalam panteisme adalah satu dan
sangat dekat dengan alam imanen, hanya Tuhan mempunyai
penampakan-penampakan atau cara berada Tuhan di alam. Tuhan dalam panteisme,
disamping Esa juga Maha Besar, dan tidak berubah. Alam indrawi adalah ilusi
atau khayal belaka karena selalu berubah. Adapun, yang wujud hakiki hanya satu,
yakni Tuhan.
Ada dua
perbedaan tajam antara pantaisme dan paham Tuhan yang transcendent:
1. Menurut pantaisme
dunia tidak dapat dipikirkan tanpa Yang Ilahi, namun Yang Ilahi pun tidak dapat
dipikirkan tanpau dunia. Sedangkan menurut paham transcendent yang Ilahi
kalaimat pertama itu betul, tetapi yang kedua tidak. Bahwa Yang Ilahi transcendent berarti bahwa
Yang Ilahi bisa ada dan bisa dipikirkan tanpa dunia.
2. Implikasi
anggapan pantaisme bahwa Yang Ilahi dan dunia dan saling meresapi adalah bahwa
Yang Ilahi tidak dipahami secara personal. Yang Ilahi merupakan subtansi,
tetapi bukan personal atau subjek.
Hal tersebut di atas diuraikan dengan paling
jerni oleh Spinoza (filosof besar Yahudi yang hidup di Amsterdam 1632-1677).
Dengan demikian pantaisme menunjukkan kepekaan tinggi terhadap kehadiran Ilahi
dalam dunia.
Letak perbedaan
antara Teisme dan Panteisme. Dalam
Teisme Tuhan adalah zat yang personal yang menciptakan alam, maka Tuhan dengan
alam tidak sama, sebab Tuhan adalah pencipta dan alam adalah hasil ciptaan-Nya,
tetapi Panteisme menganggap Tuhan adalah kesatuan umum impersonal, yang
mengungkapkan dirinya dalam alam. Dalam Panteisme segala sesuatu adalah Tuhan,
tidak satu pun yang tidak tercakup didalam-Nya dan tidak satu pun yang bisa
berada tanpa Tuhan.
Sebagaimana
Teisme dan Deisme, Panteisme juga
memiliki beberapa kelebihan dan sekaligus kekurangan. Kelebihannya, adalah:
1. Panteisme
diakui menyumbangkan suatu pemikiran yang menyeluruh (holistic) tentang
sesuatu, tidak hanya bagian tertentu saja.
2. Panteisme
menekankan imanensi Tuhan, sehingga seseorang selalu sadar bahwa Tuhan selalu
dekat dengan dirinya. Dengan demikian, dia mampu mengontrol diri dan berusaha
berbuat sesuai dengan ketentuan Tuhan.
3. Panteisme
menegaskan bahwa seseorang tidak mampu memberi batasan terhadap Tuhan dengan
bahasa manusia yang terbatas. Jika Tuhan tidak terbatas dan trasenden, semua
pembatasan / pengertian harus ditiadakan karena yang tidak terbatas tidak bisa
ditangkap oleh sesuatu yang terbatas. Oleh karena itu, keberadaan Tuhan dalam
alam adalah sekaligus untuk memudahkan pemahaman tentang Tuhan.
Kelemahan dari
konsep Panteisme ini adalah :
1. Menurut
panteisme yang radikal, manusia adalah Tuhan, sedangkan Tuhan dalam pandangan
ini tidak berubah dan abadi. Kenyataan manusia berubah dan tidak abadi. Karena
itu, bagaimana manusia menjadi Tuhan, ketika manusia berubah, sedangkan Tuhan
tidak.
2. Panteisme
mengatakan bahwa alam ini adalah maya bukan hakiki. Kalau ini dijadikan
pegangan, maka bagaimana halnya dengan lampu lalu lintas, apakah lampu itu maya
atau benar-benar real? Kalau berpegang pada Panteisme lampu itu adalah fantasi
dan maya, begitu juga mobil-mobil.
3. Jika Tuhan
adalah alam dan alam adalah Tuhan sebagaimana ditegaskan oleh panteisme, maka
tidak ada konsep kejahatan atau tidak ada kemutlakan kejahatan dan kebaikan.
B. Pengertian
dan Konsep Ketuhanan Aliran Panenteisme
Panteisme
berarti semua adalah Tuhan, tetapi Panenteisme dalam bahasa Yunani pan dan
theos berarti “semua dalam Allah”.
Ada beberapa perbedaan antara Teisme klasik dan Panenteisme. Dalam Teisme Tuhan
adalah pencipta dari tidak ada, berkuasa atas alam, tidak tergantung pada alam,
tidak berubah, dan Maha Sempurna. Sedangkan dalam Panenteisme, Tuhan adalah
pengatur dari materi yang sudah ada, bekerja sama dengan alam, tergantung pada
alam, berubah, dan menuju kesempurnaan. Begitu juga perbedaan anatara penentaisme
dan panteisme yaitu pantaisme menyamakan Allah dengan seluruh realitas, namun
panentaisme berpandangan bahwa seluruh realitas merupakan bagian dari keberadaa
Allah.
Salah seorang pelopor Panenteisme adalah
Alfred North Whitehead, dia seorang filosof dan ahli matematika dari Inggris.
Menurut Whitehead, Tuhan bisa diklasifikasikan dalam tiga konsep, yaitu:
1. Konsep Asia
Timur, tentang tatanan yang imperasonal yang sejalan dengan alam. Tatanan ini
mengatur sendiri dalam alam, alam tidak tunduk pada suatu aturan. Konsep ini
menegaskan imanensi Tuhan.
2. Konsep Semit,
tentang suatu zat yang personal yang eksistensinya adalah realitas metafisik
yang tertinggi, absolut, dan mengatur alam.
3. Konsep
Panteistik, yang sudah tergambar dalam konsep Semit. Namun, panteisme berbeda
dalam memandang alam. Alam bagian yang terpisah dari Tuhan dan bersifat maya.
Realitas hanya Tuhan dan dalam beberapa hal, alam menampakkan diri Tuhan. Whitehead
menolak semua pandangan tersebut. Menurutnya, sebagian besar Gereja-gereja
Kristen, adalah munafik karena akal dimodifikasi agar menyatakan kesatuan yang
personal, disisi lain ada desakan akan imanensi.
Sebagaimana
konsep yang terdahulu, Panenteisme juga tidak luput dari kritikan dari penganut
Teisme, antara lain adalah :
1. Ide tentang
satu Tuhan yang sekaligus terbatas dan tidak terbatas, mungkin dan tidak
mungkin, absolut dan relatif adalah kerancuan berpikir.
2. Ide tentang
Tuhan sebagai wujud yang disebabkan oleh diri sendiri menimbulkan problem.
Sulit untuk mengakui suatu wujud mampu menyebabkan dirinya sendiri.
3. Sulit untuk
dimengerti bagaimana segala sesuatu yang relatif dan selalu berubah, bisa
diketahui kebenarannya. Mampukah seseorang mengetahui bahwa sesuatu berubah,
tanpa adanya standar yang tidak berubah yang digunakan untuk mengukur
perubahan?
Para pendukung
Panenteisme menghadapi suatu dilema. Mereka meyakini Tuhan meliputi semua jagat
raya dalam waktu yang sama. Namun, mereka juga meyakini Tuhan terbatas dalam
waktu dan ruang. Sesuatu yang terbatas oleh waktu dan ruang tidak mampu
berfikir/mengetahui melebihi kecepatan cahaya. Karena jagat raya terlalu luas,
maka seseorang yang ingin mengitarinya perlu waktu bertahun-tahun dengan
kecepatan 186.000 mil per detik. Oleh sebab itu, mustahil Tuhan yang terbatas
oleh waktu dan ruang mampu meliputi semua jagat raya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari semua
pandangan tentang teisme, deisme, panteisme, dan panenteisme, tidak dapat
memuaskan para filosof, dan ketidakpuasan mereka atas berbagai pandangan diatas
adalah wajar karena hal itu adalah pernainan logika dan katagori-katagori akal.
Lagi pula ruang metafisika terbuka untuk mengadakan spekulasi sebanyak mungkin
dan sedalam- dalamnya. Karena itu, menurut penganut agama penjelasan yang
sangat memuaskan tentang Tuhan bukan berasal dari akal, tetapi dari wahyu.
Wahyulah yang mendatangkan ketenangan dan sekaligus kejelasan tentang Tuhan.
Akal hanya sebagai alat bantu untuk memahami wahyu tersebut, bukan sebagai
sumber utama.
B. Saran
Panteisme
menekankan imanensi Tuhan, sehingga seseorang selalu sadar bahwa Tuhan selalu
dekat dengan dirinya. Dengan demikian, dia mampu mengontrol diri dan berusaha
berbuat sesuai dengan ketentuan Tuhan.
Panteisme
menegaskan bahwa seseorang tidak mampu memberi batasan terhadap Tuhan dengan
bahasa manusia yang terbatas. Jika Tuhan tidak terbatas dan trasenden, semua
pembatasan / pengertian harus ditiadakan karena yang tidak terbatas tidak bisa
ditangkap oleh sesuatu yang terbatas. Oleh karena itu, keberadaan Tuhan dalam
alam adalah sekaligus untuk memudahkan pemahaman tentang Tuhan.
DAFTAR
PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal.
Filsafat Agama . Jakarta: Logos WacanaIlmu 1999.