Oleh : Siti Nafidah Anshory
Sesungguhnya, inti dari pluralisme
adalah penerimaan dan apresiasi terhadap kemajemukan yang ada di dalam
masyarakat. Bagi penganut ide ini, pluralitas (kepelbagaian/kemajemukan)
masyarakat adalah merupakan suatu fakta, dan bahwa pluralitas tidak mungkin
dihilangkan juga merupakan fakta, sehingga adanya kesadaran akan pluralitas
tadi merupakan satu keharusan.
Tentang pluralisme agama sendiri,
Alwi Shihab menyatakan, bahwa pada dasarnya lahir dilatarbelakangi oleh
serangkaian pertanyaan yang cukup mendasar. Pertanyaan-pertanyaan tersebut
antara lain : apabila Tuhan itu Esa, tidakkah sebaiknya agama itu tunggal saja?
Dan apabila pluralisme agama tidak dapat dielakkan, maka yang mana di antara
agama-agama ini yang benar, ataukah semuanya sesat ? Lalu, mengapa kita memeluk
satu agama dan tidak ikut agama yang lain? Dan mungkinkah terdapat persamaan
doktrin atau kesamaan tujuan di antara aneka macam agama yang ada?.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu memunculkan kontroversi, mengingat setiap
agama mengajarkan, bahwa doktrinnyalah yang paling benar, unik, ekslusif dan
superior. Oleh karena itu, menurutnya perlu ada upaya menjembatani kesenjangan
yang ada diantara agama-agama tadi.
Setiap Pluralis (termasuk Alwi)
meyakini, bahwa jawaban tuntas terhadap semua pertanyaan diatas tidak lain
adalah penerimaan terhadap ide pluralisme yang direalisasikan dalam bentuk
kesiapan untuk saling membuka diri dan berdialog dalam rangka mencari
persamaan-persamaan yang dapat dijadikan landasan hidup rukun dalam suatu
masyarakat. Dan dalam tataran praktisnya, Alwi menekankan peran penting Islam
sebagai agama mayoritas dan kaya dengan sekte untuk mempelopori upaya-upaya
tersebut. Apalagi, menurutnya pula sebagai agama formal, Islam memang
mengajarkan kebebasan beragama, yang dalam pandangan Cak Nur, itu merupakan
pintu pluralisme dan kemanusiaan.
Dengan memahami konsep di atas, maka
jelas ada keterkaitan yang erat antara pluralisme dengan relativisme, sekalipun
sekali lagi, Alwi tidak sepakat jika keduanya dipersamakan. Keterkaitan
dimaksud adalah, bahwa dalam pluralisme pun terkandung unsur relativisme, yakni
ketidakbolehan mengklaim pemilikan tunggal atas satu kebenaran. Selain itu,
pada dasarnya relativisme dan pluralisme sama-sama mengarah pada penyatuan
manusia dalam kepelbagaian kepercayaan dan kepelbagaian identitas di masa
modern, dimana tentang identitas ini, Gus Dur (dalam sebuah kesempatan) dan
Azyumardi Azra (dalam Konteks Berteologi di Indonesia) pernah menyatakan,
bahwa modernisasi suatu masyarakat mensyaratkan penerimaan terhadap pluralisme,
baik paham ajaran agama, budaya, politik dan sebagainya.
Lepas dari pernyataan tersebut,
inilah pluralisme murni. Sedangkan pluralisme yang dikembangkan Alwi Shihab di
Indonesia, (katanya) adalah pluralisme agama yang menolak sinkretisme dan
bersyarat, yaitu keharusan adanya komitmen yang kokoh terhadap agama
masing-masing, yang disandarkan pada Al-Qur’an Surat Saba’ (34) ayat 24-26.
Namun, kemudian muncul pertanyaan mengenai sejauhmana batasan “commited” yang
beliau maksud, mengingat faktanya Islam bukan sekedar agama ritual seperti
halnya agama lain, melainkan merupakan “ad-din” (sistem hidup) yang diantaranya
mengatur tentang pola hubungan yang jelas antara Islam-non Islam, Muslim dan
non-Muslim di dalam masyarakat Islam.
Sumber: http://alwishihab.com/pluralisme-dalam-akar-filsafat-pemikiran-islam-kontemporer/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar