Oleh: Ayatullah Murtadha Muthahhari
Dalam hubungannya dengan konsepsi Ilahiah tentang dunia, dalam ilmu
ketuhanan dibahas beberapa masalah tentang hubungan antara Allah dan
dunia, seperti apakah dunia ini, sementara atau abadi, dari manakah asal
segala sesuatu yang ada ini. Juga dibahas masalah-masalah lain seperti
itu. Namun, kalau melihat keseimbangan segenap eksistensi, maka dapat
dikatakan di sini bahwa masalah-masalah kearifan dan keadilan ilahi
saling berkaitan erat. Kalau merujuk kepada masalah keadilan Ilahi, maka
dapat dikatakan bahwa sistem dunia yang ada ini merupakan sistem yang
paling arif dan adil. Dasar sistem ini bukan saja pengetahuan, kesadaran
dan kehendak. Sistem ini juga merupakan sistem yang paling baik dan
sehat. Tak mungkin ada sistem lain yang lebih baik daripada sistem ini.
Dunia yang ada ini merupakan yang paling sempurna.
Di sini muncul pertanyaan terkait. Kita tahu bahwa dunia ini memiliki
banyak fenomena seperti tidak sempurna, buruk, atau tak berguna.
Kearifan Ilahiah menuntut agar yang dominan adalah kesempurnaan dan
bukannya ketidaksempurnaan, kebajikan dan keindahan bukannya keburukan,
kebergunaan bukannya kesia-siaan. Ketidaksempurnaan gen dan bentuk tubuh
manusia dan binatang yang cacat, bencana alam dan kemalangan, serta
pemandangan yang menjijikkan, semuanya itu tampaknya tidak sesuai dengan
kearifan Ilahiah. Suatu sistem dapat disebut adil kalau di dalam sistem
itu tak ada kesedihan, penderitaan dan diskriminasi yang tak semestinya
terjadi. Juga jika tak ada bencana dan kemalangan. Dalam sistem yang
adil, tak ada tempat bagi kehancuran, karena tidaklah adil kalau makhluk
dihalangi dari mencapai kondisi yang sempuma setelah makhluk itu ada.
Kalau sistem dunia ini memang adil, kenapa ada diskriminasi dan
kesulitan seperti ini? Kenapa yang ini putih dan yang itu hitam, yang
ini buruk dan yang itu cantik; yang ini sehat dan yang itu sakit? Kenapa
yang ini diciptakan sebagai manusia dan yang itu diciptakan sebagai
domba, kalajengking atau cacing tanah? Kenapa yang ini diciptakan
sebagai setan dan yang itu sebagai malaikat? Kenapa semuanya tidak
diciptakan sama, atau tidak seperti adanya sekarang? Misal, kenapa orang
yang berkulit putih, rupawan atau sehat tidak diciptakan berkulit
hitam, buruk muka atau sakit-sakitan? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini,
mengenai dunia ini, tampaknya menimbulkan teka-teki. Konsepsi tauhid
yang memandang dunia sebagai karya Allah Maha Arif lagi Maha Adil harus
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Kalau diingat bahwa menjawab secara terperinci pertanyaan-pertanyaan
itu membutuhkan buku berjilidjilid, lagi pula pokok masalah ini sudah
kami bahas dalam buku kami “al-’Adl al-Ilahi” (sudah terbit dalam edisi
Indonesia dengan judul “Keadilan Ilahi”— pen.), yang beberapa edisinya
sudah terbit, di sini kami cukup menyebutkan beberapa prinsip pokok, dan
kalau prinsip-prinsip ini dipahami maka solusi untuk problem ini akan
mudah didapat. Setelah memahami prinsip-prinsip ini, pembaca akan mampu
membuat kesimpulan sendiri.
Prinsip Bahwa Allah Ada Sendiri dan Sempurna
Karena Allah mutlak ada sendiri dan memiliki kemampuan, maka Dia
tidak melakukan apa pun untuk mencapai tujuan-Nya atau untuk meniadakan
kekurangan pada Diri-Nya (karena pada diri-Nya tak ada kekurangan—pen.).
Kearifan-Nya tidak berarti bahwa Dia memilih tujuan terbaik dan
menggunakan sarana terbaik untuk mencapai tujuan tersebut. Pengertian
kearifan seperti ini hanya berlaku untuk manusia, dan tidak berlaku
untuk Allah. Arti kearifan-Nya adalah bahwa Dia berbuat untuk
memberdayakan segala yang ada agar dapat mencapai tujuan keberadaannya.
Dia membuat apa-apa yang sebelumnya tak ada menjadi ada, dan membawanya
ke kesempurnaan yang sudah menjadi sifatnya. Berbagai pertanyaan dan
keberatan yang muncul dalam hal ini, sebagian akibat membandingkan Allah
dengan manusia. Orang yang bertanya tentang kearifan dan manfaat
makhluk tertentu beranggapan bahwa Allah seperti manusia berbuat sesuatu
untuk mencapai tujuan-Nya. Sebagian besar pertanyaan akan dengan
sendirinya terjawab, kalau sejak permulaan dia ingat bahwa apa yang
dilakukan Allah tak syak lagi ada tujuannya, namun Allah sendiri tak
memiliki tujuan-Nya sendiri. Tujuan setiap makhluk melekat pada fitrah
makhluk itu sendiri. Dan Allah membawa setiap makhluk menuju fitrah ini.
Prinsip Sekuens
Eksistensi merupakan rahmat Allah untuk segenap alam semesta.
Tatanannya istimewa. Hubungan antar segala yang ada adalah hubungan
“dahulu” dan “kemudian” serta “sebab” dan “akibat”. Tak ada yang dapat
beranjak dari posisi yang telah ditentukan untuknya. Juga, tak ada yang
dapat menempati tempat sesuatu yang lain. Tingkat eksistensinya beragam.
Satu dengan yang lain bedanya jauh, bila dilihat dari segi tidak
sempurna dan sempurna, kuat dan lemah. Perbedaan ini merupakan bagian
penting dari tingkat-tingkat eksistensi. Ini bukan diskriminasi, dan
juga tak dapat dianggap bertentangan dengan keadilan atau kearifan. Baru
bisa disebut diskriminasi kalau dua wujud yang kemampuannya sama,
kepada yang satu diberikan karunia, sedangkan kepada yang satunya lagi
tidak diberikan karunia. Akan tetapi, kalau perbedaan itu terjadi akibat
sifat makhluk yang memang tidak sempurna, maka tak ada pertanyaan
diskriminasi.
Prinsip Generalitas
Juga ada kesalahpahaman lagi, yang terjadi akibat membandingkan Allah
dengan manusia. Manusia, kalau mengambil keputusan, itu dilakukan pada
waktu tertentu, di tempat tertentu, dan dalam kondisi tertentu. Misal,
seseorang memutuskan akan membangun sebuah rumah. Agar dapat
membangunnya, dia kumpulkan, padukan dan tata sejumlah batu bata, semen,
baja, dan material lainnya. Material-material ini tak memiliki hubungan
yang inheren (yang sudah menjadi sifatnya) satu sama lain. Hasil
akhirnya berupa berdirinya sebuah rumah.
Apakah Allah juga seperti itu? Apakah ciptaan Allah itu ter-wujud
dengan cara memadukan beberapa hal yang satu sama lain tak ada
hubungannya? Membuat hubungan-hubungan tidak natural seperti itu
merupakan pekerjaan makhluk seperti manusia. Karena manusia merupakan
bagian dari sistem dunia. Dan dalam ruang lingkup terbatas saja manusia
dapat memanfaatkan kekuatan dan kualitas wujud-wujud. Manusia tidak
menciptakan sesuatu. Dia hanya memproduksi gerak pada sesuatu yang sudah
ada. Bahkan gerak yang diproduksinya tidak alamiah, melairikan
dibuat-buat. Sedangkan Allah menciptakan segala sesuatu beserta segenap
kekuatan dan kualitas segala sesuatu itu.
Manusia memanfaatkan api dan listrik. Api dan listrik ini sudah ada.
Dia membuat persiapan sedemikian, sehingga dia dapat memanfaatkan api
dan listrik bila dibutuhkan. Dan untuk menyelamatkan diri dari akibatnya
yang merugikan, manusia dapat memadamkannya bila sudah tidak dibutuhkan
lagi. Sedangkan Allah menciptakan api, listrik beserta segenap dampak
dan kemampuannya. Adanya api dan listrik itu saja sudah berarti bahwa
keduanya dapat menimbulkan panas, gerak dan dapat membakar. Allah tidak
menciptakan api dan listrik untuk orang teltentu atau untuk kesempatan
tertentu. Api dapat memanaskan gubuk si miskin, sekaligus dapat membakar
pakaian si miskin bila terjilat, karena Allah telah menciptakan api
memiliki sifat membakar. Kalau kita melihat api dalam konteks
keseluruhan sistem dunia ini, tentu kita dapati api itu bermanfaat dan
dibutuhkan. Tidak penting apakah bagi orang tertentu atau untuk kejadian
tertentu api itu bermanfaat atau tidak.
Dengan kata lain, untuk kearifan Ilahiah, tujuan akhirnya ber-kaitan
dengan perbuatannya, bukan dengan pelakunya. Allah itu arif, dalam
pengertian bahwa Dia telah menciptakan sebaik-baik sistem untuk
memberdayakan wujud-wujud agar dapat mencapai tujuan diciptakannya
wujud-wujud itu. Arti kearifan-Nya bukanlah bahwa Dia telah
mempersiapkan sebaik-baik sarana untuk meniadakan kekurangan-Nya
sendiri, untuk mewujudkan dalam bentuk konkret kemampuan potensial-Nya
atau untuk mencapai tujuan evolusioner-Nya sendiri. Kita juga harus
ingat bahwa tujuan tindakan Allah adalah mencapai tujuan umum dan bukan
tujuan tertentu. Api telah diciptakan untuk pada umumnya membakar. Tidak
diciptakan untuk membakar benda tertentu pada kesempatan tertentu
pula. Karena itu, dari sudut pandang kearifan Ilahiah, tidaklah penting
apakah api itu bermanfaat atau merugikan untuk kasus per kasus.
Prinsip Kemampuan Menerima Karunia
Bahwa Allah Mahakuasa lagi Maha Pemurah belumlah cukup bagi
terwujudnya suatu realitas. Agar realitas itu ada, maka realitas itu
harus memiliki kemampuan untuk menerima karunia-Nya. Dalam banyak kasus,
ketidakrnampuan sebagian wujud menyebabkan wujud-wujud tersebut
kehilangan beberapa keuntungan. Dari sudut pandang sistem umum ini dan
hubungannya dengan Wujud Yang Ada Sendiri, rahasia munculnya
kekurangan-kekurangan tertentu seperti bodoh dan tidak mampu, terletak
pada ketidak-mampuan wujud-wujud yang memiliki kekurangan-kekurangan
seperti itu.
Prinsip Wajib Ada
Karena Zat Allah itu wajib ada, maka segenap sifat-Nya juga wajib
ada. Karena itu, mustahil kalau sesuatu yang patut ada, lalu Allah tidak
memberikan eksistensi kepada sesuatu itu.
Prinsip Relatif
Buruk artinya adalah tak adanya suatu kualitas, contohnya adalah
kebodohan, ketidakmampuan dan kemiskinan, atau artinya juga adalah buruk
karena menyebabkan kehancuran, contohnya adalah gempa bumi, kuman
pembawa penyakit, banjir, hujan es disertai angin ribut dan seterusnya.
Segala yang menyebabkan kehancuran, sifat buruknya itu relatif dan hanya
berkenaan dengan hal-hal lain. Sesuatu yang buruk, sesungguhnya ia itu
sendiri tidak buruk. Buruknya adalah untuk sesuatu yang lain. Eksistensi
sejati setiap sesuatu adalah eksistensinya sendiri. Eksistensi
relatifnya hanyalah konseptual dan derivatif, sekalipun itu bagian
integral dari eksistensi riilnya.
Prinsip Saling Bergantung
Baik dan buruk bukanlah dua kualitas yang masing-masing mandiri.
Buruk merupakan suatu kualitas integral dari baik. Buruk, yang
mengindikasikan tak adanya suatu kualitas, menunjukkan ketidakmampuan
sesuatu yang secara potensial mampu. Begitu sesuatu itu praktis mampu,
maka karunia Allah kepada sesuatu itu tak terelakkan. Adapun keburukan
yang tidak membentuk kualitas negatif, maka akarnya selalu ada di
kebaikan.
Prinsip Tak Ada Keburukan Murni
Tak ada keburukan murni. Non-eksistensi merupakan pendahuluan untuk
eksistensi dan kesempurnaan. Keburukan merupakan satu tahap dari
evolusi. Memang, setiap awan hitam ada lapisannya yang berwarna perak.
Prinsip Hukum dan Norma
Dunia ini diatur dengan sebuah sistem sebab-akibat. Seperti sudah
dikemukakan sebelumnya, sistem ini berbasis hukum dan norma universal.
Al-Qur’an dengan tegas membenarkan fakta ini.
Prinsip Satu Unit Tak Terbagi
Di samping sistemnya yang sudah tak dapat disangsikan lagi, dunia itu
sendiri merupakan satu unit yang tak terbagi dan satu struktur fisis
yang tunggal. Karena itu, keburukan tak dapat dipisahkan dari apa yang
baik. Keburukan dan non-eksistensi bukan saja tak dapat dipisahkan dari
kebaikan dan eksistensi, namun juga merupakan satu “manifestasi” yang
tunggal.
Berdasarkan sepuluh prinsip ini, maka hanya ada dua kemungkinan: Pertama, dunia ini ada dengan sistem khasnya. Kedua, dunia
ini sama sekali tak ada. Tidaklah mungkin kalau dunia ini ada tanpa
sistem khasnya atau dengan sistem lainnya seperti, misalnya, sebab
menempati posisi akibat dan akibat menempati posisi sebab. Karena itu,
dari sudut pandang kearifan Ilahiah, maka yang mungkin adalah dunia ini
ada dengan sistemnya yang ada sekarang, atau, kalau tidak, dunia ini tak
ada sama sekali. Jelaslah, karena kearifan, maka yang dipilih adalah
eksistensi, bukan non-eksistensi.
Karena sesuatu tak mungkin ada kecuali ia memiliki kualitas-kualitas
yang esensial dan tak terpisahkan dari dirinya, maka tak dapat
dibayangkan bila berpikiran bahwa kebaikan dapat dipisahkan dari
keburukan atau bahwa non-eksistensi dapat dipisahkan dari eksistensi.
Dari sudut pandang ini pula, kearifan Ilahiah dapat menuntut eksistensi
keburukan dan sekaligus kebaikan, atau kalau tidak, non-eksistensi
keburukan dan sekaligus kebaikan. Kearifan Ilahiah tak dapat menuntut
eksistensi kebaikan dan non-eksistensi keburukan.
Juga, yang mungkin ada adalah alam semesta ini dalam bentuk satu
unit. Eksistensi satu bagiannya dan non-eksistensi bagian lainnya
tidaklah mungkin. Karena itu, dari sudut pandang kearifan Ilahiah,
masalah yang dapat dipertimbangkan adalah eksistensi atau non-eksistensi
alam semesta ini, bukan eksistensi atau non-eksistensi bagian alam
semesta ini.
Prinsip-prinsip di atas, jika diselami isinya dengan saksama, cukup
untuk menghilangkan segenap keraguan dan kesulitan berkenaan dengan
kearifan dan keadilan Ilahiah. Lagi, silakan pembaca merujuk ke buku
kami “al-’Adl al-Ilâhî” (Keadilan Ilahi). Dan mohon toleransinya kalau
kami menganggap perlu mengangkat di sini soal-soal yang lebih tinggi
tingkatannya dibandingkan tingkat buku ini. Akhirnya, mengingat fakta
bahwa masalah keadilan Ilahiah memiliki sejarah khusus, dan oleh kaum
Syiah keadilan Ilahiah dianggap sebagai salah satu rukun iman mereka,
maka tak ada salahnya kalau membahas juga sejarahnya secara singkat.
Sejarah Prinsip Keadilan dalam Budaya Islam
Kaum Syiah menganggap doktrin keadilan sebagai rukun iman. Dalam
prakata untuk buku kami “al-’Adl al-Ilâhi” (Keadilan Ilahi), kami
katakan bahwa doktrin keadilan memiliki dua segi: Keadilan Ilahiah dan
keadilan manusiawi. Lagi, keadilan Ilahiah dibagi menjadi dua bagian:
(1) keadilan kreasional dan (2) keadilan manusiawi legislatif. Keadilan
manusiawi legislatif juga memiliki dua fase: (a) keadilan individual dan
(b) keadilan sosial. Keadilan yang dipandang sebagai ciri khas doktrin
atau prinsip Syiah dan oleh kaum Syiah diyakini sebagai rukun iman
adalah keadilan Ilahiah. Keadilan Ilahiah merupakan bagian integral dari
konsepsi Islam tentang alam semesta.
Arti keadilan Ilahiah adalah bahwa Allah adil, dan dalam sistem
penciptaan dan sistem pembuatan Undang-undang-Nya Allah bertindak sesuai
dengan kebenaran dan keadilan. Kenapa prinsip keadilan menjadi rukun
iman bagi kaum Syiah, alasannya adalah karena sebagian kaum Muslim
sedikit banyak telah menafikannya, dan penafian ini sungguh bertentangan
dengan kemerdekaan manusia. Mereka menafikan bekerjanya prinsip
sebab-akibat dalam sistem alam semesta maupun dalam urusan manusia.
Mereka berpendapat bahwa takdir ilahi bekerja langsung, tidak
menggunakan perantara sebab-akibat. Menurut mereka, api tidak membakar,
namun Allah lah yang membakarnya. Begitu pula, magnet tak punya peran
dalam menarik besi ke arahnya, namun Allah lah yang menarik besi itu ke
arah magnet. Manusia tidak berbuat baik dan juga tidak berbuat buruk,
namun Allah lah yang berbuat seperti itu secara langsung melalui
perantara manusia.
Di sini muncul pertanyaan penting: jika sistem sebab-akibat tidak
ada, dan manusia tak memiliki daya untuk memilih, kenapa seseorang
diberi pahala atau hukuman untuk perbuatan baik atau dosa yang
dilakukannya? Kenapa Allah memberikan pahala kepada sebagian orang dan
memasukkan mereka ke dalam surga, dan kenapa Allah menghukum sebagian
lainnya dan mencampakkan mereka ke dalam neraka, bila Allah sendiri yang
melakukan semua perbuatan baik dan buruk? Jika manusia tak memiliki
kemerdekaan dan tak punya pilihan, maka tidaklah adil dan bertentangan
dengan prinsip keadilan Ilahiah bila menghukum manusia karena perbuatan
yang berada di luar kemampuannya.
Sebagian besar orang Syiah dan sebagian orang Sunni (kaum Mu’tazilah)
menolak teori yang menyebutkan bahwa manusia dipaksa (tak punya
pilihan—pen.) dan bahwa takdir Ilahiah bekerja langsung di dunia ini.
Menurut mereka, teori atau pandangan ini bertentangan dengan prinsip
keadilan. Di samping mengemukakan argumen-argumen berbasis nalar, mereka
juga mengutip ayat Al-Qur’an Suci dan hadis untuk mendukung keyakinan
mereka. Itulah sebabnya mereka dikenal dengan sebutan ‘Adliyah (kaum
pendukung keadilan).
Dan uraian di atas, jelaslah selain fakta bahwa prinsip keadilan
merupakan prinsip Ilahiah dan berkaitan dengan salah satu sifat Allah,
prinsip keadilan juga merupakan prinsip manusiawi, karena prinsip
keadilan juga menyangkut kemerdekaan manusia dan kemampuan manusia untuk
memilih. Karena itu, bagi kaum Syiah dan kaum Mu’tazilah, arti
mengimani prinsip keadilan adalah percaya bahwa manusia itu merdeka,
bahwa manusia itu ber-tanggung jawab, dan bahwa manusia itu punya peran
membangun.
Pertanyaan yang sering kali mengusik benak kita dalam kaitannya
dengan keadilan Ilahiah, khususnya di zaman modern ini, menyangkut
kasus-kasus tertentu perbedaan sosial. Mengapa sebagian orang buruk
rupa, sementara sebagian lainnya rupawan; kenapa sebagian orang sehat,
sementara sebagian lainnya sakit-sakitan, kenapa sebagian orang kaya dan
berpengaruh, sementara sebagian lainnya miskin dan tak punya pengaruh?
Bukankah perbedaan ini bertentangan dengan prinsip keadilan Ilahiah?
Bukankah keadilan Ilahiah menghendaki kesamaan bagi semua orang dalam
hal kekayaan, usia, jumlah anak, posisi sosial, popularitas dan
kemasyhuran, dan tidak menghendaki adanya perbedaan dalam hal-hal ini?
Apakah perbedaan dalam hal-hal ini dapat dijelaskan dengan cara lain
selain mengimani takdir Ilahiah?
Pertanyaan ini timbul akibat tidak memperhatikan bagaimana kerjanya
takdir Ilahiah. Rupanya si penanya beranggapan bahwa takdir Ilahiah
bekerja langsung, bukan melalui perantara sebab-akibat. Nampaknya juga
si penanya berpikiran bahwa kesehatan, rupawan, kekuasaan, posisi,
popularitas dan karunia-karunia lain Allah dibagikan langsung kepada
manusia oleh tangan gaib yang mengambil karunia-karunia tersebut
langsung dari tempat penyimpanan karunia.
Fakta bahwa karunia, entah yang material atau yang spiritual, tidak
dibagikan langsung, kurang mendapat perhatian yang memadai. Takdir
Ilahiah telah membangun sistem dan sejumlah hukum serta norma. Siapa pun
yang menghendaki sesuatu, dia harus berupaya mendapatkan sesuatu itu
melalui sistem itu, dan dengan mengikuti hukum dan norma itu.
Terjadinya kesalahpahaman juga akibat kurang memperhatikan posisi
manusia sebagai makhluk yang bertanggung jawab yang berupaya memperbaiki
dan meningkatkan kondisi hidupnya, yang melawan rintangan-rintangan
alam dan yang berupaya keras melawan keburukan sosial dan tirani.
Kalau terjadi perbedaan dalam masyarakat manusia, dan bila ada orang
yang punya segalanya serta ada orang yang nasibnya cuma harus selalu
berjuang keras untuk mendapatkan sesuap nasi, maka yang bertanggung
jawab atas keadaan seperti ini bukanlah takdir Ilahiah. Manusialah yang
bertanggung jawab atas terjadinya perbedaan itu, karena manusia itu
sendiri merdeka.
sumber: http://teosophy.wordpress.com/2012/11/04/kearifan-dan-keadilan-ilahi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar