Minggu, 05 Mei 2013

PEMIKIRAN ROBERT A.DAHL: Kaidah Mayoritas, Study Kasus: Pelarangan Ahmadiyah Di Indonesia



By: MARDIANTO

BAB 1
Pendahuluan
1.    Latar Belakang Masalah
Dalam berbagai kurun sepanjang lebih dari 2000 tahun, proses-proses demokratis secara khusus hanya digunakan pada negara-negara yang sangat kecil, seperti negara-negara kota di Yunani dan Italia pada abad pertengahan. Peningkatan penerapan cita-cita demokrasi pada negara bangsa diabad ke-17 dan seterusnya mensyaratkan lembaga-lembaga politik baru yang secara radikal berbeda dari yang diterapkan di negara-negara kota. Semua pranata baru itu sama-sama menggambarkan maupun memacu laju perubahan dalam cara berfikir tentang demokrasi sendiri. Jika bentuk-bentuk yang baru membutuhkan perkenan dan restu dari cita-cita kuno, semua perubahan yang terjadi dalam kesadaran politik sering bersifat halus, elusif, dan membingungkan. Sekarang istilah demokrasi nyaris menyerupai puing-puing peninggalan kuno yang dipergunakan terus menerus selama 2500 tahun.[1]
Pada dasarnya dalam suatu negara ada sebuah perdebatan, perdebatan itu timbul karena perbedaan pandangan mendudukkan kekuasaan. Satu pihak mendudukkannya pada hukum sedang pihak yang lain mendudukkannya pada politik. Apakah negara tersebut demokratis atau tidak demokratis perdebatan ini akan selalu ada karena keberpihakan kekuasaan pada suatu ide, pandangan atau kelompok tertentu yang dominan.
Sebuah masyarakat perlu sebuah Konsensus mayoritas dimana minoritas harus tunduk sekaligus patuh terhadap mayoritas dalam sebuah masyarakat. Atau dengan kata lain hukum positif digunakan sebagai pendukung tindakan-tindakan kelompok mayoritas yang mendominasi minoritas. Dalam sebuah masyarakat, jika minoritas lebih superior dibanding mayoritas maka akan terbentuk oligarki kekuasaan dan suatu saat kelamaan akan menjadi anarki. Dimana ada masyarakat, disitu ada hukum. Negara sebagai organisasi sosial terbesar yang dilahirkan masyarakat tentu memiliki seperangkat peraturan. Dalam sisi yang lain peraturan tersebut dibuat oleh kelompok dominan untuk mempertahankan kekuasaan. Sudah menjadi semacam sebuah keniscayaan universal dalam kelompok masyarakat mulai dari yang primitif hingga modern selalu ada saja yang mendominasi dan terdominasi.
Sebuah negara yang terdiri berbagai kelompok masyarakat yang tidak identik dan bervariasi mutlak perlu sebuah aturan hukum. Aturan tersebut bisa tertulis maupun tidak tertulis. Dalam sebuah negara tidak mungkin seluruh warga negaranya ikut serta dalam pembuatan aturan hukum kecuali pada negara kota zaman Yunani kuno. Prinsip keterwakilan dimana seseorang dapat mewakili suatu kelompok yang lebih besar secara bebas oleh rakyat lebih efisien jika dibandingkan demokrasi langsung ala Yunani kuno.
Ahmadiyah, adalah Jamaah Muslim yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) pada tahun 1889 di satu desa kecil yang bernama Qadian, Punjab, India. Berdirinya Ahmadiyah Pakistan yang dipimpin Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908), dilatarbelakangi oleh: Pertama, kolonialisme Inggris di benua Asia Selatan. Kedua, kemunduran kehidupan umat Islam di segala bidang.
Penyebaran Ahmadiyah di Indonesia bermula dari kedatangan Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad ke Jogjakarta pada Maret 1924 untuk menghadiri Kongres Ke-13 Muhammadiyah. Mereka dipersilakan berbicara dalam kesempatan tersebut. Beberapa pemikiran Ahmadiyah menarik perhatian banyak orang, terutama yang berkaitan dengan isu kedatangan Mesias atau Al asih. Pada 1925, Haji Rasul, ulama terkenal dari Sumatera Barat, mengunjungi Jogja dan Solo untuk bertemu dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah dan Ahmadiyah. Perdebatan mulai muncul dan tuduhan penyimpangan ajaran Islam untuk pertama kali diungkapkan. [2]
2.    Permasalahan
Demokrasi telah menjadi istilah yang sangat diagungkan dalam sejarah pemikiran manusia tentang tatanan sosio-politik yang ideal[3]. Di jaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi penganut paham demokrasi. seperti diketahui dari penelitian Amos J. Peaslee pada tahun 1950, dari 83 UUD negara – negara yang diperbandingkannya, terdapat 74 negara yang konstitusinya secara resmi menganut prinsip kedaulatan rakyat (90%)[4].
Demokrasi (Inggris: Democracy) secara bahasa berasal dari bahasa Yunani, yakni Demokratia. Demos artinya rakyat (people) dan kratos/cratein artinya memerintah.[5] Demokrasi berarti mengandung makna suatu sistem politik dimana rakyat memegang kekuasaan tertinggi, bukan kekuasaan oleh raja atau kaum bangsawan. Konsep demokrasi telah lama diperdebatkan. Pada zaman Yunani kuno, demokrasi sebagai ide dan tatanan politik telah menjadi perhatian para pemikir kenegaraan. Ada yang pro dan ada yang kontra. Plato (429-437 S.M) dan Aristoteles (384-322 SM) tidak begitu percaya pada demokrasi dan menempatkan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang buruk. Filusuf kenamaan ini lebih percaya pada monarkhi, yang penguasanya arif dan memperhatikan nasib rakyatnya. Plato dapat menerima demokrasi, jika suatu negara belum memiliki UUD, sedangkan Aristoteles dalam format negara politea, yakni demokrasi dengan UUD atau demokrasi yang bersifat modern.
Kasus sekte sesat Ahmadiyah kembali mencuat, bahkan sempat menimbulkan kehebohan, khususnya setelah terjadinya peristiwa Cikeusik, Pandeglang Banten. Dalam ajaran Islam yang telah memiliki doktrin keyakinan yang mapan (taken for granted) dan tidak boleh dilanggar, jelas diyakini bahwa “Ahmadiyah adalah ajaran SESAT dan MENYESATKAN, bahkan KAFIR”. Karena bila berkaitan dengan Islam, maka tidak ada lagi alasan “berlindung di balik HAM”, “atas nama kebebasan beragama dan berkeyakinan”, atau klaim palsu lainnya yang melegalkan tindakan “mengobrak-abrik dan mengobok-obok agama”. Dalam Islam, sangat kentara sekali perbedaan antara yang benar (haqq) yaitu ajaran Islam yang benar lagi murni dan yang batil antara lain keyakinan sesat dan ritual tidak benar sekte Ahmadiyah.
Kejelasan keyakinan dan ketegasan sikap ini, bukan berarti melegalkan anarkisme dan tindakan brutal. Namun bila hal tersebut sampai terjadi, kemungkinan karena adanya sebagian masyarakat yang telah membuncah kekesalannya dan tidak mampu menahan gejolak amarahnya. Sebab ajaran sesat ini sudah dilarang secara resmi oleh pemerintah, tetapi didiamkan saja tetap beraktifitas, bahkan hingga memperbanyak pengikut dan berlaku seenaknya dalam “mempertontonkan” dan memamerkan kesesatannya. Berdasarkan MUNAS MUI VII No. II Tanggal 26-29 Juli 2005 sehingga keluarnya fatwa tentang penetapan kesesatan Ahmadiyah dan pelarangan penyebaran pahamnya,  terbitlah SKB tiga menteri No. 199 tahun 2008. Kemunculan SKB tiga menteri ini tidak terlepas dari desakan mayoritas masyarakat islam di Indonesia yang menganggap ajaran dari kelompok minoritas ahmadiyah yang merupakan suatu sekte dari Islam itu sesat.
Dalam tatanan negara demokrasi keputusan mayoritas terbagi menjadi dua Pertama, mengharuskan kaidah mayoritas dalam pengertian yang lemah yang mengatakan bahwa dukungan mayoritas harus dianggap penting untuk mengesahkan suatu undang-undang. Kedua, pengertian kaidah mayoritas dalam artian yang lebih kuat berarti dukungan mayoritas itu tidak hanya penting akan tetapi juga cukup mengundangkan undang-undang.[6] Dalam buku Social Contract, Rousseau menulis: Dengan mengecualikan kontrak yang primitif, suara mayoritas selalu mewajibkan semua yang lain.... Tetapi diantara kebulatan suara dan terpecahnya pendapat menjadi dua bagian yang sama kuat, terdapat beberapa mayoritas bersyarat, yang pada bagian manapun dapat diadakan perimbangan, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan negara hukum. Dua buah  kaidah umum dapat berfungsi untuk mengatur perimbangan-perimbangan ini. Pertama, bahwa semakin penting dan semakin serius perbincangan, semakin dekat pendapat yang menang kepada kebulatan suara. Kedua, bahwa semakin cepat dibutuhkan urusan yang dihadapi, semakin kecil pula seharusnya perbedaan yang ditentukan dalam pembagian pendapat. Dalam perbincangan yang harus diakhiri ditempat itu juga, maka mayoritas satu suara saja dapat dianggap cukup.[7] Berdasarkan permasalahan diatas maka pertanyaan dalam makalah ini adalah “Bagaimanakah kaidah  mayoritas dalam demokrasi yang diyakini oleh Robert A. Dahl melihat kasus pelarangan Ahmadiyah di Indonesia?”.
3.    Kerangka Teori
Menurut Robert Dahl terdapat lima kriteria untuk mengenali proses pemerintahan sebuah asosiasi agar dapat memenuhi suatu persyaratan demokrasi, dimana semua anggota memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam berbagai keputusan kebijakan asosiasi:[8]
1.    Partisipasi efektif, sebelum sebuah kebijakan digunakan oleh asosiasi, seluruh anggota harus mempunyai kesempatan yang sama dan efektif untuk membuat pandangan mereka diketahui oleh anggota-anggota lainnya sebagimana seharusnya kebijakan itu dibuat.
2.    Persamaan suara, ketika akhirnya tiba saat dibuatnya keputusan tentang kebijaksanaan itu, setiap anggota harus mempunyai kesempatan yang sama dan efektif untuk memberikan suara dan seluruh suara harus dihitung semua.
3.    Pembenaran kebenaran, dalam waktu yang dimungkinkan, karena keperluan untuk suatu keputusan, setiap warganegara harus mempunyai peluang yang sama dan memadai untuk melakukan penilaian yang logis demi mencapai hasil yang paling diinginkan.
4.    Pengawasan agenda, setiap anggota harus mempunyai kesempatan eksklusif untuk memutuskan bagaimana dan apa permasalahan yang dibahas dalam agenda.
5.    Pencakupan orang dewasa, semua atau paling tidak sebagian besar, orang dewasa yang menjadi penduduk tetap seharusnya memiliki hak kewarganegaraan penuh yang ditunjukkan oleh empat kriteria seblumnya.
Dalam proses demokrasi menghendaki kaidah keputusan tertentu atau bahkan beberapa kaidah yang berbeda-beda. Bagaimanapun, ketika tahap  akhir pembuatan keputusan itu dicapai, dan semua suara yang mempunyai nilai yang sama dihitung, diperlukan sebuah kaidah untuk menentukan alternatif mana yang akan diambil.[9] Setiap demos yang terikat pada proses demokrasi tampaknya akan menemukan kaidah mayoritas itu secara intuisi sangat menarik.[10] Dalam pembenaran yang rasional suatu kaidah mayoritas dapat dicapai dalam empat cara yang berbeda, yaitu:[11]
1.    Kaidah mayoritas memaksimumkan jumlah orang yang dapat menentukan nasib sendiri dalam keputusan bersama. Dengan memperhatikan garis batas dari suatu sistem politik tertentu, komposisi demos, dan perlunya suatu keputusan bersama terhadap suatu masalah, maka prinsip keras kaidah mayoritas manjamin bahwa undang-undang yang mereka pilih sendiri.
2.    Ketika empat keriteria yang logis harus dipenuhi oleh suatu kaidah keputusan dalam suatu masyarakat yang demokratis (Partisipasi efektif, Persamaan suara, Pembenaran kebenaran, Pengawasan agenda), maka secara logika harus menyetujui bahwa prinsip kaidah mayoritas yang dapat memenuhi kriteria-kriteria itu.
3.    Dalam kondisi tertentu kaidah mayoritas itu kebih besar kemungkinannya dibandingkan dengan yang lain untuk menghasilkan keputusan yang benar.
4.    Memaksimumkan manfaat. Dalam setiap usul yang didukung oleh mayoritas, apabilah usul itu diterima maka masing-masing warganegara dalam mayoritas itu akan memperoleh sekurang-kurangnya keuntungan yang sama dengan keuntungan yang hilang dari setiap warganegara dalam minoritas.
BAB 2
Pembahasan Materi
Sejarah berdirinya Ahmadiyah, tidak terlepas dari sejarah Mirza Ghulam Ahmad sendiri sebagai pendiri aliran ini. Ia dilahirkan di Qadian tahun 1835, ayahnya bernama Mirza Ghulam Murtada. Menurut riwayat, nenek moyangnya berasal dari Samarkand yang pindah ke India pada tahun 1530, yaitu sewaktu pemerintahan dinasti Mughal, mereka tinggal diGundaspur, Punjab – India. Di situ mereka membangun kota Qadian. Menurut suatu keterangan, famili Ghulam Murtada masih keturunan Haji Barlas dari dinasti Mughal, dan oleh karenanya didepan nama keturunan keluarga ini terdapat sebutan Mirza.[12]
Tampaknya keluarga Mirza ini, pernah menjadi pembantu setia pemerintah kolonial Inggris di India. Jauh sebelum itu, keluarga tersebut sudah menjalin kerja sama yang erat dengan pimpinan kaum Sikh, Ranjat Singh. Dengan demikian, tidak pelak lagi jika aliran Ahmadiyah bersikap kooperatif dengan pemerintah Inggris. Tentunya sikap kooperatif tersebut, berbeda dengan sikap kooperatif yang dijalankan oleh Sayyid Ahmad Khan, sekalipun keduanya sama-sama mendapat reaksi keras dari ummat Muslim India.
Apabila Ahmad Khan menginginkan agar ummat Muslim bisa memperoleh kemajuan dan kesuksesan sebagaimana yang dicapai oleh bangsa Eropa, dengan mendirikan Universitas Aligarh, maka Mirza Ghulam Ahmad dengan Ahmadiyahnya ingin mendapat perlindungan secara politis, sehingga ia bebas menyebarkan ide kemahdiannya dan dapat mempertahankan aliran yang didirikannya. Disamping itu, pendiri Ahmadiyah juga ingin melestarikan tradisi keluarganya yang telah lama menjalin hubungan mereka dengan pemerintah Inggris, sebagaimana pernyataan Mirza Ghulam Ahmad sendiri:[13]
Sungguh sejak masa mudaku sampai hari ini, aku dalam usia 60 tahun, aku menjadi orang yang gigih berjuang dengan lisan dan penaku supaya aku dapat memalingkan keikhlasan hati kaum Muslimin kepada pemerintah Inggris karena kebaikannya, dan bersikap lunak kepadanya. Dan aku mengajak mereka, agar mereka menghilangkan pikiran untuk berjihad (terhadap Inggris), dimana pikiran seperti itu masih diikuti oleh sebagian mereka yang bodoh-bodoh, dan pikiran semacam itulah yang mencegah mereka tidak mau patuh kepada pemerintah Inggris.
2.  Penyebaran Ahmadiyah Di Indonesia
Jika dilihat dari sejarahnya, Ahmadiyah didirikan oleh orang-orang yang berasal dari dua kelompok Islam besar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama. Dalam kongres Muhammadiyah di Solo pada 1929, Majelis Tarjih Muhammadiyah menyatakan bahwa barang siapa yang memercayai adanya nabi setelah Muhammad dianggap kafir. Walau tidak eksplisit menyebut Ahmadiyah, faktanya sejak pernyataan ini dikeluarkan hubungan antara Muhammadiyah dan Ahmadiyah menjadi putus.[14]
Perkembangan Ahmadiyah tidak menjadi surut dengan adanya fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah. Pada tahun 1930, pemerintah kolonial memberikan pengakuan terhadap Ahmadiyah. Selain ketua Djojosoegito, terdapat nama Erfan Dahlan sebagai pengurus. Erfan Dahlan adalah putra KH. Achmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) yang belajar tentang Ahmadiyah di Lahore dan kemudian mengembangkan aliran tersebut di Thailand.[15]
Di tahun yang sama, hubungan Ahmadiyah dengan Syarikat Islam (SI) pimpinan HOS Tjokroaminoto semakin menguat. Ketika Pemimpin SI, menerbitkan tafsir Alquran pada 1930, kata pengantar diberikan pimpinan Ahmadiyah di Lahore, India. Kemudian, ketika ketepatan terjemahan kitab suci itu banyak dikritik, terutama dari kalangan Muhammadiyah, giliran pimpinan Ahmadiyah yang memberikan dukungan kepada Tjokroaminoto. Belakangan, hubungan antara kedua organisasi ini merenggang, namun bukan karena masalah keimanan melainkan perbedaan dalam memposisikan pemerintah kolonial. SI dengan tegas menentang pemerintah kolonial sedangkan Ahmadiyah tetap loyal kepada kekuasaan Hindia Belanda. Sejak diakui oleh pemerintah Hindia Belanda, Ahmadiyah terus berkembang dalam dua kelompok aliran, yaitu :
·  Ahmadiyah Qadian, di Indonesia dikenal dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (berpusat di Bogor), yakni kelompok yang mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang mujaddid (pembaharu) dan seorang nabi.
·  Ahmadiyah Lahore, di Indonesia dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (berpusat di Yogyakarta). Secara umum kelompok ini tidak menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, melainkan hanya sekedar mujaddid dari ajaran Islam.
1.  Ahmadiyah Qadian[16]
Tiga pemuda dari Sumatera Tawalib yakni suatu pesantren di Sumatera Barat meninggalkan negerinya untuk menuntut Ilmu. Mereka adalah (alm) Abubakar Ayyub, (alm) Ahmad Nuruddin, dan (alm) Zaini Dahlan. Awalnya meraka akan berangkat ke Mesir, karena saat itu Kairo terkenal sebagai Pusat Studi Islam. Namun Guru mereka menyarankan agar pergi ke India karena negara tersebut mulai menjadi pusat pemikiran Modernisasi Islam. Sampailah ketiga pemuda Indonesia itu di Kota Lahore dan bertemu dengan Anjuman Isyaati Islam atau dikenal dengan nama Ahmadiyah Lahore. Setelah beberapa waktu disana, merekapun ingin melihat sumber dan pusat Ahmadiyah yang ada di desa Qadian. Dan setelah mendapatkan penjelasan dan keterangan, akhirnya mereka Bai’at di tangan Hadhrat Khalifatul Masih II r.a., Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad r.a.
Kemudian tiga pemuda itu memutuskan untuk belajar di Madrasah Ahmadiyah yang kini disebut Jamiah Ahmadiyah. Merasa puas dengan pengajaran disana, Mereka mengundang rekan-rekan pelajar di Sumatera Tawalib untuk belajar di Qadian. Tidak lama kemudian dua puluh tiga orang pemuda Indonesia dari Sumatera Tawalib bergabung dengan ketiga pemuda Indonesia yang terdahulu, untuk melanjutkan studi juga baiat masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah. Dua tahun setelah peristiwa itu, para pelajar Indonesia menginginkan agar Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. berkunjung ke Indonesia. Hal ini disampaikan (alm) Haji Mahmud – juru bicara para pelajar Indonesia dalam Bahasa Arab. Respon positif terlontar dari Hadhrat Khalifatul Masih II r.a.. Ia meyakinkan bahwa meskipun beliau sendiri tidak dapat mengunjungi Indonesia, beliau akan mengirim wakil beliau ke Indonesia. Kemudian, (alm) Maulana Rahmat Ali HAOT dikirim sebagai muballigh ke Indonesia sebagai pemenuhannya. Tanggal 17 Agustus 1925, Maulana Rahmat Ali HAOT dilepas Hadhrat Khalifatul Masih II r.a berangkat dari Qadian.
2.  Ahmadiyah Lahore[17]
Tahun 1924 dua pendakwah Ahmadiyah Lahore Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad, datang ke Yogyakarta. Minhadjurrahman Djojosoegito, seorang sekretaris di organisasi Muhammadiyah, mengundang Mirza dan Maulana untuk berpidato dalam Muktamar ke-13 Muhammadiyah, dan menyebut Ahmadiyah sebagai “Organisasi Saudara Muhammadiyah”. Pada tahun 1926, Haji Rasul mendebat Mirza Wali Ahmad Baig, dan selanjutnya pengajaran paham Ahmadiyah dalam lingkup Muhammadiyah dilarang. Pada Muktamar Muhammadiyah 18 di Solo tahun 1929, dikeluarkanlah pernyataan bahwa “orang yang percaya akan Nabi sesudah Muhammad adalah kafir”. Djojosoegito yang diberhentikan dari Muhammadiyah, lalu membentuk dan menjadi ketua pertama dari Gerakan Ahmadiyah Indonesia, yang resmi berdiri 4 April 1930.
3. Pelarangan Ahmadiyah
Selain mendapatkan pengakuan dari pemerintah kolonial, Ahmadiyah juga telah berbadan hukum melalui sejak dikeluarkannya SK Menteri Kehakiman RI No. JA 5/23/13 Tgl. 13-3-1953 bahkan pada tahun 2003 diakui sebagai organisasi kemasyarakatan melalui surat Direktorat Hubungan Kelembagaan Politik No. 75//D.I./VI/2003.[18]
Namun pengakuan dari negara ternyata tidak memiliki nilai di mata para penentang Ahmadiyah. Bayangkan, di atas pengakuan negara terhadap keberadaannya, Ahmadiyah terus mendapatkan serangan dan teror. Perusakan tempat ibadah, rumah pribadi, aset-aset organisasi bahkan penghilangan nyawa, adalah harga yang harus dibayar oleh pengikut Ahmadiyah, yang juga warga negara Indonesia, hanya karena ia memiliki kepercayaan yang berbeda dengan yang lain.
Beberapa faktor bisa disebutkan sebagai penyebab bertambah parahnya konflik ini. Namun salah satu faktor yang paling penting adalah adanya fatwa MUI pada tahun 1980 yang menyatakan bahwa Ahmadiyah berada ”di luar” Islam. Fatwa ini kemudian diperkuat dengan fatwa baru hasil Munas VII MUI tahun 2005 yang mengharamkan Ahmadiyah. Sejak itu, kekerasan dan teror tak terbendung lagi. Dalam perkembangannya pemerintah juga ikut melarang Ahmadiyah. Dimulai dengan keputusan Bakorpakem yang menyatakan Ahmadiyah sebagai aliran yang menyimpang, dilanjutkan dengan dikeluarkan keputusan bersama tiga menteri (SKB) yang melarang Ahmadiyah.
Dalam negara demokrasi, konflik merupakan suatu aspek kehidupan yang tidak dapat dihindarkan, dan pemikiran serta praktek cenderung menerima konflik sebagai suatu watak manusia yang normal dan bukan suatu hal yang luar biasa.[19] Konflik yang terjadi antara mayoritas muslim di Indonesia dengan Kelompok Minoritas Ahmadiyah disebabkan karena ketidak samaan pandangan terhadap nilai-nilai yang dianut. Dalam pandangan kelompok mayoritas muslim ajaran ahmadiyah telah melecehkan ajaran islam yang diyakini oleh kelompok mayoritas muslim.
Indonesia merupakan sebuah negara yang menganut ideologi demokrasi, oleh karenanya segala konflik yang terjadi diantara warganegara harus diselesaikan secara konstitusi. Dalam pandangan Rober A. Dahl tentang kaidah mayoritas yang terjadi dalam konflik antara mayoritas muslim dan kelompok ahmadiyah ini dapat kita analisis satu persatu, yaitu:
1.    Kaidah mayoritas memaksimumkan jumlah orang yang dapat menentukan nasib sendiri dalam keputusan bersama. Dengan memperhatikan garis batas dari suatu sistem politik tertentu, komposisi demos, dan perlunya suatu keputusan bersama terhadap suatu masalah, maka prinsip keras kaidah mayoritas manjamin bahwa undang-undang yang mereka pilih sendiri.
Dalam konflik ahmadiyah, ini merupakan sebuah konflik yang terjadi berdasarkan agama. Terjadi ketidak samaan pandangan antara kelompok ahmadiyah yang minoritas dengan kelompok islam yang mayoritas lainnya. Melalui keputusan bersama yang disepakati oleh kelompok mayoritas muslim melalui MUI selaku wadah atau majelis yang menghimpun para ulama,zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama, diputuskan bahwa kelompok moyoritas ahmadiyah bukan bagian dari agama islam. Keputusan MUI ini merupakan suatu keputusan yang diambil berdasarkan artikulasi dari kelompok mayoritas muslim yang melihat ajaran dari ahmadiyah itu adalah sesat. Peran MUI disini sebagai wakil kelompok mayoritas yang menetapkan bahwa Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad. Keputusan MUI merupakan Undang-undang yang harus dipatuhi oleh orang yang beragama islam.
2.    Ketika empat keriteria yang logis harus dipenuhi oleh suatu kaidah keputusan dalam suatu masyarakat yang demokratis (Partisipasi efektif, Persamaan suara, Pembenaran kebenaran, Pengawasan agenda), maka secara logika harus menyetujui bahwa prinsip kaidah mayoritas yang dapat memenuhi kriteria-kriteria itu.
Ketika pendukung Ahmadiyah mengatakan bahwa penerbitan SKB 3 Menteri pelarangan Ahmadiyah melanggar HAM, kelompok kontra yang suaranya diwakili oleh Majalis Ulama Indonesia membantahnya dengan mengatakan bahwa kasus Ahmadiyah tidak berhubungan dengan HAM maupun kebhinekaan, akan tetapi kasus ini merupakan persoalan penodaan agama, dan Ahmadiyah bertindak sebagai pelakunya. Menurut Robert A. Dahl,[20] Pertama, dalam kaidah keputusan yang demokratis harus bersifat menentukan. Kalau demos dihadapkan kepada dua alternatif yaitu x dan y, maka kaidah keputusan itu harus pasti menuju pada salah satu dari tiga hasil akhir: memilih x, memilih y, atau tidak memilih keduanya. Kedua, kaidah keputusan yang demokratis tidak lebih mementingkan seorang pemberi suara dari yang lain. Hasil akhirnya tidak boleh tergantung pada orang-orang tertentu mana yang menyukai atau menentang suatu alternatif.  Ketiga, prosedur pemberian suara harus netral terhadap alternatif-alternatif. Sehingga kaidah keputusan adalah tidak lain dari versi keputusan mayoritas yang kuat karena merupakan suatu kriteria yang logis dalam mengambil keputusan.
3.    Dalam kondisi tertentu kaidah mayoritas itu kebih besar kemungkinannya dibandingkan dengan yang lain untuk menghasilkan keputusan yang benar.
Mayoritas muslim meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah terakhir, sebagaimana hadist Rasulullah SAW, “Rasulullah bersabda: “Tidak ada nabi sesudahku” (HR. Bukhari). Dan hadist yang lain “Rasulullah bersabda: “Kerasulan dan kenabian telah terputus; karena itu, tidak ada rasul maupun nabi sesudahku” (HR. Tirmidzi). Oleh karena itu  aliran Ahmadiyah yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sesudah Nabi Muhammad dan menerima wahyu adalah murtad dan keluar dari Islam karena mengingkari ajaran Islam yang qath’i dan disepakati oleh seluruh ulama Islam bahwa Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir.
Keputusan Mujamma’ al-Fiqh al-Islami Organisasi Konferensi Islam (OKI) Nomor 4 (4/2) dalam Muktamar II di Jeddah, Arab Saudi, pada tanggal 10-16 Rabi’ al-Tsani 1406 H / 22-28 Desember 1985 M tentang Aliran Qadiyaniyah [21]Sesungguhnya apa yang diklaim Mirza Ghulam Ahmad tentang kenabian dirinya, tentang risalah yang diembannya dan tentang turunnya wahyu kepada dirinya adalah sebuah pengingkaran yang tegas terhadap ajaran agama yang sudah diketahui kebenarannya secara qath’i (pasti) dan meyakinkan dalam ajaran Islam, yaitu bahwa Muhammad Rasulullah adalah Nabi dan Rasul terakhir dan tidak akan ada lagi wahyu yang akan diturunkan kepada seorangpun setelah itu. Keyakinan seperti yang diajarkan Mirza Ghulam Ahmad tersebut membuat dia sendiri dan pegikutnya menjadi murtad, keluar dari agama Islam. Aliran Qadyaniyah dan Aliran Lahoriyah adalah sama, meskipun aliran yang disebut terakhir (Lahoriyah) meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad hanyalah sebagai bayang-bayang dan perpanjangan dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam“.
Dalam kasus ahmadiyah ini, menunjukkan kelompok mayoritas Islam lebih dapat menghasilkan suatu keputusan yang benar. Permasalahan antara kelompok mayoritas muslim dan kelompok minoritas ahmadiyah berpangkal dari keyakinan dalam agama, yaitu pengakuan ada nabi setelah Muhammad SAW. Karena permasalahan itu bermula dari agama maka dalam penyelesaiannya dapat dilihat hukum-hukum yang ada dalam agama. Sehingga kebenaran akan didapat ketika mayoritas orang memilih sesuatu yang dianggap benar.
4.    Memaksimumkan manfaat. Dalam setiap usul yang didukung oleh mayoritas, apabilah usul itu diterima maka masing-masing warganegara dalam mayoritas itu akan memperoleh sekurang-kurangnya keuntungan yang sama dengan keuntungan yang hilang dari setiap warganegara dalam minoritas.
Dalam kaidah mayoritas menurut Robert A. Dahl dapat dilihat prinsip untung dan rugi didalamnya. Jika suatu kelompok terpecah pendapat antara 2 pilihan maka hanya dengan prinsip mayoritas suatu keputusan dapat memenuhi prinsip keuntungan atau kerugian. Jadi keuntungan suatu kelompok mayoritas itu sama dengan kerugian yang diterima oleh minoritas. Dengan keputusan dilarangnya ahmadiyah maka kelompok mayoritas muslim mendapatkan keuntungan atas kekalahan dari kelompok minoritas. Robert A. Dahl mengasumsikan bahwa keuntungan bersih dari setiap anggota mayoritas dan kerugian bersih dari anggota minoritas persis sama, yaitu sama-sama satu unit kepuasan.[22] Misalnya meskipun hanya 51 orang dari kelompok mayoritas muslim dari jumlah seluruh orang muslim di Indonesia yang menyetujui pembubaran ahmadiyah yang berjumlah 100 orang, dan 49 orang yang lain menentangnya maka keuntungan bersih yang didapat berdasarkan prinsip mayoritas adalah dua unit kepuasan.
BAB 3
Kesimpulan
Konflik ahmadiyah di Indonesia dalam perspektif kaidah mayoritas Robert A. Dahl dapat dijadikan pembenaran akan pelarangan kelompok ahmadiyah di Indonesia. Berdasarkan keputusan bersama dalam intern umat islam menyatakan bahwa ajaran dari kelompok ahmadiyah itu sesat. Hal ini terkait dengan perbedaan aqidah yang diyakini bersama oleh setiap umat islam bahwa nabi Muhammad SAW adalah nabi terakhir,  sedangkan dalam keyakinan kelompok ahmadiyah bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi sesudah rasulullah Muhammad SAW. Maka keputusan sesat ini merupakan pilihan yang diambil dan dijadikan pegangan untuk dijalankan. Dalam pengambilan keputusan berdasarkan kaidah mayoritas maka yang menjalankan keputusan itu dapat dimaksimumkan karena keputasan itu merupakan keputasan mayoritas yang tidak dipaksakan.
Dalam kaidah demokratis harus menetukan keputusan, oleh karena itu keputusan dapat diambil apabilah terdapat kelompok mayoritas yang memenangkan suatu pemilhan. Jika diadakan pemberian suara langsung dalam penentuan pelarangan ahmadiyah maka kelompok mayoritas akan memenangkannya, karena mempunya suara yang mayoritas lebih banyak.
Dalam suatu keputusan benar dan salah, memungkinkan kelompok mayoritas membuat pilihan yang tepat adalah lebih besar daripada kemungkinan minoritas yang melakukannya. Konflik ahmadiyah timbul karena penafsiran Mirza Ghulam Ahmad  bahwa ia adalah seorang nabi. Hal ini sangat bertentangan dengan keyakinan dalam islam yang tidak meyakini tidak ada nabi sesudah Muhammad SAW. Keputasan yang benar itu dapat dilihat hanya melalui kaidah mayoritas karena setiap pilihan yang diberikan dapat dipersentasekan sebagai suara terbaik yang diyakini benar.
Melihat kaidah mayoritas dalam konteks untung dan rugi, suatu keuntungan yang didapatkan oleh kelompok mayoritas muslim dengan pelarangan ahmadiyah adalah sama dengan kerugian yang didapat kelompok ahmadiyah. Ketika kelompok ahmadiyah mengalami kerugian karena dilarang mengakui diri sebagai bagian dari umat islam karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi,  maka keuntungan yang didapatkan oleh kelompok mayoritas adalah tidak ada lagi kelompok didalam islam yang mengakui bahwa ada nabi setelah rasulullah Muhammad SAW.

DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly,  Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Dahl, Robert A, Demokrasi dan Para Pengkritiknya Jilid I, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992. 
Dahl, Robert A, Demokrasi dan Para Pengkritiknya Jilid II, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992.
Dahl, Robert A, Dilema Demokrasi Pluralis, Antara Otonomi dan Kontrol,  Jakarta: CV Rajawali, 1985.
Dahl,Robert A, Perihal Demokrasi: Menjalajahi Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001. 
Held, David, Models of Democracy, Polity Press Ltd, 2006.
Nurtjahjo, Hendra, Filsafat Demokrasi, Jakarta: PSHTN FH UI, 2005.
Internet
http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=850, diakses  30 april 2011, Jam 22.00 WIB.


[1] Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis, Antara Otonomi dan Kontrol, ( Jakarta: CV Rajawali, 1985), Hlm. 9
[2] http://www.p2d.org/index.php/kon/32-15-mei-2008/161-sejarah-ahmadiyah-dan-konfliknya.html,  diakses  30 april 2011, Jam 22.00 WIB.
[3] Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, (Jakarta: PSHTN FH UI, 2005), hlm.1.
[4] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm.140.
[5] David Held, , Models of Democracy, (Polity Press Ltd 2006), hlm. xiii
[6] Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengkritiknya Jilid I, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992),  Hlm. 204

[7] Ibid.
[8] Robert A. Dahl, Perihal Demokrasi: Menjalajahi Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat/Robert A. Dahl, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001),  hlm. 52
[9] Robert A. Dahl,  Demokrasi dan Para Pengkritiknya Jilid I,  Op. Cit, Hlm. 205
[10] Ibid, hlm. 206
[11] Ibid, hlm. 208
[13] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Dawam Raharjo,  http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=850,  diakses  30 april 2011, Jam 22.00 WIB.
[19] Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengkritiknya Jilid II, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992),  Hlm. 12
[20] Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengkritiknya Jilid I,  Op. Cit, Hlm. 211
[22] Robert A. Dahl,  Demokrasi dan Para Pengkritiknya Jilid I,  Op. Cit, Hlm. 218

Tidak ada komentar:

Posting Komentar