BY: KH Abdurrahman Wahid
BIOGRAFI
Abdurrahman Wahid lahir di Jombang, 4 Agustus 1940. Ayahnya,
KH Wahid Hasyim adalah anak pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Hasyim Asy'ari.
Ibunya, Hj Sholehah juga merupakan keturunan tokoh besar NU, KH Bisri Sansuri.
Ketika kecil, Gus Dur -- demikian ia biasa dipanggil -- sempat bercita-cita
menjadi anggota ABRI. Namun, keinginannya itu kandas di tengah jalan karena
sejak berusia 14 tahun ia sudah harus memakai kacamata minus.
Menyelesaikan
SD di Jakarta, Gus Dur melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menengah Ekonomi
Pertama di Yogyakarta hingga lulus pada tahun 1957. Selepas itu, Gus Dur
memasuki dunia pendidikan agama secara intensif. Mula-mula ia menimba ilmu
agama selama sekitar dua tahun di Pesantren Tegalrejo (Magelang) di bawah
bimbingan Kiai Chudori. Selanjutnya di Pesantren Tambak Beras (Jombang), Gus
Dur bekerja sambil meneruskan pendidikan di pesantren sebagai santri senior.
Bagi Gus Dur, kehidupan pesantren tentu saja bukan hal yang baru. Sewaktu
kecil, ia sudah diajar mengaji dan membaca Alquran oleh kakeknya di Pesantren
Tebuireng (Jombang).
Salah satu kesenangan Gus Dur yang terus 'diidapnya' hingga
sekarang adalah mendengarkan musik klasik Barat. Kebiasaan ini berawal sejak
usia SD dari pengalamannya mengikuti les privat bahasa Belanda. Untuk menambah
pelajaran bahasa Belanda, gurunya kerap memutarkan lagu-lagu klasik Barat.
Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat menuju Mekah untuk
menunaikan ibadah haji, sekaligus untuk melanjutkan studinya di Universitas
Al-Azhar di Kairo. Selama di sana ia tinggal bersama para pelajar asal
Indonesia dan sempat menjadi Sekretaris Persatuan Pelajar Indonesia di Mesir.
Saat di luar negeri itu jugalah Gus Dur melangsungkan 'pernikahan jarak jauh'
dengan Siti Nuriah. Pasangan ini kemudian dikaruniai empat orang putri: Alissa
Munawarah, Arifah, Chayatunnufus, dan Inayah.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Mesir, pada tahun
1966 Gus Dur pindah ke Baghdad, Irak. Di sana ia masuk Department of Religion
di Universitas Baghdad dengan mengambil spesialisasi ilmu sastra dan humaniora.
Dari Baghdad, Gus Dur meneruskan pengembaraan akademisnya ke sejumlah negara
Eropa, dari satu universitas ke universitas lainnya. Terakhir, ia tinggal di
Belanda selama sekitar enam bulan, dan sempat mendirikan Perkumpulan Pelajar
Muslim Indonesia dan Malaysia.
Sekembalinya di Tanah Air, pada tahun 1971 Gus Dur bergabung
dengan Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy'ari. Di universitas kota
kelahirannya itu, Gus Dur mengajar teologi dan beberapa ilmu agama. Selanjutnya
sejak tahun 1974 ia dipercaya sebagai sekretaris pesantren Tebuireng.
Berbarengan dengan itu, nama Gus Dur mulai dikenal orang melalui tulisannya di
berbagai surat kabar, majalah, dan jurnal.
Kiprahnya di dunia politik dimulai sekitar awal 1980-an,
ketika ia mulai banyak bersinggungan dan secara terbuka menawarkan ide-ide
tentang pluralisme, demokrasi, HAM, dan lain-lain. Tindakan politiknya semakin
kentara sejak ia terpilih menjadi Ketua Umum PBNU pada Muktamar 1984 di
Situbondo -- justru ketika NU ditetapkan kembali pada khittah 1926, yang
berarti NU menarik diri dari dunia politik praktis. Hal ini bisa terjadi karena
memang dengan khittah itulah hubungan NU dengan pemerintah Orde Baru yang
semula tegang menjadi cair. Melalui peran Gus Dur pula NU menjadi ormas Islam
pertama yang menerima pemberlakuan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Meskipun kemudian hubungan Gus Dur dengan
pemerintah kembali merenggang karena sikap kritisnya terhadap pemerintahan
Soeharto, posisinya sebagai Ketua Umum PBNU tetap dapat dipertahankannya selama
dua kali muktamar berturut-turut, yaitu pada tahun 1989 dan 1994.
Oleh sebagian orang, gagasan-gagasan dan tindakan Gus Dur
kerap dipandang sebagai ide kontroversial dan mengejutkan, tak jarang pula
melawan arus. Sekali waktu, Gus Dur menggagas untuk mengganti salam
assalamu'alaikum dengan selamat pagi -- gagasan yang kontan mendatangkan
sergahan dari umat Islam. Pada lain waktu, Gus Dur mengejutkan banyak orang
melalui kunjungannya ke Israel pada tahun 1994, justru ketika masyarakat banyak
menyoroti kelicikan negeri tersebut terhadap nasib rakyat Palestina. Bahkan,
sepulangnya dari sana Gus Dur menyarankan agar pemerintah membuka hubungan
diplomatik dengan Israel. Belakangan, Gus Dur seolah memantapkan gelarnya
sebagai tokoh kontroversial ketika ia justru beberapa kali menyambangi Soeharto
setelah penguasa Orde Baru itu lengser. Kontroversi lainnya, ia dicalonkan
sebagai presiden bukan oleh PKB yang dideklarasikannya, tapi justru oleh
beberapa partai Poros Tengah.
Gus Dur menghadap Allah swt., hari Rabu 30 Desember 2009
KONSEP-KONSEP KEADILAN
oleh Abdurrahman Wahid
Tidak dapat dipungkiri, al-Qur'an
meningkatkan sisi keadilan dalam
kehidupan manusia, baik
secara kolektif maupun individual.
Karenanya, dengan mudah
kita lalu dihinggapi semacam
rasa cepat puas diri sebagai pribadi-pribadi Muslim dengan
temuan yang mudah
diperoleh secara gamblang
itu. Sebagai
hasil lanjutan dari rasa puas diri itu, lalu muncul idealisme atas al-Qur'an sebagai sumber
pemikiran paling baik tentang
keadilan. Kebetulan persepsi
semacam itu sejalan dengan doktrin keimanan Islam sendiri tentang
Allah sebagai Tuhan
Yang Maha Adil.
Bukankah kalau Allah sebagai
sumber keadilan itu sendiri, lalu sudah sepantasnya
al-Qur'an yang menjadi
firmanNya (kalamu 'l-Lah)
juga menjadi sumber
pemikiran tentang keadilan? Cara berfikir
induktif seperti itu
memang memuaskan bagi mereka
yang biasa berpikir sederhana tentang kehidupan, dan cenderung menilai refleksi filosofis yang
sangat kompleks dan rumit.
Mengapakah kita harus
sulit-sulit mencari pemikiran dengan kompleksitas sangat tinggi tentang keadilan?
Bukankah lebih
baik apa yang
ada itu saja segera diwujudkan dalam kenyataan hidup kaum Muslimin secara tuntas?
Bukankah refleksi yang
lebih jauh hanya
akan menimbulkan kesulitan belaka?
"Kecenderungan praktis"
tersebut, memang sudah
kuat terasa dalam
wawasan teologis kaum skolastik (mutakallimin) Muslim sejak delapan abad terakhir ini.
Argumentasi seperti itu memang tampak
menarik sepintas lalu. Dalam
kecenderungan segera melihat
hasil penerapan wawasan Islam tentang keadilan dalam hidup nyata.
Apalagi dewasa ini justru
bangsa-bangsa Muslim sedang
dilanda masalah ketidakadilan
dalam ukuran sangat
massif. Demikian juga,
persaingan
ketat antara Islam
sebagai sebuah paham tentang kehidupan, terlepas dari
hakikatnya sebagai ideologi
atau bukan,
dan paham-paham besar
lain di dunia ini, terutama ideologi-ideologi besar
seperti Sosialisme, Komunisme,Nasionalisme
dan Liberalisme. Namun, sebenarnya kecenderungan serba praktis seperti itu adalah sebuah pelarian
yang tidak akan
menyelesaikan masalah. Reduksi sebuah
kerumitan menjadi masalah
yang disederhanakan, justru
akan menambah parah
keadaan.
Kaum Muslim akan semakin menjauhi
keharusan mencari pemecahan yang
hakiki dan berdayaguna
penuh untuk jangka panjang,
dan merasa puas
dengan "pemecahan" sementara yang
tidak akan berdayaguna efektif dalam jangka
panjang.
Ketika Marxisme dihadapkan kepada masalah
penjagaan hak-hak perolehan
warga masyarakat, dan dihadapkan demikian kuatnya wewenang
masyarakat untuk memiliki
alat-alat produksi, pembahasan
masalah itu oleh pemikir Komunis diabaikan, dengan menekankan slogan "demokrasi sosial"
sebagai pemecahan praktis yang
menyederhanakan masalah. Memang
berdayaguna besar dalam jangka
pendek, terbukti dengan
kemauan mendirikan negara-negara
Komunis dalam kurun
waktu enam dasawarsa terakhir ini. Namun, "pemecahan
masalah" seperti itu ternyata membawa
hasil buruk, terbukti dengan "di bongkar
pasangnya" Komunisme dewasa ini oleh para
pemimpin mereka sendiri
di mana-mana.
Rendahnya produktivitas
individual sebagai akibat langsung dari hilangnya kebebasan individual
warga masyarakat yang
sudah berwatak kronis,
akhirnya memaksa parta-partai Komunis untuk melakukan perombakan total seperti
diakibatkan oleh
perestroika dan glasnost
di Uni Soviet beberapa waktu lalu.
Tilikan atas pengalaman orang lain itu
mengharuskan kita untuk juga
meninjau masalah keadilan dalam pandangan Islam secara lebih cermat dan mendasar. Kalaupun ada
persoalan, bahkan yang paling
rumit sekalipun, haruslah
diangkat ke permukaan dan selanjutnya dijadikan bahan kajian mendalam
untuk pengembangan wawasan
kemasyarakatan Islam yang
lebih relevan dengan perkembangan kehidupan umat manusia di
masa-masa mendatang. Berbagai masalah dasar yang sama akan dihadapi
juga oleh paham yang dikembangkan Islam, juga akan
dihadapkan kepada nasib yang
sama dengan yang menentang Komunisme, jika tidak dari sekarang dirumuskan pengembangannya secara baik
dan tuntas,
bukankah hanya melalui jalan pintas belaka.
Pembahasan
berikut akan mencoba mengenal (itemize) beberapa aspek yang harus dijawab oleh Islam
tentang wawasan keadilan sebagaimana tertuang dalam al-Qur'an.
Pertama-tama akan dicoba untuk mengenal wawasan yang ada, kemudian dicoba
pula untuk menghadapkannya kepada keadaan dan kebutuhan
nyata yang sedang dihadapi umat manusia. Jika dengan cara ini
lalu menjadi jelas hal-hal
pokok dan sosok kasar dari apa yang harus dilakukan selanjutnya, tercapailah sudah apa yang
dikandung dalam hati.
PENGERTIAN KEADILAN
Al-Qur'an menggunakan pengertian yang
berbeda-beda bagi kata atau istilah yang bersangkut-paut dengan
keadilan. Bahkan kata yang digunakan untuk menampilkan sisi atau
wawasan keadilan juga
tidak selalu berasal
dari akar kata 'adl. Kata-kata sinonim seperti qisth, hukm
dan sebagainya digunakan
oleh al-Qur'an dalam pengertian keadilan. Sedangkan
kata 'adl dalam berbagai bentuk konjugatifnya bisa saja kehilangan
kaitannya yang
langsung dengan sisi keadilan itu (ta'dilu, dalam arti mempersekutukan Tuhan dan 'adl dalam arti
tebusan).
Kalau dikatagorikan, ada beberapa pengertian
yang berkaitan dengan keadilan dalam al-Qur'an dari akar kata
'adl itu, yaitu sesuatu
yang benar, sikap
yang tidak memihak,
penjagaan hak-hak
seseorang dan cara
yang tepat dalam
mengambil keputusan
("Hendaknya kalian menghukumi
atau mengambil
keputusan
atas dasar keadilan"). Secara
keseluruhan, pengertian-pengertian di atas terkait
langsung dengan sisi keadilan,
yaitu sebagai penjabaran
bentuk-bentuk keadilan dalam kehidupan. Dari terkaitnya beberapa
pengertian kata 'adl dengan
wawasan atau sisi keadilan secara langsung itu saja, sudah
tampak dengan jelas
betapa porsi "warna
keadilan" mendapat
tempat dalam al-Qur'an,
sehingga dapat dimengerti sikap
kelompok Mu'tazilah dan
Syi'ah untuk menempatkan keadilan
('adalah) sebagai salah satu dari lima prinsip utama al-Mabdi al-Khamsah.) dalam keyakinan atau
akidah mereka.
Kesimpulan
di atas juga
diperkuat dengan pengertian
dan dorongan
al-Qur'an agar manusia
memenuhi janji, tugas dan amanat yang dipikulnya, melindungi yang
menderita, lemah dan kekurangan, merasakan solidaritas secara
konkrit dengan sesama warga
masyarakat, jujur dalam
bersikap, dan seterusnya. Hal-hal yang ditentukan sebagai capaian yang
harus diraih kaum Muslim
itu menunjukkan orientasi
yang sangat kuat
akar keadilan
dalam al-Qur'an. Demikian pula, wawasan keadilan itu tidak hanya dibatasi hanya pada lingkup
mikro dari kehidupan warga
masyarakat secara perorangan,
melainkan juga lingkup makro kehidupan masyarakat itu sendiri. Sikap
adil tidak hanya dituntut
bagi kaum Muslim
saja tetapi juga
mereka yang beragama lain. Itupun tidak hanya dibatasi sikap
adil dalam urusan-urusan
mereka belaka, melainkan juga dalam kebebasan mereka untuk mempertahankan keyakinan dan
melaksanakan ajaran agama masing-masing.
Yang cukup menarik adalah dituangkannya kaitan
langsung antara wawasan
atau sisi keadilan
oleh al-Qur'an dengan
upaya peningkatan
kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup warga masyarakat, terutama mereka yang menderita dan
lemah posisinya dalam percaturan masyarakat, seperti
yatim-piatu, kaum muskin, janda, wanita hamil atau yang baru saja
mengalami perceraian. Juga sanak keluarga (dzawil qurba) yang
memerlukan pertolongansebagai
pengejawantahan keadilan. Orientasi
sekian banyak
"wajah
keadilan" dalam wujud
konkrit itu ada yang berwatak karikatif maupun yang mengacu kepada
transformasi sosial, dan dengan demikian sedikit banyak berwatak
straktural.
Fase terpenting dari wawasan keadilan yang
dibawakan al-Qur'an itu adalah sifatnya sebagai
perintah agama, bukan
sekedar sebagai
acuan etis atau dorongan moral belaka. Pelaksanaannya merupakan pemenuhan kewajiban agama, dan dengan
demikian akan diperhitungkan
dalam amal perbuatan
seorang Muslim di hari perhitungan (yaum al-hisab) kelak. Dengan
demikian, wawasan keadilan dalam al-Qur'an mudah sekali diterima
sebagai sesuatu yang
ideologis, sebagaimana terbukti
dari revolusi yang dibawakan
Ayatullah Khomeini di
Iran. Sudah tentu dengan segenap bahaya-bahaya yang ditimbulkannya, karena ternyata dalam
sejarah, keadilan ideologis cenderung membuahkan tirani
yang mengingkari keadilan itu
Sebab kenyataan penting juga harus dikemukakan
dalam hal ini, bahwa sifat dasar wawasan keadilan yang
dikembangkan al-Qur'an ternyata bercorak mekanistik, kurang
bercorak reflektif. Ini mungkin
karena "warna" dari bentuk konkrit wawasan keadilan itu
adalah "warna" hukum
agama, sesuatu yang
katakanlah legal-formalistik.
PERMASALAHAN
Mengingat
sifat dasar wawasan keadilan yang legal-formalistik dalam al-Qur'an itu, secara langsung kita dapat
melihat adanya dua buah persoalan utama yaitu keterbatasan
visi yang dimiliki wawasan keadilan itu sendiri, dan
bentuk penuangannya yang terasa
"sangat
berbalasan" (talionis, kompensatoris).
Keterbatasan visi itu tampak dari kenyataan,
bahwa kalau suatu bentuk
tindakan telah dilakukan, terpenuhilah sudah kewajiban berbuat
adil, walaupun dalam
sisi-sisi yang lain
justru wawasan
keadilan itu dilanggar.
Dapat dikemukakan sebagai contoh, umpamanya, seorang suami telah
"bertindak adil" jika
"berbuat
adil" dengan menjaga
ketepatan bagian menggilir dan memberikan nafkah antara dua orang isteri,
tanpa mempersoalkan apakah
memiliki dua orang
isteri itu sendiri adalah sebuah tindakan
yang adil. Dengan
demikian, pemenuhan tuntutan keadilan
yang seharusnya berwajah utuh, lalu menjadi sangat
parsial dan tergantung kepada
pelaksanaan di satu
sisinya belaka.
Warna
kompensatoris dari wawasan
keadilan yang dibawakan al-Qur'an itu juga terlihat dalam
sederhananya perumusan apa yang
dinamakan keadilan itu sendiri. Wanita yang diceraikan dalam keadaan
hamil berhak memperoleh
santunan hingga ia melahirkan
anak yang dikandungnya,
cukup dengan jumlah tertentu berupa uang atau bahan makanan.
Sangat terasa watak berbalasan
dari "pemenuhan keadilan" yang berbentuk seperti ini, karena ada "pertukaran jasa"
antara mengandung anak (bagi suami) dan memberikan santunan material (bagi
isteri).
Dari
pengamatan akan kedua
hal di atas lalu menjadi jelas, bahwa permasalahan utama bagi wawasan keadilan
dalam pandangan al-Qur'an
itu masih memerlukan
pengembangan lebih jauh, apalagi jika dikaitkan dengan
perkembangan wawasa keadilan dalam kehidupan itu sendiri.
Sampai
sejauh manakah dapat
dikembangkan wawasan demokrasi yang utuh bila dipandang dari
sudut wawasan keadilan
yang dimiliki
al-Qur'an itu? Dapatkah
kepada kelompok demokrasi yang utuh bila dipandang dari
sudut wawasan keadilan
yang dimiliki
al-Qur'an itu? Dapatkah
kepada kelompok minoritas agama diberikan hak yang sama untuk memegang
tampuk kekuasaan? Dapatkah
wawasan keadilan itu
menampung kebutuhan akan persamaan derajat agama dikesampingkan oleh
kebutuhan akan hukum
yang mencerminkan kebutuhan
akan persamaan perlakuan hukum secara mutlak bagi semua
warga negara tanpa
melihat asal-usul
agama, etnis, bahasa
dan budayanya? Dapatkah dikembangkan sikap untuk membatasi
hak milik pribadi
demi meratakan pemilikan sarana produksi dan
konsumsi guna tegaknya demokrasi
ekonomi? Deretan pertanyaan
fundamental, yang jawaban-jawabannya akan menentukan mampukah
atau tidak wawasan keadilan yang terkandung dalam al-Qur'an
memenuhi kebutuhan sebuah masyarakat modern di masa datang.
Diperlukan
kajian-kajian lebih lanjut
tentang peta permasalahan seperti dikemukakan di atas,
namun jelas sekali bahwa
visi keadilan yang ada dalam al-Qur'an dewasa ini harus direntang
sedemikian jauh, kalau
diinginkan relevansi berjangka
panjang dari wawasan itu sendiri. Jelas, masalahnya lalu menjadi
rumit dan memerlukan
refleksi filosofis, di samping
kejujuran intelektual yang
tinggi untuk
merampungkannya secara kolektif. Masalahnya,
masih punyakah umat
Islam kejujuran intelektual seperti itu, atau memang sudah
tercebur semuanya dalam
pelarian sloganistik dan "kerangka
operasionalisasi" serba
terbatas, sebagai pelarian yang manis?
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
Tidak ada komentar:
Posting Komentar