Oleh:
Mahdi Hairi Yazdi
Gagasan Al-Farabi tentang
Bentuk-bentuk Ilahiah dan Pengetahuan Tuhan
Abu Nashr al-Farabi
(kira-kira 870-950 M) biasa dikenal sebagai Guru Kedua dan mempunyai otoritas
terbesar sesudah Aristoteles (baca: Guru Pertama). Dia menjadi terkenal karena
telah memperkenalkan gagasan “harmonisasi perspektif Plato dan Aristoteles”.
Dan dia memulai wacananya sendiri dengan gagasan-gagasan Plato tentang urgennya
menempatkan harmonisasi seperti itu pada prinsip-prinsip dasar filsafat.
Al-Farabi berkeyakinan bahwa Aristoteles secara kategoris telah menolak
keberadaan ide-ide Plato (mutsul, alam ide), tapi ketika Aristoteles
pada masalah teori ketuhanan dan gagasan tentang “sebab pertama” alam semesta,
dia menemukan dirinya berhadapan dengan permasalahan sulit yang menyangkut
Bentuk-bentuk Ilahiah, yang eksistensinya, tak diragukan lagi mesti diasumsikan
berada dalam Akal Tertinggi Sebab Pertama. Bentuk eksistensi ini tentu saja
dicirikan oleh semua deskripsi yang diberikan mengenai wujud nyata
Bentuk-bentuk oleh Plato.
Setelah memahami kesulitan
Aristoteles, Al-Farabi dalam salah satu risalahnya yang terkenal, menggambarkan
cara dimana gagasan Aristoteles tentang “sebab efisien” (al-’Illah al-Fa’iliyyah)
dengan sendirinya membawa kepada eksistensi Ilahiah dari Bentuk-bentuk itu. Dia
memulai wacananya dengan mensyaratkan suatu prinsip “dapat diaplikasikan”
setiap kata yang bersifat univok (al-isyterak al-ma’nawi)[1] seperti “eksistensi”, “esensi” atau “hidup dengan berpijak
pada Realitas Ilahi”. Al-Farabi menunjukkan bahwa univokalitas kata-kata ini
bisa dipertahankan dengan mempertimbangkan keberagaman derajat makna-maknanya,
bukan dengan menuntut keseragaman ataupun keserupaan dalam acuan-acuan teramati
dari ungkapan-ungkapan ini. Adanya fluktuasi ketepatan terhadap sebuah prinsip
tidak akan merusak kesatuan esensial prinsip tersebut. Dengan demikian,
Al-Farabi menyimpulkan bahwa kata-kata eksistensi, esensi, hidup, atau
mengetahui bisa diterapkan kepada Tuhan dan selain Tuhan (baca: makhluk) dengan
pengertian yang sama, meskipun yang berhubungan dengan Tuhan terposisikan dalam
derajat yang tertinggi dan terluhur, dan pada selain Tuhan berada dalam derajat
yang lebih rendah.
Dengan berdasarkan pada teori
linguistik ini, Al-Farabi selanjutnya menjelaskan tesis sentral filsafatnya
mengenai eksistensi Ilahiah dari Bentuk-bentuk itu dengan sebagai berikut,
“Jadi kita katakan bahwa karena Tuhan merupakan “Sebab” yang hidup bagi
eksistensi alam ini dengan semua ragam wujud di dalamnya, maka perlulah
bagi-Nya untuk memuat dalam Esensi-Nya semua “Bentuk” yang seharusnya untuk Dia
hadirkan ke dalam dunia eksistensi. Seandainya dalam esensi Tuhan tidak
terdapat Bentuk-bentuk ini sebagai pola bagi segala sesuatu yang ada, maka apa
rancangan pra-eksistensi dari segala sesuatu yang diwujudkan-Nya ke dalam
eksistensi nyata? Dan dalam cara dan sistem bagaimana Dia mengaktualkan segala
potensi dari apa-apa yang telah diwujudkan-Nya?”[2]
Berkaitan dengan masalah
pengetahuan dan makrifat, Al-Farabi menggambarkan pendapatnya sebagai berikut,
“Ruh manusia adalah sesuatu yang mampu mencerap dan memahami makna melalui
definisi dan pemahaman atas realitas murni makna tersebut dimana melaluinya,
semua aksiden-aksiden dan sifat-sifat non-esensial dipisahkan darinya dan
tinggallah hakikat dan realitas murninya sebagai sesuatu yang tunggal dan memiliki
kesamaan dengan yang lain, segala bentuk-bentuk yang berbeda direduksi dari
ketunggalannya. “Penyederhanaan” dan “penunggalan” ini dilakukan dengan suatu
fakultas tertentu dari jiwa yang disebut “akal teoritis” (al-’aql an-nazhari).[3] Fakultas ini analog dengan sebuah cermin, dan akal teoritis
adalah kekuatan pantul cermin. Benda-benda yang bisa dilihat di cermin itu
adalah pantulan realitas-realitas yang ada di dunia Ilahi, bagaikan sifat-sifat
benda-benda kasat mata yang memantul dari permukaan transparan sebuah cermin.
Demikianlah keadaannya jika ketransparanan dan kejernihan jiwa belum dikotori
oleh karakter alam materi atau ketransparanan dan kesuciannya tersebut tidak
menjadi buram karena kesibukannya di alam terendah seperti mengikuti hawa nafsu
dan kemarahan.[4]
Mesti dinyatakan bahwa
gagasan-gagasan Al-Farabi mengenai “alam ide” atau mutsul Plato dan
persoalan pengetahuan manusia telah menjadi sasaran kritik yang masyhur
sepanjang sejarah, khususnya oleh para sejarahwan modern. Muhsin Mahdi, seorang
pengkritik khas filosof Muslim abad pertengahan pada umumnya dan Al-Farabi
khususnya, menuliskan, “Dalam banyak hal, kesimpulan-kesimpulannya (Al-Farabi)
sangat berpijak pada beberapa dokumen yang keotentikannya dipertanyakan sebagai
dokumen asli, terutama kutipan-kutipan dari Tâsu’ât (Enneads) karya Plotinus
yang dalam pemikiran Islam disebut sebagai Teologi (Uzûlûjiyâ) karya
Aristoteles.”[5]
Sementara kritik tersebut
pada prinsipnya adalah benar, akan tetapi ia tidak berhubungan dengan
Bentuk-bentuk dan penyaksian akal terhadap benda-benda yang bisa diindera
secara rasional. Hal ini terutama karena argumen pertama Al-Farabi mengenai
masalah “ide-ide” dan Bentuk-bentuk Ilahi didasarkan pada pandangan khas
Aristoteles tentang “Sebab Efisien Pertama”.[6] Akan tetapi, ini bukanlah suatu pengandalan atau pengacuan
kepada beberapa ekstrak Enneads Plotinus maupun sumber-sumber lain. Kenyataan
bahwa Al-Farabi melakukan perujukan kepada “Teologi Aristoteles” dalam argumen
ini tak lebih hanyalah rujukan kepada filsafat teologis Aristotelian mengenai
Sebab Efisien Pertama. Dia tidak menyiratkan, setidaknya di tempat yang khusus
ini, bahwa perujukan Al-Farabi dilakukan kepada kitab yang diragukan siapa
pengarangnya, yang disebut Teologi Aristoteles.
Tampaknya bahwa kritikan yang
dikutip di atas dari sang sejarahwan terhadap filsafat Islam abad pertengahan
yang didasarkan pada kerancuan antara ” penggunaan dan perbedaan penyebutan”.
Seringkali ketika filsafat Islam menggunakan Teologi Aristoteles, dia tidak
secara eksplisit menyebutkan “Kitab Teologi” tersebut melainkan sekedar mengacu
kepada dimensi-dimensi teologis filsafat Aristoteles.
Banyak tempat lain dalam
karya-karya Aristoteles yang darinya orang bisa dengan mudah menyimpulkan bahwa
dalam filsafatnya terdapat dimensi yang secara menonjol bersifat teologis yang
memungkinkan orang menyebutnya “Teologi Aristoteles”. Dari doktrin dan konsep
Aristoteles tentang Sebab Efisien inilah Ibnu Sina mengembangkan analisisnya
yang terkenal mengenai teori “emanasi” (ash-shudur). Dan dari “sebab
final” (al-’illah al-ghayah) dan “kesempurnaan puncak” Aristoteles dalam
bukunya Etika[7] Ibnu Rusyd dan St. Thomas[8] mengembangkan teori tentang “keindahan” dan “kebahagiaan
puncak”. Di samping itu, gagasan masyhur Aristoteles tentang “penggerak yang
tak digerakkan” menjadi proposisi teologis dalam ilmu fisika. Kesemua ini
menjelaskan “teologi Aristoteles” yang darinya para filosof abad pertengahan
ini, baik yang di Timur maupun yang di Barat, menyimpulkan gagasan mereka
mengenai fondasi alam semesta dan masalah pengetahuan manusia.
Tampaknya sistem filsafat
Al-Farabi, secara keseluruhan berupaya menguraikan tema-tema sentral tersebut.
Suatu filsafat sistematik seperti filsafat Aristoteles tidak bisa membatasi
dirinya pada lingkup terbatas beberapa masalah filosofis khusus yang
berhubungan dengan obyek-obyek fisik sementara tetap mengabaikan yang lainnya.
Sebaiknya, hakikat wujud yang nyata dan tak berubah dari “hal-hal yang bisa
dipahami” dalam kaitannya dengan eksistensi obyek-obyek yang bisa diindera
dipandang dalam suatu kesatuan logikal dengan cara sedemikian rupa hingga
setiap pembahasan tentang kebenaran yang satu adalah konsisten dengan
kemungkinan kebenaran yang lain. Oleh karena itu, tatanan dan sistem
“pengetahuan”, seperti halnya dengan tatanan “eksistensi”, yang digambarkan
dalam suatu kesatuan hubungan yang bersifat kausalitas yang sedemikian rupa
hingga seperti halnya serangkaian kejadian-kejadian berurutan yang kontingen[9] menyiratkan keniscayaan suatu wujud anteseden yang wajib
dan mesti, begitu pula penggalan pengetahuan manusia yang bersifat kontingen
juga mempra-anggapkan suatu akal anteseden yang wajib di baliknya. Semua
tindakan dan abstraksi intelektual manusia yang tampak dari luar tidak mungkin
memiliki lebih dari satu bagian reseptif atau peran persiapan dalam aksi
emanasi oleh Bentuk-bentuk Ilahi pada akal potensial[10] kita yang transparan. Sekalipun demikian, tindak emanasi
akal seperti itu tidak memiliki makna kecuali dalam term-term teori prospektif
kita tentang ilmu hudhuri. Akan kami tunjukkan bahwa Aristoteles, meskipun
tidak secara eksplisit, telah mengikatkan dirinya pada konsekuensi-konsekuensi
logis gagasan itu, dan membicarakan paling tidak sebagian dari masalah-masalah
metafisikanya dalam sinaran kesatuan integral seperti itu. Akan tetapi, tugas
seorang penafsir seperti Al-Farabi adalah memahami keseluruhan struktur
komprehensif pemikiran Aristotelian tersebut untuk dirinya sendiri, dan membiarkan
kelengkapan dan konsistensi filsafat sang filosof dipahami oleh orang lain
dengan cara yang berbeda.
Pandangan Ibnu Sina tentang
Pengetahuan Manusia
Tesis filosofis Ibn Sina
pasca Al-Farabi yang menarik dan bergaung dalam pemikiran para filosof Muslim
lain adalah teori-teori tentang pengetahuan manusia atas dasar sintesis
pendapat-pendapat Plato dan Aristoteles. Sintesis-sintesis ini dibangun
berdasarkan prinsip-prinsip yang beragam dan dengan derajat-derajat
rekonsiliasi yang berbeda antara kedua metode berpikir Hellenik tradisional
tersebut.
Misalnya, analisis Ibnu Sina
(w.1037) yang terkenal mengenai “konsep ketunggalan emanasi” (qa’idah
al-wahid)[11], menyatakan bahwa keberadaan
Akal Aktif (al-aql al-fa’âl)[12] dalam sistem dan tatanan wujud adalah bersifat terpisah,
transenden, tetap, tak berubah, mutlak, dan abadi, akal inilah yang berfungsi
mengaktualkan secara gradual semua bentuk pengetahuan manusia dari potensi
murni menjadi aktual. Dalam komentarnya mengenai surat An-Nur dalam al-Quran,
dan analisisnya mengenai simbolisme ayat ini, Ibnu Sina mengatakan, “Sebagian
dari kemampuan-kemampuan (intelektual) jiwa adalah kemampuan untuk
menyempurnakan dan mentransedensi substansinya sendiri, dari akal potensial (al-aql
bil quwwah) ke akal aktual (al-aql bil fi’il), dalam hal ini
yang dibutuhkan jiwa adalah pertama, kemampuan reseptivitas (al-quwwah
al-isti’dadiyyah) ke arah hal-hal bisa terpahami, yang oleh sebagian
filosof disebut sebagai “murni potensi akal” (al-aql al-hayulani).
Kedua, hadirnya kemampuan lain ketika “kategori-kategori pertama akal” terwujud
bagi jiwa. Kategori-kategori pertama ini merupakan asas bagi perolehan
“kategori-kategori kedua akal”. (Proses perolehan ini) akan muncul entah
melalui proses kontemplasi, yang (disebut) pohon zaitun, jika pikiran tidak
begitu cerdas dan tajam, atau “dugaan” yang disebut bahan bakar (minyak dari
pohon zaitun), jika pikiran benar-benar cerdas. Dalam kondisi ini, kemampuan
jiwa tersebut disebut “akal habitual” (al-aql bil malakah) dimana
disamakan dengan “transparannya dengan kaca”.
Kesempurnaan tertinggi dalam
daya dan kemampuan jiwa ini adalah kemampuan Ilahi yang minyaknya seolah-olah
menyala sendiri tanpa disentuh api. Kemudian, terwujudlah bagi akal suatu
kekuatan dan kesempurnaan. Kesempurnaan ini bagi akal berarti hadirnya segala
sesuatu baik dalam bentuk “penyaksian” maupun penggambaran di alam pikiran. Ini
adalah “cahaya di atas cahaya”. Kemampuan ini adalah bahwa akal berada dalam
suatu posisi tertentu sedemikian sehingga tanpa melakukan suatu penyelidikan
dan pengkajian baru, dia bisa mewujudkan pengetahuan-pengetahuan yang
sebelumnya belum diperoleh, manakala pikiran menginginkannya. Ini dianalogikan
dengan lampu atau mishbah. Kesempurnaan ini adalah al-aql bil
mustafâd, dan kemampuan itu disebut dengan al-aql bil fi’il. Agen
yang menyebabkan pikiran beranjak dari akal habitual ke keadaan yang paling sempurna,
dan dari akal material ke akal habitual, adalah Akal Aktif (al-aql al-fa’âl).
Kondisi ini bisa diserupakan dengan “api”.[13]
Sebagaimana yang dinyatakan
dengan jelas, fokus penafsiran dalam analisis tersebut adalah membebaskan
pikiran manusia sepenuhnya dari pemilikian aktivitas inisial jenis apapun
dengan menisbatkan semua operasi intelektual kepada Akal Aktif yang
keberadaannya di luar wujud manusia. Ibnu Sina, dalam mengutip istilah
al-Quran, menyebut akal yang terpisah ini sebagai “api” (an-nar).
Berdasarkan analisis ini, yang maksimal bisa dilakukan pikiran manusia atau
yang dirancang untuk dilakukannya adalah mempersiapkan dirinya sendiri melalui
koordinasi dan kerjasama kekuatan-kekuatan persepsi dan pemahaman, untuk
kemudian menerima derajat cahaya yang sepadan bagi dirinya dari “api” (baca:
Akal Aktif) itu. Proporsi ini beragam derajat dan tingkatannya, sehingga
intensitas cahaya yang terbesar adalah “cahaya murni” yang dianugerahkan kepada
jiwa yang mempunyai derajat kedekatan tertinggi dan terbesar dengan “api” itu;
atau, ungkapan lain yang digunakan oleh Ibnu Sina sebagaimana yang tertera
dalam Surat An-Nur, yakni “cahaya di atas cahaya” (nur ‘ala nur).[14]
Penjabaran Al-Ghazali tentang
Cahaya
Sebuah interpretasi dan
penafsiran filosofis tentang ayat al-Quran yang disebutkan di atas, pada
hakikatnya merupakan faktor penting yang telah mengantarkan pikiran teologis
ortodoks Al-Ghazali (1058-1111) kepada warna pemikiran mistisisme atau irfani.
Pengaruh-pengaruh penafsiran yang agak irfani dan mistis mengenai ayat kitab
suci tersebut, yang diperkenalkan oleh Ibnu Sina, telah menyebabkan sosok
seperti Al-Ghazali kemudian mengembangkan suatu pendekatan yang sistematis
terhadap Sufisme dan Tasawuf, yang tercermin dalam karyanya yang masyhur Misykat
Al-Anwar.[15]
Meskipun pemikiran Al-Ghazali
vis-a-vis dengan kesimpulan para filosof yang mendahuluinya, dan khususnya
AL-Ghazali bersifat kritis terhadap Ibnu Sina dalam bukunya Tahafut
Al-Falasifah (Kerancuan Para Filosof), namun dengan penuh semangat
mengikatkan diri pada implikasi mistik tesis Ibnu Sina tentang Misykat
Al-Anwar ini. Berdasarkan gagasan-gagasan Ibnu Sina, Al-Ghazali
mengembangkan suatu uraian linguistik yang signifikan mengenai ungkapan
“cahaya” yang terterapkan kepada Tuhan sebagai Sumber Cahaya dan kepada
eksistensi alam semesta sebagai cahaya emanatif yang terpancar dari Cahaya
Segala Cahaya (Nur al-Anwar).
Capaian pemikiran Al-Ghazali
dalam kitab Tahafut secara mendasar adalah bersifat semantik, karena dia
tergolong filosof yang belum “matang”, setidaknya dalam sejarah pemikiran
spekulatif Islam, dimana dia membedakan masalah penggunaan sebuah kata dalam
makna yang mengacu kepada penerapannya dengan penggunaan kata dalam makna yang
tidak mengacu pada penerapannya. Pada tahapan penetapan makna standar, tidak
menunjuk acuan apa pun pada suatu penerapan dan aplikasi khusus – baik yang
empiris maupun transendental. Karena ini adalah tahap registrasi hubungan kata-kata
dan makna-makna, maka tidak ada preferensi bagi suatu aplikasi khusus sebuah
kata terhadap kata lainnya. Hanya dalam kasus penerapan dan aplikasilah masalah
acuan muncul.
Pandangan Al-Ghazali
berhubungan dengan kata “cahaya”, “Cahaya menurut istilahnya adalah ungkapan
bagi sesuatu yang nampak dan terlihat dengan sendirinya, dan menjadikan
benda-benda yang lain juga nampak dan terlihat, misalnya cahaya matahari.
Definisi dan realitas cahaya ini adalah menurut signifikasinya yang pertama”.[16] Menyusul penjelasan berkaitan dengan makna standar kata
“cahaya”, Al-Ghazali lebih lanjut menjabarkan bahwa berkenaan dengan penerapan
“cahaya”, satu-satunya acuan yang tak bisa dipertanyakan dan tak bisa diragukan
bagi kata tersebut adalah apabila ia diterapkan kepada Yang Esa (Tuhan), dimana
Dia terlihat dengan sendirinya dan menjadikan yang lain-lain terlihat. Aplikasi
lain dari kata “cahaya”, termasuk cahaya fisik yang tampak oleh kita, namun
cahaya fisik ini tidak sempurna dan mempunyai banyak kekurangan yang
mengakibatkannya jauh dari aplikasi murni bagi makna cahaya. Dalam hal ini
Al-Ghazali menyatakan, “Jadi, apabila terdapat sebuah Mata yang bebas dari
segala kekurangan fisik ini, maka saya bertanya bahwa apakah tidak lebih layak
disebut sebagai “cahaya”?[17]
Jelas bahwa dalam
epistemologi Ibnu Sina maupun dalam metodologi Al-Farabi mengenai
masalah-masalah epistemologi, tidak ada penerimaan mutlak terhadap
“penglihatan” akal Platonik mengenai ide-ide, begitu pula tidak mengikuti
secara mutlak teori abstraksi Aristoteles. Sebaliknya, sebagaimana bisa dilihat
dalam rumusan-rumusan Al-Ghazali, terdapat gerakan radikal untuk menjawab
pertanyaan: Seandainya epistemologi harus mempra-asumsikan suatu aspek
ontologikal, atau sejalan dengannya, maka apakah karakteristik-karakteristik
ontologis dari obyek-obyek universal yang bisa dipahami oleh akal? Dan
bagaimanakah obyek-obyek universal itu serta dimana ia berada? Para filosof
sering mengklaim bahwa mereka mengetahui entitas-entitas universal yang secara
nyata adalah universal, akan tetapi berbeda dari obyek-obyek fisik individual.
Apabila demikian keadaannya, pertanyaan berikutnya dapat diajukan: Apakah
hakikat entitas-entitas ini dan bagaimana kaitannya dengan persepsi individual
kita? Dikemukakan dengan ringkas dalam term-term metaforis, jawaban yang
mungkin bagi pertanyaan-pertanyaan yang penuh teka-teki ini adalah bahwa pikiran
manusia seperti ceruk cahaya yang karena konjungsi dan hubungannya dengan “api”
transenden yang eksternal, memperoleh penerangan dan pencerahan serta segala
sesuatu yang diberikan kepadanya kemudian direfleksikan dalam dirinya sendiri,
dan bergantung pada derajat kemampuannya mendekati “api” itu, akan menjadi
lebih dekat kepada sumber cahaya yang merupakan pengetahuan intelektual.
Apakah jenis bahasa metaforis
ini merupakan penyelesaian dan solusi yang memadai untuk masalah-masalah
pengetahuan intelektual ataukah tidak, bukanlah merupakan subjek masalah di
sini, karena kita tengah membahas sejarah ilmu hudhuri. Mesti ditambahkan
selanjutnya bahwa jawaban metaforis, seperti yang dikaji dan dibahas di atas,
terhadap pertanyaan dan persoalan yang begitu prinsipil dan fundamental seperti
itu adalah benar-benar suatu penyederhanaan yang berlebihan dan tidak bersikap
adil kepada filsafat pengetahuan manusia. Akan tetapi, tujuan penelitian dan
penyelidikan kita pada titik ini adalah menyuguhkan dan menyodorkan suatu
survei yang tercatat dengan baik berkaitan dengan latar belakang sejarah
teori-teori ilmu hudhuri dalam pemikiran Islam. Apabila argumen sentral
observasi tentang mode pengetahuan ini telah dijelaskan, kajian ini akan masuk
ke dalam suatu pemeriksaan logis terhadap kegagalan atau keberhasilan teori
pengetahuan pada umumnya dan pendekatan Islam terhadap kesadaran non-fenomenal
atau pra-epistemik terhadap diri sendiri pada khususnya.
Jelas bahwa baik Al-Farabi
dan Ibnu Sina, meskipun sangat berafiliasi dan berpijak secara kuat pada sistem
pemikiran Hellenik (Yunani), telah mengembangkan gagasan-gagasan mereka
berdasarkan filsafat Plato dan Aristoteles. Sekalipun demikian, hipotesis kedua
filosof Muslim tersebut mengenai pengetahuan intelektual didasarkan pada
emenasi yang bersumber dari maujud-maujud nonmateri atau penyatuan dan
unifikasi dengan entitas-entitas yang nonmateri di alam akal. Entitas-entitas
nonmateri ini adalah “ide-ide” atau bentuk-bentuk Ilahi yang sangat mungkin
terdapat pada Sebab Pertama, sebagaimana analogi “cermin” Al-Farabi; dan dalam
terminologi Ibnu Sina bahwa entitas-entitas nonmateri ini sebagai pengetahuan
formal yang menyatu dengan substansi Akal Aktif dan hadir di dalam Akal Aktif (al-’aql
al-fa’al) itu yang tersendiri. Baik Al-farabi maupun Ibnu Sina telah
berusaha mempertalikan teori-teori dan konsep-konsep mereka dengan bahasa
Hellenistik guru filsafat mereka, yakni Aristoteles. Akan tetapi, pendekatan
mereka dalam hal ini berbeda; yang satu menggunakan gagasan Sebab Pertama, yang
lain memakai penafsiran mengenai Akal Aktif, dua konsep ini yang tak syak lagi
merupakan khas Aristotelian. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa kedua
filosof Muslim abad pertengahan ini telah memperoleh pengertian tentang ilmu
hudhuri, meski tak satupun dari kedua filosof besar ini yang mampu menyuguhkan
suatu analisa yang komprehensif mengenai pengertian dari jenis pengetahuan
hudhuri ini, jelas bahwa masing-masing sistem mereka menunjuk kepada penyatuan
khusus antara subyek yang mengetahui dengan obyek-obyek Ilahi. Akan tetapi,
mengenai esensi penyatuan tersebut masih melahirkan berbagai
pertanyaan-pertanyaan prinsipil, yakni suatu permasalahan yang harus dikaji dan
dibahas dalam kerangka teori kita tentang ilmu hudhuri.
Gagasan Ibnu Rusyd tentang
Kebahagiaan Tertinggi Manusia
Ketika muncul Ibnu Rusyd
(1126-1198) yang dikenal dalam filsafat Barat abad pertengahan sebagai
“penafsir Aristoteles”, maka pola dan struktur umum epistemologi ini lebih
banyak terwarnai oleh Aristotelian daripada Platonik. Komentar-komentar Ibnu
Rusyd tentang jiwa maupun tentang Metafisika, secara kukuh membela dan
mempertahankan gagasan khusus Aristoteles mengenai pemisahan antara Akal Aktif
dan akal manusia. Dalam hal ini Ibnu Rusyd menyatakan bahwa Akal Aktif bukanlah
salah satu bagian dari hakikat manusia, akan tetapi tujuan dari akal manusia
adalah keluar dari tahapan potensi ke aktual melalui suatu proses unifikasi dan
penyatuan dengan Akal Aktif dimana sebagai sumber eksternal untuk
mengaktualisasikan pengetahuan intelektual dan makrifat rasional. Apa yang
disiratkan oleh unifikasi ini dan bagaimana cara memahami keterkaitan antara
Akal Aktif –sebagai substansi yang sepenuhnya terwujud secara terpisah dan
mandiri di alam eksternal- dengan akal manusia sebagai substansi material dan
spasio-temporal yang dapat mencerap suatu tempat, adalah pertanyaan-pertanyaan
yang menurut penafsiran Ibnu Rusyd tidak diajukan oleh Aristoteles sendiri.
Akan tetapi, Ibnu Rusyd berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, namun
gagal memberikan solusi-solusi yang memuaskan. Sebaliknya dia hanya berpaling
pada upaya menegakkan analogi antara “bentuk-bentuk atau forma-forma hakiki”
dan “materi”.
Di sini, Ibnu Rusyd
menyatakan bahwa Akal Aktif sebagai sejenis “bentuk atau forma” (ash-shurah)
yang bersatu dengan akal manusia yang sebagai “materi”nya (al-maddah),
kemudian membentuk apa yang bisa diistilahkan sebagai akal material (al-aql
al-hayulani). Dalam beberapa kesempatan, Ibnu Rusyd menyuguhkan
proposisinya secara empatik, dengan menyatakan bahwa Akal Aktif yang independen
itu menyatu dengan akal material manusia dan membentuk suatu penyatuan
eksistensial antara “bentuk” dan “materi”. Tesis Ibnu Rusyd mencerminkan uraian
Aristoteles mengenai masalah “keabadian dan kekekalan jiwa” dan “kebahagiaan tertinggi
manusia”.
Dalam penafsirannya yang
panjang atas kitab Metaphysics, Ibnu Rusyd menuliskan, “Kami telah
memeriksa dan mengkaji kedua pendapat ini dalam kitab mengenai Jiwa, dan kami
katakan bahwa Akal Aktif adalah “bentuk” dari “akal material”. Dan bahwa Akal
Aktif ini menghadirkan pengetahuan-pengetahuan rasional, dan pada saat yang
sama bahwa dari sisi ia berhubungan dengan akal material, maka akal material
sebagai penerima Akal Aktif. Akal material itu berada pada posisi yang
senantiasa dalam keadaan tercipta (kaun) dan termusnahkan (fasad).[18] Kami telah menjelaskan di dalam kitab De Anima
(tentang Jiwa) bahwa inilah pendapat sang filosof Aristoteles, dan bahwa akal
pada umumnya memiliki bagian yang bisa diciptakan dan bagian yang bisa di
musnahkan. Bagian yang bisa dimusnahkan itu hanyalah aksinya, akan tetapi, akal
dalam esensinya yang masuk ke dalam diri kita dari luar tidak bisa musnah.
Sebab seandainya ia bisa diciptakan, maka kemunculannya akan tunduk kepada
hukum perubahan dan transmutasi sebagaimana yang dikatakan dalam
makalah-makalah ilmu tersebut, De Anima, dalam bahasan tentang substansi,
dimana dijelaskan bahwa: apabila sesuatu muncul tanpa suatu perubahan dan
trans-mutasi, maka sesuatu itu akan mewujud dari ketiadaan. Oleh karena itu,
akal tersebut, yang berada dalam potensi, dikaitkan dengan akal yang aktual ini
adalah locus dan tempat, dan bukan sebagai “materi” bagi “bentuk” yang
menopangnya. Dengan kondisi ini, jika aksi akal ini, yaitu Akal Aktif, dari
aspek bahwa ia tergabung dan terhubung dengan akal material, tidak dapat
diciptakan, dengan demikian aksinya akan identik dengan substansinya dan dalam
aksi ini ia tentu tidak mesti untuk bergabung dan bersatu dengan akal material.
Akan tetapi, karena dalam kenyataannya ia telah menyatu dengan akal material
dan beraksi terhadapnya, maka aksinya akan dipertimbangkan dari sudut pandang
substansi yang lain yakni substansi yang menyatu dengannya. Dan karena alasan
inilah perbuatan apapun yang dilakukannya sebagai substansi yang mandiri dalam
diri kita, ia tidak melakukannya bagi dirinya sendiri melainkan bagi yang
selain dirinya. Dengan demikian, adalah mungkin bahwa sesuatu yang kekal
memahami sesuatu yang dapat diciptakan dan dapat dimusnahkan. Lalu apabila akal
tersebut menjadi bebas dari potensi (yakni menjadi aktual) pada saat
kesempurnaan manusia mencapai puncak dan klimaksnya, maka aksi ini, yang
dipandang berbeda dari substansi akal itu sendiri, harus dimusnahkan dan
dilepaskannya darinya. Dalam keadaan ini, kita mungkin tidak akan mengetahui
akal tersebut sama sekali, atau kita memahaminya sedemikian rupa sehingga aksi
dan perbuatannya tidak lain adalah substansinya sendiri. Dan dari aspek bahwa
dalam keadaan kemungkinan kesempurnaan akhir kita sama sekali kehilangan
pemahaman mengenainya, sehingga pada akhirnya kita hanya bisa mengatakan bahwa
karena akal tersebut secara mutlak telah terbebas dari potensinya dan telah
menjadi aktual, maka kita memahaminya disebabkan oleh aksinya, yakni pemahaman
dan pengetahuan kita tidak lain adalah substansinya. Itulah sumber kebahagiaan
tertinggi.”[19]
Bagaimana analogi ini
bekerja, apa penafsiran akuratnya dan apakah ia benar-benar menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini atau tidak. Semua harus dipahami dalam ruang lingkup
teori ilmu hudhuri dan kesatuan emanasi serta penyerapan eksistensial yang akan
dibahas dan dikembangkan dalam kajian mendatang.
Tampak bahwa argumen dan
burhan Ibnu Rusyd, dalam keseluruhannya, menunjukkan bahwa betapa sangat
mungkin terdapat hubungan yang unik antara akal yang dapat musnah dan tak
terpisah dengan Akal Aktif yang, tidak seperti akal yang bersifat mungkin dan
habitual itu, mutlak tak dapat dimusnahkan dan sama sekali terpisah dari
eksistensi manusia.
Merenungkan tentang
proposisi-proposisi tersebut akan mengarangkan kita kepada suatu pertimbangan
mengenai sejumlah persoalan mendasar dan prinsipil, yang sangat penting bagi
tujuan-tujuan pengkajian ini. Permasalahan ini bisa dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, Akal Aktif analog dengan “bentuk” atau forma bagi akal material yang
berfungsi sebagai “materi”nya. Hal ini menuntut kepada sejenis penyatuan antara
dua substansi, material dan imaterial, meskipun analoginya tidak cukup kuat
untuk mengukuhkan kesatuan yang diproyeksikan seperti itu. Akan tetapi, dalam
kenyataannya, akal material dikaitkan dengan Akal Aktif, sebagai locus atau
punggung bagi pelaku yang tak kelihatan. Kedua, Akal Aktif melalui iluminasi
intelektualnya datang kepada kita dari luar (dakhil ‘alayna min al-kharij);
dan dia pada asalnya bukanlah bagian dari pikiran manusia. Ketiga, derajat
kesempurnaan tertinggi yang mungkin bisa dicapai dalam pengetahuan intelektual
mengenal alam duniawi adalah pemahaman kita mengenai Akal Aktif; yakni
komunikasi intelektual kita dengan obyek-obyek yang terpahami (ma’qulat),
ketika kesadaran intelektual kita tidak lagi diperantarai oleh kontemplasi dan
renungan apapun mengenai Akal Aktif. Sebaliknya, pengetahuan kita dicapai
melalui penyatuan eksistensial dengan substansi Akal Aktif itu sendiri. Menurut
penafsiran kami, penyatuan ini hanya bisa dipahami melalui suatu bentuk ilmu
hudhuri yang akan kami sebut peniadaan (fana) atau penyerapan (jazb).
Keempat, “pengetahuan penyatuan eksistensial” ini adalah kesadaran mistik, yang
tidak hanya mungkin secara filosofis dalam term-term ilmu hudhuri, tapi juga
dicapai melalui kebahagiaan puncak kontemplasi logis manusiadi dunia ini.
Kelima, argumen ini menggaris bawahi keyakinan Aristoteles mengenai terus
hidupnya jiwa manusia sesudah mati, jika penyatuan puncak tersebut harus murni
bersifat eksistensial tanpa keterlibatan potensi material, maka kehancuran atau
pembusukan jasad manusia tidak akan berpengaruh terhadap penyatuan yang begitu
murni antara jiwa manusia dengan Akal Aktif.
Alasan dan dalil menarik yang
mengarahkan Ibnu Rusyd kepada kesimpulan dan konklusi yang agak khas ini
–”penyatuan pengetahuan secara eksistensial”- akan dijabarkan kemudian dengan
tujuan mengkaji persoalan: Bagaimana mungkin sebuah jiwa individual menyatu
secara eksistensial dengan Yang Tunggal atau dengan hakikat-hakikat hal-hal
terpahami yang bersifat Ilahiah?
Nah, untuk tujuan pengacuan
dan analisa berikut akan kami ringkaskan argumen-argumen yang terkait: Semua
kontemplasi, persepsi, dan perenungan intelektual yang bersifat potensial akan
mengaktual dikarenakan tercapainya derajat tertinggi kesempurnaan intelektual,
dengan arti bahwa tidak ada lagi potensialitas cadangan (segala potensi berubah
menjadi aktual). Apabila tidak ada “potensi” (bil quwah) maka tidak ada
makna bagi “aktual” (bil fi’il). Operasi empiris maupun aplikasi logis
dari dikotomi “hubungan aktual-potensi” pun berakhir. Tema ini akan menjadi
jelas secara argumentatif, berdasarkan suatu kaidah yang berbunyi: Suatu sifat
yang memang layak dan dapat disandarkan kepada suatu subyek tertentu, seperti
keberadaan penglihatan, rambut, dan gigi pada manusia. Begitu juga terdapat
lawan dari keberadaan dan bakat ini, yaitu ketiadaan bakat dan keberadaan itu,
misalnya ketiadaan penglihatan atau ketiadaan rambut dan gigi.
Mengingat apa yang telah
dipertimbangkan di sini, tidak ada makna bagi “aktual”, sedemikian sehingga
gagasan mengenai pengetahuan dengan sendirinya tidak lagi bisa ditafsirkan
sebagai “akal imanen” pikiran manusia. Dalam keadaan ini, kita harus sama
sekali bodoh dan jahil, yakni tidak tahu apa-apa tentang obyek-obyek yang
terpahami (ma’qulat), atau, karena kita dalam kenyataannya berada dalam
kondisi mengetahui yang sempurna, maka harus dipahami bahwa kita senantiasa
mengetahui.
Dugaan pertama adalah
mustahil, karena bertolak belakang dengan keadaan kesempurnaan intelektual yang
kita peroleh. Karenanya kita hanya bisa mengatakan bahwa kita, dalam keadaan
ini, mengetahui substansi hal-hal yang dapat dipahami. Sebagai hasil
pengetahuan ini, kita mengetahui segala sesuatu di dunia yang tercerap, tapi
bukan melalui perantaraan persepsi ataupun konseptualisasi, dan bahkan bukan
melalui penampakan dan refleksi ataupun jenis representasi, melainkan melalui
penyatuan dengan kenyataan, atau kehadiran dalam Substansi Ilahi tersebut.
Dalam kenyataannya argumen ini telah memantik diskusi tentang teori ilmu
hudhuri dan sifat swa-obyektivitasnya yang esensial.
Pada tahap kesadaran ini,
mesti dikemukakan bahwa pengetahuan tidak lagi merupakan fenomena pikiran yang
disengaja ataupun transendental, tapi lebih merupakan sejenis swa-realisasi
pengetahuan representasional (ilmu hushuli) menjadi sesuatu yang transenden dan
“mencapai” pengetahuan tentang realitas diri. Proses ini terjadi berkat
penyatuan eksistensial dan bukan oleh tindak mengetahui yang bersifat
intelektual ataupun fenomenal (yakni tidak dicapai dengan ilmu hushuli atau
pengetahuan representasional). Persoalan-persoalan serta sejumlah keberatan
lain boleh jadi dimunculkan terhadap penafsiran ini dari berbagai sudut
pandang, tetapi kami akan membahas implikasinya pada pembahasan yang akan
datang.
Seperti telah banyak
diilustrasikan, sifat umum yang ada pada ketiga pendekatan Islam yang
disebutkan di muka terhadap masalah pengetahuan akal adalah dengan berangkat
dari penginderaan akal Aristotelian, untuk tiba pada sejenis visi Platonik.
Tinjauan mengenai perjalanan ketiganya meluas lebih jauh hingga mencakup suatu
pengertian tentang mengetahui, yang pada intinya identik dengan nilai kebenaran
identitas pribadi manusia.
Di samping itu, ketiga
filosof yang dibahas di atas sepenuhnya yakin bahwa Akal Aktif bersifat Ilahi
dan mutlak terpisah dari eksistensi spasio-temporal dan jasmani kita. Hubungan
antara Wujud Ilahi dengan eksistensi kita terjadi melalui iluminasi[20] dalam pengertian pengetahuan intelektual yang diperoleh
dengan sengaja, dan sebagai konsekuensi penyatuan melalui penyerapan[21]dalam pengertian realisasi diri kita, ketika diri dengan
cara tertentu bersatu dengan Realitas-relaitas Ilahi, Kesatuan ini telah
diungkapkan melalui analogi cermin, melalui analogi ceruk cahaya, dan akhirnya
melalui trans-substansiasi akal material manusia kedalam suatu Wujud Ilahi.
Trans-substansiasi ini, menurut Ibnu Rusyd, akan terwujud melalui seringnya
penyatuan akal materi manusia dengan aksi substansi yang terpisah atau maujud
nonmateri, yakni dengan metode iluminasi atau emanasi.[22]
Karakteristik dan ciri umum
ini terus menjadi landasan seluruh bangunan filsafat Islam, dan akhirnya hadir
pada sistem filsafat Suhrawardi (1155-91) secara lengkap dan belakangan pada
konsep Prisipalitas Eksistensi (Ashalatul Wujud) Shadr Al-Din Syrazi
(Mulla Shadra, w. 1640).
Bisa ditambahkan di sini
bahwa komitmen Ibnu Rusyd terhadap masalah “kebahagiaan” dan penyatuan melalui
emanasi dan peleburan tidak bertentangan dengan pendirian kritisnya terhadap
tesis Ibnu Sina tentang emanasi. Sementara dalam memeriksa urutan menurun
(gerak menurun perwujudan realitas) eksistensi di dunia, Ibnu Rusyd secara
kategoris menyebut teori emanasi yang agak bercorak Platonistik ini sebagai
sama sekali non-Aristotelian, dalam masalah pengetahuan-pengetahuan manusia dia
menyarankan kesatuan iluminatif akal manusia dengan Akal Aktif Ilahi. Perubahan
sikap yang radikal ini terutama disebabkan oleh kenyataan bahwa jangkauan
limpahan cahaya eksistensi dari ketunggalan Sebab Pertama ke kemajemukan alam
semesta mengesankan variasi proses menaik (gerak menyempurna maujud) yang
didasarkan pada berangkatnya akal manusia dari kemajemukan menuju ketunggalan
Kesucian Ilahi.[23]
Ibnu Rusyd sendiri
menjelaskan konsep-konsep dan pemikirannya. Penjelasannya secara khusus banyak
memberikan informasi tentang kenyataan bahwa di samping posisinya terhadap
masalah kausalitas Ilahi, dia memilih untuk menegakkan kembali masalah
pengetahuan manusia atas dasar keberadaan Akal Aktif yang mandiri dan terpisah
serta bersifat nonmateri.
Dalam tafsiran panjangnya
atas Metaphysics Aristoteles, Ibnu Rusyd menyatakan, “Dali dan alasan bahwa
Aristoteles telah mengambil langkah ini untuk mengemukakan Akal Aktif yang non
materi sebagai kausa dan sebab (‘illah), tidak untuk semua, tapi untuk
terjadinya kekuatan-kekuatan intelektual kita adalah kenyataan bahwa menurut
pendapatnya, kekuatan-kekuatan intelektual ini tidak terkait dengan materi.
Dalam hal ini, sudah jelas bahwa apa yang dengan cara tertentu tidak terikat
dengan materi mestilah muncul dalam eksistensi dari kausa yang mutlak terpisah
dan immaterial, persis sebagaimana obyek-obyek material pasti dilahirkan dari
sebab-sebab materialnya.”[24]
Kutipan ini mengungkapkan
dengan tegas dan jelas komitmen pemikiran Ibnu Rusyd berhubungan dengan
keseketikaan emanasi yang pada akhirnya diartikan oleh para filosof iluminatif
Muslim sebagai ilmu hudhuri. Dari kutipan ini, maupun dari banyak contoh lain
dalam gagasan-gagasan Ibnu Rusyd, dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya Ibnu
Rusyd membedakan antara hubungan sebab-akibat (kausalitas) Ilahi dengan
kausalitas dalam dunia materi. Konklusi klimaks Ibnu Rusyd dalam hal ini
tergambar dalam pernyataan bahwa sebab dan kausa bagi obyek-obyek immaterial
mestilah mutlak bersifat Ilahiah dan immaterial –melalui emanasi, sementara
sebab dan kausa bagi benda-benda material haruslah bersifat material pula-
serta melalui penciptaan dan pemusnahan.
[1] . Kata-kata yang berbeda namun dapat diterapkan kepada
semua realitas dengan makna dan pengertian yang sama. Misalnya, kata
“eksistensi” bisa digunakan kepada Tuhan dan selain-Nya dengan makna yang sama,
walaupun terdapat perbedaan dalam derajat intensitas dalam “eksistensi” itu,
misalnya “eksistensi” Tuhan lebih sempurna daripada “eksistensi” selain-Nya.
[2] . Al-Farabi, al-Jam’ bayn Ra’yaay (Harmonization of the
Opinions of Plato and Aristotle), hal. 105-6.
[3] . Akal terbagi dua, akal teroritis dan akal praktis. Akal
teoritis adalah berfungsi untuk mencerap konsep-konsep universal, memahami
berbagai macam makna dan kesaling-hubungan antara berbagai hal, berkaitan
dengan konstruksi argumentasi, dan penalaran abstrak secara umum.
[4] . Al-Farabi, Al-Fushush, 1926, hal. 13.
[5] . Al-Farabi, Philosophy of Plato and Aristotle, terj.
Muhsin Mahdi, hal. 4.
[6] . Argumen teologis Aristoteles berbunyi sebagai berikut:
Seandainya ada regresi tak
terhingga di antara “sebab dan kausa efisien” niscaya tak ada satu sebab pun
yang merupakan sebab pertama. Karena itu, semua sebab yang lain, yang bersifat
menengah, akan tak terwujud. Tapi ini jelas salah. Karena itu kita harus
mengemukakan bahwa ada satu “Sebab Efisien Pertama”. (Aristotle’s
Metaphysics,1a, 2 (994 a)).
[7] . Aristotle, Nichomachean Ethics, buku 1, 6 dan 10,
terj. M. Ostwald.
[8] . St. Thomas Contra Gentiles, buku 3, bagian 1, bab 37-49.
[9] . Sifat dari suatu peristiwa atau fenomena yang kejadiannya
bergantung pada kondisi-kondisi yang tidak pasti, dalam masalah filsafat wujud
(ontologi) biasa disebut dengan mumkinul wujud (wujud kontingen) yang
berlawanan dengan Wajibul Wujud (wujud mesti-ada atau Tuhan)
[10] . Akal Potensial adalah akal
manusia dalam bentuk yang belum mengaktual, kemampuan terpendam untuk memahami
hal-hal yang universal dan kebenaran-kebenaran abadi yang ada dalam akal aktif.
[11] . Suatu kaidah yang
berbunyi: Qa’idah al-wahid la yasdur ‘anh illa al-wahid yang berarti
bahwa “yang tunggal” hanya bisa mewujudkan “yang tunggal” juga. Kaidah ini
dianggap sebagai sistem emanasi Ibnu Sina. Dari prinsip ini Ibnu Sina sendiri
mengembangkan prinsip hierarki emanasi yang disebut aturan “kemungkinan yang
lebih sempurna” (qa’idah imkan al-asyraf). Mengacu pada prinsip hierarki
emanasi, Ibnu Sina menunjukkan: Perhatikanlah bagaimana realitas eksistensi
muncul dari sumber yang lebih sempurna ke sumber selanjutnya (yang lebih rendah
kesempurnaannya) sampai heirarki kesempurnaan berakhir (pada derajat eksistensi
yang paling rendah), yakni di alam materi. Al-Isyarat wa at-Tanbihat,
bagian 3, bab 7.
[12] . Akal aktif, menurut
Al-Farabi, disebut juga akal kesepuluh, dalam filsafat Iluminasi adalah
Malaikat Jibril. Menurut Ibnu Sina, akal manusia jika telah mencapai tingkat
abstraksi tertinggi dapat mengadakan komunikasi langsung dengan Jibril. Sebagai
akal terakhir dalam urutan emanasi, akal aktif memberi “bentuk” pada setiap
sesuatu, dan senantiasa melakukan kegiatan dan mencipta “akal potensial” yang
kemudian berfungsi mencerap aspek-aspek universal.
[13] . Ibn Sina, al-Isyarat wa
at-Tanbihat, bag. 2, hal. 390.
[14] . Yang sebagaimana
dinyatakan oleh Nasir Al-Din ath-Thusi dalam komentarnya, analisis mengenai
akal manusia ini diambil dari ayat al-Quran tentang cahaya Ilahi, yang bunyinya
adalah sebagai berikut, “Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan
cahaya-Nya adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada
sebuah pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kacaitu seakan-akan bintang
(yang bercahaya), seperti mutiara, yang dinyalakan dari minyak dari pohon yang
banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan
tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi
walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing kepada
cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan bagi
manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (Qs. 24:25).
[15] . Al-Ghazali, Misykat
Al-Anwar.
[16] . Op. cit., hal. 81.
[17] . Op. cit., hal. 83.
[18] .Terjemahan Latin dari
kalimat unu adalah “non est generalibilis et corruptibilis”. Menurut
teks kami, tidak ada tanda penegasian atau pengertian negatif dalam versi Arab
untuk mendukung terjemahan seperti itu. Lihat Ibnu Rusyd, Kitab Tafsir maba’d
Al-Thabi’ah,The Long Commentary, ed. Maurice Bouyges (Beirut, 1967), hal.1489.
[19] . Op. cit. hal. 1486-90.
[20] . Dalam makalah-makalah
selanjutnya akan dibahas makna relasi iluminatif, dan bagaimana ia berbeda
dengan kategori hubungan Aristotelian.
[21] . Seperti akan dilihat,
gagasan “penyerapan” (jazb) adalah gagasan yang berasal dari “emanasi”.
Penyerapan di sini adalah menyerap emanasi dari maujud transenden.
[22] . Trans-substansiasi dalam
pengertian yang penting seperti itu, sebagaimana digunakan oleh Ibnu Rusyd,
adalah trans-substansiasi yang berdasarkan itulah Shadr Al-Din Syirazi
menegakkan doktrin prinsipalitas wujud tentang “gerakan substansial”. Doktrin
ini secara resmi disebut sebagai gerak substansial (al-harakah
al-jauhariyyah), yang kadangkala disebutkan sebagai “trans-eksistensiasi”.
[23] . Bagi sistem perwujudan dan
penciptaan “menurun” tersebut, Ibnu Sina, seperti baru saja kita lihat dalam
catatan kaki no 15, melekatkan prinsip “kemungkinan yang lebih tinggi” (qa’idah
imkan al-asyraf) dan kepada prinsip penyempurnaan “menaik”, Suhrawardi
memberikan aturan “kemungkinan posterior” (al-imkan al-akhshash). Lihat
Suhrawardi, Kitab Hikmah Al-Isyraq, ed. H. Corbin, hal. 154-86, juga, Kitab
Al-Talwihat, ed. H. Corbin hal. 50-4.
[24]. .Ibnu Rusyd, Tafsir ma
ba’d Al-Thabi’ah, hal. 886.
sumber: http://teosophy.wordpress.com/2009/08/19/epistemologi-8-aspek-empiris-ilmu-hudhuri/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar