Senin, 06 Mei 2013

GAGASAN PARA FILOSOF TENTANG PENGETAHUAN




Oleh: Mahdi Hairi Yazdi

Gagasan Al-Farabi tentang Bentuk-bentuk Ilahiah dan Pengetahuan Tuhan
Abu Nashr al-Farabi (kira-kira 870-950 M) biasa dikenal sebagai Guru Kedua dan mempunyai otoritas terbesar sesudah Aristoteles (baca: Guru Pertama). Dia menjadi terkenal karena telah memperkenalkan gagasan “harmonisasi perspektif Plato dan Aristoteles”. Dan dia memulai wacananya sendiri dengan gagasan-gagasan Plato tentang urgennya menempatkan harmonisasi seperti itu pada prinsip-prinsip dasar filsafat. Al-Farabi berkeyakinan bahwa Aristoteles secara kategoris telah menolak keberadaan ide-ide Plato (mutsul, alam ide), tapi ketika Aristoteles pada masalah teori ketuhanan dan gagasan tentang “sebab pertama” alam semesta, dia menemukan dirinya berhadapan dengan permasalahan sulit yang menyangkut Bentuk-bentuk Ilahiah, yang eksistensinya, tak diragukan lagi mesti diasumsikan berada dalam Akal Tertinggi Sebab Pertama. Bentuk eksistensi ini tentu saja dicirikan oleh semua deskripsi yang diberikan mengenai wujud nyata Bentuk-bentuk oleh Plato.
Setelah memahami kesulitan Aristoteles, Al-Farabi dalam salah satu risalahnya yang terkenal, menggambarkan cara dimana gagasan Aristoteles tentang “sebab efisien” (al-’Illah al-Fa’iliyyah) dengan sendirinya membawa kepada eksistensi Ilahiah dari Bentuk-bentuk itu. Dia memulai wacananya dengan mensyaratkan suatu prinsip “dapat diaplikasikan” setiap kata yang bersifat univok (al-isyterak al-ma’nawi)[1] seperti “eksistensi”, “esensi” atau “hidup dengan berpijak pada Realitas Ilahi”. Al-Farabi menunjukkan bahwa univokalitas kata-kata ini bisa dipertahankan dengan mempertimbangkan keberagaman derajat makna-maknanya, bukan dengan menuntut keseragaman ataupun keserupaan dalam acuan-acuan teramati dari ungkapan-ungkapan ini. Adanya fluktuasi ketepatan terhadap sebuah prinsip tidak akan merusak kesatuan esensial prinsip tersebut. Dengan demikian, Al-Farabi menyimpulkan bahwa kata-kata eksistensi, esensi, hidup, atau mengetahui bisa diterapkan kepada Tuhan dan selain Tuhan (baca: makhluk) dengan pengertian yang sama, meskipun yang berhubungan dengan Tuhan terposisikan dalam derajat yang tertinggi dan terluhur, dan pada selain Tuhan berada dalam derajat yang lebih rendah.
Dengan berdasarkan pada teori linguistik ini, Al-Farabi selanjutnya menjelaskan tesis sentral filsafatnya mengenai eksistensi Ilahiah dari Bentuk-bentuk itu dengan sebagai berikut, “Jadi kita katakan bahwa karena Tuhan merupakan “Sebab” yang hidup bagi eksistensi alam ini dengan semua ragam wujud di dalamnya, maka perlulah bagi-Nya untuk memuat dalam Esensi-Nya semua “Bentuk” yang seharusnya untuk Dia hadirkan ke dalam dunia eksistensi. Seandainya dalam esensi Tuhan tidak terdapat Bentuk-bentuk ini sebagai pola bagi segala sesuatu yang ada, maka apa rancangan pra-eksistensi dari segala sesuatu yang diwujudkan-Nya ke dalam eksistensi nyata? Dan dalam cara dan sistem bagaimana Dia mengaktualkan segala potensi dari apa-apa yang telah diwujudkan-Nya?”[2]
Berkaitan dengan masalah pengetahuan dan makrifat, Al-Farabi menggambarkan pendapatnya sebagai berikut, “Ruh manusia adalah sesuatu yang mampu mencerap dan memahami makna melalui definisi dan pemahaman atas realitas murni makna tersebut dimana melaluinya, semua aksiden-aksiden dan sifat-sifat non-esensial dipisahkan darinya dan tinggallah hakikat dan realitas murninya sebagai sesuatu yang tunggal dan memiliki kesamaan dengan yang lain, segala bentuk-bentuk yang berbeda direduksi dari ketunggalannya. “Penyederhanaan” dan “penunggalan” ini dilakukan dengan suatu fakultas tertentu dari jiwa yang disebut “akal teoritis” (al-’aql an-nazhari).[3] Fakultas ini analog dengan sebuah cermin, dan akal teoritis adalah kekuatan pantul cermin. Benda-benda yang bisa dilihat di cermin itu adalah pantulan realitas-realitas yang ada di dunia Ilahi, bagaikan sifat-sifat benda-benda kasat mata yang memantul dari permukaan transparan sebuah cermin. Demikianlah keadaannya jika ketransparanan dan kejernihan jiwa belum dikotori oleh karakter alam materi atau ketransparanan dan kesuciannya tersebut tidak menjadi buram karena kesibukannya di alam terendah seperti mengikuti hawa nafsu dan kemarahan.[4]
Mesti dinyatakan bahwa gagasan-gagasan Al-Farabi mengenai “alam ide” atau mutsul Plato dan persoalan pengetahuan manusia telah menjadi sasaran kritik yang masyhur sepanjang sejarah, khususnya oleh para sejarahwan modern. Muhsin Mahdi, seorang pengkritik khas filosof Muslim abad pertengahan pada umumnya dan Al-Farabi khususnya, menuliskan, “Dalam banyak hal, kesimpulan-kesimpulannya (Al-Farabi) sangat berpijak pada beberapa dokumen yang keotentikannya dipertanyakan sebagai dokumen asli, terutama kutipan-kutipan dari Tâsu’ât (Enneads) karya Plotinus yang dalam pemikiran Islam disebut sebagai Teologi (Uzûlûjiyâ) karya Aristoteles.”[5]
Sementara kritik tersebut pada prinsipnya adalah benar, akan tetapi ia tidak berhubungan dengan Bentuk-bentuk dan penyaksian akal terhadap benda-benda yang bisa diindera secara rasional. Hal ini terutama karena argumen pertama Al-Farabi mengenai masalah “ide-ide” dan Bentuk-bentuk Ilahi didasarkan pada pandangan khas Aristoteles tentang “Sebab Efisien Pertama”.[6] Akan tetapi, ini bukanlah suatu pengandalan atau pengacuan kepada beberapa ekstrak Enneads Plotinus maupun sumber-sumber lain. Kenyataan bahwa Al-Farabi melakukan perujukan kepada “Teologi Aristoteles” dalam argumen ini tak lebih hanyalah rujukan kepada filsafat teologis Aristotelian mengenai Sebab Efisien Pertama. Dia tidak menyiratkan, setidaknya di tempat yang khusus ini, bahwa perujukan Al-Farabi dilakukan kepada kitab yang diragukan siapa pengarangnya, yang disebut Teologi Aristoteles.
Tampaknya bahwa kritikan yang dikutip di atas dari sang sejarahwan terhadap filsafat Islam abad pertengahan yang didasarkan pada kerancuan antara ” penggunaan dan perbedaan penyebutan”. Seringkali ketika filsafat Islam menggunakan Teologi Aristoteles, dia tidak secara eksplisit menyebutkan “Kitab Teologi” tersebut melainkan sekedar mengacu kepada dimensi-dimensi teologis filsafat Aristoteles.
Banyak tempat lain dalam karya-karya Aristoteles yang darinya orang bisa dengan mudah menyimpulkan bahwa dalam filsafatnya terdapat dimensi yang secara menonjol bersifat teologis yang memungkinkan orang menyebutnya “Teologi Aristoteles”. Dari doktrin dan konsep Aristoteles tentang Sebab Efisien inilah Ibnu Sina mengembangkan analisisnya yang terkenal mengenai teori “emanasi” (ash-shudur). Dan dari “sebab final” (al-’illah al-ghayah) dan “kesempurnaan puncak” Aristoteles dalam bukunya Etika[7] Ibnu Rusyd dan St. Thomas[8] mengembangkan teori tentang “keindahan” dan “kebahagiaan puncak”. Di samping itu, gagasan masyhur Aristoteles tentang “penggerak yang tak digerakkan” menjadi proposisi teologis dalam ilmu fisika. Kesemua ini menjelaskan “teologi Aristoteles” yang darinya para filosof abad pertengahan ini, baik yang di Timur maupun yang di Barat, menyimpulkan gagasan mereka mengenai fondasi alam semesta dan masalah pengetahuan manusia.
Tampaknya sistem filsafat Al-Farabi, secara keseluruhan berupaya menguraikan tema-tema sentral tersebut. Suatu filsafat sistematik seperti filsafat Aristoteles tidak bisa membatasi dirinya pada lingkup terbatas beberapa masalah filosofis khusus yang berhubungan dengan obyek-obyek fisik sementara tetap mengabaikan yang lainnya. Sebaiknya, hakikat wujud yang nyata dan tak berubah dari “hal-hal yang bisa dipahami” dalam kaitannya dengan eksistensi obyek-obyek yang bisa diindera dipandang dalam suatu kesatuan logikal dengan cara sedemikian rupa hingga setiap pembahasan tentang kebenaran yang satu adalah konsisten dengan kemungkinan kebenaran yang lain. Oleh karena itu, tatanan dan sistem “pengetahuan”, seperti halnya dengan tatanan “eksistensi”, yang digambarkan dalam suatu kesatuan hubungan yang bersifat kausalitas yang sedemikian rupa hingga seperti halnya serangkaian kejadian-kejadian berurutan yang kontingen[9] menyiratkan keniscayaan suatu wujud anteseden yang wajib dan mesti, begitu pula penggalan pengetahuan manusia yang bersifat kontingen juga mempra-anggapkan suatu akal anteseden yang wajib di baliknya. Semua tindakan dan abstraksi intelektual manusia yang tampak dari luar tidak mungkin memiliki lebih dari satu bagian reseptif atau peran persiapan dalam aksi emanasi oleh Bentuk-bentuk Ilahi pada akal potensial[10] kita yang transparan. Sekalipun demikian, tindak emanasi akal seperti itu tidak memiliki makna kecuali dalam term-term teori prospektif kita tentang ilmu hudhuri. Akan kami tunjukkan bahwa Aristoteles, meskipun tidak secara eksplisit, telah mengikatkan dirinya pada konsekuensi-konsekuensi logis gagasan itu, dan membicarakan paling tidak sebagian dari masalah-masalah metafisikanya dalam sinaran kesatuan integral seperti itu. Akan tetapi, tugas seorang penafsir seperti Al-Farabi adalah memahami keseluruhan struktur komprehensif pemikiran Aristotelian tersebut untuk dirinya sendiri, dan membiarkan kelengkapan dan konsistensi filsafat sang filosof dipahami oleh orang lain dengan cara yang berbeda.

Pandangan Ibnu Sina tentang Pengetahuan Manusia
Tesis filosofis Ibn Sina pasca Al-Farabi yang menarik dan bergaung dalam pemikiran para filosof Muslim lain adalah teori-teori tentang pengetahuan manusia atas dasar sintesis pendapat-pendapat Plato dan Aristoteles. Sintesis-sintesis ini dibangun berdasarkan prinsip-prinsip yang beragam dan dengan derajat-derajat rekonsiliasi yang berbeda antara kedua metode berpikir Hellenik tradisional tersebut.
Misalnya, analisis Ibnu Sina (w.1037) yang terkenal mengenai “konsep ketunggalan emanasi” (qa’idah al-wahid)[11], menyatakan bahwa keberadaan Akal Aktif (al-aql al-fa’âl)[12] dalam sistem dan tatanan wujud adalah bersifat terpisah, transenden, tetap, tak berubah, mutlak, dan abadi, akal inilah yang berfungsi mengaktualkan secara gradual semua bentuk pengetahuan manusia dari potensi murni menjadi aktual. Dalam komentarnya mengenai surat An-Nur dalam al-Quran, dan analisisnya mengenai simbolisme ayat ini, Ibnu Sina mengatakan, “Sebagian dari kemampuan-kemampuan (intelektual) jiwa adalah kemampuan untuk menyempurnakan dan mentransedensi substansinya sendiri, dari akal potensial (al-aql bil quwwah) ke akal aktual (al-aql bil fi’il), dalam hal ini yang  dibutuhkan jiwa adalah pertama, kemampuan reseptivitas (al-quwwah al-isti’dadiyyah) ke arah hal-hal bisa terpahami, yang oleh sebagian filosof disebut sebagai “murni potensi akal” (al-aql al-hayulani). Kedua, hadirnya kemampuan lain ketika “kategori-kategori pertama akal” terwujud bagi jiwa. Kategori-kategori pertama ini merupakan asas bagi perolehan “kategori-kategori kedua akal”. (Proses perolehan ini) akan muncul entah melalui proses kontemplasi, yang (disebut) pohon zaitun, jika pikiran tidak begitu cerdas dan tajam, atau “dugaan” yang disebut bahan bakar (minyak dari pohon zaitun), jika pikiran benar-benar cerdas. Dalam kondisi ini, kemampuan jiwa tersebut disebut “akal habitual” (al-aql bil malakah) dimana disamakan dengan “transparannya dengan kaca”.
Kesempurnaan tertinggi dalam daya dan kemampuan jiwa ini adalah kemampuan Ilahi yang minyaknya seolah-olah menyala sendiri tanpa disentuh api. Kemudian, terwujudlah bagi akal suatu kekuatan dan kesempurnaan. Kesempurnaan ini bagi akal berarti hadirnya segala sesuatu baik dalam bentuk “penyaksian” maupun penggambaran di alam pikiran. Ini adalah “cahaya di atas cahaya”. Kemampuan ini adalah bahwa akal berada dalam suatu posisi tertentu sedemikian sehingga tanpa melakukan suatu penyelidikan dan pengkajian baru, dia bisa mewujudkan pengetahuan-pengetahuan yang sebelumnya belum diperoleh, manakala pikiran menginginkannya. Ini dianalogikan dengan lampu atau mishbah. Kesempurnaan ini adalah al-aql bil mustafâd, dan kemampuan itu disebut dengan al-aql bil fi’il. Agen yang menyebabkan pikiran beranjak dari akal habitual ke keadaan yang paling sempurna, dan dari akal material ke akal habitual, adalah Akal Aktif (al-aql al-fa’âl). Kondisi ini bisa diserupakan dengan “api”.[13]
Sebagaimana yang dinyatakan dengan jelas, fokus penafsiran dalam analisis tersebut adalah membebaskan pikiran manusia sepenuhnya dari pemilikian aktivitas inisial jenis apapun dengan menisbatkan semua operasi intelektual kepada Akal Aktif yang keberadaannya di luar wujud manusia. Ibnu Sina, dalam mengutip istilah al-Quran, menyebut akal yang terpisah ini sebagai “api” (an-nar). Berdasarkan analisis ini, yang maksimal bisa dilakukan pikiran manusia atau yang dirancang untuk dilakukannya adalah mempersiapkan dirinya sendiri melalui koordinasi dan kerjasama kekuatan-kekuatan persepsi dan pemahaman, untuk kemudian menerima derajat cahaya yang sepadan bagi dirinya dari “api” (baca: Akal Aktif) itu. Proporsi ini beragam derajat dan tingkatannya, sehingga intensitas cahaya yang terbesar adalah “cahaya murni” yang dianugerahkan kepada jiwa yang mempunyai derajat kedekatan tertinggi dan terbesar dengan “api” itu; atau, ungkapan lain yang digunakan oleh Ibnu Sina sebagaimana yang tertera dalam Surat An-Nur, yakni “cahaya di atas cahaya” (nur ‘ala nur).[14]
Penjabaran Al-Ghazali tentang Cahaya
Sebuah interpretasi dan penafsiran filosofis tentang ayat al-Quran yang disebutkan di atas, pada hakikatnya merupakan faktor penting yang telah mengantarkan pikiran teologis ortodoks Al-Ghazali (1058-1111) kepada warna pemikiran mistisisme atau irfani. Pengaruh-pengaruh penafsiran yang agak irfani dan mistis mengenai ayat kitab suci tersebut, yang diperkenalkan oleh Ibnu Sina, telah menyebabkan sosok seperti Al-Ghazali kemudian mengembangkan suatu pendekatan yang sistematis terhadap Sufisme dan Tasawuf, yang tercermin dalam karyanya yang masyhur Misykat Al-Anwar.[15]
Meskipun pemikiran Al-Ghazali vis-a-vis dengan kesimpulan para filosof yang mendahuluinya, dan khususnya AL-Ghazali bersifat kritis terhadap Ibnu Sina dalam bukunya Tahafut Al-Falasifah (Kerancuan Para Filosof), namun dengan penuh semangat mengikatkan diri pada implikasi mistik tesis Ibnu Sina tentang Misykat Al-Anwar ini. Berdasarkan gagasan-gagasan Ibnu Sina, Al-Ghazali mengembangkan suatu uraian linguistik yang signifikan mengenai ungkapan “cahaya” yang terterapkan kepada Tuhan sebagai Sumber Cahaya dan kepada eksistensi alam semesta sebagai cahaya emanatif yang terpancar dari Cahaya Segala Cahaya (Nur al-Anwar).
Capaian pemikiran Al-Ghazali dalam kitab Tahafut secara mendasar adalah bersifat semantik, karena dia tergolong filosof yang belum “matang”, setidaknya dalam sejarah pemikiran spekulatif Islam, dimana dia membedakan masalah penggunaan sebuah kata dalam makna yang mengacu kepada penerapannya dengan penggunaan kata dalam makna yang tidak mengacu pada penerapannya. Pada tahapan penetapan makna standar, tidak menunjuk acuan apa pun pada suatu penerapan dan aplikasi khusus – baik yang empiris maupun transendental. Karena ini adalah tahap registrasi hubungan kata-kata dan makna-makna, maka tidak ada preferensi bagi suatu aplikasi khusus sebuah kata terhadap kata lainnya. Hanya dalam kasus penerapan dan aplikasilah masalah acuan muncul.
Pandangan Al-Ghazali berhubungan dengan kata “cahaya”, “Cahaya menurut istilahnya adalah ungkapan bagi sesuatu yang nampak dan terlihat dengan sendirinya, dan menjadikan benda-benda yang lain juga nampak dan terlihat, misalnya cahaya matahari. Definisi dan realitas cahaya ini adalah menurut signifikasinya yang pertama”.[16] Menyusul penjelasan berkaitan dengan makna standar kata “cahaya”, Al-Ghazali lebih lanjut menjabarkan bahwa berkenaan dengan penerapan “cahaya”, satu-satunya acuan yang tak bisa dipertanyakan dan tak bisa diragukan bagi kata tersebut adalah apabila ia diterapkan kepada Yang Esa (Tuhan), dimana Dia terlihat dengan sendirinya dan menjadikan yang lain-lain terlihat. Aplikasi lain dari kata “cahaya”, termasuk cahaya fisik yang tampak oleh kita, namun cahaya fisik ini tidak sempurna dan mempunyai banyak kekurangan yang mengakibatkannya jauh dari aplikasi murni bagi makna cahaya. Dalam hal ini Al-Ghazali menyatakan, “Jadi, apabila terdapat sebuah Mata yang bebas dari segala kekurangan fisik ini, maka saya bertanya bahwa apakah tidak lebih layak disebut sebagai “cahaya”?[17]
Jelas bahwa dalam epistemologi Ibnu Sina maupun dalam metodologi Al-Farabi mengenai masalah-masalah epistemologi, tidak ada penerimaan mutlak terhadap “penglihatan” akal Platonik mengenai ide-ide, begitu pula tidak mengikuti secara mutlak teori abstraksi Aristoteles. Sebaliknya, sebagaimana bisa dilihat dalam rumusan-rumusan Al-Ghazali, terdapat gerakan radikal untuk menjawab pertanyaan: Seandainya epistemologi harus mempra-asumsikan suatu aspek ontologikal, atau sejalan dengannya, maka apakah karakteristik-karakteristik ontologis dari obyek-obyek universal yang bisa dipahami oleh akal? Dan bagaimanakah obyek-obyek universal itu serta dimana ia berada? Para filosof sering mengklaim bahwa mereka mengetahui entitas-entitas universal yang secara nyata adalah universal, akan tetapi berbeda dari obyek-obyek fisik individual. Apabila demikian keadaannya, pertanyaan berikutnya dapat diajukan: Apakah hakikat entitas-entitas ini dan bagaimana kaitannya dengan persepsi individual kita? Dikemukakan dengan ringkas dalam term-term metaforis, jawaban yang mungkin bagi pertanyaan-pertanyaan yang penuh teka-teki ini adalah bahwa pikiran manusia seperti ceruk cahaya yang karena konjungsi dan hubungannya dengan “api” transenden yang eksternal, memperoleh penerangan dan pencerahan serta segala sesuatu yang diberikan kepadanya kemudian direfleksikan dalam dirinya sendiri, dan bergantung pada derajat kemampuannya mendekati “api” itu, akan menjadi lebih dekat kepada sumber cahaya yang merupakan pengetahuan intelektual.
Apakah jenis bahasa metaforis ini merupakan penyelesaian dan solusi yang memadai untuk masalah-masalah pengetahuan intelektual ataukah tidak, bukanlah merupakan subjek masalah di sini, karena kita tengah membahas sejarah ilmu hudhuri. Mesti ditambahkan selanjutnya bahwa jawaban metaforis, seperti yang dikaji dan dibahas di atas, terhadap pertanyaan dan persoalan yang begitu prinsipil dan fundamental seperti itu adalah benar-benar suatu penyederhanaan yang berlebihan dan tidak bersikap adil kepada filsafat pengetahuan manusia. Akan tetapi, tujuan penelitian dan penyelidikan kita pada titik ini adalah menyuguhkan dan menyodorkan suatu survei yang tercatat dengan baik berkaitan dengan latar belakang sejarah teori-teori ilmu hudhuri dalam pemikiran Islam. Apabila argumen sentral observasi tentang mode pengetahuan ini telah dijelaskan, kajian ini akan masuk ke dalam suatu pemeriksaan logis terhadap kegagalan atau keberhasilan teori pengetahuan pada umumnya dan pendekatan Islam terhadap kesadaran non-fenomenal atau pra-epistemik terhadap diri sendiri pada khususnya.
Jelas bahwa baik Al-Farabi dan Ibnu Sina, meskipun sangat berafiliasi dan berpijak secara kuat pada sistem pemikiran Hellenik (Yunani), telah mengembangkan gagasan-gagasan mereka berdasarkan filsafat Plato dan Aristoteles. Sekalipun demikian, hipotesis kedua filosof Muslim tersebut mengenai pengetahuan intelektual didasarkan pada emenasi yang bersumber dari maujud-maujud nonmateri atau penyatuan dan unifikasi dengan entitas-entitas yang nonmateri di alam akal. Entitas-entitas nonmateri ini adalah “ide-ide” atau bentuk-bentuk Ilahi yang sangat mungkin terdapat pada Sebab Pertama, sebagaimana analogi “cermin” Al-Farabi; dan dalam terminologi Ibnu Sina bahwa entitas-entitas nonmateri ini sebagai pengetahuan formal yang menyatu dengan substansi Akal Aktif dan hadir di dalam Akal Aktif (al-’aql al-fa’al) itu yang tersendiri. Baik Al-farabi maupun Ibnu Sina telah berusaha mempertalikan teori-teori dan konsep-konsep mereka dengan bahasa Hellenistik guru filsafat mereka, yakni Aristoteles. Akan tetapi, pendekatan mereka dalam hal ini berbeda; yang satu menggunakan gagasan Sebab Pertama, yang lain memakai penafsiran mengenai Akal Aktif, dua konsep ini yang tak syak lagi merupakan khas Aristotelian. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa kedua filosof Muslim abad pertengahan ini telah memperoleh pengertian tentang ilmu hudhuri, meski tak satupun dari kedua filosof besar ini yang mampu menyuguhkan suatu analisa yang komprehensif mengenai pengertian dari jenis pengetahuan hudhuri ini, jelas bahwa masing-masing sistem mereka menunjuk kepada penyatuan khusus antara subyek yang mengetahui dengan obyek-obyek Ilahi. Akan tetapi, mengenai esensi penyatuan tersebut masih melahirkan berbagai pertanyaan-pertanyaan prinsipil, yakni suatu permasalahan yang harus dikaji dan dibahas dalam kerangka teori kita tentang ilmu hudhuri.
Gagasan Ibnu Rusyd tentang Kebahagiaan Tertinggi Manusia
Ketika muncul Ibnu Rusyd (1126-1198) yang dikenal dalam filsafat Barat abad pertengahan sebagai “penafsir Aristoteles”, maka pola dan struktur umum epistemologi ini lebih banyak terwarnai oleh Aristotelian daripada Platonik. Komentar-komentar Ibnu Rusyd tentang jiwa maupun tentang Metafisika, secara kukuh membela dan mempertahankan gagasan khusus Aristoteles mengenai pemisahan antara Akal Aktif dan akal manusia. Dalam hal ini Ibnu Rusyd menyatakan bahwa Akal Aktif bukanlah salah satu bagian dari hakikat manusia, akan tetapi tujuan dari akal manusia adalah keluar dari tahapan potensi ke aktual melalui suatu proses unifikasi dan penyatuan dengan Akal Aktif dimana sebagai sumber eksternal untuk mengaktualisasikan pengetahuan intelektual dan makrifat rasional. Apa yang disiratkan oleh unifikasi ini dan bagaimana cara memahami keterkaitan antara Akal Aktif –sebagai substansi yang sepenuhnya terwujud secara terpisah dan mandiri di alam eksternal- dengan akal manusia sebagai substansi material dan spasio-temporal yang dapat mencerap suatu tempat, adalah pertanyaan-pertanyaan yang menurut penafsiran Ibnu Rusyd tidak diajukan oleh Aristoteles sendiri. Akan tetapi, Ibnu Rusyd berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, namun gagal memberikan solusi-solusi yang memuaskan. Sebaliknya dia hanya berpaling pada upaya menegakkan analogi antara “bentuk-bentuk atau forma-forma hakiki” dan “materi”.
Di sini, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa Akal Aktif sebagai sejenis “bentuk atau forma” (ash-shurah) yang bersatu dengan akal manusia yang sebagai “materi”nya (al-maddah), kemudian membentuk apa yang bisa diistilahkan sebagai akal material (al-aql al-hayulani). Dalam beberapa kesempatan, Ibnu Rusyd menyuguhkan proposisinya secara empatik, dengan menyatakan bahwa Akal Aktif yang independen itu menyatu dengan akal material manusia dan membentuk suatu penyatuan eksistensial antara “bentuk” dan “materi”. Tesis Ibnu Rusyd mencerminkan uraian Aristoteles mengenai masalah “keabadian dan kekekalan jiwa” dan “kebahagiaan tertinggi manusia”.
Dalam penafsirannya yang panjang atas kitab Metaphysics, Ibnu Rusyd menuliskan, “Kami telah memeriksa dan mengkaji kedua pendapat ini dalam kitab mengenai Jiwa, dan kami katakan bahwa Akal Aktif adalah “bentuk” dari “akal material”. Dan bahwa Akal Aktif ini menghadirkan pengetahuan-pengetahuan rasional, dan pada saat yang sama bahwa dari sisi ia berhubungan dengan akal material, maka akal material sebagai penerima Akal Aktif. Akal material itu berada pada posisi yang senantiasa dalam keadaan tercipta (kaun) dan termusnahkan (fasad).[18] Kami telah menjelaskan di dalam kitab De Anima (tentang Jiwa) bahwa inilah pendapat sang filosof Aristoteles, dan bahwa akal pada umumnya memiliki bagian yang bisa diciptakan dan bagian yang bisa di musnahkan. Bagian yang bisa dimusnahkan itu hanyalah aksinya, akan tetapi, akal dalam esensinya yang masuk ke dalam diri kita dari luar tidak bisa musnah. Sebab seandainya ia bisa diciptakan, maka kemunculannya akan tunduk kepada hukum perubahan dan transmutasi sebagaimana yang dikatakan dalam makalah-makalah ilmu tersebut, De Anima, dalam bahasan tentang substansi, dimana dijelaskan bahwa: apabila sesuatu muncul tanpa suatu perubahan dan trans-mutasi, maka sesuatu itu akan mewujud dari ketiadaan. Oleh karena itu, akal tersebut, yang berada dalam potensi, dikaitkan dengan akal yang aktual ini adalah locus dan tempat, dan bukan sebagai “materi” bagi “bentuk” yang menopangnya. Dengan kondisi ini, jika aksi akal ini, yaitu Akal Aktif, dari aspek bahwa ia tergabung dan terhubung dengan akal material, tidak dapat diciptakan, dengan demikian aksinya akan identik dengan substansinya dan dalam aksi ini ia tentu tidak mesti untuk bergabung dan bersatu dengan akal material. Akan tetapi, karena dalam kenyataannya ia telah menyatu dengan akal material dan beraksi terhadapnya, maka aksinya akan dipertimbangkan dari sudut pandang substansi yang lain yakni substansi yang menyatu dengannya. Dan karena alasan inilah perbuatan apapun yang dilakukannya sebagai substansi yang mandiri dalam diri kita, ia tidak melakukannya bagi dirinya sendiri melainkan bagi yang selain dirinya. Dengan demikian, adalah mungkin bahwa sesuatu yang kekal memahami sesuatu yang dapat diciptakan dan dapat dimusnahkan. Lalu apabila akal tersebut menjadi bebas dari potensi (yakni menjadi aktual) pada saat kesempurnaan manusia mencapai puncak dan klimaksnya, maka aksi ini, yang dipandang berbeda dari substansi akal itu sendiri, harus dimusnahkan dan dilepaskannya darinya. Dalam keadaan ini, kita mungkin tidak akan mengetahui akal tersebut sama sekali, atau kita memahaminya sedemikian rupa sehingga aksi dan perbuatannya tidak lain adalah substansinya sendiri. Dan dari aspek bahwa dalam keadaan kemungkinan kesempurnaan akhir kita sama sekali kehilangan pemahaman mengenainya, sehingga pada akhirnya kita hanya bisa mengatakan bahwa karena akal tersebut secara mutlak telah terbebas dari potensinya dan telah menjadi aktual, maka kita memahaminya disebabkan oleh aksinya, yakni pemahaman dan pengetahuan kita tidak lain adalah substansinya. Itulah sumber kebahagiaan tertinggi.”[19]
Bagaimana analogi ini bekerja, apa penafsiran akuratnya dan apakah ia benar-benar menjawab pertanyaan-pertanyaan ini atau tidak. Semua harus dipahami dalam ruang lingkup teori ilmu hudhuri dan kesatuan emanasi serta penyerapan eksistensial yang akan dibahas dan dikembangkan dalam kajian mendatang.
Tampak bahwa argumen dan burhan Ibnu Rusyd, dalam keseluruhannya, menunjukkan bahwa betapa sangat mungkin terdapat hubungan yang unik antara akal yang dapat musnah dan tak terpisah dengan Akal Aktif yang, tidak seperti akal yang bersifat mungkin dan habitual itu, mutlak tak dapat dimusnahkan dan sama sekali terpisah dari eksistensi manusia.
Merenungkan tentang proposisi-proposisi tersebut akan mengarangkan kita kepada suatu pertimbangan mengenai sejumlah persoalan mendasar dan prinsipil, yang sangat penting bagi tujuan-tujuan pengkajian ini. Permasalahan ini bisa dijelaskan sebagai berikut: Pertama, Akal Aktif analog dengan “bentuk” atau forma bagi akal material yang berfungsi sebagai “materi”nya. Hal ini menuntut kepada sejenis penyatuan antara dua substansi, material dan imaterial, meskipun analoginya tidak cukup kuat untuk mengukuhkan kesatuan yang diproyeksikan seperti itu. Akan tetapi, dalam kenyataannya, akal material dikaitkan dengan Akal Aktif, sebagai locus atau punggung bagi pelaku yang tak kelihatan. Kedua, Akal Aktif melalui iluminasi intelektualnya datang kepada kita dari luar (dakhil ‘alayna min al-kharij); dan dia pada asalnya bukanlah bagian dari pikiran manusia. Ketiga, derajat kesempurnaan tertinggi yang mungkin bisa dicapai dalam pengetahuan intelektual mengenal alam duniawi adalah pemahaman kita mengenai Akal Aktif; yakni komunikasi intelektual kita dengan obyek-obyek yang terpahami (ma’qulat), ketika kesadaran intelektual kita tidak lagi diperantarai oleh kontemplasi dan renungan apapun mengenai Akal Aktif. Sebaliknya, pengetahuan kita dicapai melalui penyatuan eksistensial dengan substansi Akal Aktif itu sendiri. Menurut penafsiran kami, penyatuan ini hanya bisa dipahami melalui suatu bentuk ilmu hudhuri yang akan kami sebut peniadaan (fana) atau penyerapan (jazb). Keempat, “pengetahuan penyatuan eksistensial” ini adalah kesadaran mistik, yang tidak hanya mungkin secara filosofis dalam term-term ilmu hudhuri, tapi juga dicapai melalui kebahagiaan puncak kontemplasi logis manusiadi dunia ini. Kelima, argumen ini menggaris bawahi keyakinan Aristoteles mengenai terus hidupnya jiwa manusia sesudah mati, jika penyatuan puncak tersebut harus murni bersifat eksistensial tanpa keterlibatan potensi material, maka kehancuran atau pembusukan jasad manusia tidak akan berpengaruh terhadap penyatuan yang begitu murni antara jiwa manusia dengan Akal Aktif.
Alasan dan dalil menarik yang mengarahkan Ibnu Rusyd kepada kesimpulan dan konklusi yang agak khas ini –”penyatuan pengetahuan secara eksistensial”- akan dijabarkan kemudian dengan tujuan mengkaji persoalan: Bagaimana mungkin sebuah jiwa individual menyatu secara eksistensial dengan Yang Tunggal atau dengan hakikat-hakikat hal-hal terpahami yang bersifat Ilahiah?
Nah, untuk tujuan pengacuan dan analisa berikut akan kami ringkaskan argumen-argumen yang terkait: Semua kontemplasi, persepsi, dan perenungan intelektual yang bersifat potensial akan mengaktual dikarenakan tercapainya derajat tertinggi kesempurnaan intelektual, dengan arti bahwa tidak ada lagi potensialitas cadangan (segala potensi berubah menjadi aktual). Apabila tidak ada “potensi” (bil quwah) maka tidak ada makna bagi “aktual” (bil fi’il). Operasi empiris maupun aplikasi logis dari dikotomi “hubungan aktual-potensi” pun berakhir. Tema ini akan menjadi jelas secara argumentatif, berdasarkan suatu kaidah yang berbunyi: Suatu sifat yang memang layak dan dapat disandarkan kepada suatu subyek tertentu, seperti keberadaan penglihatan, rambut, dan gigi pada manusia. Begitu juga terdapat lawan dari keberadaan dan bakat ini, yaitu ketiadaan bakat dan keberadaan itu, misalnya ketiadaan penglihatan atau ketiadaan rambut dan gigi.
Mengingat apa yang telah dipertimbangkan di sini, tidak ada makna bagi “aktual”, sedemikian sehingga gagasan mengenai pengetahuan dengan sendirinya tidak lagi bisa ditafsirkan sebagai “akal imanen” pikiran manusia. Dalam keadaan ini, kita harus sama sekali bodoh dan jahil, yakni tidak tahu apa-apa tentang obyek-obyek yang terpahami (ma’qulat), atau, karena kita dalam kenyataannya berada dalam kondisi mengetahui yang sempurna, maka harus dipahami bahwa kita senantiasa mengetahui.
Dugaan pertama adalah mustahil, karena bertolak belakang dengan keadaan kesempurnaan intelektual yang kita peroleh. Karenanya kita hanya bisa mengatakan bahwa kita, dalam keadaan ini, mengetahui substansi hal-hal yang dapat dipahami. Sebagai hasil pengetahuan ini, kita mengetahui segala sesuatu di dunia yang tercerap, tapi bukan melalui perantaraan persepsi ataupun konseptualisasi, dan bahkan bukan melalui penampakan dan refleksi ataupun jenis representasi, melainkan melalui penyatuan dengan kenyataan, atau kehadiran dalam Substansi Ilahi tersebut. Dalam kenyataannya argumen ini telah memantik diskusi tentang teori ilmu hudhuri dan sifat swa-obyektivitasnya yang esensial.
Pada tahap kesadaran ini, mesti dikemukakan bahwa pengetahuan tidak lagi merupakan fenomena pikiran yang disengaja ataupun transendental, tapi lebih merupakan sejenis swa-realisasi pengetahuan representasional (ilmu hushuli) menjadi sesuatu yang transenden dan “mencapai” pengetahuan tentang realitas diri. Proses ini terjadi berkat penyatuan eksistensial dan bukan oleh tindak mengetahui yang bersifat intelektual ataupun fenomenal (yakni tidak dicapai dengan ilmu hushuli atau pengetahuan representasional). Persoalan-persoalan serta sejumlah keberatan lain boleh jadi dimunculkan terhadap penafsiran ini dari berbagai sudut pandang, tetapi kami akan membahas implikasinya pada pembahasan yang akan datang.
Seperti telah banyak diilustrasikan, sifat umum yang ada pada ketiga pendekatan Islam yang disebutkan di muka terhadap masalah pengetahuan akal adalah dengan berangkat dari penginderaan akal Aristotelian, untuk tiba pada sejenis visi Platonik. Tinjauan mengenai perjalanan ketiganya meluas lebih jauh hingga mencakup suatu pengertian tentang mengetahui, yang pada intinya identik dengan nilai kebenaran identitas pribadi manusia.
Di samping itu, ketiga filosof yang dibahas di atas sepenuhnya yakin bahwa Akal Aktif bersifat Ilahi dan mutlak terpisah dari eksistensi spasio-temporal dan jasmani kita. Hubungan antara Wujud Ilahi dengan eksistensi kita terjadi melalui iluminasi[20] dalam pengertian pengetahuan intelektual yang diperoleh dengan sengaja, dan sebagai konsekuensi penyatuan melalui penyerapan[21]dalam pengertian realisasi diri kita, ketika diri dengan cara tertentu bersatu dengan Realitas-relaitas Ilahi, Kesatuan ini telah diungkapkan melalui analogi cermin, melalui analogi ceruk cahaya, dan akhirnya melalui trans-substansiasi akal material manusia kedalam suatu Wujud Ilahi. Trans-substansiasi ini, menurut Ibnu Rusyd, akan terwujud melalui seringnya penyatuan akal materi manusia dengan aksi substansi yang terpisah atau maujud nonmateri, yakni dengan metode iluminasi atau emanasi.[22]
Karakteristik dan ciri umum ini terus menjadi landasan seluruh bangunan filsafat Islam, dan akhirnya hadir pada sistem filsafat Suhrawardi (1155-91) secara lengkap dan belakangan pada konsep Prisipalitas Eksistensi (Ashalatul Wujud) Shadr Al-Din Syrazi (Mulla Shadra, w. 1640).
Bisa ditambahkan di sini bahwa komitmen Ibnu Rusyd terhadap masalah “kebahagiaan” dan penyatuan melalui emanasi dan peleburan tidak bertentangan dengan pendirian kritisnya terhadap tesis Ibnu Sina tentang emanasi. Sementara dalam memeriksa urutan menurun (gerak menurun perwujudan realitas) eksistensi di dunia, Ibnu Rusyd secara kategoris menyebut teori emanasi yang agak bercorak Platonistik ini sebagai sama sekali non-Aristotelian, dalam masalah pengetahuan-pengetahuan manusia dia menyarankan kesatuan iluminatif akal manusia dengan Akal Aktif Ilahi. Perubahan sikap yang radikal ini terutama disebabkan oleh kenyataan bahwa jangkauan limpahan cahaya eksistensi dari ketunggalan Sebab Pertama ke kemajemukan alam semesta mengesankan variasi proses menaik (gerak menyempurna maujud) yang didasarkan pada berangkatnya akal manusia dari kemajemukan menuju ketunggalan Kesucian Ilahi.[23]
Ibnu Rusyd sendiri menjelaskan konsep-konsep dan pemikirannya. Penjelasannya secara khusus banyak memberikan informasi tentang kenyataan bahwa di samping posisinya terhadap masalah kausalitas Ilahi, dia memilih untuk menegakkan kembali masalah pengetahuan manusia atas dasar keberadaan Akal Aktif yang mandiri dan terpisah serta bersifat nonmateri.
Dalam tafsiran panjangnya atas Metaphysics Aristoteles, Ibnu Rusyd menyatakan, “Dali dan alasan bahwa Aristoteles telah mengambil langkah ini untuk mengemukakan Akal Aktif yang non materi sebagai kausa dan sebab (‘illah), tidak untuk semua, tapi untuk terjadinya kekuatan-kekuatan intelektual kita adalah kenyataan bahwa menurut pendapatnya, kekuatan-kekuatan intelektual ini tidak terkait dengan materi. Dalam hal ini, sudah jelas bahwa apa yang dengan cara tertentu tidak terikat dengan materi mestilah muncul dalam eksistensi dari kausa yang mutlak terpisah dan immaterial, persis sebagaimana obyek-obyek material pasti dilahirkan dari sebab-sebab materialnya.”[24]
Kutipan ini mengungkapkan dengan tegas dan jelas komitmen pemikiran Ibnu Rusyd berhubungan dengan keseketikaan emanasi yang pada akhirnya diartikan oleh para filosof iluminatif Muslim sebagai ilmu hudhuri. Dari kutipan ini, maupun dari banyak contoh lain dalam gagasan-gagasan Ibnu Rusyd, dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya Ibnu Rusyd membedakan antara hubungan sebab-akibat (kausalitas) Ilahi dengan kausalitas dalam dunia materi. Konklusi klimaks Ibnu Rusyd dalam hal ini tergambar dalam pernyataan bahwa sebab dan kausa bagi obyek-obyek immaterial mestilah mutlak bersifat Ilahiah dan immaterial –melalui emanasi, sementara sebab dan kausa bagi benda-benda material haruslah bersifat material pula- serta melalui penciptaan dan pemusnahan.


[1] . Kata-kata yang berbeda namun dapat diterapkan kepada semua realitas dengan makna dan pengertian yang sama. Misalnya, kata “eksistensi” bisa digunakan kepada Tuhan dan selain-Nya dengan makna yang sama, walaupun terdapat perbedaan dalam derajat intensitas dalam “eksistensi” itu, misalnya “eksistensi” Tuhan lebih sempurna daripada “eksistensi” selain-Nya.
[2] . Al-Farabi, al-Jam’ bayn Ra’yaay (Harmonization of the Opinions of Plato and Aristotle), hal. 105-6.
[3] . Akal terbagi dua, akal teroritis dan akal praktis. Akal teoritis adalah berfungsi untuk mencerap konsep-konsep universal, memahami berbagai macam makna dan kesaling-hubungan antara berbagai hal, berkaitan dengan konstruksi argumentasi, dan penalaran abstrak secara umum.
[4] . Al-Farabi, Al-Fushush, 1926, hal. 13.
[5] . Al-Farabi, Philosophy of Plato and Aristotle, terj. Muhsin Mahdi, hal. 4.
[6] . Argumen teologis Aristoteles berbunyi sebagai berikut:
Seandainya ada regresi tak terhingga di antara “sebab dan kausa efisien” niscaya tak ada satu sebab pun yang merupakan sebab pertama. Karena itu, semua sebab yang lain, yang bersifat menengah, akan tak terwujud. Tapi ini jelas salah. Karena itu kita harus mengemukakan bahwa ada satu “Sebab Efisien Pertama”. (Aristotle’s Metaphysics,1a, 2 (994 a)).
[7] . Aristotle, Nichomachean Ethics, buku 1, 6 dan 10, terj. M. Ostwald.
[8] . St. Thomas Contra Gentiles, buku 3, bagian 1, bab 37-49.
[9] . Sifat dari suatu peristiwa atau fenomena yang kejadiannya bergantung pada kondisi-kondisi yang tidak pasti, dalam masalah filsafat wujud (ontologi) biasa disebut dengan mumkinul wujud (wujud kontingen) yang berlawanan dengan Wajibul Wujud (wujud mesti-ada atau Tuhan)
[10] . Akal Potensial adalah akal manusia dalam bentuk yang belum mengaktual, kemampuan terpendam untuk memahami hal-hal yang universal dan kebenaran-kebenaran abadi yang ada dalam akal aktif.
[11] . Suatu kaidah yang berbunyi: Qa’idah al-wahid la yasdur ‘anh illa al-wahid yang berarti bahwa “yang tunggal” hanya bisa mewujudkan “yang tunggal” juga. Kaidah ini dianggap sebagai sistem emanasi Ibnu Sina. Dari prinsip ini Ibnu Sina sendiri mengembangkan prinsip hierarki emanasi yang disebut aturan “kemungkinan yang lebih sempurna” (qa’idah imkan al-asyraf). Mengacu pada prinsip hierarki emanasi, Ibnu Sina menunjukkan: Perhatikanlah bagaimana realitas eksistensi muncul dari sumber yang lebih sempurna ke sumber selanjutnya (yang lebih rendah kesempurnaannya) sampai heirarki kesempurnaan berakhir (pada derajat eksistensi yang paling rendah), yakni di alam materi. Al-Isyarat wa at-Tanbihat, bagian 3, bab 7.
[12] . Akal aktif, menurut Al-Farabi, disebut juga akal kesepuluh, dalam filsafat Iluminasi adalah Malaikat Jibril. Menurut Ibnu Sina, akal manusia jika telah mencapai tingkat abstraksi tertinggi dapat mengadakan komunikasi langsung dengan Jibril. Sebagai akal terakhir dalam urutan emanasi, akal aktif memberi “bentuk” pada setiap sesuatu, dan senantiasa melakukan kegiatan dan mencipta “akal potensial” yang kemudian berfungsi mencerap aspek-aspek universal.
[13] . Ibn Sina, al-Isyarat wa at-Tanbihat, bag. 2, hal. 390.
[14] . Yang sebagaimana dinyatakan oleh Nasir Al-Din ath-Thusi dalam komentarnya, analisis mengenai akal manusia ini diambil dari ayat al-Quran tentang cahaya Ilahi, yang bunyinya adalah sebagai berikut, “Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada sebuah pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kacaitu seakan-akan bintang (yang bercahaya), seperti mutiara, yang dinyalakan dari minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (Qs. 24:25).
[15] . Al-Ghazali, Misykat Al-Anwar.
[16] . Op. cit., hal. 81.
[17] . Op. cit., hal. 83.
[18] .Terjemahan Latin dari kalimat unu adalah “non est generalibilis et corruptibilis”. Menurut teks kami, tidak ada tanda penegasian atau pengertian negatif dalam versi Arab untuk mendukung terjemahan seperti itu. Lihat Ibnu Rusyd, Kitab Tafsir maba’d Al-Thabi’ah,The Long Commentary, ed. Maurice Bouyges (Beirut, 1967), hal.1489.
[19] . Op. cit. hal. 1486-90.
[20] . Dalam makalah-makalah selanjutnya akan dibahas makna relasi iluminatif, dan bagaimana ia berbeda dengan kategori hubungan Aristotelian.
[21] . Seperti akan dilihat, gagasan “penyerapan” (jazb) adalah gagasan yang berasal dari “emanasi”. Penyerapan di sini adalah menyerap emanasi dari maujud transenden.
[22] . Trans-substansiasi dalam pengertian yang penting seperti itu, sebagaimana digunakan oleh Ibnu Rusyd, adalah trans-substansiasi yang berdasarkan itulah Shadr Al-Din Syirazi menegakkan doktrin prinsipalitas wujud tentang “gerakan substansial”. Doktrin ini secara resmi disebut sebagai gerak substansial (al-harakah al-jauhariyyah), yang kadangkala disebutkan sebagai “trans-eksistensiasi”.
[23] . Bagi sistem perwujudan dan penciptaan “menurun” tersebut, Ibnu Sina, seperti baru saja kita lihat dalam catatan kaki no 15, melekatkan prinsip “kemungkinan yang lebih tinggi” (qa’idah imkan al-asyraf) dan kepada prinsip penyempurnaan “menaik”, Suhrawardi memberikan aturan “kemungkinan posterior” (al-imkan al-akhshash). Lihat Suhrawardi, Kitab Hikmah Al-Isyraq, ed. H. Corbin, hal. 154-86, juga, Kitab Al-Talwihat, ed. H. Corbin hal. 50-4.
[24]. .Ibnu Rusyd, Tafsir ma ba’d Al-Thabi’ah, hal. 886.

sumber:  http://teosophy.wordpress.com/2009/08/19/epistemologi-8-aspek-empiris-ilmu-hudhuri/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar