Kamis, 02 Mei 2013

IDEALISME


 By: MARDIANTO

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Manusia adalah makhluk yang sungguh ideal. Dalam tubuh materialnya terdapat sisi mental dan spiritual yang sangat tinggi. Hal ini menjadikan manusia sebagai pribadi yang mempunyai arti dan harga diri, dimana manusia mempunyai nilai, dan lebih tinggi daripada alam materi dan makluk lainnya. Pandangan idealisme pada diri manusia muncul dari renungan murni seorang filsuf yang dikembangkan oleh pandangan para filsuf idealis selanjutnya.
 Berawal dari Plato yang menyatakan pandangan idealnya bahwa “ide adalah esensi yang transenden yang melatari setiap realitas yang ada diluar, sehingga ide menjadi realitas yang sangat fundamental”. Pandangan ini tentu telah memberikan inspirasi kepada filsuf idealis selanjutnya. Bahkan idealisme ini telah hidup dan berkembang di Barat dan Timur selama berabad-abad. Idealisme transenden ala Plato telah sangat berkembang di Timur, dan di Barat, idealisme ini telah tertransformasi ke dalam bentuknya yang lebih menekankan pada person (antropomorphisme). Hal ini terjadi dalam lingkup perdebatan pemikiran yang berbeda diantara keduanya. Terutama di Barat, pemikiran rasionalitas terasa lebih hidup, kemudian dilanjutkan dengan corak empirisisme.
Perdebatan-perdebatan filosofis ini pada tahap tertentu telah memunculkan era baru bagi kalangan idealisme. Di awali oleh Berkeley dengan pandangan idealisme subjektifnya yang menekankan bahwa keberadaan ide harus bersandar pada akal. Kemudian idealisme ini dilanjutkan oleh Kant dengan transenden idealisme yang melihat bahwa ide adalah sesuatu pikiran yang transenden dalam diri kita. Dan pada tahap berikutnya, Hegel berusaha melakukan sintesis terhadap dua kecenderungan antara subjektif dan objektif idealisme, dan pada akhirnya memunculkan pandangan absolut idealisme. Menurutnya, realitas dunia adalah refleksi dari sebuah pikiran dimana segala sesuatu dinisbahkan pada ide dan maksud-maksud dari suaatu akal yang mutlak.
Mungkin pandangan ini seakan kembali pada idealisme ala Plato, akan tetapi Hegel telah mengembangkannya pada taraf pemikiran tentang hakekat alam dalam realitas yang lebih absolut sebagai sebuah ide. Menurutnya Ide adalah esensi dari alam dan alam adalah keseluruhan jiwa yang diobjektifkan. Alam adalah akal yang mutlak yang memngekpresikan dirinya dalam bentuk luar.

B.     Rumusan Masalah
1)      Apakah yang dimaksud dengan idealisme itu?
2)      Berapakah aliran-aliran yang ada pada idealisme?
3)      Siapa sajakah tokoh-tokoh idealisme dan inti pemikirannya?




BAB.II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Idealisme
Kata idealis sering kita dengar atau bahkan kita pakai dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi kata idealis dalam filsafat mempunyai arti yang sangat berbeda dari artinya dalam bahasa sehari-hari. Secara umum, kata itu dapat kita artikan ketika seseorang yang menerima ukuran moral yang tinggi, estetika dan agama serta menghayatinya[1]. Kata idealis disini dapat dipakai sebagai pujian atau cemoohan kepada seseorang yang memperjuangkan tujuan-tujuan yang dipandang orang lain tidak mungkin dicapai.
 Arti filosofis dari kata idealisme akan lebih dekat dengan kata ide dari pada kata ideal. Mungkin seorang idealis akan mengatakan bahwa kata-kata idea’ism adalah lebih tepat daripada “idealism”. Dengan ringkas idealisme mengatakan bahwa realitas terdiri atas ide-ide, pikiran-pikiran, akal (mind) atau jiwa dan bukan benda material. Idealisme menekankan mind sebagai hal yang lebih awal ada daripada materi. Jika materialisme mengatakan bahwa materi adalah riil dan akal adalah fenomena yang menyertainya, maka idealisme mengatakan bahwa akal itulah yang riil dan materi adalah produk sampingannya. (HM. Rasyidi. 1984: 318) Dengan begitu maka idealisme mengandung penolakan bahwa dunia ini sebagai realitas yang sesungguhnya, akan tetapi ide-lah yang lebih esensial dan fundamental.
Dalam perkembangannya, idealisme menjadi suatu pandangan dunia atau metafisik yang mengatakan bahwa realitas dasar terdiri atas, atau sangat berhubungan dengan ide, pikiran atau jiwa. Dunia mempunyai arti yang berlainan dari apa yang nampak pada permukaannya. Dunia dipahami dan ditafsirkan oleh penyelidikan tentang hukum-hukum pikiran dan kesadaran, dan tidak hanya oleh metode ilmu objektif semata-mata.
Kecenderungan-kecenderungan pemikiran idealisme ini lebih banyak muncul dan berkembang di belahan dunia Barat yang dimulai dengan masa pencerahan dan renaissance. Perdebatan-perdebatan filosofis telah muncul ke permukaan sebagai aliran rasionalisme dan juga empiricisme yang keduanya pada tahap tertentu telah memunculkan pandangan idealisme[2]. Di awali oleh Berkeley dengan pandangan idealisme subjektifnya yang menekankan bahwa keberadaan ide harus bersandar pada akal kita. Kemudian idealisme ini dilanjutkan oleh Kant dengan transenden idealisme yang melihat bahwa ide adalah suatu pikiran yang transenden yang ada dalam diri kita, melalui gagasan.



Dan pada tahap berikutnya, Hegel berusaha melakukan sintesis terhadap dua kecenderungan antara subjektif dan objektif idealisme, dan pada akhirnya memunculkan pandangan idealisme Absolut. Menurutnya, realitas dunia adalah refleksi dari sebuah pikiran dimana segala sesuatu dinisbahkan pada ide dan maksud-maksud dari suaatu akal yang mutlak.

B.     Aliran-aliran dalam Idealisme

1)      Idealisme Obyektif
Idealisme obyektif adalah suatu aliran filsafat yang pandangannya idealis, dan idealismenya itu bertitik tolak dari ide universil (Absolute Idea- Hegel / LOGOS-nya Plato) ide diluar ide manusia. Menurut idealisme obyektif segala sesuatu baik dalam alam atau masyarakat adalah hasil dari ciptaan ide universil.
Pandangan filsafat seperti ini pada dasarnya mengakui sesuatu yang bukan materiil, yang ada secara abadi diluar manusia, sesuatu yang bukan materiil itu ada sebelum dunia alam semesta ini ada, termasuk manusia dan segala pikiran dan perasaannya[3]. Dalam bentuknya yang amat primitif pandangan ini menyatakan bentuknya dalam penyembahan terhadap pohon, batu dsb-nya.

2)      Idealisme subyektif
Idealisme subyektif adalah filsafat yang berpandangan idealis dan bertitik tolak pada ide manusia atau ide sendiri. Alam dan masyarakat ini tercipta dari ide manusia. Segala sesuatu yang timbul dan terjadi di alam atau di masyarakat adalah hasil atau karena ciptaan ide manusia atau idenya sendiri, atau dengan kata lain alam dan masyarakat hanyalah sebuah ide/fikiran dari dirinya sendiri atau ide manusia.


C.    Idealisme Georgey Barkeley
Idealis pertama dalam pengertian modern adalah Berkeley yang pada abad 18 telah menolak eksistensi independent benda-benda.1 Walaupun sebelumnya, kecenderungan ini telah ada dalam “keraguan Descartes” tentang dunia fisik, sehingga memunculkan apa yang disebut dengan rasionalisme. Akan tetapi berbeda dengan Berkeley, yang mungkin posisinya antara rasionalisme dan empirsme, mengatakan bahwa dia mengakui realitas materi yang ada adalah sebagai apa yang kita pikirakan. Untuk itulah selain disebut idealis, ia juga sering disebut dengan immateralism. Hal itu tampak dalam keyakinannya bahwa dunia material tidak dapat memiliki realitas independen dari pikiran kita, kecuali dengan mempersepsi dunia luar yang kita lihat melalui indera kita. Menurutnya, jika pohon hanya kumpulan sensasi dan ide, konsep dari “kepohonan” adalah terbebas dari pohon itu sendiri sebagai hasil dari proses sensasi selanjutnya. Untuk itulah Berkeley lebih menekankan pada pandangan subjektifnya terhadap dunia fisik, dimana menurutnya materi adalah sebagaimana yang dipahami (dipersepsi) manusia.

Beberapa argument Berkeley dalam idealisme subjektifnya terlihat dalam pandangannya tentang pikiran (Knowledge). dalam hal ini ia meyakini bahwa; Pertama; apa yang diketahui haruslah ‘ada di dalam pikiran” atau berhubungan dengan pikiran (mind). Kedua; Kita tidak dapat mengatakan secara positif bahwa materi yang dipahami berada bebas dari pemahaman, dan Ketiga adalah sifat objek fisik selalu bergantung pada pengalaman dan pikiran.
Ketiga pendapat ini nampak dalam kedekatannya dengan pandangannya sebagai seorang empiris. Dimana dia berpendapat bahwa ide dihasilkan didalam pikiran dengan sesuatu yang kita terima (kita cerap). Berkeley setuju bahwa ide harus di dalam pikiran, tetapi dia meolak bahwa mereka dapat dihasilkan dari sesuatu yang material diluar kita. Menurut Berkeley, kita tidak dapat mempunyai pengetahuan tentang sesuatu yang fisik kecuali dengan jalan ide, dan disini kita dapat mempunyai pengetahuan yang bebas tentang sesuatu dan itu adalah bagian dari ide itu sendiri. Ketika dengan mempersepsi, kita mempunyai alasan untuk percaya bahwa hanya dengan apa yang kita cerap maka semua persepsi yang ada dalam ide, dapat kita percayai sebagai kebenaran didalam keberadaanya. Tetapi kita tidak punya pembenaran untuk mempercayai  adanya subtansi materi berada dibelakang ide tersebut. Tentang keberadaan ide, Berkeley berpikir bahwa materi itu ada jika kita persepsi atau kita dicerap. Inilah yang kemudian dikenal dengan teori, esse is percipi.  Adalah benar dengan definisi bahwa ide eksis (ada) jika itu kita persepsi cerap, dan disana tidak selalu sesuatu yang subtansinya materi.

D.    Idealisme Transendental Kant    
Sejarah filsafat adalah sejarah pertarungan akal dan hati (iman) dalam berebut dominasi mengendalikan jalan hidup manusia. Terkadang akal menang dan kadang juga iman yang menang mutlak. Akan tetapi yang terpenting adalah mendudukan keduanya pada dominasi yang seimbang. Keseimbangan akal dan hati ini telah dibuktikan dalam sejarah filosofis dengan beberapa tokoh utamanya.3 Salah satunya adalah Imanuel Kant yang berhasil menghentikan sofisme modern untuk menundukkan kembali akal dan iman pada kedudukan masing-masing. Pandangan ini muncul sebagai sebuah idealisme transendent yang kemunculannya tidak terlepas dari situasi dan kondisi perdebatan filosofis pada zamannya[4].
Diawali dengan idealisme Berkeley, pada abad yang sama telah muncul tipe idealisme yang berbeda melalui seorang Immanuel Kant (1724-1804). Pemikiran Kant muncul sebagai pemicu wisata intelektual yang paling berpengaruh dalam filsafat. Konsep idealismenya didasarkan pada pemikirannya yang rapi dan terarah dan relevan dengan idealisme[5]. Dalam hal ini, Kant mengembangkan dualisme, dimana dia mempercayai keberadaan realitas eksternal, akan tetapi disisi lain dia berpendapat bahwa pikiran memberikan keunggulan dalam memahami itu.

Lebih khusus lagi, ia berpendapat bahwa baik pikiran itu sendiri maupun pancaindera dengan sendirinya akan menghasilkan pengetahuan.
Menurutnya apa yang kita dapatkan melalui indera, sebenarnya kita sendirilah yang menentukan keberadaannya sebagai sebuah pikiran (ide) atau hanya sekedar sensasi. Untuk itulah pemikiran kosong dengan sendirinya, tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang diri kita sendiri atau kenyataan. Untuk lebih gamblang, Kant menjelaskan bahwa persepsi harus didasari dengan pengetahuan a priori; sebuah intuisi, serta adanya konsep ruang dan waktu dan juga sebab dan akibat. Dan karena alasan itulah kita harus menggunakan indera. Selain itu, karena asumsi bahwa realitas ada di luar pikiran, maka Kant mengatakan bahwa perlu adanya pembagian kategori pada objek realitas tersebut.
Karena terdapat hubungan yang sangat khusus (intim) antara akal dan pancaindera, antara pikiran dan tubuh, “pikiran” dianggap Kant sebagai suatu kegiatan. Membawa kita ke realitas kategori “pengertian”, dan tidak hanya mencerminkan realitas atau cermin dengan pikiran kita, dan bukan hanya prasangka sebagaimana argumentasi Descartes. Namun, sesuai keterbatasan yang disusun oleh sebuah kategori a-priori ini, kita belajar dari kenyataan. Kita dapat meningkatkan pengetahuan kita melalui eksperimentasi dan tes. Dengan demikian untuk mendapatkan pengetahuan kita harus dapat mencari, dan belajar. Kita harus memiliki kebebasan. Karena sifat moral, Pendapat Kant bahwa determinisme materialistis rantai alasan yang menyebabkan fisik dan hukum harus palsu.
 Menurut Kant, pengetahuan yang mutlak benarnya memang tidak akan ada bila seluruh pengetahuan datang melalui indra. Akan tetapi bila pengetahuan ini datang dari luar melalui akal murni, yang tidak bergantung pada pengalaman, bahkan tidak bergantung pada indra, yang kebenarannya a priori, maka menurutnya dari sinilah kita mendapatkan pengetahuan yang mutlak yang dapat dipegang kebenarannya, bahkan menjadi pengetahuan yang absolut. Disinilah letak transenden idealismenya Kant, jika kita lihat lebih jauh maka pendapatnya ini mengisyaratkan akan adanya objektiitas dalam diri objek, walaupun manusia tidak mampu untuk mendapatkannya hanya dengan pancaindra, dan hal tersebut hanya dapat dimengerti oleh akal murni, dengan kategori kategori a-priori.
Sebelum lebih jauh membicarakan tentang Tuhan, Kant memulainya perenungan filosofisnya dengan mempertanyakan apakah ada yang dapat diketahui seandainya seluruh benda dan indra dibuang. Di sinilah buku Critique of Pure Reason berbicara, dimulai dengan serara rinci membahas cara manusia berpikir, tentang asal usul terbentuknya konsep, dan tentang struktur jiwa manusia. Menurutnya kesemuanya itu adalah pembicaran metafisika akal murni. Menurutnya, pengalaman hanya mengatakan kepada kita apa-nya dan bukan apa ia sesungguhnya. Disnini Kant mulai memperlihatkan apa yang diperjuangkannya; kebenaran umum harus bebas dan pengalaman harus jelas dan pasti dengan sendirinya (Durant, 1965 : 256) Disinilah apa yang kemudian disebutnya dengan kebenaran yang a-priori. Dan kebenaran itu kita peroleh melalui struktur jiwa kita yang inheren. Dari sini kita lihat idealisme transendenal yang ditunjukkan Kant, karena mungkin dia sendiri tidak pernah menyebut dirinya sebagai seorang idealis transendent.
Usaha untuk menjelaskan sebuah jiwa yang inheren inilah, yang akan kita lihat sebagai pandangan metafisikanya yang lebih jelas melalui filosofi transendenal, Menurutnya, ada pengetahuan yang transenden, yaitu pengetahuan yang tidak banyak berisi objek, akan tetapi lebih banyak berisi konsep objek yang a-priori. Lebih lanjut, Kant menjelaskan proses masuknya pengetahuan a-priori ini dengan istilah estetika transenden dimana proses mengkoordinasikan sensasi-sensasi dengan acuan persepsi ruang dan waktu dan logika transenden, dimana mengkoordnasi persepsi-persepsi yang sudah masuk dalam konsep ruang dan waktu dengan memasukkannya dalam kategori pemikiran.
 Menurutnya, konsep ruang dan waktu adalah sebuah pengetahuan a priori, Kant tidak pernah menolak eksistensi materi, dan tidak juga menolak ide. Ia hanya menyatakan bahwa kita tidak pernah mengetahui dengan pasti ide itu, dunia luar itu, selain dunia luar ide itu ada. Menurutnya pengetahuan kita tentang dunia luar itu hanyalah mengenai penampakannya, fenomenanya, dan pengindraan kita tentangnya. Dari pendapatnya iitu, terlihat Kant bukan seorang empiris dan juga bukan rasionalis. Kant berada diantara keduanya. Kemudian yang menjadi menarik dalam pandangan Kant adalah, dia memisahkan antara fenomena dan noumena.  Menurutnya pengetahuan kita tentang fenomena saja adalah sesuatu yang naïf, sedangkan tentang noumena kita tidak mengetahui sama sekali.
Tentu tidak sesederhana itu, ini merupakan sebuah jawaban untuk menyelamatkan sains, bahwa sains dapat dipegang hanya sebatas penampakan objek. Kesimpulannya adalah indra hanya mengetahui penampakan, dan ia dapat dipegang bila dasar-dasarnya a-priori. Dan menurutnya dasar-dasar apriori tersebut ada pada sains. Dan lebih jauh, lewat The Critique of Pure Reason, ia berusaha menyelamatkan keyakinannya, maupun idealismenya. Dia menyatakan bahwa indra terbatas, sehingga sains dan akal tidak mampu menembus noumena dan objek-objek keyakinan. Dari sinilah dia menawarkan apa yang disebutnya Moral, menurutnya moral adalah kata hati, suara hati, persaan dan yang terpenting adalah suatu prinsip yang a-priori dan absoulut (lihat Durant, 1959 ;276).

E.     Idealisme Hegel
 Idealisme Jerman memuncak pada Hegel[6], dialah seorang filsuf terakhir barat yang mempunyai bangunan filosofis yang utuh, dan hampir filsuf setelahnya hanya mengembangkan beberapa bagian saja dari isu-isu filosofis. Mungkin istilah yang paling kita kenal dari Hegel adalah dialektikanya. Akan tetapi yang menjadi fokus makalah kali ini adalah tentang idealismenya, yaitu idealisme absolut. Apakah hubungan dialektika dengan idealismenya, tentu ini sangat berhubungan dalam sebuah bagunan filosofis yang komplit  Sebagai seorang filsuf yang berkembang pada masa romantisme, sebagaimana telah diaawali Kant. Oleh karenanya, banyak pikirannya dipengaruhi Kant. Tetapi ia tidak pernah menjadi pengikut Kant, perbedaan diantara keduanya lebih besar daripada perbedaan Plato dan Aristoteles. Hegel tidak akan menemukan metode dialektikanya tanpa memulainya dari dalektika transendenal yang dikembangkan oleh Kant dalam Critique of Pure Reason[7]. Sekalipun demikian, filsafat Hegel amat berbeda dengan filsafat Kant, terutama tentang keterbatasan akal dan pandangan tentang spirit (ruh) (Ahmad Tafsir. 2000 : 152).
Berbeda dengan Kant, yang dalam posisi transendent, Hegel berusaha melakukan sintesis terhadap dua kecenderungan antara subjektif dan objektif idealisme, dan pada akhirnya memunculkan pandangan absolut idealisme. Menurutnya, realitas dunia adalah refleksi dari sebuah pikiran dimana segala sesuatu dinisbahkan pada ide dan maksud-maksud dari suaatu akal yang mutlak. Mungkin pandangan ini seakan kembali pada idealisme ala Plato, akan tetapi Hegel telah mengembangkannya pada taraf pemikiran tentang hakekat alam dalam realitas yang lebih absolut sebagai sebuah ide. Menurutnya Ide adalah esensi dari alam dan alam adalah keseluruhan jiwa yang diobjektifkan. Alam adalah akal yang mutlak yang memngekpresikan dirinya dalam bentuk luar. Inilah yang benar-benar membedakannya dirinya dengan Kant, pandangannya tentang alam sebagai sesuatu yang absolut.
Untuk mengetahui bagaimana idealisme absolutnya Hegel berbicara, kita dapat melihatnya dari pandangan metafisikanya dan juga nantinya pandangannya tentang alam. Bagian metafisikanya dimulai dari pembahasan tentang rasio. Hegel sangat mementingkan rasio ataupun pikiran. Hal ini menunjukkan dia sebagai seoarang yang sangat idealis. Menurutnya, pikiran yang dimaksudnya bukan hanya pada manusia perorangan, tetapi adalah sebuah rasio atau pikiran pada subjek yang absolut, karena Hegel juga menerima prinsip idealistik bahwa realitas seluruhnya harus disetarafkan dengan suatu objek. Dalil Hegel yang kebudian terkenal berbunyi;
    “Semua yang real bersifat rasional dan semua yang rasional bersifat real” Maksudnya, luasnya rasio sama dengan luasnya realitas. Realitas seluruhnya adalah proses pemikiran dan ide yang memikirkan dirinya sendiri. Atau dengan perkataan Hegel bahwa seluruh realitas adalah spirit yang lambat laun menjadi sadar akan dirinya. Dengan mementingkan pikiran, Hegel sengaja beraksi terhadap kecenderungan intelektual dan pada saat yang sama mencurigai rasio dengan mengutamakan perasaan.

Terkadang ada pemikiran bahwa istilah dialektika, hampir sama dengan Hegel itu sendiri. Padahal dialektika ini bukan satu-satunya filsafat Hegel, karena kita tahu dia adalah filsuf yang mempunyai bangunan filosofis yang lengkap. Untuk menjelaskan filsafatnya, Hegel menggunakan dialektika sebagai metode. Namun, dialektika itu bukanlah sekedar digunakan untuk menjelaskan sesuatu, akan tetapi menurutnya dalam realitas itu sendiri berlangsung dialektika. Menurut Hegel, yang dimaksud dengan dialektika adalah mendamaikan dan mengkompromikan hal-hal yang berlawanan (Bertens, 1979: 68) Proses dialektika selalu terdiri dari tiga fase yaitu tesis, antitesis dan sintesis.




BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Setelah kita melakukan petualangan singkat dalam sejarah intelektual filosofis tiga tokoh utama idealis, yaitu Berkeley, Kant dan Hegel kita dapat mengetahui bahwa idealisme secara umum berkembang dalam sebuah perenungan maupun perdebatan pemikiran baik itu dalam corak idealisme maupun jawaban terhadap ide-ide lainnya. Bahkan hal itu dimualai sejak Plato, dan mungkin akan terus dipikirkan sampai detik ini. Kenyataan bahwa idealisme telah hidup dan berkembang selama berabad-abad menunjukkan bahwa ia memang sebuah kebutuhan.
Mungkin dalam hal ini Hegel dapat dikatakan telah mampu mencari titik temu antara kecenderungan Kant maupun Berkeley, tentu dengan dialektikanya. Sebagai contoh idealismenya pada alam, menunjukkan bahwa alam tersusun dari keberagaman dan itu sebenarnya satu. Sehingga disini nilai-nilai moral yang diangkat Kant dan juga agama yang disinggung Berkeley terdapat dalam “alam” sebagai sebuah kesatuan. Dari usaha mereka dalam menjalani kehidupan yang lebih baik, para idealis, terutama Hegel mengisyaratkan  bahwa banyak yang merasakan adanya kekuatan yang berada diluar diri kita yang memberi kita kekuatan dan pemikiran. Idealisme menegaskan bahwa jiwa dan nilai secara structural adalah  bagian dari alam. Sebagaimana kata Hegel, bahwa kita dapat merasa tenteram dan merasa “at home” dirumah sendiri dalam alam ini.

Daftar pustaka

Hamad Tafsir, filsafat umum Akal Hati Sejak Thales Sampai James (Bandung:Remaja Rosdakarya,1990)
Budi Ali Mudhafir, Kamus teori dan Aliran dalam filsafat (Jogjakarta:Liberty,1988)
Hari Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Modern (Jakarta:Rajawali, 1993)



[1] Hamad Tafsir, filsafat umum Akal Hati Sejak Thales Sampai James (Bandung:Remaja Rosdakarya,1990) hlm. 97
[2] Titus, H Harold and Smith, S Marilyn. Persoalan-persoalan Filsafat. Bulan Bintang. Jakarta. 1984 hlm. 148

[3] Ibid, Hlm 107
[4] Budi Ali Mudhafir, Kamus teori dan Aliran dalam filsafat (Jogjakarta:Liberty,1988), Hlm 156
[5] Ibid, Hlm 160
[6] Hari Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Modern (Jakarta:Rajawali, 1993)
[7] Ibid, Hlm 73

Tidak ada komentar:

Posting Komentar