By: MARDIANTO
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia adalah makhluk yang sungguh
ideal. Dalam tubuh materialnya terdapat sisi mental dan spiritual yang sangat
tinggi. Hal ini menjadikan manusia sebagai pribadi yang mempunyai arti dan
harga diri, dimana manusia mempunyai nilai, dan lebih tinggi daripada alam
materi dan makluk lainnya. Pandangan idealisme pada diri manusia muncul dari
renungan murni seorang filsuf yang dikembangkan oleh pandangan para filsuf
idealis selanjutnya.
Berawal dari Plato yang menyatakan pandangan
idealnya bahwa “ide adalah esensi yang transenden yang melatari setiap realitas
yang ada diluar, sehingga ide menjadi realitas yang sangat fundamental”.
Pandangan ini tentu telah memberikan inspirasi kepada filsuf idealis
selanjutnya. Bahkan idealisme ini telah hidup dan berkembang di Barat dan Timur
selama berabad-abad. Idealisme transenden ala Plato telah sangat berkembang di
Timur, dan di Barat, idealisme ini telah tertransformasi ke dalam bentuknya
yang lebih menekankan pada person (antropomorphisme). Hal ini terjadi dalam
lingkup perdebatan pemikiran yang berbeda diantara keduanya. Terutama di Barat,
pemikiran rasionalitas terasa lebih hidup, kemudian dilanjutkan dengan corak
empirisisme.
Perdebatan-perdebatan filosofis ini
pada tahap tertentu telah memunculkan era baru bagi kalangan idealisme. Di
awali oleh Berkeley dengan pandangan idealisme subjektifnya yang menekankan
bahwa keberadaan ide harus bersandar pada akal. Kemudian idealisme ini
dilanjutkan oleh Kant dengan transenden idealisme yang melihat bahwa ide adalah
sesuatu pikiran yang transenden dalam diri kita. Dan pada tahap berikutnya,
Hegel berusaha melakukan sintesis terhadap dua kecenderungan antara subjektif
dan objektif idealisme, dan pada akhirnya memunculkan pandangan absolut idealisme.
Menurutnya, realitas dunia adalah refleksi dari sebuah pikiran dimana segala
sesuatu dinisbahkan pada ide dan maksud-maksud dari suaatu akal yang mutlak.
Mungkin pandangan ini seakan kembali
pada idealisme ala Plato, akan tetapi Hegel telah mengembangkannya pada taraf
pemikiran tentang hakekat alam dalam realitas yang lebih absolut sebagai sebuah
ide. Menurutnya Ide adalah esensi dari alam dan alam adalah keseluruhan jiwa
yang diobjektifkan. Alam adalah akal yang mutlak yang memngekpresikan dirinya
dalam bentuk luar.
B.
Rumusan
Masalah
1)
Apakah yang dimaksud
dengan idealisme itu?
2)
Berapakah
aliran-aliran yang ada pada idealisme?
3)
Siapa sajakah
tokoh-tokoh idealisme dan inti pemikirannya?
BAB.II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Idealisme
Kata idealis sering kita dengar atau
bahkan kita pakai dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi kata idealis dalam
filsafat mempunyai arti yang sangat berbeda dari artinya dalam bahasa
sehari-hari. Secara umum, kata itu dapat kita artikan ketika seseorang yang
menerima ukuran moral yang tinggi, estetika dan agama serta menghayatinya[1].
Kata idealis disini dapat dipakai sebagai pujian atau cemoohan kepada seseorang
yang memperjuangkan tujuan-tujuan yang dipandang orang lain tidak mungkin
dicapai.
Arti filosofis dari kata
idealisme akan lebih dekat dengan kata ide dari pada kata ideal. Mungkin
seorang idealis akan mengatakan bahwa kata-kata idea’ism adalah lebih tepat
daripada “idealism”. Dengan ringkas idealisme mengatakan bahwa realitas terdiri
atas ide-ide, pikiran-pikiran, akal (mind) atau jiwa dan bukan benda material.
Idealisme menekankan mind sebagai hal yang lebih awal ada daripada materi. Jika
materialisme mengatakan bahwa materi adalah riil dan akal adalah fenomena yang
menyertainya, maka idealisme mengatakan bahwa akal itulah yang riil dan materi
adalah produk sampingannya. (HM. Rasyidi. 1984: 318) Dengan begitu maka
idealisme mengandung penolakan bahwa dunia ini sebagai realitas yang
sesungguhnya, akan tetapi ide-lah yang lebih esensial dan fundamental.
Dalam perkembangannya, idealisme
menjadi suatu pandangan dunia atau metafisik yang mengatakan bahwa realitas
dasar terdiri atas, atau sangat berhubungan dengan ide, pikiran atau jiwa.
Dunia mempunyai arti yang berlainan dari apa yang nampak pada permukaannya.
Dunia dipahami dan ditafsirkan oleh penyelidikan tentang hukum-hukum pikiran
dan kesadaran, dan tidak hanya oleh metode ilmu objektif semata-mata.
Kecenderungan-kecenderungan pemikiran
idealisme ini lebih banyak muncul dan berkembang di belahan dunia Barat yang
dimulai dengan masa pencerahan dan renaissance. Perdebatan-perdebatan filosofis
telah muncul ke permukaan sebagai aliran rasionalisme dan juga empiricisme yang
keduanya pada tahap tertentu telah memunculkan pandangan idealisme[2].
Di awali oleh Berkeley dengan pandangan idealisme subjektifnya yang menekankan
bahwa keberadaan ide harus bersandar pada akal kita. Kemudian idealisme ini
dilanjutkan oleh Kant dengan transenden idealisme yang melihat bahwa ide adalah
suatu pikiran yang transenden yang ada dalam diri kita, melalui gagasan.
Dan pada tahap berikutnya, Hegel
berusaha melakukan sintesis terhadap dua kecenderungan antara subjektif dan
objektif idealisme, dan pada akhirnya memunculkan pandangan idealisme Absolut.
Menurutnya, realitas dunia adalah refleksi dari sebuah pikiran dimana segala
sesuatu dinisbahkan pada ide dan maksud-maksud dari suaatu akal yang mutlak.
B. Aliran-aliran
dalam Idealisme
1) Idealisme Obyektif
Idealisme obyektif
adalah suatu aliran filsafat yang pandangannya idealis, dan idealismenya itu
bertitik tolak dari ide universil (Absolute Idea- Hegel / LOGOS-nya Plato) ide
diluar ide manusia. Menurut idealisme obyektif segala sesuatu baik dalam alam
atau masyarakat adalah hasil dari ciptaan ide universil.
Pandangan filsafat
seperti ini pada dasarnya mengakui sesuatu yang bukan materiil, yang ada secara
abadi diluar manusia, sesuatu yang bukan materiil itu ada sebelum dunia alam
semesta ini ada, termasuk manusia dan segala pikiran dan perasaannya[3].
Dalam bentuknya yang amat primitif pandangan ini menyatakan bentuknya dalam
penyembahan terhadap pohon, batu dsb-nya.
2) Idealisme subyektif
Idealisme subyektif
adalah filsafat yang berpandangan idealis dan bertitik tolak pada ide manusia
atau ide sendiri. Alam dan masyarakat ini tercipta dari ide manusia. Segala
sesuatu yang timbul dan terjadi di alam atau di masyarakat adalah hasil atau
karena ciptaan ide manusia atau idenya sendiri, atau dengan kata lain alam dan
masyarakat hanyalah sebuah ide/fikiran dari dirinya sendiri atau ide manusia.
C. Idealisme Georgey Barkeley
Idealis pertama dalam pengertian modern
adalah Berkeley yang pada abad 18 telah menolak eksistensi independent
benda-benda.1 Walaupun sebelumnya, kecenderungan ini telah ada dalam “keraguan
Descartes” tentang dunia fisik, sehingga memunculkan apa yang disebut dengan
rasionalisme. Akan tetapi berbeda dengan Berkeley, yang mungkin posisinya antara
rasionalisme dan empirsme, mengatakan bahwa dia mengakui realitas materi yang
ada adalah sebagai apa yang kita pikirakan. Untuk itulah selain disebut
idealis, ia juga sering disebut dengan immateralism. Hal itu tampak dalam
keyakinannya bahwa dunia material tidak dapat memiliki realitas independen dari
pikiran kita, kecuali dengan mempersepsi dunia luar yang kita lihat melalui
indera kita. Menurutnya, jika pohon hanya kumpulan sensasi dan ide, konsep dari
“kepohonan” adalah terbebas dari pohon itu sendiri sebagai hasil dari proses
sensasi selanjutnya. Untuk itulah Berkeley lebih menekankan pada pandangan subjektifnya
terhadap dunia fisik, dimana menurutnya materi adalah sebagaimana yang dipahami
(dipersepsi) manusia.
Beberapa argument Berkeley dalam
idealisme subjektifnya terlihat dalam pandangannya tentang pikiran (Knowledge).
dalam hal ini ia meyakini bahwa; Pertama; apa yang diketahui haruslah ‘ada di
dalam pikiran” atau berhubungan dengan pikiran (mind). Kedua; Kita tidak dapat
mengatakan secara positif bahwa materi yang dipahami berada bebas dari
pemahaman, dan Ketiga adalah sifat objek fisik selalu bergantung pada
pengalaman dan pikiran.
Ketiga pendapat ini nampak dalam
kedekatannya dengan pandangannya sebagai seorang empiris. Dimana dia
berpendapat bahwa ide dihasilkan didalam pikiran dengan sesuatu yang kita
terima (kita cerap). Berkeley setuju bahwa ide harus di dalam pikiran, tetapi
dia meolak bahwa mereka dapat dihasilkan dari sesuatu yang material diluar
kita. Menurut Berkeley, kita tidak dapat mempunyai pengetahuan tentang sesuatu
yang fisik kecuali dengan jalan ide, dan disini kita dapat mempunyai
pengetahuan yang bebas tentang sesuatu dan itu adalah bagian dari ide itu
sendiri. Ketika dengan mempersepsi, kita mempunyai alasan untuk percaya bahwa
hanya dengan apa yang kita cerap maka semua persepsi yang ada dalam ide, dapat
kita percayai sebagai kebenaran didalam keberadaanya. Tetapi kita tidak punya
pembenaran untuk mempercayai adanya subtansi materi berada dibelakang ide
tersebut. Tentang keberadaan ide, Berkeley berpikir bahwa materi itu ada jika
kita persepsi atau kita dicerap. Inilah yang kemudian dikenal dengan teori,
esse is percipi. Adalah benar dengan definisi bahwa ide eksis (ada) jika
itu kita persepsi cerap, dan disana tidak selalu sesuatu yang subtansinya
materi.
D. Idealisme Transendental Kant
Sejarah filsafat adalah sejarah pertarungan
akal dan hati (iman) dalam berebut dominasi mengendalikan jalan hidup manusia.
Terkadang akal menang dan kadang juga iman yang menang mutlak. Akan tetapi yang
terpenting adalah mendudukan keduanya pada dominasi yang seimbang. Keseimbangan
akal dan hati ini telah dibuktikan dalam sejarah filosofis dengan beberapa
tokoh utamanya.3 Salah satunya adalah Imanuel Kant yang berhasil menghentikan
sofisme modern untuk menundukkan kembali akal dan iman pada kedudukan
masing-masing. Pandangan ini muncul sebagai sebuah idealisme transendent yang
kemunculannya tidak terlepas dari situasi dan kondisi perdebatan filosofis pada
zamannya[4].
Diawali dengan idealisme Berkeley, pada
abad yang sama telah muncul tipe idealisme yang berbeda melalui seorang
Immanuel Kant (1724-1804). Pemikiran Kant muncul sebagai pemicu wisata
intelektual yang paling berpengaruh dalam filsafat. Konsep idealismenya
didasarkan pada pemikirannya yang rapi dan terarah dan relevan dengan idealisme[5].
Dalam hal ini, Kant mengembangkan dualisme, dimana dia mempercayai keberadaan
realitas eksternal, akan tetapi disisi lain dia berpendapat bahwa pikiran
memberikan keunggulan dalam memahami itu.
Lebih
khusus lagi, ia berpendapat bahwa baik pikiran itu sendiri maupun pancaindera
dengan sendirinya akan menghasilkan pengetahuan.
Menurutnya apa yang kita dapatkan
melalui indera, sebenarnya kita sendirilah yang menentukan keberadaannya
sebagai sebuah pikiran (ide) atau hanya sekedar sensasi. Untuk itulah pemikiran
kosong dengan sendirinya, tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang diri
kita sendiri atau kenyataan. Untuk lebih gamblang, Kant menjelaskan bahwa
persepsi harus didasari dengan pengetahuan a priori; sebuah intuisi, serta
adanya konsep ruang dan waktu dan juga sebab dan akibat. Dan karena alasan
itulah kita harus menggunakan indera. Selain itu, karena asumsi bahwa realitas
ada di luar pikiran, maka Kant mengatakan bahwa perlu adanya pembagian kategori
pada objek realitas tersebut.
Karena terdapat hubungan yang sangat
khusus (intim) antara akal dan pancaindera, antara pikiran dan tubuh, “pikiran”
dianggap Kant sebagai suatu kegiatan. Membawa kita ke realitas kategori
“pengertian”, dan tidak hanya mencerminkan realitas atau cermin dengan pikiran
kita, dan bukan hanya prasangka sebagaimana argumentasi Descartes. Namun,
sesuai keterbatasan yang disusun oleh sebuah kategori a-priori ini, kita
belajar dari kenyataan. Kita dapat meningkatkan pengetahuan kita melalui
eksperimentasi dan tes. Dengan demikian untuk mendapatkan pengetahuan kita
harus dapat mencari, dan belajar. Kita harus memiliki kebebasan. Karena sifat
moral, Pendapat Kant bahwa determinisme materialistis rantai alasan yang
menyebabkan fisik dan hukum harus palsu.
Menurut Kant, pengetahuan yang
mutlak benarnya memang tidak akan ada bila seluruh pengetahuan datang melalui
indra. Akan tetapi bila pengetahuan ini datang dari luar melalui akal murni,
yang tidak bergantung pada pengalaman, bahkan tidak bergantung pada indra, yang
kebenarannya a priori, maka menurutnya dari sinilah kita mendapatkan
pengetahuan yang mutlak yang dapat dipegang kebenarannya, bahkan menjadi
pengetahuan yang absolut. Disinilah letak transenden idealismenya Kant, jika
kita lihat lebih jauh maka pendapatnya ini mengisyaratkan akan adanya
objektiitas dalam diri objek, walaupun manusia tidak mampu untuk mendapatkannya
hanya dengan pancaindra, dan hal tersebut hanya dapat dimengerti oleh akal
murni, dengan kategori kategori a-priori.
Sebelum lebih jauh membicarakan tentang
Tuhan, Kant memulainya perenungan filosofisnya dengan mempertanyakan apakah ada
yang dapat diketahui seandainya seluruh benda dan indra dibuang. Di sinilah
buku Critique of Pure Reason berbicara, dimulai dengan serara rinci membahas
cara manusia berpikir, tentang asal usul terbentuknya konsep, dan tentang
struktur jiwa manusia. Menurutnya kesemuanya itu adalah pembicaran metafisika
akal murni. Menurutnya, pengalaman hanya mengatakan kepada kita apa-nya dan
bukan apa ia sesungguhnya. Disnini Kant mulai memperlihatkan apa yang
diperjuangkannya; kebenaran umum harus bebas dan pengalaman harus jelas dan
pasti dengan sendirinya (Durant, 1965 : 256) Disinilah apa yang kemudian
disebutnya dengan kebenaran yang a-priori. Dan kebenaran itu kita peroleh
melalui struktur jiwa kita yang inheren. Dari sini kita lihat idealisme
transendenal yang ditunjukkan Kant, karena mungkin dia sendiri tidak pernah
menyebut dirinya sebagai seorang idealis transendent.
Usaha untuk menjelaskan sebuah jiwa
yang inheren inilah, yang akan kita lihat sebagai pandangan metafisikanya yang
lebih jelas melalui filosofi transendenal, Menurutnya, ada pengetahuan yang
transenden, yaitu pengetahuan yang tidak banyak berisi objek, akan tetapi lebih
banyak berisi konsep objek yang a-priori. Lebih lanjut, Kant menjelaskan proses
masuknya pengetahuan a-priori ini dengan istilah estetika transenden dimana
proses mengkoordinasikan sensasi-sensasi dengan acuan persepsi ruang dan waktu
dan logika transenden, dimana mengkoordnasi persepsi-persepsi yang sudah masuk
dalam konsep ruang dan waktu dengan memasukkannya dalam kategori pemikiran.
Menurutnya, konsep ruang dan
waktu adalah sebuah pengetahuan a priori, Kant tidak pernah menolak eksistensi
materi, dan tidak juga menolak ide. Ia hanya menyatakan bahwa kita tidak pernah
mengetahui dengan pasti ide itu, dunia luar itu, selain dunia luar ide itu ada.
Menurutnya pengetahuan kita tentang dunia luar itu hanyalah mengenai
penampakannya, fenomenanya, dan pengindraan kita tentangnya. Dari pendapatnya
iitu, terlihat Kant bukan seorang empiris dan juga bukan rasionalis. Kant
berada diantara keduanya. Kemudian yang menjadi menarik dalam pandangan Kant
adalah, dia memisahkan antara fenomena dan noumena. Menurutnya
pengetahuan kita tentang fenomena saja adalah sesuatu yang naïf, sedangkan
tentang noumena kita tidak mengetahui sama sekali.
Tentu tidak sesederhana itu, ini
merupakan sebuah jawaban untuk menyelamatkan sains, bahwa sains dapat dipegang
hanya sebatas penampakan objek. Kesimpulannya adalah indra hanya mengetahui
penampakan, dan ia dapat dipegang bila dasar-dasarnya a-priori. Dan menurutnya
dasar-dasar apriori tersebut ada pada sains. Dan lebih jauh, lewat The Critique
of Pure Reason, ia berusaha menyelamatkan keyakinannya, maupun idealismenya.
Dia menyatakan bahwa indra terbatas, sehingga sains dan akal tidak mampu
menembus noumena dan objek-objek keyakinan. Dari sinilah dia menawarkan apa
yang disebutnya Moral, menurutnya moral adalah kata hati, suara hati, persaan
dan yang terpenting adalah suatu prinsip yang a-priori dan absoulut (lihat
Durant, 1959 ;276).
E.
Idealisme
Hegel
Idealisme Jerman memuncak pada
Hegel[6],
dialah seorang filsuf terakhir barat yang mempunyai bangunan filosofis yang
utuh, dan hampir filsuf setelahnya hanya mengembangkan beberapa bagian saja
dari isu-isu filosofis. Mungkin istilah yang paling kita kenal dari Hegel
adalah dialektikanya. Akan tetapi yang menjadi fokus makalah kali ini adalah
tentang idealismenya, yaitu idealisme absolut. Apakah hubungan dialektika
dengan idealismenya, tentu ini sangat berhubungan dalam sebuah bagunan filosofis
yang komplit Sebagai seorang filsuf yang berkembang pada masa romantisme,
sebagaimana telah diaawali Kant. Oleh karenanya, banyak pikirannya dipengaruhi
Kant. Tetapi ia tidak pernah menjadi pengikut Kant, perbedaan diantara keduanya
lebih besar daripada perbedaan Plato dan Aristoteles. Hegel tidak akan
menemukan metode dialektikanya tanpa memulainya dari dalektika transendenal
yang dikembangkan oleh Kant dalam Critique of Pure Reason[7].
Sekalipun demikian, filsafat Hegel amat berbeda dengan filsafat Kant, terutama
tentang keterbatasan akal dan pandangan tentang spirit (ruh) (Ahmad Tafsir.
2000 : 152).
Berbeda dengan Kant, yang dalam posisi
transendent, Hegel berusaha melakukan sintesis terhadap dua kecenderungan
antara subjektif dan objektif idealisme, dan pada akhirnya memunculkan
pandangan absolut idealisme. Menurutnya, realitas dunia adalah refleksi dari
sebuah pikiran dimana segala sesuatu dinisbahkan pada ide dan maksud-maksud
dari suaatu akal yang mutlak. Mungkin pandangan ini seakan kembali pada
idealisme ala Plato, akan tetapi Hegel telah mengembangkannya pada taraf
pemikiran tentang hakekat alam dalam realitas yang lebih absolut sebagai sebuah
ide. Menurutnya Ide adalah esensi dari alam dan alam adalah keseluruhan jiwa
yang diobjektifkan. Alam adalah akal yang mutlak yang memngekpresikan dirinya
dalam bentuk luar. Inilah yang benar-benar membedakannya dirinya dengan Kant,
pandangannya tentang alam sebagai sesuatu yang absolut.
Untuk mengetahui bagaimana idealisme
absolutnya Hegel berbicara, kita dapat melihatnya dari pandangan metafisikanya
dan juga nantinya pandangannya tentang alam. Bagian metafisikanya dimulai dari
pembahasan tentang rasio. Hegel sangat mementingkan rasio ataupun pikiran. Hal
ini menunjukkan dia sebagai seoarang yang sangat idealis. Menurutnya, pikiran
yang dimaksudnya bukan hanya pada manusia perorangan, tetapi adalah sebuah
rasio atau pikiran pada subjek yang absolut, karena Hegel juga menerima prinsip
idealistik bahwa realitas seluruhnya harus disetarafkan dengan suatu objek.
Dalil Hegel yang kebudian terkenal berbunyi;
“Semua yang real bersifat rasional dan semua yang rasional bersifat real” Maksudnya, luasnya rasio sama dengan luasnya realitas. Realitas seluruhnya adalah proses pemikiran dan ide yang memikirkan dirinya sendiri. Atau dengan perkataan Hegel bahwa seluruh realitas adalah spirit yang lambat laun menjadi sadar akan dirinya. Dengan mementingkan pikiran, Hegel sengaja beraksi terhadap kecenderungan intelektual dan pada saat yang sama mencurigai rasio dengan mengutamakan perasaan.
“Semua yang real bersifat rasional dan semua yang rasional bersifat real” Maksudnya, luasnya rasio sama dengan luasnya realitas. Realitas seluruhnya adalah proses pemikiran dan ide yang memikirkan dirinya sendiri. Atau dengan perkataan Hegel bahwa seluruh realitas adalah spirit yang lambat laun menjadi sadar akan dirinya. Dengan mementingkan pikiran, Hegel sengaja beraksi terhadap kecenderungan intelektual dan pada saat yang sama mencurigai rasio dengan mengutamakan perasaan.
Terkadang ada pemikiran bahwa istilah
dialektika, hampir sama dengan Hegel itu sendiri. Padahal dialektika ini bukan
satu-satunya filsafat Hegel, karena kita tahu dia adalah filsuf yang mempunyai
bangunan filosofis yang lengkap. Untuk menjelaskan filsafatnya, Hegel
menggunakan dialektika sebagai metode. Namun, dialektika itu bukanlah sekedar
digunakan untuk menjelaskan sesuatu, akan tetapi menurutnya dalam realitas itu
sendiri berlangsung dialektika. Menurut Hegel, yang dimaksud dengan dialektika
adalah mendamaikan dan mengkompromikan hal-hal yang berlawanan (Bertens, 1979:
68) Proses dialektika selalu terdiri dari tiga fase yaitu tesis, antitesis dan
sintesis.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Setelah
kita melakukan petualangan singkat dalam sejarah intelektual filosofis tiga
tokoh utama idealis, yaitu Berkeley, Kant dan Hegel kita dapat mengetahui bahwa
idealisme secara umum berkembang dalam sebuah perenungan maupun perdebatan pemikiran
baik itu dalam corak idealisme maupun jawaban terhadap ide-ide lainnya. Bahkan
hal itu dimualai sejak Plato, dan mungkin akan terus dipikirkan sampai detik
ini. Kenyataan bahwa idealisme telah hidup dan berkembang selama berabad-abad
menunjukkan bahwa ia memang sebuah kebutuhan.
Mungkin
dalam hal ini Hegel dapat dikatakan telah mampu mencari titik temu antara
kecenderungan Kant maupun Berkeley, tentu dengan dialektikanya. Sebagai contoh
idealismenya pada alam, menunjukkan bahwa alam tersusun dari keberagaman dan
itu sebenarnya satu. Sehingga disini nilai-nilai moral yang diangkat Kant dan
juga agama yang disinggung Berkeley terdapat dalam “alam” sebagai sebuah
kesatuan. Dari usaha mereka dalam menjalani kehidupan yang lebih baik, para
idealis, terutama Hegel mengisyaratkan bahwa banyak yang merasakan adanya
kekuatan yang berada diluar diri kita yang memberi kita kekuatan dan pemikiran.
Idealisme menegaskan bahwa jiwa dan nilai secara structural adalah bagian
dari alam. Sebagaimana kata Hegel, bahwa kita dapat merasa tenteram dan merasa
“at home” dirumah sendiri dalam alam ini.
Daftar pustaka
Hamad Tafsir, filsafat umum Akal Hati
Sejak Thales Sampai James (Bandung:Remaja Rosdakarya,1990)
Budi Ali Mudhafir, Kamus teori dan
Aliran dalam filsafat (Jogjakarta:Liberty,1988)
Hari Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat
Modern (Jakarta:Rajawali, 1993)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar