By:MARDIANTO
BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu tepatnya dalam millenium
baru peran globalisasi sangat mendominasi aktivitas masyarakat kebutuhan akan
format suatu system pendidikan yang dirasa sangat perlu di upayakan. kondisi ini
lebih di sebabkan karena sangat urgennya pendidikan dalam pendidikan anak
didik,keberadaannya harus bisa di laksanakan secara komprehensif dan di
simultan antara nilai dan sikap,pengetahuan, kecerdasan dan keterampilan, serta
kemampuan komunikasi dan kesadaran akan ekologi lingkungan.
Pendidikan islam lebih luas dari
pada system pendidikan di barat yang demokratis dan timur yang sosialis,karena
ia bertujuan untuk melati kepekaan murid dalam tingkah laku yang ada dalam
sikap mereka di pimpin oleh nilai-nilai etika dan spiritual islam.perbedaan
dasar lainnya terletak pada konsepnya tentang manusia, karena Indonesia sebagai
Negara yang cukup potensial dalam perkembangan pendidikan tentu saja harus bisa
menyesuaikan dengan kondisi kekinian.
Dalam tiap aktivitas manusia sebagai
instrumen transformasi ilmu pengetahuan budaya dan sebagai agen perubahan
sosial pendidikan memerlukan satu landasan fundamental atau baik yang kuat.
Adapaun dasar yang di maksud adalah dasar pendidikan Islam suatu totalitas
pendidikan yang wajib bersandar pada landasan dasar sebagaimana yang akan
dibahas dalam bagian berikut ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan later belakang penulisan
makalah di atas, maka pemakalah dapat merumuskan beberapa permasalahan sebagai
berikut:
1. Apa
yang di maksud pendidikan?
2. Apa
dasar-dasar pendidikan Islam?
3. Bagaimana
peran Lembaga Islam dalam perubahan Sosial?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pendidikan
Dalam arti luas, pendidikan adalah
berusaha membangun seseorang untuk lebih dewasa. Atau Pendidikan adalah suatu
proses transformasi anak didik agar mencapai hal hal tertentu sebagai akibat
proses pendidikan yang diikutinya Sebaliknya menurut Jean Praget pendidikan
berarti menghasilkan atau mencipta walaupun tidak banyak. Pendidikan adalah
segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu sebagai pengalaman
belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup.
Menurut Miramba, pendidikan adalah
bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan
jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.
Definisi ini agaknya yang banyak dipakai di indonesia.
Dalam Islam pendidikan didefinisikan
sebagai berikut, bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar
ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. Lebih jelasnya
pendidikan adalah setiap proses di mana seseorang memperoleh pengetahuan,
mengembangkan kemampuan/keterampilan sikap atau mengubah sikap.
Secara garis besar, Pendidikan
mempunyai fungsi sosial dan individual. Fungsi sosialnya adalah untuk membantu
setiap individu menjadi anggota masyarakat yang lebih efektif dengan memberikan
pengalaman kolektif masa lampau dan kini. Fungsi individualnya adalah untuk
memungkinkan seorang menempuh hidup yang lebih memuaskan dan lebih produktif
dengan menyiapkannya untuk menghadapi masa depan (pengalaman baru). Proses
pendidikan dapat berlangsung secara formal seperti yang terjadi di berbagai
lembaga pendidikan. Ia juga berlangsung secara informal lewat berbagai kontak
dengan media komunikasi seperti buku, surat kabar, majalah, TV, radio dan
sebagainya atau non formal seperti interaksi peserta didik dengan masyarakat sekitar.[1]
B.Landasan
Pendidikan Islam
Dalam tiap aktivitas manusia sebagai
instrumen transformasi ilmu pengetahuan budaya dan sebagai agen perubahan
sosial pendidikan memerlukan satu landasan fundamental atau baik yang kuat.
Adapaun dasar yang di maksud adalah dasar pendidikan Islam suatu totalitas
pendidikan yang wajib bersandar pada landasan dasar.
Dalam tiap aktivitas manusia sebagai
instrumen transformasi ilmu pengetahuan budaya dan sebagai agen perubahan
sosial pendidikan memerlukan satu landasan fundamental atau baik yang kuat.
Adapaun dasar yang di maksud adalah dasar pendidikan Islam suatu totalitas
pendidikan yang wajib bersandar pada landasan dasar sebagaimana yang akan
dibahas dalam bagian berikut ini.[2]
1. al-Qur’an
al-Qur’an ialah firman Allah berupa wahyu
yang disampaikan oleh Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Di dalam terkandung
ajaran pokok yang dapat dikembangkan untuk keperluan aspek kehidupan melalui
ijtihad. Ajaran yang terkandung dalam al-Qur’an itu terdiri dari dua prinsip
besar yaitu yang berhubungan dengan masalah keimanan yang disebut aqidah dan
yang berhubungan dengan amal disebut syari’ah. Oleh karena itu pendidikan Islam
harus menggunakan al-Qur’an sebagai sumber dalam merumuskan berbagai teori
tentang pendidikan Islam sesuai dengan perubahan dan pembaharuan.
2. Sunnah
Sunnah ialah perkataan perbuatan ataupun
pengakuan rasul. Yang di maksud dengan pengakuan itu ialah kejadian atau
perbuatan orang lain yang diketahui oleh Rasulullah dan beliau membiarkan saja
kejadian atau perbuatan itu berjalan. Sunnah merupakan sumber ajaran kedua
sesudah al-Qur’an yang juga sama berisi pedoman untuk kemaslahatan hidup
manusia dalam segala aspek untuk membina umat menjadi manusia seutuh atau
muslim yang bertaqwa. Untuk itulah rasul Allah menjadi guru dan pendidik utama.
Maka dari pada itu, Sunnah merupakan
landasan kedua bagi cara pembinaan pribadi manusia muslim dan selalu membuka
kemungkinan penafsiran berkembang. Itulah sebab mengapa ijtihad perlu
ditingkatkan dalam memahami termasuk yang berkaitan dengan pendidikan. Sunnah
juga berfungsi sebagai penjelasan terhadap beberapa pembenaran dan mendesak
untuk segara ditampilkan yaitu :
a. Menerangkan ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat umum
b. Sunnah mengkhitmati al-Qur’an.
3. Ijtihad
Ijtihad adalah istilah para fuqoha yaitu
berfikir dengan menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh ilmuan syari’at
Islam untuk menetapkan atau menentukan sesuatu hukum syara’ dalam hal-hal yang
ternyata belum ditegaskan hukum oleh al-Qur’an dan Sunnah. Namun dengan
demikian ijtihad dalam hal ini dapat saja meliputi seluruh aspek kehidupan
termasuk aspek pendidikan tetapi tetap berpedoman pada al-Qur’an dan Sunnah.
Oleh karena itu, ijtihad dipandang sebagai
salah satu sumber hukum Islam yang sangat dibutuhkan sepanjang masa setelah
rasul Allah wafat. Sasaran ijtihad ialah segala sesuatu yang diperlukan dalam
kehidupan yang senantiasa berkembang. Ijtihad dalam bidang pendidikan sejalan
dengan perkembangan zaman yang semakin maju bukan saja dibidang materi atau isi
melainkan juga dibidang sistem.[3]
Secara substansial ijtihad dalam pendidikan
harus tetap bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah yang diolah oleh akal yang
sehat dari para ahli pendidikan Islam.
B.
Lembaga Pendidikan
Tidak bisa kita pungkiri lagi bahwa lembaga
pendidikan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap corak dan karakter
masyarakat. Belajar dari sejarah perkembanganya lembaga pendidikan yang ada di
indonesia memiliki beragam corak dan tujuan yang berbeda-beda sesuai dengan
kondisi yang melingkupi, mulai dari zaman kerajaan dengan bentuknya yang sangat
sederhana dan zaman penjajahan yang sebagian memiliki corak ala barat dan
gereja, dan corak ketimuran ala pesantren sebagai penyeimbang, serta model dan
corak kelembagaan yang berkembang saat ini tentunya tidak terlepas dari
kebutuhan dan tujuan-tujuan tersebut.
Dalam upaya meningkatkan mutu sumber
daya manusia, mengejar ketertinggalan di segala aspek kehidupan dan
menyesuaikan dengan perubahan global serta perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, bangsa Indonesia melalui DPR dan Presiden pada tanggal 11 Juni 2003
telah mensahkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru, sebagai
pengganti Undang-undang Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1989. Undang-undang Sisdiknas
Nomor 20 Tahun 2003 yang terdiri dari 22 Bab dan 77 pasal tersebut juga
merupakan pengejawantahan dari salah satu tuntutan reformasi yang marak sejak
tahun 1998.
Perubahan mendasar yang dicanangkan
dalam Undang-undang Sisdiknas yang baru tersebut antara lain adalah
demokratisasi dan desentralisasi pendidikan, peran serta masyarakat, tantangan
globalisasi, kesetaraan dan keseimbangan, jalur pendidikan, dan peserta didik.
Sebagai sistem sosial, lembaga
pendidikan harus memiliki fungsi dan peran dalam perubahan masyarakat menuju ke
arah perbaikan dalam segala lini. Dalam hal ini lembaga pendidikan memiliki dua
karakter secara umum. Pertama, melaksanakan peranan fungsi dan harapan untuk
mencapai tujuan dari sebuah sitem. Kedua mengenali individu yang berbeda-beda
dalam peserta didik yang memiliki kepribadian dan disposisi kebutuhan. Kemudian
sebagai agen perubahan lembaga pendidikan berfungsi sebagai alat:[4]
1.
Pengembangan pribadi
2.
Pengembangan warga
3.
Pengembangan Budaya
4.
Pengembangan bangsa
C.
Klasifikasi
Lembaga Pendidikan
Upaya mewujudkan kesejahteraan
masyarakat pada dasarnya merupakan cita-cita dari pembangunan bangsa.
Kesejahteraan dalam hal ini mencakup dimensi lahir batin, material dan
spiritual. Lebih dari itu pendidikan menghendaki agar peserta didiknya menjadi
individu yang menjalani kehidupan yang aman dan damai. Oleh karena itu
pembangunan lembaga pendidikan diharapkan dapat memberikan kontribusi
nyata dalam mewujudkan Indonesia yang aman, damai, dan sejahtera. Sejalan
dengan realitas kehidupan sosial yang berkembang di masyarakat, maka
pengembangan nilai-nilai serta peningkatan mutu pendidikan tentunya menjadi
tema pokok dalam rencana kerja pemerintah dalam membangun lembaga pendidikan.
Lembaga pendidikan di indonesia
dalam UU bisa kita klasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu: sekolah dan luar
sekolah, selanjutnya pembagian ini lebih rincinya menjadi tiga bentuk:
1.
Informal.
2.
Formal, dan
3.
Nonformal
Sebelum kita melngkah pada
pembahasan lebih jauh, tentunya kita harus mengetahui peran masing-masing
lembaga secara umum, ketiga klasifikasi di atas dalam pergumulanya di
masyarakat memiliki peran yang berbeda-beda, lembaga pendidikan pertama, yaitu
informal atau keluarga, ranah garapanya adalah lebih banyak di arah kan dalam
pembentukan karakter atau keyakinan dan norma. Lembaga pendidikan kedua,
yaitu formal atau sekolah, peran besarnya lebih banyak di arahkan pada
pengembangan penalaran murid. Yang terakhir lembaga pendidikan ketiga, yaitu
masyarakat, peranya lebih banyak pada pembentukan karakter sosial.
Ketiga pembagian di atas adalah
merupakan perubahan mendasar, Dalam Sisdiknas yang lama pendidikan
informal (keluarga) tersebut sebenarnya juga telah diberlakukan, namun masih
termasuk dalam jalur pendidikan luar sekolah, dan ketentuan
penyelenggaraannyapun tidak konkrit. Penjelasan dari klasifikasi tersebut
adalah:
1.
Pendidikan informal, atau pendidikan pertama
Pendidikan formal adalah kegiatan
pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan
belajar secara mandiri, hal ini adalah menjadi pendidikan primer bagi peserta
dalam dalam pembentukan karakter dan kepribadian, hal ini penulis pikir sesuai
dengan konsep al Qur’an dalam masalah pendidikan dikeluarga yaitu menjaga
keluarga kita dari hal-hal yang negatif, firman Allah: [5] Q.S
aT-Tahrim ayat: 6
(قوا
أنفسكم وأهليكم نارا
Artinya:Peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api naraka
2.
Pendidikan nonformal, atau pendidikan kedua
Pendidikan ini meliputi pendidikan
kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan
pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan
pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan
untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Satuan pendidikan nonformal
meliputi lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan
belajar masyarakat (PKBM), dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang
sejenis. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program
pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga
yang ditunjuk oleh pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah dengan mengacu pada
standard nasional pendidikan. Adapun pendidikan nonformal diselenggarakan bagi
warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai
pengganti, penambah, atau ingin melengkap pendidikan formal dalam rangka
mendukung pendidikan sepanjang hayat, yang berfungsi mengembangkan potensi
peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan
fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional
3.
Jalur formal
Pendidikan formal adalah lembaga
pendidikan yang terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi dengan jenis pendidikan:
a.
Umum
b.
Kejuruan
c.
Akademik
d.
Profesi
e.
Advokasi
f.
Keagamaan.
Pendidikan formal dapat coraknya
diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah
(pusat), pemerintah daerah dan masyarakat.
Pendidikan dasar yang merupakan jenjang
pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah berbentuk lembaga sekolah
dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat, serta
sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (Mts) atau bentuk
lain yang sederajad.
Sebelum memasuki jenjang pendidikan dasar,
bagi anak usia 0-6 tahun diselenggarakan pendidikan anak usia dini, tetapi
bukan merupakan prasyarat untuk mengikuti pendidikan dasar. Pendidikan anak
usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur formal (TK, atau Raudatul
Athfal), sedangkan dalam nonformal bisa dalam bentuk ( TPQ, kelompok bermain,
taman/panti penitipan anak) dan/atau informal (pendidikan keluarga atau
pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan
Sedangkan Pendidikan menengah yang
merupakan kelanjutan pendidikan dasar terdiri atas, pendidikan umum dan
pendidikan kejuruan yang berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah
(MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau
bentuk lain yang sederajad.
Yang terakhir adalah pendidikan tinggi
yang merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah, pendidikan ini
mencakup program pendidikan
a.
Diploma
b.
Sarjana
c.
Magister
d.
Doktor,
Perguruan
tinggi memiliki beberapa bentuk
a.
Akademi
b.
Politeknik
c.
Sekolah tinggi
d.
Institut atau universitas
Yang secara
umum lembaga-lembaga tinggi ini dibentuk dan diformat untuk menyelenggarakan pendidikan,
penelitian dan pengabdian pada masyarakat, serta menyelenggarakan program
akademik, profesi dan advokasi.
Semua lembaga
formal di atas diberi hak dan wewenang oleh pemerintah untuk memberikan gelar
akademik kepada setiap peserta didik yang telah menempuh pendidikan di lembaga
tersebut,. Khusus bagi perguruan tinggi yang memiliki program profesi sesuai
dengan program pendidikan yang diselenggarakan doktor berhak memberikan gelar
doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada individu yang layak memperoleh
penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu
pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau seni
Untuk
menagulangi permasalahan yang cukup aktual dan meresahkan masyarakat saat ini,
seperti pemberian gelar-gelar instan, pembuatan skripsi atau tesis palsu,
ijazah palsu dan lain-lain, pemerintah telah mengatur dan mengancam sebagai
tindak pidana dengan sanksi yang juga telah ditetapkan dalam UU Sisdiknas yang
baru (Bab XX Ketentuan Pidana, pasal 67-71).[6]
D.
Lembaga
Pendidikan Dan Perubahan Sosial
Telah dipahami oleh para pendidik
bahwa misi pendidikan adalah mewariskan ilmu dari generasi ke generasi
selanjutnya. Ilmu yang dimaksud antara lain: pengetahuan, tradisi, dan
nilai-nilai budaya (keberadaban). Secara umum penularan ilmu tersebut telah di
emban oleh orang-orang yang terbeban terhadap generasi selanjutnya. Mereka
diwakili oleh orang yang punya visi kedepan, yaitu menjadikan serta mencetak
generasi yang lebih baik dan beradab. Peradaban kuno mencatat methode
penyampaian ajaran lewat tembang dan kidung, puisi ataupun juga cerita
sederhana yang biasanya tentang kepahlawanan
Perubahan sosial budaya masyarakat
sebagaimana yang kita bicarakan di atas tikan akan pernah bisa kita hindari,
sehinga akan menuntut lembaga pendidikan sebagai agen perubahan untuk menjawab
segala permasalahan yang ada. Dalam permasalahan ini lembaga pendidikan
haruslah memiliki konsep dan prinsip yang jelas, baik dari lembaga formal
ataupun yang lainya, demi terwujudnya cita-cita tersebut, kiranya maka perlulah
diadakanya pembentukan kurikulum yang telah disesuaikan. Prinsib dasar
pembentukan tersebut adalah meliputi:
1.
Perumusan tujuan institusional yang meliputi:
a.
Orientasi pada pendidikan nasional
b.
Kebutuhan dan perubahan masyarakat
c.
Kebutuhan lembaga.
2.
Menetapkan isi dan struktur progam
3.
Penyusunan strategi penyusunan dan
pelaksanaan kurikulum
4.
Pengembangan progam
Diharapkan nanti dengan persiapan
dan orientasi yang jelas sebagaimana di atas, diharapkan lembaga-lembaga
pendidikan akan mampu mencetak kader-kader perubahan ke arah perbaikan di
masyarakat. Selanjutnya mengenai pengembangan kurikulum ada beberapa hal yang
harus diperhatikan oleh lembaga pendidikan, yaitu:[7]
a.
relevansi dengan dengan pendidikan lingkungan
hidup masyarakat
b.
sesuai dengan perkembangan kehidupan masa
sekarang dan akan datang
c.
efektifitas waktu pengajar dan peserta didik
d.
efisien, dengan usaha dan hasilnya sesuai
e.
kesinambungan antara jenis, progam, dan tingkat
pendidikan
f.
fleksibelitas atau adanya kebebasan bertindak
dalam memilih progam, pengembangan progam, dan kurikulum pendidikan.
E. Kurikulum dan Sistem Pembelajaran
1.
Kurikulum Meunasah
2)
Kurikulum pendidikan Islam yang diselenggarakan
di meunasah tidak dapat dipahami sebagaimana kurikulum modern yang
mengandung komponen: tujuan, isi, organisasi, dan strategi. Kurikulum dengan
segala komponennya sulit ditentukan dalam literatur-literatur pendidikan Islam
pada masa kesultanan Aceh tersebut. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan Islam
di meunasah dalam tulisan ini dipahami sebagai subjek atau materi-materi
ilmu pengetahuan yang diajarkan dalam suatu proses pendidikan.
3)
Mengenai kurikulum yang diberlakukan di lembaga
pendidikan dasar ini adalah sejumlah mata pelajaran dasar yang pada umumnya
berlaku pada kurikulum pendidikan rendah, di madrasah pendidikan rendah. Materi
pokok yang diajarkan biasanya berupa: al-Qur’an, agama, membaca, menulis dan syair.
Pada bebrapa kesempatan kadang juga diberikan mata pelajaran Nahwu,
cerita-cerita, dan pelajaran keterampilan (meu’en cabang, meu’en
galah cak igeuet, boh awo, meu’en gaseng sebagai permainan
dan asah otak.
4)
M. Sadli, dalam Abudin Nata menjelaskan bahwa meunasah
pada umumnya mendidik anak gampông khususnya anak laki-laki, selama dua
sampai sepuluh tahun. Pengajarannya berlangsung pada malam hari (ba’da shalat
fardhu). Materi yang diajarkan meliputi pendidikan dasar yang dimulai dengan
diajarkan al-Qur’an yang dalam bahasa Aceh disebut Beuët Quruan.
Biasanya pelajaran dimulai dengan mengajarkan huruf Hijaiyah, seperti
yang terdapat dalam kitab Kaidah Baghdadiyah. Diteruskan kemudian dengan
membaca juz ‘amma, menghafal surat-surat pendek dan baru membaca al-Qur’an
besar dengan pelajaran tajwidnya. Materi berikutnya di samping al-Qur’an dan
tajwidnya adalah diajarkan juga pokok-pokok agama (dasar-dasar agama), seperti
rukun Islam, rukun Iman, dan sifat-sifat Tuhan. Materi lainnya yaitu diajarkan
rukun shalat, puasa, dan zakat.
5)
Kegiatan belajar itu berlangsung sepanjang
minggu, kecuali malam Jum’at yang umumnya digunakan untuk acara kesenian yang
bernafaskan Islam. Kesenian tersebut berupa nyayian (sya’ir), terutama nyayian
yang berhubungan agama dan dakwah, seperti qasidah, rapai, dalael, meurukôn,
dikê atau seulaweut (berasal dari kata zikir dan shalawat).
6)
Buku-buku pelajaran yang diberikan di lembaga meunasah,
bila melihat materi-materi yang diberikan antara lain; Kitab Bidayah
al-Hidayah, Kitab Perukunan, Risalah Masail al-Muhtadin karya Syeikh
Daud Rumi (Baba Daud) dan karya Syeikh Muhammad Zain Ibn Faqih Jalal al-Din.
Isi kitab-kitab tersebut meliputi dasar rukun Islam dan fiqih, yang merupakan
kupasan ringkas pokok dokrin Islam serta kewajiban keagamaan umat Islam.
7)
Selain mempelajari al-Qur’an dan kitab-kitab
yang telah disebutkan tadi, di meunasah aneuk miet beuët juga
diajarkan tentang akhlak kesopanan, pantangan-pantangan dalam masyarakat Aceh
yang sudah menjadi adat kebiasaan, seperti larangan memegang kepala orang lain,
menyepak orang, menunjuk sesuatu dengan kaki, mengeluarkan angin dari dubur
hingga dapat didengar orang lain -terutama dalam majelis, mengeluarkan angin
dari mulut tatkala makan bersama-sama orang lain (geureu-ob), duduk di
tangga dengan berselimut pada pagi hari, dan lain-lain. Tidak ada kitab rujukan
khusus dalam hal ini, tetapi pantangan-pantangan tersebut langsung diajarkan teungku
yang biasanya memahami adat dan budaya Aceh.
8)
Selain mempelajari pokok-pokok ajaran Islam, di
meunasah anak-anak diajarkan juga berbagai keterampilan. Berbeda dengan
pengajian, biasanya keterampilan tidak diajarkan oleh teungku meunasah, tetapi
oleh orang-orang tua atau dewasa tertentu yang ada di gampông yang
bersangkutan. Adapun jenis-jenis keterampilan yang diajarkan (terutama kepada
remaja dan pemuda (aneuk miet rayeuk) antara lain: a) memutar tali dari
ijuk, sabut kelapa, serat kulit kayu; b) membuat alat-alat pertanian tradisonal
seperti langai, creuh dan sebagainya; c) membuat alat-alat penangkap
ikan, seperti pukat, jeuë, sawoek dan sebagainya; d) berbagai
anyaman dari rotan, kulit bambu, kulit rumbia dan sebagainya.
9)
Kurikulum tersebut, pada hakikatnya merupakan
aplikasi dari pendidikan tingkat rendah yang telah dikêmukakan oleh para tokoh
dan pemerhati pendidikan. Ibn Sina (930-1037 M) berpendapat, sebagaimana
dikutip oleh Asma Hasan Fahmi yang diterjemahkan Ibrahim Husein bahwa:
10) Mendidik
anak-anak dimulai dengan mengajarkan al-Qur’an, karena anak-anak telah siap
dari segi fisik dan mental untuk menerima pendiktean… pada waktu yang sama pula
diajarkannya huruf hija dan diajarkannya dasar agama…mempelajari sya’ir
dan artinya (makna)… yang menceritakan keutamaan budi pekerti, yang memuji ilmu
pengetahuan, yang mencela kebodohan, yang menyuruh hormat ibu bapak….
11) Pendapat
tersebut sangat berdasar karena materi yang diberikan sesuai dengan tingkat
kemampuan anak didik (aneuk miet beuët) yang masih segar dan jernih. Di
samping itu berhubungan juga dengan pentingnya materi-materi dasar tersebut
sebagai penguat fondasi berfikir dan emosional anak didik.
12) Walaupun
demikian, kurikulum yang diberlakukan di meunasah sangat bergantung pada
Teungku Meunasah. Apabila pengetahuan agama para teungku
sangat kurang, materi pembelajaran yang diberikan sangat terbatas, kadang hanya
pada hal-hal yang penting (praktis ibadah) saja seperti rukun shalat, rukun
berpuasa, dan kewajiban membayar zakat. Dengan pertimbangan tersebut, maka pada
masa itu Teungku Meunasah benar-benar dipilih lewat mufakat oleh
warga gampông dan dicari orang yang malem (alim), biasanya
lulusan dayah atau dayah teungku chik. Hal ini bertujuan agar
dalam proses belajar teungku tidak mengalami hambatan dan penguasaan
materi-materi yang harus diajarkan benar-benar mumpuni.
13) 2. Sistem
Pembelajaran Meunasah
14) a.Metode
penyampaian materi
15) Pada lembaga meunasah
pada umumnya, metode pembelajaran yang digunakan adalah halaqah (dalam
lingkaran) klasikal sesuai dengan sifat meunasah sebagai lembaga pendidikan
tradisonal. Halaqah pada prakteknya seorang teungku memberikan
pengajaran dengan posisi duduk di tengah, sementara anak didik (murib; aneuk
miet beuët) mengelilingi teungku. Metode lain yang diterapkan dalam
penyampaian materi pelajaran adalah metode sorogan, yang umum
dilaksanakan di pesantren yaitu anak didik belajar secara perorangan di hadapan
teungku.
16) Proses
pembelajaran yang dilaksanakan di meunasah pada hakikatnya belajar
secara alamiah dengan penerapan metode-metode, seperti: (1) mengeja yaitu
seorang teungku mula-mula mengajarkan atau memperkenalkan huruf dengan
bunyi (alif…ba…ta….tsa….dan seterusnya). Pada tahap mengeja ini penekanan lebih
banyak tertuju pada lafal bacaan-bacaan bahasa Arab, daripada memahami isi
al-Qur’an; (2) menghafal surat-surat pendek al-Qur’an. Pada prakteknya seorang murib
(anak didik) melakukan penghafalan ayat-ayat al-Qur’an dan surat pendek di
hadapan teungku. Pada tahapan ini seorang murib berkosentrasi
kepada alat dengar, mengucapkan dengan lidah berulang-ulang agar tajwidnya
benar.
17) Berbagai upaya teungku
dilaksanakan agar tujuan pengajaran dapat dicapai yaitu seorang anak didik
dapat membaca membaca al-Qur’an dan menamatkan (khatam) al-Qur’an. Walaupun
anak didik tidak memahami makna dan tafsir al-Qur’an, tetapi sistem
pembelajaran halaqah, sorogan dan metode mengeja-menghafal.
Persoalan makna dan tafsir al-Qur’an pada pengajaran tingkat dasar di meunasah
tidak mendapatkan tekanan yang penting, mengingat penguatan makna dan tafsir
dilaksanakan kurikulum tingkat pendidikan di atasnya yaitu rangkang dan dayah.
18) Perlu
dijelaskan bahwa materi pembelajaran yang diberikan pada lembaga pendidikan
keagamaan di Aceh hanya mencakup satu jenis ilmu, yang dalam istilah Aceh
disebut eleumeë (dari kata Arab ‘ilm: ilmu). Menurut Taufik
Abdullah, eleumeë meliputi segala sesuatu yang harus dipercayai dan
dilaksanakan oleh setiap muslim sesuai dengan kehendak Allah SWT yang diwahyukan
pada Nabi Muhammad SAW. Ilmu tersebut diarahkan untuk mencapai cita-cita
tinggi, mulia serta praktis yang memungkinkan manusia memenuhi kehendak Tuhan.
Hal-hal yang berhubungan dengan eleumeë tersebut antara lain; masalah
aqidah, ibadah dan mu’amalah yang dituntut syari’at Islam. Berdasarkan
pemahaman tersebut, anak didik (murib) diharapkan dapat beriman,
beribadah dan bekerja sesuai dengan tuntutan Islam. [8]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
-
Dalam
tiap aktivitas manusia sebagai instrumen transformasi ilmu pengetahuan budaya
dan sebagai agen perubahan sosial pendidikan memerlukan satu landasan
fundamental atau baik yang kuat. Adapaun dasar yang di maksud adalah dasar
pendidikan Islam suatu totalitas pendidikan yang wajib bersandar pada landasan
dasar sebagaimana yang akan dibahas dalam bagian berikut ini
-
Dalam Islam pendidikan didefinisikan sebagai
berikut, bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia
berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.
-
Dalam upaya meningkatkan mutu sumber daya
manusia, mengejar ketertinggalan di segala aspek kehidupan dan menyesuaikan
dengan perubahan global serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
bangsa Indonesia melalui DPR dan Presiden pada tanggal 11 Juni 2003 telah
mensahkan Undang-undang Sistem Pendidikan
-
Perubahan sosial budaya masyarakat sebagaimana
yang kita bicarakan di atas tikan akan pernah bisa kita hindari, sehinga akan
menuntut lembaga pendidikan sebagai agen perubahan untuk menjawab segala
permasalahan yang ada
B.
Saran
Dengan adanya makalah ini, kami
sangat mengaharapkan masukan dari pemabaca, guna untuk kesempurnaan makalah ini, dan kami menyadari bahwa
tidak ada manusia
yang sempurna didunia ini, intuk itu dalam pembuatan makalah ini tentulah ada
banyak kekurangan baik dari segi reverensi juga keterbatasan ilmu yang kami
miliki.
DAFTAR PUSTAKA
Nasr, Hossen. Liman,
Oliver. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam. Cet. I. Bandung: PT Mizan
Pustaka. 2003
Su’ud, Abu. Islamologi
: Sejarah, Ajaran, dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia. Cet. I. Jakarta:
PT Rineka Cipta. 2003
Watt, William
Montgomerty. yang diterjemahkan dalam judul asli Islam, A Short History. Cet.
I. Yogyakarta: Penerbit Jendela. 2002
Prof.Dr.Suwito,MA.Fauzan,MA.Sejarah
Sosial Pendidikan Islam. Cet.ke II. Jakarta:Kencana. 2008
www.ensiklopediaislam.com
http://www.google.co.id/Dasar-dasar sistem lembaga dan pendidikan
islam
[1] William
Montgomerty Watt, yang diterjemahkan dalam judul asli Islam, A Short
History, Cet. I, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002) hlm. 48
[2] www.wikipedia.com
[3] Hossen Nasr,
Oliver Liman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Cet. I, (Bandung: PT
Mizan Pustaka, 2003) hlm. 156-161
[4] Ibid,
[5] Ini dapat
dilihat di www.ensiklopediaislam.com,judul:Tradisional pendidikan islam,pada
tanggal:6 bulan 3 tahun 2012
[6] Ibid,
[7] Abu Su’ud, Islamologi
: Sejarah, Ajaran, dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, Cet. I,
(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), hlm. 299
[8]
http://www.google.co.id/Dasar-dasar sistem lembaga dan pendidikan islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar