By: MARDIANTO
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mengkaji filsafat Islam
tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ia sarat dengan muatan teologis dan
historis. Secara historis, tarik menarik kepentingan bahwa orisinalitas
filsafat itu berasal dari Yunani atau Islam adalah fakta yang tidak bisa
dihindari. Salasatu tokoh filsafat Islam yaitu Ibnu Miskawaih, seorang moralis
yang terkenal hampir pada setiap pembahasan akhlak dalam Islam, filsafatnya
selalu mendapat perhatian utama. Keistimewaan yang menarik dalam tulisannya
ialah pembahasan yang didasarkan pada ajaran Islam (al-Qur’an dan al-Hadis) dan
dikombinasikan dengan pemikiran lain sebagai pelengkap, seperti filsafat Yunani
kuno dan pemikiran Persia. Hal inilah yang mendasari penulis untuk menuliskan
makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang
penulisan makalah di atas, maka penulis merumuskan beberapa permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimana biografi Ibnu Miskawaih?
2. Apa saja karya-karya Ibnu Miskawaih?
3. Apa saja filsafat Ibnu Miskawaih?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan
makalah ini mengacu pada rumusan masalah di atas, yaitu untuk memberi pemahaman
sekaligus menambah wawasan pembaca mengenai siapa Ibnu Miskawaih serta
mengenalkan bagaimana filsafat beliau.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih
(330-421 H\940-1030 M). Nama lengkapnya adalah Abu Ali Al-Kasim Ahmad [Muhammad]
bin Yaqub bin Miskawaih. Ia lahir di Rayy, belajar dan mematangkan
pengetahuannya di Baghdad, serta wafat di Isfahan. Setelah menjelajahi banyak
cabang ilmu pengetahuan dan filsafat, ia akhirnya lebih memusatkan perhatian
pada sejarah akhlak. Gurunya dalam bidang sejarah adalah Abu Bakr Ahmad bin
Kamil Al-Qadi, sedangkan dalam bidang filsafat adalah Ibnu Al-Khammar.
Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub, yang nama keluarganya Miskawaih,
disebut pula Abu ali Al-Khzim[1].
Belum dapat dipastikan apakah Miskawaih itu dia sendiri
atau dia itu putra (ibn) Miskawaih. Beberapa orang seperti Margoliouth
dan Bergstrasser menerima alternative pertama; sedangkan lainnya,
seperti Brockelmann, menerima alternative kedua. Yakut berkata ia
mula-mula beragama majusikoma kemudian memeluk Islam. Akan tetapi, hal ini
barangkali benar bagi ayahnya, karena Miskawaih sendiri, sebagaimana
bercermin pada namanya adalah putra seorang muslim, yang bernama Muhammad[2].
Ada di antara penulis
yang mengatakan bahwa Ibnu Miskawaih sebelujm masuk Islam beragama
Majusi. Krediblitas statemen ini perlu diragukan, Muhammad, menynjukkan nama
seorang muslim. Agaknya benar yang dikemukakan Abdurrahman Badawi
bahwastatemen ini lebih tepat pada ayahnya ketimbang padanya[3].
Disiplin ilmunya
meliputi kedokteran, bahasa, sejarah dan filsafat. Akan tetapi, ia lebih
popular sebagai seorang filosof akhlak (al-Falsafat al-‘Amaliyat)
ketimbang filosof ke-Tuhananan (al-Falsafat al-Nazhariyat al-Ilahiyyat).
Agaknya ini dimotivasi oleh masyarakat yang sangat kacau di masanya, seperti
minuman keras, perzinaan dan lain-lain[4].
Ia belajar sejarah,
terutama Tarikh Ath-Thabari, kepada Abu Bakar Ahmad ibn Al-Karil Al-Qadhi (350 H/960
M). Ibn Al-Khammar, mufasir kenamaan karya-karya Aristoteles,
adalah gurunya dalam ilmu-ilmu filsafat. Miskawaih mengkaji alkimia
bersama Abu al-Thayyib al-Razi, seorang ahli alkimia. Dari beberapa pernyataan Ibnu
Sina dan At-Tauhidi tampak bahwa mereka berpendapat bahwa ia tak
mampu berfilsafat. Iqbal, sebaliknya, menganggapnya sebagai salah
seorang pemikir teistis, moralis, dan sejarawan[5].
Miskawaih
meninggal 9 Safar 421/16 Februari 1030. Tanggal kelahiranya tak jelas. Menurut Margoliouth,
ia meninggal tahun 330 H/941 M, tetapi menurut kami, ia meninggal kira-kira
tahun 320 H/932 M, bila bukan pada tahun-tahun sebelumnya, karena ia biasa
bersama al-Muhallabi, yang menjabat sebagai wazir pada 339 H/950 M dan
meninggal pada 352 H/963 M, yang pada masa itu, paling tidak, ia telah berusia sembilan
belas tahun[6].
B. Karya-Karya Ibnu Miskawaih
Jumlah karya tulisannya
dalam tulisan Abdul Azis Dahlan yang
mendasarkan kepada para penulis masa lalu adalah sebanyak 18 buah
judul yang kebanyakan berbicara tentang
jiwa dan akhlak [etika]. Lain halnya dengan Yaqut memberikan daftar 16 buah
karya Miskawaih. Untuk bahan rujukan, penulis rinci sebagai berikut[7]:
1. Al-Fauz Al-Akbar [tentang keberhasilan besar],
2. Al-Fauz
Al-Asghar [tentang keberhasilan kecil]
3. Tajarib
Al-Umam [tentang pengalaman bangsa-bangsa sejak
awal sampai ke masa hidupnya],
4. Uns
Al-Farid [kumpulan anekdot, syair, pribahasa,
dan kata-kata mutiara],
5. Tartib
As-Sa’adah
[ tentang akhlak dan politik],
6. Al-Mustaufa [syair-syair pilihan],
7. Jawidan
Khirad [kumpulan ungkapan bijak],
8. Al-jami,
9. As-Siyar [tentang aturan hidup],
10. Tahzib
Al-Akhlak [pendidikan akhlak],
11. Ajwibah
wa Al-As’ilah fi An-Nafs wa Al-Aql [tanya
jawab tentang jiwa],
12. Al-jawab
fi al –masa’il as-salas [jawaban tentang tiga masalah],
13. Taharat
an nafs [kesucian jiwa],
14. Risalah
fi al-ladzdzat wal-alam fi jauhar an-nafz,
15. Risalah
fi Jawab fi Su’al Ali bin Muhammad Abu Hayyan al-Shufi fi Haqiqat al-‘Aql,
16. Risalah
fi haqiqah al-‘aql.
Muhammad Baqir ibn Zain al-Abidin al-Hawanshari yang
dikutip Fuad al-Ahwani, mengatakan bahwa ia juga menulis beberapa
risalah pendek dalam bahasa Persia (raudhat al-jannah,Teheran ,128 H\1870 M[8].
Ibnu Miskawaih tidak hanya dikenal sebagai seorazng pemikir (filosof), tetapi ia juga
seorang penulis yang produktif[9].
Dalam buku the History of the Muslim Philosophy disebutkan beberapa
karyanya, 15 di antaranya telah disebutkan di atas dan yang lainnya yaitu, On
the Simple Drugs (tentang kedokteran), on the Compesition of the Bajats (seni
memasak), dan Kitab al-Ashribah (tentang minuman),
C. Filsafat Ibnu Miskawaih
Dalam karyanya ,al
fauz al-fauz al-asghar, Miskawaih mengetengahkan uraian tentang
sifat dasar neoplatonisme yang agak tidak lazim, yang didalamnya ia mengklaim
bahwa filsuf klasik (yukni, Yunani), tidak meragukan eksistensi dan keesaan Tuhan sehingga tidak apa-apa mempertemukan
pemikiran mereka dengan Islam. hal tersebut karena sifat dasar yang sangat khas
makhluklah yang mencelah kategori-kategori normal deskripsi,satu satunya cara
sang pencipta semacam itu dapat dilukiskan adalah melalui konsep-konsep
negative,sesuai penggambaran awal yang menarik mengenai gagasan via negatif
dalam filsafat[10].
1. Filsafat Ke-Tuhan-an
Tuhan, menurut Ibnu
Miskawaih, adalah zat yang tidak berjisim, Azali dan Pencipta. Tuhan Esa
dalam segala aspek. Ia tidak terbagi-bagi dan tidak mengandung kejamakan dan
tidak satupun yang setara dengan-Nya. Dia ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak
bergantung pada yang lain. Sementara yang lain membutuhkan-Nya.
Tampaknyapemikiran Ibnu Miskawaih ini sama dengan pemikiran al-Farabi
dan al-Kind[11]i.
Menurut De Boer, Ibnu
Miskawaih menyatakan, Tuhan adalah Zat yang jelas dan Zat yang tidak jelas.
Dikatakan Zat yang jelas bahwa Ia adalah yang Hak (Benar). Yang benar adalah
terang. Dikatakan tidak jelas karena keterbatasan akal pikiran kita untuk
menangkap-Nya, disebabkan banyaknya dinding-dinding atau kendala kebendaan yang
menutupi-Nya. Pendapat ini bias diterima karena wujud manusia berbeda dengan
wujud Tuhan.
Tuhan dapat dikenal
dengan propogasi negative dan tidak dapat dikenal dengan sebaliknya, propogasi
positif (Yu’raf bi al-Salib dan al-Ijab). Alasannya propogasi positif
aikan menyamakan Tuhan dengan alam[12].
Untuk membahas defenisi
Tuhan secara positif ataupun negatif, dan menyimpulkan bahwa cara negative
adalah cara yang paling mungkin. Ia juga menunjukkan kecenderungan Neo-Platonis
yang mengatakan bahwa kemaujudan yang pertama yang memancar dari Tuhan ialah
inteligensi pertama yang (Miskawaih mengatakannya agak ganjil) sama
dengan akal aktif. Ia kekal, sempurna, dan tak berubah. Ia sempurna
dibandingkan yang lebih rendah dari padanya dan tidak sempurna, dibandingkan Tuhan. Kemudian, turunlah, roh
dari langit ke inteligensi. Ia memerlukan gerak sebagai ekspresi hasrat
kesempurnaan dalam meniru inteligensi. Akan tetapi, ia sempurna dibandingkan
benda-benda alam. Lingkungan mewujud melalui roh langit. Dibandingkan roh, ia
tidak sempurna, dan oleh karena itu ia memerlukan gerak fisik, yaitu gerak
dalam ruang[13].
Sebagai pemikir religius
sejati, Miskawaih mencoba membuktikan bahwa ciptaan bermula dari
ketidakadaan. Pertama, bentuk-bentuk
saling menggatikan, tetapi dasarnya tetap konstan. Kedua, bentuk pertama tidak dapat ke lain tempat karena gerak di
tempat berlaku bagi tubuh dan kemaujudan tak dapat berpindah dari satu tempat
ke tempat lain[14].
2. Teori Emanasi dan Evolusi
Sebagaimana al-Farabi,
Ibnu Miakawaih juga menganut paham emanasi, yakni Allah menciptakan alam
secara pancaran. Namun, emanasinya berbeda (bertentangan) dengan emanasi al-Farabi.
Menurutnya entitas yang memancarkan pertama dari Allah ialah ‘Aql Fa’al (Akal
Aktif). Akal Aktif ini tanpa perantara sesuatupun. Ia Kadim, Sempurna dan tak
berubah. Dari Akal Aktif ini timbullah jiwa dan dengan perantaraan jiwa pula
timbullah planet (al-Falaq). Pelimpahan atau pemancaran yang terus
menerus dari Allah dapat memelihara tatanan di dalam alam ini[15].
Untuk lebih jelasnya
dapat dikemukakan perbedaan emanasi antara Ibnu Miskawaih dengan al-Farabi
sebagai berikut[16]:
a.
Bagi Ibnu
Miskawaih, Allah menjadikan alam ini secara emanasi (pancaran) dari tiada
menjadi ada. Semntara itu, menurut al-Farabi alam dijadikan Tuhan secara
pancaran dari sesuatu atau bahan yang sudah ada menjadi ada.
b.
Bagi Ibnu
Miskawaih ciptaan Allah yang pertama adalah Akal Aktif. Sementara itu, bagi
al-farabi ciptaan Allah yang pertama adalah Akal Pertama dan Akal Aktif adalah
Akal yang kesepuluh.
Teori Miskawaih tentang evolusi secara mendasar sama dengan Ikhwan
al-Shafa’. Teori ini terdiri atas empat tahapan evolusi yaitu mineral,
tumbuhan, binatang dan manusia. Karang (marjan), kurma, dank era menunjukkan
secara berurutan peralihan dari mineral ke tumbuhan, dari tumbuhan ke binatang
dan dari binatang ke manusia[17].
Secara rinci, menurut Miskawaih,
prinsip evolusi berlangsung dari alam mineral kea lam tumbuh-tumbuhan,
selanjutnya kea lam binatang dan seterusnya kea lam manusia. Transisi dari alam
mineral ke alam tumbuhan terjadi melalui karang, dari alam tumbuhan ke alam
binatang melalui pohon kurma dan dari alam binatang ke alam manusia melalui
kera[18].
3. Filsafat Kenabian
Sebagaimana al-Farabi, Ibnu
Miskawaih juga menginterpretasikan kenabian secara ilmiah. Usahanya ini dapat
pula memperkecil perbedaan antara Nabi dan filosof dan memperkuat keharmoinisan
antara wahyu dan akal.
Menurut Ibnu Miskawaih,
nabi adalh seorang muslim yang memperoleh hakikat-hakikat atau kebenaran karena
pengaruh Akal Aktif atas daya imajinasinya. Hakikat-hakikat atau kebenaran
seperti ini diperoleh pula oleh para filosof. Perbedaannya hanya terletak pada
teknik memperolehnya. Filsof mendapatkan kebnenarn tersebut dari bawah ke atas,
yakni daya indrawi menaik ke daya khayal dan menaik lagi ke daya berfikir yang
daopat berhubungan dan menangkap hakikat-hakikat atau kebenaran dari Akal
Aktif. Sementara itu, nabi mendapatkan kebenaran diturunkan langsuing dari atas
ke bawah, yakni dari Akal Aktif langsung kepada Nabi sebagai rahmat Allah.
Persamaan antara nabi
dan filosof, bagi Ibnu Miskawaih, adalah dalam mencapai kebenaran, bukan
persamaan keduanya dalam tingkatan, kemuliaan dan kemaksuman[19].
4. Filsafat Keabadian Roh (Jiwa)
Jiwa menurut Ibnu Miskawaih, jauhar rohani yang tidak hancur
dengan sebab kematian jasad. Ia adalah kesatuan yang tidak terbagi-bagi. Ia
akan hidup selalu. Ia tidak dapat diraba dengan panca indera karena ia bukan
jisim dan bagian dari jisim. Jiwa dapat menangkap keberadaan zatnya dan ia
mengetahui ketahuan keaktivitasannya. Argumen yang dimajukannya ialah jiwa
dapat menangkap bentuk sesuatu yang berlawanan dalam waktu yang bersamaan,
seperti warna hitam dan putih, sedangkan badan tidak dapat demikian[20].
Mengenai Keabadian
Roh, Miskawaih memberikan jawaban dan doktrin Aristoteles.
Kemudian, ia memberikan tiga alas an dari Plato; Pertama, ia
mengutip Plato sendiri, Kedua, Tulisan Proclus komentar
terhadap Doktrin Plato tentang Keabadian Roh, dan Ketiga, sesuatu
yang telah dikatakan oleh Galen mengenai hal in. Miskawaih
mengatakan bahwa Doktrin Plato sangat panjang dan memerlukan
komentar; karena itu, ia berusaha meringkasnya sejelas mungkin dengan bantun
komentar Proclus. Plato mengatakan bahwa esensi Roh adalah gerak
sedangkan gerak adalah kehidupan Roh. Miskawaih menerangkan dan berkata,
“Gerak ini terdiri atas dua macam: Pertama, gerak ke arah inteligensi,
dan Kedua, gerak ke arah materi; yang pertama diterangi, sedangkan yang
kedua menerangi. Akan tetapi, gerak ini kekal dan tidak di dalam ruang, dan
oleh karena itu, ia tidak berubah. Dengan mengutip Plato, ia mengatakan
bahwa filsafat merupakan suatu penerapan mati yang berdasarkan kemauan. Ada dua
macam kehidupan. Pertama, Kehidupan yang sesuai dengan inteligensi,
yaitu “kehidupan alamiah”, dan Kedua, kehidupan menurut marteri, yaitu
kehidupan berdasarkan kemauan. Demikian pula dengan kematian: karena itu, Plato
mengatakan, “Jika Anda mati bersarkan kemauan maka Anda hidup secara alamiah”.
Di sini “kemauan” diartikan sebagai “hasrat”[21].
Akan tetapi, Miskawaih
sakaligus mengoreksi sendiri dengan mengatakan bahwa mati berdasarkan kemauan ini bukan berarti penolakan terhadap
dunia. Hal itu merupakan sikap mereka yang tak tahu apa-apa tentang dunia ini
dan mengabaikan kenyataan bahwa manususia secara fitrah beradab dan tidak
dapathidup tampa yang lain. Mereka, yang mengabaikan masalah dunia, sangat
tidak adil karena menginginkan layanan yang lain, tanpa bersedia melayani yang
lain, dan inilah ketidakadilan sejati[22].
5. Filsafat Etika/ Akhlak
Akhlak, menurut Ibnu
Miskawaih, ialah suatu sikap mental atau keadaan jiwa yang mendorongnya
untuk berbuat tanpa pikir dan pertimbangan, sementara tingkahlaku manusia
terbagi menjadi dua unsur, yakni unsur watak naluriah dan unsur lewat kebiasaan
dan latihan[23].
Karya etika Miskawaih
sangat lain, dan karya etika itu menunjukkan bukti pemahamanya mengenai
kesulitan-kesulitan konseptual dalam bidang tersebut. Dasar argumentasinya
adalah tinjauannya tentanga sifat dasar jiwa, yang diambil begitu saja dari
plato, sebagai entitas atau substansi yang berdiri sendiri, yang berbeda dengan
gagasan Aristotelian mengenai jiwa. Jiwa yang membedakan kita dari binatang, jiwa
membedakan kita dari manusia lainnya,jiwa memanfaatkan badan dan
bagian-bagiannya,dan jiwa juga berusaha menjalin dengan hubungan alam-alam wujd
dengan spiritual dengan lebih tinggi[24].
Pada saat Miskawaih
membicarakan sifat dasar kebijakan, ia menggabungkan gagasan Aristotelian
dengan gagasan platonik, sedangkan teorinya sendiri juga banyak mempunyai keterkaitan
dengan sufisme. Miskawaih juga melaskan bahwa kebaikan terletak pada
segala menjadi tujuan. defenisi ini di perkirakan mungkin berasal dari eudoxus (sekitar tahun 25 SM) yang disajikan di
bagian awal dari Nicomachean Ethics.
Selanjutnya, Miskawaih mengatakan bahwa apa yang berguna bagi mencapai
tujuan ini adalah baik, misalnya sarana-sarana dan tujuan itu sendiri dapat disebut
baik[25].
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan substansi
makalah di atas, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Ibnu Miskawaih (330-421 H\940-1030 M). Nama lengkapnya adalah Abu Ali Al-Kasim Ahmad
[Muhammad] bin Yaqub bin Miskawaih. Ia lahir di Rayy, belajar dan
mematangkan pengetahuannya di Baghdad, serta wafat di Isfahan.
2. Karya-karya Ibnu Miskawaih diantaranya, Al-Fauz Al-Akbar, Al-Fauz Al-Asghar, Tajarib Al-Umam, Uns Al-Farid
, Tartib As-Sa’adah, Al-Mustaufa, Jawidan Khirad, Al-jami, As-Siyar, Tahzib Al-Akhlak, dan lain-lain.
3. Filsafat Ibnu Miskawaih diantaranya:
a. Filsafat Ke-Tuhan-an
b. Teori Emanasi dan Evolusi
c. Filsafat Kenabian
d. Filsafat Keabadian Roh (Jiwa)
e. Filsafat Etika/ Akhlak
B. Saran
Harapan kami dengan
hadirnya makalah ini yang berbica tentang Ibnu Miskawaih semoga dapat menambah
wawasan dan pengetahuan pembaca mengenai filsafat dan pemikiran-pemikiran
beliau.
DAFTAR PUSTAKA
Praja, Juhaya S..2010. Pengantar FILSAFAT ISLAM ‘Konsep, Filsuf dan Ajarannya’. Bandung:
CV. Pustaka Setia.2009.
Zar, Sirajuddin. FILSAFAT ISLAM ‘ Filosof dan
Filsafatnya’. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2010.
[1]
Prof. Dr. Juhaya S. Praja, MA. Pengantar FILSAFAT ISLAM ‘Konsep,
Filsuf dan Ajarannya’ Cet. I (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009), Hal. 110.
[2]
Ibid.
[3]
Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, MA. FILSAFAT ISLAM ‘Filosof dan
Fiolsatnya’, Ed. I (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), Hal. 127.
[4]
Ibid. Hal. 128.
[5]
Prof. Dr. Juhaya S. Praja, MA. op. cit. Hal. 111
[6]
Ibid.
[7]
Ibid. Hal. 112
[8]
Ibid.
[9]
Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, MA. op. cit., hal. 128
[10]
Prof. Dr. Juhaya S. Praja, MA. op. cit. Hal. 113
[11]
Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, MA. op. cit., hal. 129
[12]
Ibid.
[13]
Prof. Dr. Juhaya S. Praja, MA. op. cit. Hal. 119
[14]
Ibid.
[15]
Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, MA. op. cit., hal. 129
[16]
Ibid.
[17]
Prof. Dr. Juhaya S. Praja, MA. op. cit. Hal. 119
[18]
Ibid.
[19]
Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, MA. op. cit., hal. 129
[20]
Ibid. Hal. 133
[21]
Prof. Dr. Juhaya S. Praja, MA. op. cit. Hal. 121
[22]
iIbid.
[23]
Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, MA. op. cit., hal. 134
[24]
Prof. Dr. Juhaya S. Praja, MA. op. cit. Hal. 114
[25]
Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar