Kamis, 02 Mei 2013

PEMIKIRAN IBNU MISKHAWAI


 By: MARDIANTO

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Mengkaji filsafat Islam tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ia sarat dengan muatan teologis dan historis. Secara historis, tarik menarik kepentingan bahwa orisinalitas filsafat itu berasal dari Yunani atau Islam adalah fakta yang tidak bisa dihindari. Salasatu tokoh filsafat Islam yaitu Ibnu Miskawaih, seorang moralis yang terkenal hampir pada setiap pembahasan akhlak dalam Islam, filsafatnya selalu mendapat perhatian utama. Keistimewaan yang menarik dalam tulisannya ialah pembahasan yang didasarkan pada ajaran Islam (al-Qur’an dan al-Hadis) dan dikombinasikan dengan pemikiran lain sebagai pelengkap, seperti filsafat Yunani kuno dan pemikiran Persia. Hal inilah yang mendasari penulis untuk menuliskan makalah ini.
B.     Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang penulisan makalah di atas, maka penulis merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1.      Bagaimana biografi Ibnu Miskawaih?
2.      Apa saja karya-karya Ibnu Miskawaih?
3.      Apa saja filsafat Ibnu Miskawaih?
C.     Tujuan Penulisan
            Adapun tujuan penulisan makalah ini mengacu pada rumusan masalah di atas, yaitu untuk memberi pemahaman sekaligus menambah wawasan pembaca mengenai siapa Ibnu Miskawaih serta mengenalkan bagaimana filsafat beliau.






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Ibnu Miskawaih
            Ibnu Miskawaih (330-421 H\940-1030 M). Nama lengkapnya adalah Abu Ali Al-Kasim Ahmad [Muhammad] bin Yaqub bin Miskawaih. Ia lahir di Rayy, belajar dan mematangkan pengetahuannya di Baghdad, serta wafat di Isfahan. Setelah menjelajahi banyak cabang ilmu pengetahuan dan filsafat, ia akhirnya lebih memusatkan perhatian pada sejarah akhlak. Gurunya dalam bidang sejarah adalah Abu Bakr Ahmad bin Kamil Al-Qadi, sedangkan dalam bidang filsafat adalah Ibnu Al-Khammar. Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub, yang nama keluarganya Miskawaih, disebut pula Abu ali Al-Khzim[1].
            Belum dapat dipastikan apakah Miskawaih itu dia sendiri atau dia itu putra (ibn) Miskawaih. Beberapa orang seperti Margoliouth dan Bergstrasser menerima alternative pertama; sedangkan lainnya, seperti Brockelmann, menerima alternative kedua. Yakut berkata ia mula-mula beragama majusikoma kemudian memeluk Islam. Akan tetapi, hal ini barangkali benar bagi ayahnya, karena Miskawaih sendiri, sebagaimana bercermin pada namanya adalah putra seorang muslim, yang bernama Muhammad[2].
            Ada di antara penulis yang mengatakan bahwa Ibnu Miskawaih sebelujm masuk Islam beragama Majusi. Krediblitas statemen ini perlu diragukan, Muhammad, menynjukkan nama seorang muslim. Agaknya benar yang dikemukakan Abdurrahman Badawi bahwastatemen ini lebih tepat pada ayahnya ketimbang padanya[3].
            Disiplin ilmunya meliputi kedokteran, bahasa, sejarah dan filsafat. Akan tetapi, ia lebih popular sebagai seorang filosof akhlak (al-Falsafat al-‘Amaliyat) ketimbang filosof ke-Tuhananan (al-Falsafat al-Nazhariyat al-Ilahiyyat). Agaknya ini dimotivasi oleh masyarakat yang sangat kacau di masanya, seperti minuman keras, perzinaan dan lain-lain[4].
            Ia belajar sejarah, terutama Tarikh Ath-Thabari, kepada Abu Bakar Ahmad  ibn Al-Karil Al-Qadhi (350 H/960 M). Ibn Al-Khammar, mufasir kenamaan karya-karya Aristoteles, adalah gurunya dalam ilmu-ilmu filsafat. Miskawaih mengkaji alkimia bersama Abu al-Thayyib al-Razi, seorang ahli alkimia. Dari beberapa pernyataan Ibnu Sina dan At-Tauhidi tampak bahwa mereka berpendapat bahwa ia tak mampu berfilsafat. Iqbal, sebaliknya, menganggapnya sebagai salah seorang pemikir teistis, moralis, dan sejarawan[5].
            Miskawaih meninggal 9 Safar 421/16 Februari 1030. Tanggal kelahiranya tak jelas. Menurut Margoliouth, ia meninggal tahun 330 H/941 M, tetapi menurut kami, ia meninggal kira-kira tahun 320 H/932 M, bila bukan pada tahun-tahun sebelumnya, karena ia biasa bersama al-Muhallabi, yang menjabat sebagai wazir pada 339 H/950 M dan meninggal pada 352 H/963 M, yang pada masa itu, paling tidak, ia telah berusia sembilan belas tahun[6].
B.     Karya-Karya Ibnu Miskawaih
            Jumlah karya tulisannya dalam tulisan Abdul Azis Dahlan yang  mendasarkan kepada para penulis masa lalu adalah sebanyak 18 buah judul  yang kebanyakan berbicara tentang jiwa dan akhlak [etika]. Lain halnya dengan Yaqut memberikan daftar 16 buah karya Miskawaih. Untuk bahan rujukan, penulis rinci sebagai berikut[7]:
1.      Al-Fauz Al-Akbar [tentang keberhasilan besar],
2.      Al-Fauz Al-Asghar [tentang keberhasilan kecil]
3.      Tajarib Al-Umam [tentang pengalaman bangsa-bangsa sejak awal sampai ke masa hidupnya],
4.      Uns Al-Farid [kumpulan anekdot, syair, pribahasa, dan kata-kata mutiara],
5.      Tartib As-Sa’adah  [ tentang akhlak dan politik],
6.      Al-Mustaufa [syair-syair pilihan],
7.      Jawidan Khirad [kumpulan ungkapan bijak],
8.      Al-jami,
9.      As-Siyar [tentang aturan hidup],
10.  Tahzib Al-Akhlak [pendidikan akhlak],
11.  Ajwibah wa Al-As’ilah fi An-Nafs wa Al-Aql [tanya jawab tentang jiwa],
12.  Al-jawab fi al –masa’il as-salas [jawaban tentang tiga masalah],
13.  Taharat an nafs [kesucian jiwa],
14.  Risalah fi al-ladzdzat wal-alam fi jauhar an-nafz,
15.  Risalah fi Jawab fi Su’al Ali bin Muhammad Abu Hayyan al-Shufi fi Haqiqat al-‘Aql,
16.  Risalah fi haqiqah al-‘aql.
            Muhammad  Baqir ibn Zain al-Abidin al-Hawanshari yang dikutip Fuad al-Ahwani, mengatakan bahwa ia juga menulis beberapa risalah pendek dalam bahasa Persia (raudhat al-jannah,Teheran ,128 H\1870 M[8].
            Ibnu Miskawaih tidak hanya dikenal sebagai seorazng pemikir (filosof), tetapi ia juga seorang penulis yang produktif[9]. Dalam buku the History of the Muslim Philosophy disebutkan beberapa karyanya, 15 di antaranya telah disebutkan di atas dan yang lainnya yaitu, On the Simple Drugs (tentang kedokteran),  on the Compesition of the Bajats (seni memasak), dan Kitab al-Ashribah (tentang minuman),
C.  Filsafat Ibnu Miskawaih
            Dalam karyanya ,al fauz al-fauz al-asghar, Miskawaih mengetengahkan uraian tentang sifat dasar neoplatonisme yang agak tidak lazim, yang didalamnya ia mengklaim bahwa filsuf klasik (yukni, Yunani), tidak meragukan eksistensi dan keesaan Tuhan  sehingga tidak apa-apa mempertemukan pemikiran mereka dengan Islam. hal tersebut karena sifat dasar yang sangat khas makhluklah yang mencelah kategori-kategori normal deskripsi,satu satunya cara sang pencipta semacam itu dapat dilukiskan adalah melalui konsep-konsep negative,sesuai penggambaran awal yang menarik mengenai gagasan via negatif dalam filsafat[10].

1.      Filsafat Ke-Tuhan-an
            Tuhan, menurut Ibnu Miskawaih, adalah zat yang tidak berjisim, Azali dan Pencipta. Tuhan Esa dalam segala aspek. Ia tidak terbagi-bagi dan tidak mengandung kejamakan dan tidak satupun yang setara dengan-Nya. Dia ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak bergantung pada yang lain. Sementara yang lain membutuhkan-Nya. Tampaknyapemikiran Ibnu Miskawaih ini sama dengan pemikiran al-Farabi dan al-Kind[11]i.
            Menurut De Boer, Ibnu Miskawaih menyatakan, Tuhan adalah Zat yang jelas dan Zat yang tidak jelas. Dikatakan Zat yang jelas bahwa Ia adalah yang Hak (Benar). Yang benar adalah terang. Dikatakan tidak jelas karena keterbatasan akal pikiran kita untuk menangkap-Nya, disebabkan banyaknya dinding-dinding atau kendala kebendaan yang menutupi-Nya. Pendapat ini bias diterima karena wujud manusia berbeda dengan wujud Tuhan.
            Tuhan dapat dikenal dengan propogasi negative dan tidak dapat dikenal dengan sebaliknya, propogasi positif (Yu’raf bi al-Salib dan al-Ijab). Alasannya propogasi positif aikan menyamakan Tuhan dengan alam[12].
            Untuk membahas defenisi Tuhan secara positif ataupun negatif, dan menyimpulkan bahwa cara negative adalah cara yang paling mungkin. Ia juga menunjukkan kecenderungan Neo-Platonis yang mengatakan bahwa kemaujudan yang pertama yang memancar dari Tuhan ialah inteligensi pertama yang (Miskawaih mengatakannya agak ganjil) sama dengan akal aktif. Ia kekal, sempurna, dan tak berubah. Ia sempurna dibandingkan yang lebih rendah dari padanya dan tidak sempurna,  dibandingkan Tuhan. Kemudian, turunlah, roh dari langit ke inteligensi. Ia memerlukan gerak sebagai ekspresi hasrat kesempurnaan dalam meniru inteligensi. Akan tetapi, ia sempurna dibandingkan benda-benda alam. Lingkungan mewujud melalui roh langit. Dibandingkan roh, ia tidak sempurna, dan oleh karena itu ia memerlukan gerak fisik, yaitu gerak dalam ruang[13].
            Sebagai pemikir religius sejati, Miskawaih mencoba membuktikan bahwa ciptaan bermula dari ketidakadaan. Pertama, bentuk-bentuk saling menggatikan, tetapi dasarnya tetap konstan. Kedua, bentuk pertama tidak dapat ke lain tempat karena gerak di tempat berlaku bagi tubuh dan kemaujudan tak dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain[14].
2.      Teori Emanasi dan Evolusi
            Sebagaimana al-Farabi, Ibnu Miakawaih juga menganut paham emanasi, yakni Allah menciptakan alam secara pancaran. Namun, emanasinya berbeda (bertentangan) dengan emanasi al-Farabi. Menurutnya entitas yang memancarkan pertama dari Allah ialah ‘Aql Fa’al (Akal Aktif). Akal Aktif ini tanpa perantara sesuatupun. Ia Kadim, Sempurna dan tak berubah. Dari Akal Aktif ini timbullah jiwa dan dengan perantaraan jiwa pula timbullah planet (al-Falaq). Pelimpahan atau pemancaran yang terus menerus dari Allah dapat memelihara tatanan di dalam alam ini[15].
            Untuk lebih jelasnya dapat dikemukakan perbedaan emanasi antara Ibnu Miskawaih dengan al-Farabi sebagai berikut[16]:
a.       Bagi Ibnu Miskawaih, Allah menjadikan alam ini secara emanasi (pancaran) dari tiada menjadi ada. Semntara itu, menurut al-Farabi alam dijadikan Tuhan secara pancaran dari sesuatu atau bahan yang sudah ada menjadi ada.
b.      Bagi Ibnu Miskawaih ciptaan Allah yang pertama adalah Akal Aktif. Sementara itu, bagi al-farabi ciptaan Allah yang pertama adalah Akal Pertama dan Akal Aktif adalah Akal yang kesepuluh.
            Teori Miskawaih tentang evolusi secara mendasar sama dengan Ikhwan al-Shafa’. Teori ini terdiri atas empat tahapan evolusi yaitu mineral, tumbuhan, binatang dan manusia. Karang (marjan), kurma, dank era menunjukkan secara berurutan peralihan dari mineral ke tumbuhan, dari tumbuhan ke binatang dan dari binatang ke manusia[17].
            Secara rinci, menurut Miskawaih, prinsip evolusi berlangsung dari alam mineral kea lam tumbuh-tumbuhan, selanjutnya kea lam binatang dan seterusnya kea lam manusia. Transisi dari alam mineral ke alam tumbuhan terjadi melalui karang, dari alam tumbuhan ke alam binatang melalui pohon kurma dan dari alam binatang ke alam manusia melalui kera[18].
3.      Filsafat Kenabian
            Sebagaimana al-Farabi, Ibnu Miskawaih juga menginterpretasikan kenabian secara ilmiah. Usahanya ini dapat pula memperkecil perbedaan antara Nabi dan filosof dan memperkuat keharmoinisan antara wahyu dan akal.
            Menurut Ibnu Miskawaih, nabi adalh seorang muslim yang memperoleh hakikat-hakikat atau kebenaran karena pengaruh Akal Aktif atas daya imajinasinya. Hakikat-hakikat atau kebenaran seperti ini diperoleh pula oleh para filosof. Perbedaannya hanya terletak pada teknik memperolehnya. Filsof mendapatkan kebnenarn tersebut dari bawah ke atas, yakni daya indrawi menaik ke daya khayal dan menaik lagi ke daya berfikir yang daopat berhubungan dan menangkap hakikat-hakikat atau kebenaran dari Akal Aktif. Sementara itu, nabi mendapatkan kebenaran diturunkan langsuing dari atas ke bawah, yakni dari Akal Aktif langsung kepada Nabi sebagai rahmat Allah.
            Persamaan antara nabi dan filosof, bagi Ibnu Miskawaih, adalah dalam mencapai kebenaran, bukan persamaan keduanya dalam tingkatan, kemuliaan dan kemaksuman[19].
4.      Filsafat Keabadian Roh (Jiwa)
            Jiwa menurut Ibnu Miskawaih, jauhar rohani yang tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Ia adalah kesatuan yang tidak terbagi-bagi. Ia akan hidup selalu. Ia tidak dapat diraba dengan panca indera karena ia bukan jisim dan bagian dari jisim. Jiwa dapat menangkap keberadaan zatnya dan ia mengetahui ketahuan keaktivitasannya. Argumen yang dimajukannya ialah jiwa dapat menangkap bentuk sesuatu yang berlawanan dalam waktu yang bersamaan, seperti warna hitam dan putih, sedangkan badan tidak dapat demikian[20].
            Mengenai Keabadian Roh, Miskawaih memberikan jawaban dan doktrin Aristoteles. Kemudian, ia memberikan tiga alas an dari Plato; Pertama, ia mengutip Plato sendiri, Kedua, Tulisan Proclus komentar terhadap Doktrin Plato tentang Keabadian Roh, dan Ketiga, sesuatu yang telah dikatakan oleh Galen mengenai hal in. Miskawaih mengatakan bahwa Doktrin Plato sangat panjang dan memerlukan komentar; karena itu, ia berusaha meringkasnya sejelas mungkin dengan bantun komentar Proclus. Plato mengatakan bahwa esensi Roh adalah gerak sedangkan gerak adalah kehidupan Roh. Miskawaih menerangkan dan berkata, “Gerak ini terdiri atas dua macam: Pertama, gerak ke arah inteligensi, dan Kedua, gerak ke arah materi; yang pertama diterangi, sedangkan yang kedua menerangi. Akan tetapi, gerak ini kekal dan tidak di dalam ruang, dan oleh karena itu, ia tidak berubah. Dengan mengutip Plato, ia mengatakan bahwa filsafat merupakan suatu penerapan mati yang berdasarkan kemauan. Ada dua macam kehidupan. Pertama, Kehidupan yang sesuai dengan inteligensi, yaitu “kehidupan alamiah”, dan Kedua, kehidupan menurut marteri, yaitu kehidupan berdasarkan kemauan. Demikian pula dengan kematian: karena itu, Plato mengatakan, “Jika Anda mati bersarkan kemauan maka Anda hidup secara alamiah”. Di sini “kemauan” diartikan sebagai “hasrat”[21].
            Akan tetapi, Miskawaih sakaligus mengoreksi sendiri dengan mengatakan bahwa mati berdasarkan  kemauan ini bukan berarti penolakan terhadap dunia. Hal itu merupakan sikap mereka yang tak tahu apa-apa tentang dunia ini dan mengabaikan kenyataan bahwa manususia secara fitrah beradab dan tidak dapathidup tampa yang lain. Mereka, yang mengabaikan masalah dunia, sangat tidak adil karena menginginkan layanan yang lain, tanpa bersedia melayani yang lain, dan inilah ketidakadilan sejati[22].
             
5.      Filsafat Etika/ Akhlak
            Akhlak, menurut Ibnu Miskawaih, ialah suatu sikap mental atau keadaan jiwa yang mendorongnya untuk berbuat tanpa pikir dan pertimbangan, sementara tingkahlaku manusia terbagi menjadi dua unsur, yakni unsur watak naluriah dan unsur lewat kebiasaan dan latihan[23].
            Karya etika Miskawaih sangat lain, dan karya etika itu menunjukkan bukti pemahamanya mengenai kesulitan-kesulitan konseptual dalam bidang tersebut. Dasar argumentasinya adalah tinjauannya tentanga sifat dasar jiwa, yang diambil begitu saja dari plato, sebagai entitas atau substansi yang berdiri sendiri, yang berbeda dengan gagasan Aristotelian mengenai jiwa. Jiwa yang membedakan kita dari binatang, jiwa membedakan kita dari manusia lainnya,jiwa memanfaatkan badan dan bagian-bagiannya,dan jiwa juga berusaha menjalin dengan hubungan alam-alam wujd dengan spiritual dengan lebih tinggi[24].
            Pada saat Miskawaih membicarakan sifat dasar kebijakan, ia menggabungkan gagasan Aristotelian dengan gagasan platonik, sedangkan teorinya sendiri juga banyak mempunyai keterkaitan dengan sufisme. Miskawaih juga melaskan bahwa kebaikan terletak pada segala menjadi tujuan. defenisi ini di perkirakan mungkin  berasal dari eudoxus  (sekitar tahun 25 SM) yang disajikan di bagian awal  dari Nicomachean Ethics. Selanjutnya, Miskawaih mengatakan bahwa apa yang berguna bagi mencapai tujuan ini adalah baik, misalnya sarana-sarana dan tujuan itu sendiri dapat disebut baik[25].
           




BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
            Berdasarkan substansi makalah di atas, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.      Ibnu Miskawaih (330-421 H\940-1030 M). Nama lengkapnya adalah Abu Ali Al-Kasim Ahmad [Muhammad] bin Yaqub bin Miskawaih. Ia lahir di Rayy, belajar dan mematangkan pengetahuannya di Baghdad, serta wafat di Isfahan.
2.      Karya-karya Ibnu Miskawaih diantaranya, Al-Fauz Al-Akbar, Al-Fauz Al-Asghar, Tajarib Al-Umam, Uns Al-Farid , Tartib As-Sa’adah, Al-Mustaufa, Jawidan Khirad, Al-jami, As-Siyar, Tahzib Al-Akhlak, dan lain-lain.
3.      Filsafat Ibnu Miskawaih diantaranya:
a.       Filsafat Ke-Tuhan-an
b.      Teori Emanasi dan Evolusi
c.       Filsafat Kenabian
d.      Filsafat Keabadian Roh (Jiwa)
e.       Filsafat Etika/ Akhlak
B.  Saran
            Harapan kami dengan hadirnya makalah ini yang berbica tentang Ibnu Miskawaih semoga dapat menambah wawasan dan pengetahuan pembaca mengenai filsafat dan pemikiran-pemikiran beliau.






DAFTAR PUSTAKA
Praja, Juhaya S..2010. Pengantar FILSAFAT ISLAM ‘Konsep, Filsuf dan Ajarannya’. Bandung: CV. Pustaka Setia.2009.
Zar, Sirajuddin. FILSAFAT ISLAM ‘ Filosof dan Filsafatnya’. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2010.


[1] Prof. Dr. Juhaya S. Praja, MA. Pengantar FILSAFAT ISLAM ‘Konsep, Filsuf dan Ajarannya’ Cet. I (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009), Hal. 110.
[2] Ibid.
[3] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, MA. FILSAFAT ISLAM ‘Filosof dan Fiolsatnya’, Ed. I (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), Hal. 127.
[4] Ibid. Hal. 128.
[5] Prof. Dr. Juhaya S. Praja, MA. op. cit. Hal. 111
[6] Ibid.
[7] Ibid. Hal. 112
[8] Ibid.
[9] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, MA. op. cit., hal. 128
[10] Prof. Dr. Juhaya S. Praja, MA. op. cit. Hal. 113
[11] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, MA. op. cit., hal. 129
[12] Ibid.
[13] Prof. Dr. Juhaya S. Praja, MA. op. cit. Hal. 119
[14] Ibid.
[15] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, MA. op. cit., hal. 129
[16] Ibid.
[17] Prof. Dr. Juhaya S. Praja, MA. op. cit. Hal. 119
[18] Ibid.
[19] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, MA. op. cit., hal. 129
[20] Ibid. Hal. 133
[21] Prof. Dr. Juhaya S. Praja, MA. op. cit. Hal. 121
[22] iIbid.
[23] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, MA. op. cit., hal. 134
[24] Prof. Dr. Juhaya S. Praja, MA. op. cit. Hal. 114
[25] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar