Kamis, 02 Mei 2013

MU'TAZILAH


By: MARDIANTO

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
            Berbicara perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya, karena terus menerus terjadi perpecahan dan penyempalan mulai dengan munculnya khowarij dan syiah kemudian muncullah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah syiar akal dan kebebasan berfikir. satu syiar yang menipu dan mengelabuhi orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada porsi yang benar, sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus masuk pemikiran kelompok ini akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah diajarkan Rasulullah dan para shahabat-shahabatnya.
Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu kelompok Mu'tazilah yang pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa sampai saat ini dan masih dikembangkan oleh para kolonialis kristen dan yahudi dalam menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan persatuannya. Hal inilah yang menadasari penulis untuk menuliskan      makalah ini.

B. Rumusan Masalah
            Berdasarkan latae belakang penulisan makalh di atas, maka penulis dapat merumuskan beberapa permasalahn sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan aliran Mu’tazilah?
2.      Bagaimana sejarah munculnya Mu'tazilah?
3.      Bagaimana proses perkembangan aliran Mu’tazillah?
4.      Apa sebab penamaan aliran ini menjadi aliran Mu’tazilah?
5.      Apa asas dan landasan mu’tazilah ?
6.      Apa saja doktrin-doktrin aliran Mu’tailah ?
A.    Tujuan Penulisan
      Adapun tujuan penulisan makalah ini berdasarkan rumusann masalah di atas, yaitu untuk menambah pengetahuan dan wawasan pembaca mengenai aliran Mu’tazilah serta segala aspek yang berkaitan dengannya.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Mu'tazilah
1.      Secara Etimologi
      Mu'tazilah atau I'tizaal adalah kata yang dalam bahasa Arab menunjukkan kesendirian, kelemahan dan keterputusan,
2.      Secara Terminologi Para Ulama
      Sedangkan sebagian ulama mendefinisikannya sebagai satu kelompok dari Qadiriyah yang menyelisihi pendapat umat Islam dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Waashil bin Atho' dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al Bashry.
      Dan kalau kita melihat kepada definisi secara etimologi dan terminologi didapatkan adanya hubungan yang sangat erat dan kuat, karena kelompok ini berjalan menyelisihi jalannya umat Islam khususnya Ahli Sunnah dan bersendiri dengan konsep akalnya yang khusus sehingga Akhirnya membuat mereka menjadi lemah, tersembunyi dan terputus.[1]
B.     Sejarah Munculnya Mu'tazilah
      Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan mati pada tahun 131 H. Di dalam menyebarkan bid’ahnya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah. (Lihat Firaq Mu’ashirah, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Awaji, 2/821, Siyar A’lam An-Nubala, karya Adz-Dzahabi, 5/464-465, dan Al-Milal Wan-Nihal, karya Asy-Syihristani hal. 46-48)
            Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. Hingga kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah -pen). (Al-Milal Wan-Nihal, hal.29).[2]
            Oleh karena itu, tidaklah aneh bila kaidah nomor satu mereka berbunyi: “Akal lebih didahulukan daripada syariat (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’, pen) dan akal-lah sebagai kata pemutus dalam segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal –menurut persangkaan mereka– maka sungguh syariat tersebut harus dibuang atau ditakwil. (Lihat kata pengantar kitab Al-Intishar Firraddi ‘alal Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 1/65)
(Ini merupakan kaidah yang batil, karena kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah akan perintahkan kita untuk merujuk kepadanya ketika terjadi perselisihan. Namun kenyataannya Allah perintahkan kita untuk merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana yang terdapat dalam Surat An-Nisa: 59. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah tidak akan mengutus para Rasul pada tiap-tiap umat dalam rangka membimbing mereka menuju jalan yang benar sebagaimana yang terdapat dalam An-Nahl: 36. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka akal siapakah yang dijadikan sebagai tolok ukur?! Dan banyak hujjah-hujjah lain yang menunjukkan batilnya kaidah ini. Untuk lebih rincinya lihat kitab Dar’u Ta’arrudhil ‘Aqli wan Naqli, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan kitab Ash-Shawa’iq Al-Mursalah ‘Alal-Jahmiyyatil-Mu’aththilah, karya Al-Imam Ibnul-Qayyim.).
C.     Perkembangan Mu’tazillah
Mu'tazilah berkembang sebagai satu pemikiran yang ditegakkan diatas pandangan bahwa akal adalah sumber kebenaran pada awal abad ke dua hijriyah tepatnya tahun 105 atau 110 H di akhir-akhir kekuasaan Bani Umayyah di kota bashroh di bawah pimpinan Waashil bin Atho' Al Ghozaal. Kelompok atau sekte ini berkembang dan terpengaruh oleh bermacam-macam aliran pemikiran yang berkembang dimasa itu sehingga didapatkan padanya kebanyakan pendapat mereka mengambil dari pendapat aliran pemikiran Jahmiyah, kemudian berkembang dari kota Bashroh yang merupakan tempat tinggalnya Al Hasan Al Bashry, lalu menyebar dan merebak ke kota Kufah dan Baghdad,akan tetapi pada masa ini mu'tazilah menghadapi tekanan yang sangat berat dari para pemimpin bani umayah yang membuat aliran ini sulit berkembang dan sangat terhambat penyebarannya sehingga hal itu membuat mereka sangat membenci Bani Umayah karena penentangan mereka terhadap mazhab (aliran) mu'tazilah dan i'tikad mereka dalam permasalahan qadar bahkan merekapun tidak menyukai dan tidak meridhoi seorangpun dari pemimpin Bani Umayah kecuali Yazid bin Al Waalid bin Abdul Malik bin Marwan (wafat tahun 126 H ) karena dia mengikuti dan memeluk mazhab mereka.[3]
            Dalam hal ini berkata Al Mas'udy :Yazid bin Al Waali telah bermazhab dengan mazhab Mu'tazilah dan pendapat mereka tentang lima pokok (ajaran mereka) yaitu At Tauhid, Al Adl, Al Wa'iid, Al Asma wal Ahkam -yaitu pendapat Manzilah baina Al Manzilatain -dan amar ma'ruf nahi mungkar dan berkata lagi:(sehinga Mu'tazilah mengedepankan Yazid bin Al Waalid dalam sisi keagamaan dari Umar bin Abdul Aziz.
            Permusuhan dan perseteruan antara Bani Umayah dengan Mu'tazlah ini berlangsung terus menerus dengan keras sampai jatuhnya kekuasaan Bani Umayyah dan tegaknya kekuasaan Bani Abasiyah, kemudian bersamaan dengan berkembangnya kekuasaan Bani Abasiyah, berkembanglah Mu'tazilah dengan mulainya mereka mengirim para dai dan delegasi-delegasi ke seluruh negeri Islam untuk mendakwahkan mazhab dan i'tikad mereka kepada kaum muslimin dan diantara yang memegang peran besar dan penting dalam hal ini adalah Waashil bn Atho'. Dan kesempatan ini mereka peroleh karena mazhab mereka dengan syiar dan manhajnya memberikan dukungan yang besar dalam mengokohkan dan menguatkan kekuasaan Bani Abasiyah khususnya pada zaman Al Ma'mun yang condong mengikut aqidah mereka, apalagi ditambah dengan persetujuan Al Ma'mun terhadap pendapat mereka tentang Al Quran itu Makhluk sampai-sampai Al Ma'mun mengerahkan seluruh kekuatan bersenjatanya untuk memaksa manusia untuk mengikuti dan meyakini kebenaran pendapat tersebut.
            Lalu beliau mengirimkan mandat kepada para pembantunya di Baghdad pada tahun 218 H untuk menguji para hakim, Muhadditsin dan seluruh Ulama dengan pendapat bahwa Al Qur'an adalah makhluk, demikian juga beliau memerintahkan para hakim untuk tidak menerima persaksian orang yang tidak berpendapat dengan pendapat tersebut dan menghukum mereka, maka terjadilah fitnah yang sangat besar. Diantara para ulama yang mendapatkan ujian dan cobaan ini adalah Al imam Ahmad bin Hambal -dan kisah beliau ini sangat terkenal-, akan tetapi beliau tetap teguh dengan aqidah dan pendapat Ahli Sunnah wal Jamaah tentang hal tersebut yaitu bahwa Al Qur'an adalah kalamullah dan bukan makhluk.[4]
            Mu'tazilah terus mendapat perlindungan dan bantuan dari para penguasa Bani Abasiyah dari zaman Al Ma'mun sampai zaman Al Mutawakil dan pada zaman tersebut sekte mu'tazilah dijadikan mazhab dan aqidah resmi negara, satu faktor yang membuat mereka mampu menyebarkan kekuasaan mereka dan mampu menekan setiap orang yang menyelisihi mereka, lalu mereka menjadikan padang sebagai ganti dari hujjah dan dalil. Maka berkembanglah aliran ini di negeri-negeri muslimin dengan bantuan dari sebagian pemimpin-pemimpin Bani Abasyah.
            Kemudian mereka terpacah menjadi dua cabang:
1.  Cabang Bashroh, yang terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Waashil bin Atho', Amr bin Ubaiid, Utsman Ath Thowil, Abu Al Hudzail Al 'Alaaf, Abu Bakr Al Ashom, Ma’mar bin Ubaad, An Nadzom, Asy Syahaam, Al Jaahidz, Abu Ali Aljubaa'i, Abu Hasyim Al Jubaa'i dan yang lain-lainnya.
2.  Cabang Baghdad, yang terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Bisyr bin Mu'tamir, Abu Musa Al Mardaar, Ahmad bin Abii Duaad, Tsumamah bin Al Asyras, Ja'far bin Harb, Ja'far bin Mubasyir, Al Iskaafy, Isa bin Al Haitsam Al Khayaath, Abul Qasim Al Balkhy Al Ka'by dan yang lain-lainnya.
            Sebenarnya faktor yang mendasar yang mendorong mereka sibuk dan memperdalam ilmu kalam adalah untuk membalas hujjah dengan hujjah dan untuk menghancurkan hujjah-hujjah para musuh Islam serta untuk membantah semua tuduhan dan kebohongan mereka sehingga akhirnya mereka berlebih-lebihan dalam mengutamakan dan mengedepankan ilmu ini atas semua ilmu yang selainnya,lalu mereka menjadikannya sebagai satu-satunya cara untuk menentukan adanya Allah dan Rububiyah-Nya, hujah-hujah kenabian dan untuk mengenal sunnah dari bid'ah.

            Walaupun mu'tazilah telah melakukan usaha yang besar dalam menekuni dan menyelami kehidupan akal sejak abad ke dua sampai ke lima hijriyah, akan tetapi tidak mendapatkan keberhasilan dan kesuksesan bahkan akhirnya mengalami kemunduran dan kegagalan dalam bidang tersebut. Hal ini tampaknya terjadi karena mereka tidak mengambil sumber manhaj mereka dari Al Qur'an dan As Sunnah, bahkan mereka mendasarinya dengan bersandar kepada akal semata yang telah dirusak oleh pemikran filsafat yunani dan bermacam-macam aliran pemikiran. Sebab setiap pemikiran yang tidak diterangi dengan manhaj kitabullah dan Sunnah Nabi dan jalannya para Salaf Ash Sholeh maka akhirnya adalah kehancuran dan kesesatan walaupun demikian hebatnya, karena mengambil sumber dan penerangan dari Al Kitab dan Sunnah akan menerangi jalannya akal sehingga tidak salah dan tersesat dan berjalan dengan jalannya para salafus sholeh adalah pengaman dari kesesatan dan penyimpangan karena mereka telah mengambil sumber mazhabnya dari sumber-sumber yang murni dari Al Kitab yang tidak terdapat padanya satu kebathilanpun dan dari As Sunnah yang barang siapa yang berpegang teguh dengannya berarti telah berada pada hujjah yang terang benderang.[5]
            Berkata Shodruuddin Ibnu Abil Izzi Al Hanafy dalam mengomentari ahlil kalam yang menta'wil nash-nash Al Kitab dan As sunnah dengan akal-akal mereka,diantaranaya Mu'tazilah:dan sebab kesesatan mereka adalah berpalingnya mereka dari meneliti kalamullah dan kalam Rasulillah dan menyibukkah diri dengan kalam Yunani dan bermacam-macam aliran pemikiran yang ada.
D.    Sebab penamaannya.
     Para Ulama telah berselisih tentang sebab penamaan kelompok (aliran) ini dengan nama Mu'tazilah menjadi beberapa pendapat:
1.      Berpendapat bahwa sebab penamaannya adalah karena berpisahnya Waashil bin Atho' dan Amr bin Ubaid dari majlis dan halaqohnya Al Hasan Al Bashry. Hal ini didasarkan oleh riwayat yang mengisahkan bahwa ada seseorang yang menemui Al Hasan Al Bashry, lalu berkata:wahai imam agama...telah muncul pada zaman kita ini satu jamaah yang mengkafirkan pelaku dosa besar dan dosa besar menurut mereka adalah kekafran yang mengeluarkan pelakunya dari agama, dan mereka adalah Al Wa'iidiyah khowarij dan jamaah yang menangguhkan pelaku dosa besar, dan dosa besar menurut mereka tidak mengganggu (merusak) iman, bahkan amalan menurut mazhab mereka bukan termasuk rukun iman, dan iman tidak rusak oleh kemaksiatan, sebagaiman tidak bermanfaat ketaatan bersama kekufuran, dan mereka adalah murjiah umat ini, maka bagaimana engkau memberikan hukum bagi kami dalam hal itu secara i'tikad? Lalu Al Hasan merenung sebentar tentang hal itu, dan sebelum beliau menjawab, berkata Waashl bin Atho': saya tidak akan mengatakan bahwa pelaku dosa besar itu mu'min dan tidak juga kafir, akan tetapi dia di dalam satu kedudukan diantara dua kedudukan tersebut (manzlah baina manzilatain), tidak mu'min dan tidak kafir. Kemudian dia berdiri dan memisahkan diri ke satu tiang dari tiang-tiang masjid menjelaskan jawabannya kepada para murid Al Hasan, lalu berkata Al Hasan : telah berpisah (i'tizal) dari kita Washil, dan Amr bin Ubaid mengikuti langkah Waashil, maka kedua orang ini beserta pengikutnya dinamakan Mu'tazilah.
Berkata A Qodhi Abdul Jabaar Al Mu'tazily dalam menafsirkan sebab penamaan mereka ini:telah terjadi dialog antara Waashil bin Atho' dan Amr bin Ubaid dalam permasalahan ini -permasalahan pelaku dosa besar-lalu Amr bin Ubaid kembali ke mazhabnya dan meninggalkan halaqoh Al Hasan Al Bashry dan memisahkan diri, lalu mereka menamainya Mu'tazily, dan ini adalah asal penggelaran Ahlul Adil dengan Mu'tazilah.
2.      Berpendapat bahwa mereka dinamai demikian karena ucapan imam Qatadah kepada Utsman Ath Thowil: siapa yang menghalangimu dari kami? apakah mereka Mu'tazilah yang telah menghalangimu dari kami? Aku jawab:ya.
Berkata Ibnu Abl Izzy : dan mu'tazilah adalah Amr bin Ubaid dan Waashil bin Atho' Al Ghozaal serta para pengikutnya, mereka dinamakan demikian karena mereka memisahkan diri dari Al Jamaah setelah wafatnya Al Hasan Al Bashry di awal-awal abad kedua dan mereka itu bermajlis sendiri dan terpisah, sehngga berkata Qotadah dan yang lainnya: merekalah Mu'tazilah.
E.      Asas dan Landasan Mu’tazilah
            Mu’tazilah mempunyai asas dan landasan yang selalu dipegang erat oleh mereka, bahkan di atasnya-lah prinsip-prinsip mereka dibangun. Asas dan landasan itu mereka sebut dengan Al-Ushulul-Khomsah (lima landasan pokok). Adapun rinciannya sebagai berikut:
1.      At-Tauhid
            Yang mereka maksud dengan At-Tauhid adalah mengingkari dan meniadakan sifat-sifat Allah, dengan dalil bahwa menetapkan sifat-sifat tersebut berarti telah menetapkan untuk masing-masingnya tuhan, dan ini suatu kesyirikan kepada Allah, menurut mereka (Firaq Mu’ashirah, 2/832). Oleh karena itu mereka menamakan diri dengan Ahlut-Tauhid atau Al-Munazihuuna lillah (orang-orang yang mensucikan Allah).
Bantahan:
      
     Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Dalil ini sangat lemah, bahkan menjadi runtuh dengan adanya dalil sam’i (naqli) dan ‘aqli yang menerangkan tentang kebatilannya. Adapun  mensifati dirinya sendiri denga    n sifat-sifatIdalil sam’i: bahwa Allah  Iyang begitu banyak, padahal Dia Dzat Yang MahaTunggal. Allah  berfirman:
 ¨bÎ) |·ôÜt/ y7În/u îƒÏt±s9 ÇÊËÈ   ¼çm¯RÎ) uqèd äÏö7ムßÏèãƒur ÇÊÌÈ   uqèdur âqàÿtóø9$# ߊrߊuqø9$# ÇÊÍÈ   rèŒ Ä¸öyèø9$# ߊÉfpRùQ$# ÇÊÎÈ   ×A$¨èsù $yJÏj9 ߃̍ムÇÊÏÈ   

"Sesungguhnya adzab Rabbmu sangat dahsyat. Sesungguhnya Dialah yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali), Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih, Yang mempunyai ‘Arsy lagi Maha Mulia, Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Buruuj: 12-16)
            Adapun dalil ‘aqli: bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu yang terpisah dari yang disifati, sehingga ketika sifat-sifat tersebut ditetapkan maka tidak menunjukkan bahwa yang disifati itu lebih dari satu, bahkan ia termasuk dari sekian sifat yang dimiliki oleh dzat yang disifati tersebut. Dan segala sesuatu yang ada ini pasti mempunyai berbagai macam sifat … “ (Al-Qawa’idul-Mutsla, hal. 10-11)
2.   Al-‘Adl (keadilan)
            Yang mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu datang dari Allah, sedangkan kejelekan datang dari makhluk dan berada di luar kehendak Allah. Dalilnya adalah firman Allah:
وَاللهُ لاَ يُحِبُّ الْفَسَادَ
“Dan Allah tidak suka terhadap kerusakan.” (Al-Baqarah: 205)
وَلاَ يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ
“Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya.” (Az-Zumar: 7)
            Menurut mereka kesukaan dan keinginan merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga mustahil bila Allah tidak suka terhadap kejelekan, kemudian menghendaki atau menginginkan untuk terjadi (mentaqdirkannya). Oleh karena itu, mereka menamakan diri dengan Ahlul-‘Adl atau Al-‘Adliyyah. Bantahan:
Asy-Syaikh Yahya bin Abil-Khair Al-‘Imrani t berkata: “Kita tidak sepakat bahwa kesukaan dan keinginan itu satu. Dasarnya adalah firman Allah
فَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْكَافِرِين
“Maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Ali ‘Imran: 32)
            Padahal kita semua tahu bahwa Allah-lah yang menginginkan adanya orang-orang kafir tersebut dan Dialah yang menciptakan mereka. (Al-Intishar Firraddi ‘Alal- Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 1/315)
Terlebih lagi Allah telah menyatakan bahwasanya apa yang dikehendaki Idan dikerjakan hamba tidak lepas dari kehendak dan ciptaan-Nya. Allah  berfirman:
وَمَا تَشَآءُونَ إِلاَّ أَنْ يَشَآءَ اللهُ
“Dan kalian tidak akan mampu menghendaki (jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.” (Al-Insan: 30)
3.   Al-Wa’du Wal-Wa’id
            Yang mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi Allah I untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah.
            Bantahan, Seseorang yang beramal shalih (sekecil apapun) akan mendapatkan pahalanya (seperti yang dijanjikan Allah) sebagai karunia dan nikmat dari-Nya. Dan tidaklah pantas bagi makhluk untuk mewajibkan yang , karena termasuk pelecehan terhadapIdemikian itu kepada Allah  Rububiyyah-Nya dan sebagai bentuk keraguan terhadap firman-Nya:
إِنَّ اللهَ لاَ يُخْلِفُ الِمْيَعادَ
“Sesungguhnya Allah tidak akan menyelisihi janji (-Nya).” (Ali ‘Imran: 9)
            Bahkan Allah mewajibkan bagi diri-Nya sendiri sebagai keutamaan untuk para hamba-Nya. Adapun orang-orang yang mendapatkan ancaman dari Allah karena dosa besarnya (di bawah syirik) dan meninggal dunia dalam keadaan seperti itu, maka sesuai dengan kehendak Allah. Dia Maha berhak untuk melaksanakan ancaman-Nya dan Maha berhak pula untuk tidak melaksanakannya, karena Dia telah mensifati diri-Nya dengan Maha Pemaaf, Maha Pemurah, Maha Pengampun, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Terlebih lagi Dia telah menyatakan:
إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذاَلِكَ لِمَنْ يَشَآء
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik (bila pelakunya meninggal dunia belum bertaubat darinya) dan mengampuni dosa yang di bawah (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa: 48) (Diringkas dari kitab Al-Intishar Firraddi ‘Alal-Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 3/676, dengan beberapa tambahan).
            Adapun pernyataan mereka bahwa pelaku dosa besar (di bawah syirik) kekal abadi di An-Naar, maka sangat bertentangan dengan firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat 48 di atas, dan juga bertentangan dengan sabda Rasulullah r yang artinya: “Telah datang Jibril kepadaku dengan suatu kabar gembira, bahwasanya siapa saja dari umatku yang meninggal dunia dalam keadaan tidak syirik kepada Allah niscaya akan masuk ke dalam al-jannah.” Aku (Abu Dzar) berkata: “Walaupun berzina dan mencuri?” Beliau menjawab: “Walaupun berzina dan mencuri.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Dzar Al-Ghifari) Meskipun mungkin mereka masuk neraka lebih dahulu (ed).
4.   Suatu keadaan di antara dua keadaan
            Yang mereka maksud adalah, bahwasanya keimanan itu satu dan tidak bertingkat-tingkat, sehingga ketika seseorang melakukan dosa besar (walaupun di bawah syirik) maka telah keluar dari keimanan, namun tidak kafir (di dunia). Sehingga ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan (antara keimanan dan kekafiran).
            Bantahannya bahwasanya keimanan itu bertingkat-tingkat, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan, sebagaimana firman Allah :
وَ إِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُه زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا
“Dan jika dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, maka bertambahlah keimanan mereka.” (Al-Anfal: 2)
           

Dan juga firman-Nya:
#sŒÎ)ur !$tB ôMs9ÌRé& ×ouqß Oßg÷YÏJsù `¨B ãAqà)tƒ öNà6ƒr& çmø?yŠ#y ÿ¾ÍnÉ»yd $YZ»yJƒÎ) 4 $¨Br'sù šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNßgø?yŠ#tsù $YZ»yJƒÎ) óOèdur tbrãÏ±ö;tGó¡o ÇÊËÍÈ   $¨Br&ur šúïÏ%©!$# Îû OÎgÎ/qè=è% Ðßt¨B öNåkøEyŠ#tsù $²¡ô_Í 4n<Î) óOÎgÅ¡ô_Í (#qè?$tBur öNèdur šcrãÏÿ»Ÿ2 ÇÊËÎÈ  

“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.”                         (At-Taubah: 124-125)
            Rasulullah saw. bersabda: “Keimanan itu (mempunyai) enam puluh sekian ataurRasulullah  tujuh puluh sekian cabang/tingkat, yang paling utama ucapan “Laa ilaaha illallah”, dan yang paling rendah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan sifat malu itu cabang dari iman.” (HR Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah )
5.      Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
            Di antara kandungan landasan ini adalah wajibnya memberontak terhadap pemerintah (muslim) yang zalim.
            Bantahan, memberontak terhadap pemerintah muslim yang zalim merupakan prinsip sesat yang bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Allah  berfirman:
يَآءَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِى الأَمْرِ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri (pimpinan) di antara kalian.” (An-Nisa: 59)
            Rasulullah saw. bersabda: “Akan datang setelahku para pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak menjalankan sunnahku, dan sungguh akan ada di antara mereka yang berhati setan namun bertubuh manusia.” (Hudzaifah berkata): “Wahai Rasulullah, apa yang kuperbuat jika aku mendapati mereka?” Beliau menjawab: “Hendaknya engkau mendengar (perintahnya) dan menaatinya, walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu diambil.” (HR. Muslim, dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman) [Untuk lebih rincinya, lihat majalah Asy–Syari’ah edisi Menyikapi Kejahatan Penguasa]
Sesatkah Mu’tazilah?
            Dari lima landasan pokok mereka yang batil dan bertentangan dengan Al Qur’an dan As-Sunnah itu, sudah cukup sebagai bukti tentang kesesatan mereka. Lalu bagaimana bila ditambah dengan prinsip-prinsip sesat lainnya yang mereka punyai, seperti:
1.   Mendahulukan akal daripada Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ Ulama.
2.   Mengingkari adzab kubur, syafa’at Rasulullah untuk para pelaku dosa, ru’yatullah (dilihatnya Allah) pada hari kiamat, timbangan amal di hari kiamat, Ash-Shirath (jembatan yang diletakkan di antara dua tepi Jahannam), telaga Rasulullah di padang Mahsyar, keluarnya Dajjal di akhir zaman, telah diciptakannya Al-Jannah dan An-Naar (saat ini), turunnya Allah ke langit dunia setiap malam, hadits ahad (selain mutawatir), dan lain sebagainya.
3.   Vonis mereka terhadap salah satu dari dua kelompok yang terlibat dalam pertempuran Jamal dan Shiffin (dari kalangan shahabat dan tabi’in), bahwa mereka adalah orang-orang fasiq (pelaku dosa besar) dan tidak diterima persaksiannya. Dan engkau sudah tahu prinsip mereka tentang pelaku dosa besar, di dunia tidak mukmin dan juga tidak kafir, sedangkan di akhirat kekal abadi di dalam an-naar.
4.   Meniadakan sifat-sifat Allah, dengan alasan bahwa menetapkannya merupakan kesyirikan. Namun ternyata mereka mentakwil sifat Kalam (berbicara) bagi Allah dengan sifat Menciptakan, sehingga mereka terjerumus ke dalam keyakinan kufur bahwa Al-Qur’an itu makhluq, bukan Kalamullah. Demikian pula mereka mentakwil sifat Istiwaa’ Allah dengan sifat Istilaa’ (menguasai).
            Betapa nyata dan jelasnya kesesatan kelompok pemuja akal ini. Oleh karena itu Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ari (yang sebelumnya sebagai tokoh Mu’tazilah) setelah mengetahui kesesatan mereka yang nyata, berdiri di masjid pada hari Jum’at untuk mengumumkan baraa’ (berlepas diri) dari madzhab Mu’tazilah. Beliau melepas pakaian yang dikenakannya seraya mengatakan: “Aku lepas madzhab Mu’tazilah sebagaimana aku melepas pakaianku ini.” Dan ketika Allah beri karunia beliau hidayah untuk menapak manhaj Ahlussunnah Wal Jamaah, maka beliau tulis sebuah kitab bantahan untuk Mu’tazilah dan kelompok sesat lainnya dengan judul Al-Ibanah ‘an Ushulid-Diyanah. (Diringkas dari kitab Lamhah ‘Anil-Firaq Adh-Dhallah, hal. 44-45).
F. Doktrin-doktrin Mu'tazilah
            Sebenarnya banyak sekali pendapat dan pandangan Mu’tazilah yang berkembang diluar pertanyaan-pertanyaan yang pernah diajukan dimasa itu, mereka bahkan mulai merambah ke banyak persoalan penting lainnya seperti : persoalan sosial, antropologi, fisika dan bahkan filsafat.
            Dan dari sekian banyak persoalan yang menjadi perhatian mereka itu, nampaknya ada lima dokrin utama ( sebagaimana yang mereka akui sendiri ) yang menjadi ajaran atau prinsip utama mereka, yaitu :
1.      Tauhid ,Tidak adanya pluralitas dan sifat.
2.      Keadilan Ilahi,Allah itu maha adil, maka dia tidak akan menindas makhluk-makhluknya.
3.      Allah memberi balasan (Al wa’d wal wa’id), Allah memberikan pahala bagi yang taat dan memberikan hukuman bagi yang durhaka, dan tak ada yang samar dalam persoalan ini. Karena itu Allah akan memberikan ampunan-Nya jika sipendosa bertobat, tak mungkin ada ampunan tanpa bertobat.
4.      Sebuah posisi diantara dua posisi (Manzilah wal manzilatain).,Orang fasik itu bukanlah orang beriman (mukmin), juga bukan orang kafir.
5.      Menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran ( Amar ma’ruf nahi munkar)
            Pandangan Mu’tazilah mengenai kewajiban islam ini, pertama adalah bahwa syariat bukanlah satu-satunya jalan untuk mengidentifikasi apakah sesuatu itu baik atau buruk, yang mana yang amar dan yang mana yang munkar. Akal manusia, setidak-tidaknya sebagian dapat mengidentifikasi sendiri yang manakah yang baik dan mana yang buruk, serta yang sebelah mana yang ma’ruf dan sebelah mananya yang munkar.
            Kedua kewajiban ini dapat dikerjakan atau ditunaikan oleh siapa saja tanpa memerlukan imam. Tugas imam, atau imam  hanya diperlukan dalam mengelola persoalan-persoalan yang berhubungan dengan kenegaraan dan pemerintahan, seperti mengimplementasikan hukum yang sudah ditentukan, mengatur batas-batasan suatu negara dan lain-lain yang terkait dengan pemerintahan islam.



BAB III

PENUTUP
A.    Kesimpulan
           Secara harfiah Mu’tazilah adalah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah. Aliran Mu’taziliyah (memisahkan diri) muncul di basra, irak pada abad 2 H. Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atha (700-750 M) berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Wasil bin Atha berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan kafir yang berarti ia fasik
Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar aliran Mu’tazilah yang menolak pandangan-pandangan kedua aliran di atas. Bagi Mu’tazilah orang yang berdosa besar tidaklah kafir, tetapi bukan pula mukmin. Mereka menyebut orang demikian dengan istilah al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi). Aliran ini lebih bersifat rasional bahkan liberal dalam beragama.
Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional dan cenderung liberal ini mendapat tantangan keras dari kelompok tradisonal Islam, terutama golongan Hambali, pengikut mazhab Ibn Hambal. Sepeninggal al-Ma’mun pada masa Dinasti Abbasiyah tahun 833 M., syi’ar Mu’tazilah berkurang, bahkan berujung pada dibatalkannya sebagai mazhab resmi negara oleh Khalifah al-Mutawwakil pada tahun 856 M.
Perlawanan terhadap Mu’tazilah pun tetap berlangsung. Mereka (yang menentang) kemudian membentuk aliran teologi tradisional yang digagas oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (935 M) yang semula seorangMu’tazilah.Aliraninilebihdikenaldenganal-Asy’ariah.
Di Samarkand muncul pula penentang Mu’tazilah yang dimotori oleh Abu Mansyur Muhammad al-Maturidi (w.944 M). aliran ini dikenal dengan teologi al-Maturidiah. Aliran ini tidak setradisional al-Asy’ariahtetapijugatidakseliberalMu’tazilah.
B. B. Saran-saran
  Penulisan makalah ini tentulah banyak sekali kekurangannya, sehingga diharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun baik dari dosen mata kuliah aqidah/Ilmu kalam maupun dari rekan-rekan mahasiswa.


DAFTAR PUSTAKA

Harun Nasution, Islam rasional; Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan, 1996,
Sayyed Hussein Nasr, A Young Muslim’s Guide to The Modern World, diterjemahkan oleh Hasti Tarekat dengan judul Menjelajah Dunia Modern; Bimbingan Kaum Muda Muslim, Bandung: Mizan, 1995,
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Tabariy, Al-Tarikh al-Tabary, Bairut: Dâr al-Fikr, 1987,
Ahmad Amin, Fajr al-Islam, Dar al-Kutub, 1975, Cyrill Glosse, The Concise Ensyclopedia of Islam diterjemahkan oleh Ghufran A. Mas’adi (ed) dengan judul, Ensiklopedi Islam Ringkas, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999,
 Muanawir Syazali, Islam dan tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI. Press, 1993.


[1] Harun Nasution, Islam rasional; Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan, 1996,

[2] Sayyed Hussein Nasr, A Young Muslim’s Guide to The Modern World, diterjemahkan oleh Hasti Tarekat dengan judul Menjelajah Dunia Modern
[3] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Tabariy, Al-Tarikh al-Tabary, Bairut: Dâr al-Fikr, 1987,

[4] Ahmad Amin, Fajr al-Islam, Dar al-Kutub, 1975, Cyrill Glosse, The Concise Ensyclopedia of Islam diterjemahkan oleh Ghufran A. Mas’adi (ed) dengan judul, Ensiklopedi Islam Ringkas, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999,

[5] Muanawir Syazali, Islam dan tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI. Press, 1993.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar