By: MARDIANTO
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbicara perpecahan umat Islam tidak ada
habis-habisnya, karena terus menerus terjadi perpecahan dan penyempalan mulai dengan
munculnya khowarij dan syiah kemudian muncullah satu kelompok lain yang
berkedok dan berlindung dibawah syiar akal dan kebebasan berfikir. satu syiar
yang menipu dan mengelabuhi orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam
telah menempatkan akal pada porsi yang benar, sehingga banyak kaum muslimin
yang terpuruk dan terjerumus masuk pemikiran kelompok ini akhirnya terpecahlah
dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah diajarkan Rasulullah
dan para shahabat-shahabatnya.
Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang
muslim untuk menasehati saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran
kelompok ini yaitu kelompok Mu'tazilah yang pengaruh penyimpangannya masih
sangat terasa sampai saat ini dan masih dikembangkan oleh para kolonialis
kristen dan yahudi dalam menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan persatuannya.
Hal inilah yang menadasari penulis untuk menuliskan makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latae belakang penulisan makalh di atas, maka penulis dapat merumuskan beberapa
permasalahn sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan aliran
Mu’tazilah?
2. Bagaimana sejarah munculnya Mu'tazilah?
3. Bagaimana proses perkembangan aliran Mu’tazillah?
4. Apa sebab penamaan aliran ini
menjadi aliran Mu’tazilah?
5. Apa asas dan landasan mu’tazilah ?
6. Apa saja doktrin-doktrin aliran Mu’tailah ?
A. Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan
penulisan makalah ini berdasarkan rumusann masalah di atas, yaitu untuk
menambah pengetahuan dan wawasan pembaca mengenai aliran Mu’tazilah serta segala
aspek yang berkaitan dengannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Mu'tazilah
1. Secara
Etimologi
Mu'tazilah
atau I'tizaal adalah kata yang dalam bahasa Arab menunjukkan kesendirian,
kelemahan dan keterputusan,
2.
Secara Terminologi Para Ulama
Sedangkan
sebagian ulama mendefinisikannya sebagai satu kelompok dari Qadiriyah yang
menyelisihi pendapat umat Islam dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang
dipimpin oleh Waashil bin Atho' dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al
Bashry.
Dan
kalau kita melihat kepada definisi secara etimologi dan terminologi didapatkan
adanya hubungan yang sangat erat dan kuat, karena kelompok ini berjalan
menyelisihi jalannya umat Islam khususnya Ahli Sunnah dan bersendiri dengan
konsep akalnya yang khusus sehingga Akhirnya membuat mereka menjadi lemah,
tersembunyi dan terputus.[1]
B. Sejarah
Munculnya Mu'tazilah
Kelompok
pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara
tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan
dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah
mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi
Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan mati pada tahun 131 H.
Di dalam menyebarkan bid’ahnya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang
gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu
pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah. (Lihat Firaq
Mu’ashirah, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Awaji, 2/821, Siyar A’lam An-Nubala,
karya Adz-Dzahabi, 5/464-465, dan Al-Milal Wan-Nihal, karya Asy-Syihristani
hal. 46-48)
Seiring dengan
bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak
sektenya. Hingga kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat
yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj
mereka benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada
akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah -pen). (Al-Milal
Wan-Nihal, hal.29).[2]
Oleh karena itu, tidaklah aneh bila kaidah
nomor satu mereka berbunyi: “Akal lebih didahulukan daripada syariat (Al
Qur’an, As Sunnah dan Ijma’, pen) dan akal-lah sebagai kata pemutus dalam
segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal –menurut persangkaan mereka–
maka sungguh syariat tersebut harus dibuang atau ditakwil. (Lihat kata
pengantar kitab Al-Intishar Firraddi ‘alal Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar,
1/65)
(Ini merupakan kaidah yang batil, karena kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah akan perintahkan kita untuk merujuk kepadanya ketika terjadi perselisihan. Namun kenyataannya Allah perintahkan kita untuk merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana yang terdapat dalam Surat An-Nisa: 59. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah tidak akan mengutus para Rasul pada tiap-tiap umat dalam rangka membimbing mereka menuju jalan yang benar sebagaimana yang terdapat dalam An-Nahl: 36. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka akal siapakah yang dijadikan sebagai tolok ukur?! Dan banyak hujjah-hujjah lain yang menunjukkan batilnya kaidah ini. Untuk lebih rincinya lihat kitab Dar’u Ta’arrudhil ‘Aqli wan Naqli, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan kitab Ash-Shawa’iq Al-Mursalah ‘Alal-Jahmiyyatil-Mu’aththilah, karya Al-Imam Ibnul-Qayyim.).
(Ini merupakan kaidah yang batil, karena kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah akan perintahkan kita untuk merujuk kepadanya ketika terjadi perselisihan. Namun kenyataannya Allah perintahkan kita untuk merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana yang terdapat dalam Surat An-Nisa: 59. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah tidak akan mengutus para Rasul pada tiap-tiap umat dalam rangka membimbing mereka menuju jalan yang benar sebagaimana yang terdapat dalam An-Nahl: 36. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka akal siapakah yang dijadikan sebagai tolok ukur?! Dan banyak hujjah-hujjah lain yang menunjukkan batilnya kaidah ini. Untuk lebih rincinya lihat kitab Dar’u Ta’arrudhil ‘Aqli wan Naqli, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan kitab Ash-Shawa’iq Al-Mursalah ‘Alal-Jahmiyyatil-Mu’aththilah, karya Al-Imam Ibnul-Qayyim.).
C. Perkembangan
Mu’tazillah
Mu'tazilah berkembang sebagai satu
pemikiran yang ditegakkan diatas pandangan bahwa akal adalah sumber kebenaran
pada awal abad ke dua hijriyah tepatnya tahun 105 atau 110 H di akhir-akhir
kekuasaan Bani Umayyah di kota bashroh di bawah pimpinan Waashil bin Atho' Al
Ghozaal. Kelompok atau sekte ini berkembang dan terpengaruh oleh bermacam-macam
aliran pemikiran yang berkembang dimasa itu sehingga didapatkan padanya
kebanyakan pendapat mereka mengambil dari pendapat aliran pemikiran Jahmiyah,
kemudian berkembang dari kota Bashroh yang merupakan tempat tinggalnya Al Hasan
Al Bashry, lalu menyebar dan merebak ke kota Kufah dan Baghdad,akan tetapi pada
masa ini mu'tazilah menghadapi tekanan yang sangat berat dari para pemimpin
bani umayah yang membuat aliran ini sulit berkembang dan sangat terhambat
penyebarannya sehingga hal itu membuat mereka sangat membenci Bani Umayah
karena penentangan mereka terhadap mazhab (aliran) mu'tazilah dan i'tikad
mereka dalam permasalahan qadar bahkan merekapun tidak menyukai dan tidak
meridhoi seorangpun dari pemimpin Bani Umayah kecuali Yazid bin Al Waalid bin
Abdul Malik bin Marwan (wafat tahun 126 H ) karena dia mengikuti dan memeluk
mazhab mereka.[3]
Dalam
hal ini berkata Al Mas'udy :Yazid bin Al Waali telah bermazhab dengan mazhab
Mu'tazilah dan pendapat mereka tentang lima pokok (ajaran mereka) yaitu At
Tauhid, Al Adl, Al Wa'iid, Al Asma wal Ahkam -yaitu pendapat Manzilah baina Al
Manzilatain -dan amar ma'ruf nahi mungkar dan berkata lagi:(sehinga Mu'tazilah
mengedepankan Yazid bin Al Waalid dalam sisi keagamaan dari Umar bin Abdul
Aziz.
Permusuhan
dan perseteruan antara Bani Umayah dengan Mu'tazlah ini berlangsung terus
menerus dengan keras sampai jatuhnya kekuasaan Bani Umayyah dan tegaknya
kekuasaan Bani Abasiyah, kemudian bersamaan dengan berkembangnya kekuasaan Bani
Abasiyah, berkembanglah Mu'tazilah dengan mulainya mereka mengirim para dai dan
delegasi-delegasi ke seluruh negeri Islam untuk mendakwahkan mazhab dan i'tikad
mereka kepada kaum muslimin dan diantara yang memegang peran besar dan penting
dalam hal ini adalah Waashil bn Atho'. Dan kesempatan ini mereka peroleh karena
mazhab mereka dengan syiar dan manhajnya memberikan dukungan yang besar dalam
mengokohkan dan menguatkan kekuasaan Bani Abasiyah khususnya pada zaman Al
Ma'mun yang condong mengikut aqidah mereka, apalagi ditambah dengan persetujuan
Al Ma'mun terhadap pendapat mereka tentang Al Quran itu Makhluk sampai-sampai
Al Ma'mun mengerahkan seluruh kekuatan bersenjatanya untuk memaksa manusia
untuk mengikuti dan meyakini kebenaran pendapat tersebut.
Lalu
beliau mengirimkan mandat kepada para pembantunya di Baghdad pada tahun 218 H
untuk menguji para hakim, Muhadditsin dan seluruh Ulama dengan pendapat bahwa
Al Qur'an adalah makhluk, demikian juga beliau memerintahkan para hakim untuk
tidak menerima persaksian orang yang tidak berpendapat dengan pendapat tersebut
dan menghukum mereka, maka terjadilah fitnah yang sangat besar. Diantara para
ulama yang mendapatkan ujian dan cobaan ini adalah Al imam Ahmad bin Hambal
-dan kisah beliau ini sangat terkenal-, akan tetapi beliau tetap teguh dengan
aqidah dan pendapat Ahli Sunnah wal Jamaah tentang hal tersebut yaitu bahwa Al
Qur'an adalah kalamullah dan bukan makhluk.[4]
Mu'tazilah
terus mendapat perlindungan dan bantuan dari para penguasa Bani Abasiyah dari
zaman Al Ma'mun sampai zaman Al Mutawakil dan pada zaman tersebut sekte
mu'tazilah dijadikan mazhab dan aqidah resmi negara, satu faktor yang membuat
mereka mampu menyebarkan kekuasaan mereka dan mampu menekan setiap orang yang
menyelisihi mereka, lalu mereka menjadikan padang sebagai ganti dari hujjah dan
dalil. Maka berkembanglah aliran ini di negeri-negeri muslimin
dengan bantuan dari sebagian pemimpin-pemimpin Bani Abasyah.
Kemudian
mereka terpacah menjadi dua cabang:
1. Cabang Bashroh, yang
terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Waashil bin Atho', Amr bin Ubaiid, Utsman
Ath Thowil, Abu Al Hudzail Al 'Alaaf, Abu Bakr Al Ashom, Ma’mar bin Ubaad, An
Nadzom, Asy Syahaam, Al Jaahidz, Abu Ali Aljubaa'i, Abu Hasyim Al Jubaa'i dan
yang lain-lainnya.
2. Cabang Baghdad, yang
terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Bisyr bin Mu'tamir, Abu Musa Al Mardaar,
Ahmad bin Abii Duaad, Tsumamah bin Al Asyras, Ja'far bin Harb, Ja'far bin
Mubasyir, Al Iskaafy, Isa bin Al Haitsam Al Khayaath, Abul Qasim Al Balkhy Al
Ka'by dan yang lain-lainnya.
Sebenarnya
faktor yang mendasar yang mendorong mereka sibuk dan memperdalam ilmu kalam
adalah untuk membalas hujjah dengan hujjah dan untuk menghancurkan
hujjah-hujjah para musuh Islam serta untuk membantah semua tuduhan dan
kebohongan mereka sehingga akhirnya mereka berlebih-lebihan dalam mengutamakan
dan mengedepankan ilmu ini atas semua ilmu yang selainnya,lalu mereka
menjadikannya sebagai satu-satunya cara untuk menentukan adanya Allah dan
Rububiyah-Nya, hujah-hujah kenabian dan untuk mengenal sunnah dari bid'ah.
Walaupun
mu'tazilah telah melakukan usaha yang besar dalam menekuni dan menyelami
kehidupan akal sejak abad ke dua sampai ke lima hijriyah, akan tetapi tidak
mendapatkan keberhasilan dan kesuksesan bahkan akhirnya mengalami kemunduran
dan kegagalan dalam bidang tersebut. Hal ini tampaknya terjadi karena mereka
tidak mengambil sumber manhaj mereka dari Al Qur'an dan As Sunnah, bahkan
mereka mendasarinya dengan bersandar kepada akal semata yang telah dirusak oleh
pemikran filsafat yunani dan bermacam-macam aliran pemikiran. Sebab setiap
pemikiran yang tidak diterangi dengan manhaj kitabullah dan Sunnah Nabi dan
jalannya para Salaf Ash Sholeh maka akhirnya adalah kehancuran dan kesesatan
walaupun demikian hebatnya, karena mengambil sumber dan penerangan dari Al
Kitab dan Sunnah akan menerangi jalannya akal sehingga tidak salah dan tersesat
dan berjalan dengan jalannya para salafus sholeh adalah pengaman dari kesesatan
dan penyimpangan karena mereka telah mengambil sumber mazhabnya dari
sumber-sumber yang murni dari Al Kitab yang tidak terdapat padanya satu
kebathilanpun dan dari As Sunnah yang barang siapa yang berpegang teguh
dengannya berarti telah berada pada hujjah yang terang benderang.[5]
Berkata
Shodruuddin Ibnu Abil Izzi Al Hanafy dalam mengomentari ahlil kalam yang
menta'wil nash-nash Al Kitab dan As sunnah dengan akal-akal mereka,diantaranaya
Mu'tazilah:dan sebab kesesatan mereka adalah berpalingnya mereka dari meneliti
kalamullah dan kalam Rasulillah dan menyibukkah diri dengan kalam Yunani dan
bermacam-macam aliran pemikiran yang ada.
D. Sebab
penamaannya.
Para Ulama telah berselisih
tentang sebab penamaan kelompok (aliran) ini dengan nama Mu'tazilah menjadi
beberapa pendapat:
1. Berpendapat
bahwa sebab penamaannya adalah karena berpisahnya Waashil bin Atho' dan Amr bin
Ubaid dari majlis dan halaqohnya Al Hasan Al Bashry. Hal ini didasarkan oleh
riwayat yang mengisahkan bahwa ada seseorang yang menemui Al Hasan Al Bashry,
lalu berkata:wahai imam agama...telah muncul pada zaman kita ini satu jamaah
yang mengkafirkan pelaku dosa besar dan dosa besar menurut mereka adalah
kekafran yang mengeluarkan pelakunya dari agama, dan mereka adalah Al
Wa'iidiyah khowarij dan jamaah yang menangguhkan pelaku dosa besar, dan dosa
besar menurut mereka tidak mengganggu (merusak) iman, bahkan amalan menurut
mazhab mereka bukan termasuk rukun iman, dan iman tidak rusak oleh kemaksiatan,
sebagaiman tidak bermanfaat ketaatan bersama kekufuran, dan mereka adalah
murjiah umat ini, maka bagaimana engkau memberikan hukum bagi kami dalam hal
itu secara i'tikad? Lalu Al Hasan merenung sebentar tentang hal itu, dan
sebelum beliau menjawab, berkata Waashl bin Atho': saya tidak akan mengatakan
bahwa pelaku dosa besar itu mu'min dan tidak juga kafir, akan tetapi dia di
dalam satu kedudukan diantara dua kedudukan tersebut (manzlah baina
manzilatain), tidak mu'min dan tidak kafir. Kemudian dia berdiri dan memisahkan
diri ke satu tiang dari tiang-tiang masjid menjelaskan jawabannya kepada para
murid Al Hasan, lalu berkata Al Hasan : telah berpisah (i'tizal) dari kita
Washil, dan Amr bin Ubaid mengikuti langkah Waashil, maka kedua orang ini
beserta pengikutnya dinamakan Mu'tazilah.
Berkata A Qodhi Abdul Jabaar Al
Mu'tazily dalam menafsirkan sebab penamaan mereka ini:telah terjadi dialog
antara Waashil bin Atho' dan Amr bin Ubaid dalam permasalahan ini -permasalahan
pelaku dosa besar-lalu Amr bin Ubaid kembali ke mazhabnya dan meninggalkan
halaqoh Al Hasan Al Bashry dan memisahkan diri, lalu mereka menamainya
Mu'tazily, dan ini adalah asal penggelaran Ahlul Adil dengan Mu'tazilah.
2. Berpendapat
bahwa mereka dinamai demikian karena ucapan imam Qatadah kepada Utsman Ath
Thowil: siapa yang menghalangimu dari kami? apakah mereka Mu'tazilah yang telah
menghalangimu dari kami? Aku jawab:ya.
Berkata Ibnu Abl Izzy : dan
mu'tazilah adalah Amr bin Ubaid dan Waashil bin Atho' Al Ghozaal serta para
pengikutnya, mereka dinamakan demikian karena mereka memisahkan diri dari Al
Jamaah setelah wafatnya Al Hasan Al Bashry di awal-awal abad kedua dan mereka
itu bermajlis sendiri dan terpisah, sehngga berkata Qotadah dan yang lainnya:
merekalah Mu'tazilah.
E.
Asas dan Landasan Mu’tazilah
Mu’tazilah
mempunyai asas dan landasan yang selalu dipegang erat oleh mereka, bahkan di
atasnya-lah prinsip-prinsip mereka dibangun. Asas dan landasan itu mereka sebut
dengan Al-Ushulul-Khomsah (lima landasan pokok). Adapun rinciannya sebagai
berikut:
1.
At-Tauhid
Yang
mereka maksud dengan At-Tauhid adalah mengingkari dan meniadakan sifat-sifat
Allah, dengan dalil bahwa menetapkan sifat-sifat tersebut berarti telah
menetapkan untuk masing-masingnya tuhan, dan ini suatu kesyirikan kepada Allah,
menurut mereka (Firaq Mu’ashirah, 2/832). Oleh karena itu mereka menamakan diri
dengan Ahlut-Tauhid atau Al-Munazihuuna lillah (orang-orang yang mensucikan
Allah).
Bantahan:
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Dalil ini sangat lemah, bahkan menjadi runtuh dengan adanya dalil sam’i (naqli) dan ‘aqli yang menerangkan tentang kebatilannya. Adapun mensifati dirinya sendiri denga n sifat-sifatIdalil sam’i: bahwa Allah Iyang begitu banyak, padahal Dia Dzat Yang MahaTunggal. Allah berfirman:
Bantahan:
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Dalil ini sangat lemah, bahkan menjadi runtuh dengan adanya dalil sam’i (naqli) dan ‘aqli yang menerangkan tentang kebatilannya. Adapun mensifati dirinya sendiri denga n sifat-sifatIdalil sam’i: bahwa Allah Iyang begitu banyak, padahal Dia Dzat Yang MahaTunggal. Allah berfirman:
¨bÎ) |·ôÜt/ y7În/u îÏt±s9 ÇÊËÈ ¼çm¯RÎ) uqèd äÏö7ã ßÏèãur ÇÊÌÈ uqèdur âqàÿtóø9$# ßrßuqø9$# ÇÊÍÈ rè ĸöyèø9$# ßÉfpRùQ$# ÇÊÎÈ ×A$¨èsù $yJÏj9 ßÌã ÇÊÏÈ
"Sesungguhnya adzab Rabbmu sangat dahsyat. Sesungguhnya Dialah yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali), Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih, Yang mempunyai ‘Arsy lagi Maha Mulia, Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Buruuj: 12-16)
Adapun dalil ‘aqli: bahwa
sifat-sifat itu bukanlah sesuatu yang terpisah dari yang disifati, sehingga
ketika sifat-sifat tersebut ditetapkan maka tidak menunjukkan bahwa yang
disifati itu lebih dari satu, bahkan ia termasuk dari sekian sifat yang
dimiliki oleh dzat yang disifati tersebut. Dan segala sesuatu yang ada ini
pasti mempunyai berbagai macam sifat … “ (Al-Qawa’idul-Mutsla, hal. 10-11)
2. Al-‘Adl (keadilan)
Yang
mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu datang
dari Allah, sedangkan kejelekan datang dari makhluk dan berada di luar kehendak
Allah. Dalilnya adalah firman Allah:
وَاللهُ لاَ يُحِبُّ الْفَسَادَ
“Dan Allah tidak suka terhadap
kerusakan.” (Al-Baqarah: 205)
وَلاَ يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ
“Dan Dia tidak meridhai kekafiran
bagi hamba-Nya.” (Az-Zumar: 7)
Menurut
mereka kesukaan dan keinginan merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Sehingga mustahil bila Allah tidak suka terhadap kejelekan, kemudian
menghendaki atau menginginkan untuk terjadi (mentaqdirkannya). Oleh karena itu,
mereka menamakan diri dengan Ahlul-‘Adl atau Al-‘Adliyyah. Bantahan:
Asy-Syaikh Yahya bin Abil-Khair Al-‘Imrani t berkata: “Kita tidak sepakat bahwa kesukaan dan keinginan itu satu. Dasarnya adalah firman Allah
Asy-Syaikh Yahya bin Abil-Khair Al-‘Imrani t berkata: “Kita tidak sepakat bahwa kesukaan dan keinginan itu satu. Dasarnya adalah firman Allah
فَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْكَافِرِين
“Maka sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang kafir.” (Ali ‘Imran: 32)
Padahal
kita semua tahu bahwa Allah-lah yang menginginkan adanya orang-orang kafir
tersebut dan Dialah yang menciptakan mereka. (Al-Intishar Firraddi ‘Alal-
Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 1/315)
Terlebih lagi Allah telah menyatakan
bahwasanya apa yang dikehendaki Idan dikerjakan hamba tidak lepas
dari kehendak dan ciptaan-Nya. Allah
berfirman:
وَمَا تَشَآءُونَ إِلاَّ أَنْ يَشَآءَ اللهُ
“Dan kalian tidak akan mampu
menghendaki (jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.” (Al-Insan: 30)
3. Al-Wa’du
Wal-Wa’id
Yang
mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi Allah I untuk
memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam
Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar
(walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di
dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka
disebut dengan Wa’idiyyah.
Bantahan,
Seseorang yang beramal shalih (sekecil apapun) akan mendapatkan pahalanya
(seperti yang dijanjikan Allah) sebagai karunia dan nikmat dari-Nya. Dan
tidaklah pantas bagi makhluk untuk mewajibkan yang , karena termasuk pelecehan
terhadapIdemikian itu kepada Allah Rububiyyah-Nya dan sebagai bentuk keraguan
terhadap firman-Nya:
إِنَّ اللهَ لاَ يُخْلِفُ الِمْيَعادَ
“Sesungguhnya Allah tidak akan
menyelisihi janji (-Nya).” (Ali ‘Imran: 9)
Bahkan
Allah mewajibkan bagi diri-Nya sendiri sebagai keutamaan untuk para hamba-Nya. Adapun
orang-orang yang mendapatkan ancaman dari Allah karena dosa besarnya (di bawah
syirik) dan meninggal dunia dalam keadaan seperti itu, maka sesuai dengan
kehendak Allah. Dia Maha berhak untuk melaksanakan ancaman-Nya dan Maha berhak
pula untuk tidak melaksanakannya, karena Dia telah mensifati diri-Nya dengan
Maha Pemaaf, Maha Pemurah, Maha Pengampun, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Terlebih lagi Dia telah menyatakan:
Terlebih lagi Dia telah menyatakan:
إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ
مَا دُوْنَ ذاَلِكَ لِمَنْ يَشَآء
“Sesungguhnya Allah tidak akan
mengampuni dosa syirik (bila pelakunya meninggal dunia belum bertaubat darinya)
dan mengampuni dosa yang di bawah (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya.” (An-Nisa: 48) (Diringkas dari kitab Al-Intishar Firraddi
‘Alal-Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 3/676, dengan beberapa tambahan).
Adapun
pernyataan mereka bahwa pelaku dosa besar (di bawah syirik) kekal abadi di
An-Naar, maka sangat bertentangan dengan firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat
48 di atas, dan juga bertentangan dengan sabda Rasulullah r yang artinya:
“Telah datang Jibril kepadaku dengan suatu kabar gembira, bahwasanya siapa saja
dari umatku yang meninggal dunia dalam keadaan tidak syirik kepada Allah
niscaya akan masuk ke dalam al-jannah.” Aku (Abu Dzar) berkata: “Walaupun
berzina dan mencuri?” Beliau menjawab: “Walaupun berzina dan mencuri.” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Dzar Al-Ghifari) Meskipun mungkin
mereka masuk neraka lebih dahulu (ed).
4. Suatu
keadaan di antara dua keadaan
Yang
mereka maksud adalah, bahwasanya keimanan itu satu dan tidak
bertingkat-tingkat, sehingga ketika seseorang melakukan dosa besar (walaupun di
bawah syirik) maka telah keluar dari keimanan, namun tidak kafir (di dunia).
Sehingga ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan (antara keimanan
dan kekafiran).
Bantahannya
bahwasanya keimanan itu bertingkat-tingkat, bertambah dengan ketaatan dan
berkurang dengan kemaksiatan, sebagaimana firman Allah :
وَ إِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُه زَادَتْهُمْ
إِيْمَانًا
“Dan jika dibacakan kepada mereka
ayat-ayat-Nya, maka bertambahlah keimanan mereka.” (Al-Anfal: 2)
Dan juga firman-Nya:
#sÎ)ur !$tB ôMs9ÌRé& ×ouqß Oßg÷YÏJsù `¨B ãAqà)t öNà6r& çmø?y#y ÿ¾ÍnÉ»yd $YZ»yJÎ) 4 $¨Br'sù úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNßgø?y#tsù $YZ»yJÎ) óOèdur tbrãϱö;tGó¡o ÇÊËÍÈ $¨Br&ur úïÏ%©!$# Îû OÎgÎ/qè=è% Ðßt¨B öNåkøEy#tsù $²¡ô_Í 4n<Î) óOÎgÅ¡ô_Í (#qè?$tBur öNèdur crãÏÿ»2 ÇÊËÎÈ
“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.” (At-Taubah: 124-125)
Rasulullah
saw. bersabda: “Keimanan itu (mempunyai) enam puluh sekian ataurRasulullah tujuh puluh sekian
cabang/tingkat, yang paling utama ucapan “Laa ilaaha illallah”, dan yang paling
rendah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan sifat malu itu cabang dari iman.” (HR Al-Bukhari dan Muslim, dari
shahabat Abu Hurairah )
5. Amar
Ma’ruf Nahi Mungkar
Di
antara kandungan landasan ini adalah wajibnya memberontak terhadap pemerintah
(muslim) yang zalim.
Bantahan,
memberontak terhadap pemerintah muslim yang zalim merupakan prinsip sesat yang
bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Allah berfirman:
يَآءَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِى الأَمْرِ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri (pimpinan) di antara
kalian.” (An-Nisa: 59)
Rasulullah
saw. bersabda: “Akan datang setelahku para pemimpin yang tidak mengikuti
petunjukku dan tidak menjalankan sunnahku, dan sungguh akan ada di antara
mereka yang berhati setan namun bertubuh manusia.” (Hudzaifah berkata):
“Wahai Rasulullah, apa yang kuperbuat jika aku mendapati mereka?” Beliau
menjawab: “Hendaknya engkau mendengar (perintahnya) dan menaatinya, walaupun
punggungmu dicambuk dan hartamu diambil.” (HR. Muslim, dari shahabat
Hudzaifah bin Al-Yaman) [Untuk lebih rincinya, lihat majalah Asy–Syari’ah edisi
Menyikapi Kejahatan Penguasa]
Sesatkah Mu’tazilah?
Sesatkah Mu’tazilah?
Dari
lima landasan pokok mereka yang batil dan bertentangan dengan Al Qur’an dan
As-Sunnah itu, sudah cukup sebagai bukti tentang kesesatan mereka. Lalu
bagaimana bila ditambah dengan prinsip-prinsip sesat lainnya yang mereka
punyai, seperti:
1. Mendahulukan akal daripada Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ Ulama.
1. Mendahulukan akal daripada Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ Ulama.
2. Mengingkari
adzab kubur, syafa’at Rasulullah untuk para pelaku dosa, ru’yatullah
(dilihatnya Allah) pada hari kiamat, timbangan amal di hari kiamat, Ash-Shirath
(jembatan yang diletakkan di antara dua tepi Jahannam), telaga Rasulullah di
padang Mahsyar, keluarnya Dajjal di akhir zaman, telah diciptakannya Al-Jannah
dan An-Naar (saat ini), turunnya Allah ke langit dunia setiap malam, hadits
ahad (selain mutawatir), dan lain sebagainya.
3. Vonis
mereka terhadap salah satu dari dua kelompok yang terlibat dalam pertempuran
Jamal dan Shiffin (dari kalangan shahabat dan tabi’in), bahwa mereka adalah
orang-orang fasiq (pelaku dosa besar) dan tidak diterima persaksiannya. Dan
engkau sudah tahu prinsip mereka tentang pelaku dosa besar, di dunia tidak
mukmin dan juga tidak kafir, sedangkan di akhirat kekal abadi di dalam an-naar.
4. Meniadakan
sifat-sifat Allah, dengan alasan bahwa menetapkannya merupakan kesyirikan.
Namun ternyata mereka mentakwil sifat Kalam (berbicara) bagi Allah dengan sifat
Menciptakan, sehingga mereka terjerumus ke dalam keyakinan kufur bahwa Al-Qur’an
itu makhluq, bukan Kalamullah. Demikian pula mereka mentakwil sifat Istiwaa’
Allah dengan sifat Istilaa’ (menguasai).
Betapa
nyata dan jelasnya kesesatan kelompok pemuja akal ini. Oleh karena itu Al-Imam
Abul-Hasan Al-Asy’ari (yang sebelumnya sebagai tokoh Mu’tazilah) setelah
mengetahui kesesatan mereka yang nyata, berdiri di masjid pada hari Jum’at
untuk mengumumkan baraa’ (berlepas diri) dari madzhab Mu’tazilah. Beliau
melepas pakaian yang dikenakannya seraya mengatakan: “Aku lepas madzhab
Mu’tazilah sebagaimana aku melepas pakaianku ini.” Dan ketika Allah beri
karunia beliau hidayah untuk menapak manhaj Ahlussunnah Wal Jamaah, maka beliau
tulis sebuah kitab bantahan untuk Mu’tazilah dan kelompok sesat lainnya dengan
judul Al-Ibanah ‘an Ushulid-Diyanah. (Diringkas dari kitab Lamhah ‘Anil-Firaq
Adh-Dhallah, hal. 44-45).
F. Doktrin-doktrin Mu'tazilah
Sebenarnya
banyak sekali pendapat dan pandangan Mu’tazilah yang berkembang diluar
pertanyaan-pertanyaan yang pernah diajukan dimasa itu, mereka bahkan mulai
merambah ke banyak persoalan penting lainnya seperti : persoalan sosial, antropologi, fisika dan bahkan filsafat.
Dan
dari sekian banyak persoalan yang menjadi perhatian mereka itu, nampaknya ada
lima dokrin utama ( sebagaimana yang mereka akui sendiri ) yang menjadi ajaran
atau prinsip utama mereka, yaitu :
1.
Tauhid ,Tidak adanya pluralitas
dan sifat.
2.
Keadilan Ilahi,Allah itu maha adil,
maka dia tidak akan menindas makhluk-makhluknya.
3.
Allah memberi balasan (Al wa’d
wal wa’id), Allah memberikan pahala bagi yang taat dan memberikan hukuman
bagi yang durhaka, dan tak ada yang samar dalam persoalan ini. Karena itu Allah
akan memberikan ampunan-Nya jika sipendosa bertobat, tak mungkin ada ampunan
tanpa bertobat.
4.
Sebuah posisi diantara dua posisi (Manzilah
wal manzilatain).,Orang fasik itu bukanlah orang beriman (mukmin), juga
bukan orang kafir.
5.
Menganjurkan kebaikan dan mencegah
kemungkaran ( Amar ma’ruf nahi munkar)
Pandangan
Mu’tazilah mengenai kewajiban islam ini, pertama adalah bahwa syariat
bukanlah satu-satunya jalan untuk mengidentifikasi apakah sesuatu itu baik atau
buruk, yang mana yang amar dan yang mana yang munkar. Akal manusia,
setidak-tidaknya sebagian dapat mengidentifikasi sendiri yang manakah yang baik
dan mana yang buruk, serta yang sebelah mana yang ma’ruf dan sebelah mananya
yang munkar.
Kedua
kewajiban ini dapat
dikerjakan atau ditunaikan oleh siapa saja tanpa memerlukan imam. Tugas imam,
atau imam hanya diperlukan dalam mengelola persoalan-persoalan
yang berhubungan dengan kenegaraan dan pemerintahan, seperti
mengimplementasikan hukum yang sudah ditentukan, mengatur batas-batasan suatu
negara dan lain-lain yang terkait dengan pemerintahan islam.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara harfiah Mu’tazilah adalah
berasal dari I’tazala yang berarti berpisah. Aliran Mu’taziliyah (memisahkan
diri) muncul di basra, irak pada abad 2 H. Kelahirannya bermula dari tindakan
Wasil bin Atha (700-750 M) berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Bashri karena
perbedaan pendapat. Wasil bin Atha berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan
mukmin bukan kafir yang berarti ia fasik
Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar aliran Mu’tazilah yang menolak pandangan-pandangan kedua aliran di atas. Bagi Mu’tazilah orang yang berdosa besar tidaklah kafir, tetapi bukan pula mukmin. Mereka menyebut orang demikian dengan istilah al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi). Aliran ini lebih bersifat rasional bahkan liberal dalam beragama.
Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional dan cenderung liberal ini mendapat tantangan keras dari kelompok tradisonal Islam, terutama golongan Hambali, pengikut mazhab Ibn Hambal. Sepeninggal al-Ma’mun pada masa Dinasti Abbasiyah tahun 833 M., syi’ar Mu’tazilah berkurang, bahkan berujung pada dibatalkannya sebagai mazhab resmi negara oleh Khalifah al-Mutawwakil pada tahun 856 M.
Perlawanan terhadap Mu’tazilah pun tetap berlangsung. Mereka (yang menentang) kemudian membentuk aliran teologi tradisional yang digagas oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (935 M) yang semula seorangMu’tazilah.Aliraninilebihdikenaldenganal-Asy’ariah.
Di Samarkand muncul pula penentang Mu’tazilah yang dimotori oleh Abu Mansyur Muhammad al-Maturidi (w.944 M). aliran ini dikenal dengan teologi al-Maturidiah. Aliran ini tidak setradisional al-Asy’ariahtetapijugatidakseliberalMu’tazilah.
B. B. Saran-saran
Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar aliran Mu’tazilah yang menolak pandangan-pandangan kedua aliran di atas. Bagi Mu’tazilah orang yang berdosa besar tidaklah kafir, tetapi bukan pula mukmin. Mereka menyebut orang demikian dengan istilah al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi). Aliran ini lebih bersifat rasional bahkan liberal dalam beragama.
Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional dan cenderung liberal ini mendapat tantangan keras dari kelompok tradisonal Islam, terutama golongan Hambali, pengikut mazhab Ibn Hambal. Sepeninggal al-Ma’mun pada masa Dinasti Abbasiyah tahun 833 M., syi’ar Mu’tazilah berkurang, bahkan berujung pada dibatalkannya sebagai mazhab resmi negara oleh Khalifah al-Mutawwakil pada tahun 856 M.
Perlawanan terhadap Mu’tazilah pun tetap berlangsung. Mereka (yang menentang) kemudian membentuk aliran teologi tradisional yang digagas oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (935 M) yang semula seorangMu’tazilah.Aliraninilebihdikenaldenganal-Asy’ariah.
Di Samarkand muncul pula penentang Mu’tazilah yang dimotori oleh Abu Mansyur Muhammad al-Maturidi (w.944 M). aliran ini dikenal dengan teologi al-Maturidiah. Aliran ini tidak setradisional al-Asy’ariahtetapijugatidakseliberalMu’tazilah.
B. B. Saran-saran
Penulisan makalah ini tentulah banyak sekali kekurangannya, sehingga
diharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun baik dari dosen mata
kuliah aqidah/Ilmu kalam maupun dari rekan-rekan mahasiswa.
DAFTAR PUSTAKA
Harun
Nasution, Islam rasional; Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan, 1996,
Sayyed
Hussein Nasr, A Young Muslim’s Guide to The Modern World, diterjemahkan oleh
Hasti Tarekat dengan judul Menjelajah Dunia Modern; Bimbingan Kaum Muda Muslim,
Bandung: Mizan, 1995,
Abu Ja’far
Muhammad bin Jarir al-Tabariy, Al-Tarikh al-Tabary, Bairut: Dâr al-Fikr, 1987,
Ahmad Amin,
Fajr al-Islam, Dar al-Kutub, 1975, Cyrill Glosse, The Concise Ensyclopedia of
Islam diterjemahkan oleh Ghufran A. Mas’adi (ed) dengan judul, Ensiklopedi
Islam Ringkas, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999,
Muanawir Syazali, Islam dan tata Negara;
Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI. Press, 1993.
[1] Harun Nasution, Islam rasional;
Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan, 1996,
[2] Sayyed Hussein Nasr, A Young Muslim’s Guide to The
Modern World, diterjemahkan oleh Hasti Tarekat dengan judul Menjelajah Dunia
Modern
[3] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir
al-Tabariy, Al-Tarikh al-Tabary, Bairut: Dâr al-Fikr, 1987,
[4] Ahmad Amin, Fajr al-Islam, Dar al-Kutub,
1975, Cyrill Glosse, The Concise Ensyclopedia of Islam diterjemahkan oleh
Ghufran A. Mas’adi (ed) dengan judul, Ensiklopedi Islam Ringkas, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 1999,
[5] Muanawir Syazali, Islam dan tata
Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI. Press, 1993.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar