By: MARDIANTO
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pada masa berkembangnya ilmu kalam,
kebutuhan untuk menjawab tantangan akidah dengan menggunakan ratio telah
menjadi beban. Karena pada waktu itu sedang terjadi penerjemahan besar-besaran
pemikiran filsafat Barat yang materialis dan rasionalis ke dunia Islam.
Sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat untuk bisa menjawab
argumen-argumen yang bisa dicerna akal.
Al-Asy‘ari adalah salah satu tokoh penting
yang punya peranan dalam menjawab argumen Barat ketika menyerang akidah Islam. Karena
itulah metode akidah yang beliau kembangkan merupakan panggabungan antara dalil
naqli dan aqli.
Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di mata Al-Asy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan—manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.
Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di mata Al-Asy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan—manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sejarah berdirinya dan
berkembangnya faham Asy’Ariyah?
2.
Bagaimana pemikiran Asy’Ariyah dalam
Aqidah?
3.
Bagaimana pandangan-pandangan paham
Asy’Ariyah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH BERDIRI DAN PERKEMBANGAN ASY’ARIYAH
1. Pendiri
Asy`ariyah adalah sebuah
paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ariy. Nama lengkapnya
ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin
Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari,
seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya
sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.
Abul al- Hasan’Ali ibnu Ismail al-Asya’ari dilahirkan di Bashrah poada tahun
873 M dan wafat di Baghdad pada tahun 935 M. Pada mulanya Ia adalah murid Al-Jubbai
dan salah seorang terkemuka dalam golongan Mu’tazila sehingga,menurut al-husai
Ibn Muhammad al-’Askari, al- Jubba’i berani mempercayakan perdebatan dengan
lawan kepadanya[1]
Setelah ayahnya
meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubba’i, salah seorang
pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan permasalahan
kalam sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak hal itu menjadi
senjata baginya untuk membantah kelompok Muktazilah.
2. Pemikiran Al-Asy'ari dalam Masalah
Akidah
Ada tiga periode dalam hidupnya yang berbeda dan
merupakan perkembangan ijtihadnya dalam masalah akidah.
a. Periode
Pertama
Beliau hidup di bawah pengaruh
Al-Jubbai, syaikh aliran Muktazilah. Bahkan sampai menjadi orang
kepercayaannya. Periode ini berlangsung kira-kira selama 40-an tahun. Periode
ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk akidah Muktazilah, hingga sampai
pada titik kelemahannya dan kelebihannya.
b. Periode Kedua
Beliau berbalik pikiran yang berseberangan
paham dengan paham-paham Mutazilah yang selama ini telah mewarnai pemikirannya.
Sebab yang biasa disebut,yang berasal al-subki dan Ibn ‘Asakir, ialah bahwa
pada suatru malam al-Asy’ari bermimpi; dalam mimpi itu Nabi Muhammad
s.a.w.,mengatakan kepadanya bahwa mazhab Ahli Hadislah yang benar, dan mazhab
Mu’tazilah salah[2],
ia juga melihat ada perpecahan di kalangan kaum muslimin yang bias melemahkan
mereka kalau tidak segera di akhiri. Sebagai seorang muslim yang Qairat akan
keutuhan kaum muslimin,ia sangat mengkhawatirkan,kalau Quran dan hadis-hadis
Nabi akan menjadikorban faham-fahamaliran Mu’tazilah yang menurut pendapatnya
tidak dapat di benarkan, karena di dasarkan atas pemujaan kekuatan akal
pikiran,sebagaimana di khawatirkan juga akan menjadi korban sikap ahli hadis
anthropomorphist (al-hasiwiyah- the gross anthropomorphism of some of the
traditionalist) yang hanya memengangi lahir (bunyi) nas-nas agama dengan
meninggalkan jiwanya dan hampir menyeret islam ke lembah kebekuan yang tidak
dapat di benarkan[3]. Selai itu, Hal itu juga terjadi setelah beliau
merenung dan mengkaji ulang semua pemikiran Mukazilah selama 15 hari. Selama
hari-hari itu, beliau juga beristikharah kepada Allah untuk mengevaluasi dan
mengkritik balik pemikiran akidah muktazilah.
Di antara pemikirannya pada periode
ini adalah beliau menetapkan 7 sifat untuk Allah lewat logika akal, yaitu:
1. Al-Hayah (hidup)
2. Al-Ilmu (ilmu)
3. Al-Iradah (berkehendak)
4. Al-Qudrah (berketetapan)
5. As-Sama' (mendengar)
6. Al-Bashar (melihat)
7. Al-Kalam (berbicara)
Sedangkan
sifat-sifat Allah yang bersifat khabariyah, seperti Allah punya wajah, tangan,
kaki, betis dan seterusnya, maka beliau masih menta'wilkannya. Maksudnya beliau
saat itu masih belum mengatakan bahwa Allah punya kesemuanya itu, namun beliau
menafsirkannya dengan berbagai penafsiran. Logikanya, mustahil Allah yang Maha
Sempurna itu punya tangan, kaki, wajah dan lainnya.
c. Periode Ketiga
Pada periode ini beliau tidak hanya
menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua sifat Allah yang bersumber dari
nash-nash yang shahih. Kesemuanya diterima dan ditetapkan, tanpa takyif,
ta'thil, tabdil, tamtsil dan tahrif.
Beliau para periode ini menerima
bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya.
Beliau tidak melakukan:
o
takyif: menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki
Allah
o
ta'thil: menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki
o
tamtsil: menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan
sesuatu
o
tahrif: menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah
dengan makna
lainnya.
Pada periode ini beliau menulis
kitabnya "Al-Ibanah 'an Ushulid-Diyanah." Di dalamnya beliau merinci
akidah salaf dan manhajnya. Al-Asyari menulis beberapa buku, menurut satu
sumber sekitar tiga ratus.
B. PENYEBARAN AQIDAH ASY’ARIYAH
Akidah ini menyebar luas pada zaman
wazir Nizhamul Muluk pada dinasti bani Saljuq dan seolah menjadi akidah resmi
negara. Paham Asy’ariyah semakin berkembang lagi pada masa keemasan madrasah
An-Nidzamiyah, baik yang ada di Baghdad maupun di kota Naisabur. Madrasah
Nizhamiyah yang di Baghdad adalah universitas terbesar di dunia. Didukung oleh
para petinggi negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki
serta sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Juga didukung oleh sejumlah besar
ulama, terutama para fuqaha mazhab Asy-Syafi'i dan mazhab Al-Malikiyah periode
akhir-akhir. Al-Syafi’I mempunyai pendapat teologi yang berlainan dengan
ajaran-ajaran Mu’tazilah,umpamanya al-syafi’ berpendapat bahwa al-Qur’an tidak
diciptakan, tetapi berisifat Qadim dan bahwa tuhan dapat dilihat di akhirat
nanti[4].
Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah Asy-'ariyah ini adalah akidah
yang paling populer dan tersebar di seluruh dunia.
C. PANDANGAN-PANDANGAN ASY’ARIYAH
Adapun pandangan-pandangan Asy’ariyah yang berbeda dengan
Muktazilah, di antaranya ialah:
1.
Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil
kalau Tuhan mempunyai sifat, seperti yang
melihat, yang
mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan cara seperti yang ada
pada makhluk. Artinya harus ditakwilkan
lain.
2. Al-Qur’an itu qadim, dan bukan ciptaan Allah,
yang dahulunya tidak ada.
3. Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak
berarti bahwa Allah itu adanya karena
diciptakan.
4. Perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi
diri manusia, melainkan diciptakan
oleh Tuhan.
5. Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa
Tuhan berkuasa mutlak dan
berkehendak mutlak. Apa pun yang
dilakukan Allah adalah adil. Mereka menentang
konsep janji dan ancaman (al-wa’d wa
al-wa’id).
6. Mengenai anthropomorfisme, yaitu
memiliki atau melakukan sesuatu seperti yang
dilakukan makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya, melainkan tidak
seperti apa
pun.
7. Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebaba tidak
7. Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebaba tidak
mungkin pada
diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus
dibedakan
antara iman, kafir, dan perbuatan.
Berkenaan dengan lima dasar pemikiran Muktazilah, yaitu
keadilan, tauhid, melaksanakan ancaman, antara dua kedudukan, dan amar maksruf
nahi mungkar, hal itu dapat dibantah sebagai berikut.
Arti keadilan,
dijadikan kedok oleh Muktazilah untuk menafikan takdir. Mereka berkata, “Allah
tak mungkin menciptakan kebururkan atau memutuskannya. Karena kalau Allah
menciptakan mereka lalu menyiksanya, itu satu kezaliman. Sedangkan Allah
Maha-adil, tak akan berbuat zalim.
Adapun tauhid,
mereka jadikan kedok untuk menyatakan pendapat bahwa Al-Qur’an itu makhluk.
Karena kalau ia bukan makhluk, berarti ada beberapa sesuatu yang tidak berawal.
Konsekuensi pondasi berpikir mereka yang rusak ini bahwa ilmu Allah,
kekuasaan-Nya, dan seluruh sifat-Nya adalah makhluk. Sebab kalau tidak akan
terjadi kontradiksi.
Ancaman menurut
Muktazilah, kalau Allah sudah memberi ancaman kepada sebagian hamba-Nya, Dia
pasti menyiksanya dan tak mungkin mengingkari janji-Nya. Karena Allah selalu
memenuhi janji-Nya. Jadi, menurut mereka, Allah tak akan memafkan dan memberi
ampun siapa saja yang Dia kehendaki.
Adapun yang
mereka maksud dengan di antara dua kedudukan bahwa orang yang melakukan dosa
besar tidak keluar dari keimanan, tapi tidak terjerumus pada kekufuran.
Sedangkan konsep amar makruf nahi mungkar menurut Muktazilah ialah wajib
menyuruh orang lain dengan apa yang diperintahkan kepada mereka. Termasuk
kandungannya ialah boleh memberontak kepada para pemimpin dengan memeranginya
apabila mereka berlaku zalim.
E. ISTILAH ASY’ARIYAH DAN AHLU SUNNAH WAL JAMAAH
As-Sunnah
dalam istilah mempunyai beberapa makna. As-Sunnah menurut para Imam yaitu thariqah
(jalan hidup) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di mana beliau dan para
shahabat berada di atasnya. Mereka adalah orang yang selamat dari syubhat dan
syahwat, sebagaimana yang tersirat dalam ucapan Al-Fudhail bin Iyadh,
"Ahlus Sunnah itu orang yang mengetahui apa yang masuk ke dalam perutnya
dari (makanan) yang halal.” Karena tanpa memakan yang haram termasuk salah satu
perkara sunnah yang besar yang pernah dilakukan oleh Nabi dan para shahabat
radhiyallahu'anhum.
Dalam pemahaman kebanyakan ulama muta'akhirin dari kalangan Ahli Hadits dan lainnya, as-sunnah itu ungkapan tentang apa yang selamat dari syubhat-syubhat dalam i'tiqad khususnya dalam masalah-masalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari Akhir, begitu juga dalam masalah-masalah Qadar dan Fadhailush-Shahabah (keutamaan shahabat).
Dalam pemahaman kebanyakan ulama muta'akhirin dari kalangan Ahli Hadits dan lainnya, as-sunnah itu ungkapan tentang apa yang selamat dari syubhat-syubhat dalam i'tiqad khususnya dalam masalah-masalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari Akhir, begitu juga dalam masalah-masalah Qadar dan Fadhailush-Shahabah (keutamaan shahabat).
Para Ulama
itu menyusun beberapa kitab dalam masalah ini dan mereka menamakan karya-karya
mereka itu sebagai "As-Sunnah". Menamakan masalah ini dengan
"As-Sunnah" karena pentingnya masalah ini dan orang yang menyalahi
dalam hal ini berada di tepi kehancuran. Adapun Sunnah yang sempurna adalah
thariqah yang selamat dari syubhat dan syahwat.
Ahlus Sunnah
adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan
sunnah shahabatnya radhiyallahu 'anhum. Al-Imam Ibnul Jauzi menyatakan tidak
diragukan bahwa Ahli Naqli dan Atsar pengikut atsar Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam dan atsar para shahabatnya, mereka itu Ahlus Sunnah.
Kata
"Ahlus-Sunnah" mempunyai dua makna. Pertama, mengikuti sunah-sunah
dan atsar-atsar yang datangnya dari Rasulullah shallallu 'alaihi wa sallam dan
para shahabat radhiyallahu 'anhum, menekuninya, memisahkan yang shahih dari
yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan
dalam masalah aqidah dan ahkam.
Kedua, lebih
khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama di mana
mereka menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah, seperti Abu Ashim, Al-Imam
Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan
lain-lain. Mereka maksudkan (As-Sunnah) itu i'tiqad shahih yang ditetapkan
dengan nash dan ijma'.
Kedua makna itu
menjelaskan kepada kita bahwa madzhab Ahlus Sunnah itu kelanjutan dari apa yang
pernah dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam dan para shahabat
radhiyallahu 'anhum. Adapun penamaan Ahlus Sunnah adalah sesudah terjadinya
fitnah ketika awal munculnya firqah-firqah.
Ibnu Sirin
rahimahullah menyatakan bahwa mereka pada mulanya tidak pernah menanyakan tentang
sanad. Ketika terjadi fitnah (para ulama) mengatakan: Tunjukkan (nama-nama)
perawimu kepada kami. Kemudian ia melihat kepada Ahlus Sunnah sehingga hadits
mereka diambil. Dan melihat kepada Ahlul Bi'dah dan hadits mereka tidak di
ambil.
Al-Imam Malik rahimahullah
pernah ditanya, "Siapakah Ahlus Sunnah itu? Ia menjawab, “Ahlus Sunnah itu
mereka yang tidak mempunyai laqab (julukan) yang sudah terkenal yakni bukan
Jahmi, Qadari, dan bukan pula Rafidli.”
Kemudian ketika
Jahmiyah mempunyai kekuasaan dan negara, mereka menjadi sumber bencana bagi
manusia, mereka mengajak untuk masuk ke aliran Jahmiyah dengan anjuran dan
paksaan. Mereka menggangu, menyiksa dan bahkan membunuh orang yang tidak
sependapat dengan mereka. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan
Al-Imam Ahmad bin Hanbal untuk membela Ahlus Sunnah. Di mana beliau bersabar
atas ujian dan bencana yang ditimpakan mereka.
Beliau
membantah dan patahkan hujjah-hujjah mereka, kemudian beliau umumkan serta
munculkan As-Sunnah dan beliau menghadang di hadapan Ahlul Bid'ah dan Ahlul
Kalam. Sehingga, beliau diberi gelar Imam Ahlus Sunnah.
Dari keterangan
di atas dapat kita simpulkan bahwa istilah Ahlus Sunnah terkenal di kalangan
Ulama Mutaqaddimin (terdahulu) dengan istilah yang berlawanan dengan istilah
Ahlul Ahwa' wal Bida' dari kelompok Rafidlah, Jahmiyah, Khawarij, Murji'ah dan
lain-lain. Sedangkan Ahlus Sunnah tetap berpegang pada ushul (pokok) yang
pernah diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan shahabat
radhiyallahu 'anhum.
`Dengan demikian,
ahlus sunnah wal jamaah adalah istilah yang digunakan untuk menamakan pengikut
madzhab As-Salafus Shalih dalam i'tiqad. Banyak hadits yang memerintahkan untuk
berjamaah dan melarang berfirqah-firqah dan keluar dari jamaah. Namun, para
ulama berselisih tentang perintah berjamaah ini dalam beberapa pendapat:
1.
Jamaah itu
adalah As-Sawadul A'dzam (sekelompok manusia atau kelompok terbesar) dari
pemeluk Islam.
2.
Para Imam
Mujtahid
3.
Para Shahabat
Nabi radhiyallahu 'anhum.
4.
Jamaahnya kaum
muslimin jika bersepakat atas sesuatu perkara.
5.
Jamaah kaum
muslimin jika mengangkat seorang amir.
Pendapat-pendapat
di atas kembali kepada dua makna. Pertama,
bahwa jamaah adalah mereka yang bersepakat mengangkat seseorang amir (pemimpin) menurut tuntunan syara', maka wajib melazimi jamaah ini dan haram menentang jamaah ini dan amirnya.
bahwa jamaah adalah mereka yang bersepakat mengangkat seseorang amir (pemimpin) menurut tuntunan syara', maka wajib melazimi jamaah ini dan haram menentang jamaah ini dan amirnya.
Kedua, bahwa
jamaah yang Ahlus Sunnah melakukan i'tiba' dan meninggalkan ibtida' (bid'ah)
adalah madzhab yang haq yang wajib diikuti dan dijalani menurut manhajnya. Ini
adalah makna penafsiran jamaah dengan Shahabat Ahlul Ilmi wal Hadits, Ijma'
atau As-Sawadul A'dzam.
Syaikhul Islam
mengatakan, "Mereka (para ulama) menamakan Ahlul Jamaah karena jamaah itu
adalah ijtima' (berkumpul) dan lawannya firqah. Meskipun lafadz jamaah telah
menjadi satu nama untuk orang-orang yang berkelompok. Sedangkan ijma' merupakan
pokok ketiga yang menjadi sandaran ilmu dan dien. Dan mereka (para ulama)
mengukur semua perkataan dan pebuatan manusia zhahir maupun bathin yang ada
hubungannya dengan din dengan ketiga pokok ini (Al-Qur'an, Sunnah dan Ijma').
Istilah Ahlus
Sunnah wal Jamaah mempunyai istilah yang sama dengan Ahlus Sunnah. Dan secara
umum para ulama menggunakan istilah ini sebagai pembanding Ahlul Ahwa' wal
Bida'. Contohnya : Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhum mengatakan tentang tafsir
firman Allah Ta'ala, ”Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri
dan adapula muka yang muram.” [Ali Imran: 105].
"Adapun
orang-orang yang mukanya putih berseri adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah sedangkan
orang-orang yang mukanya hitam muram adalah Ahlul Ahwa' wa Dhalalah.”
Sufyan
Ats-Tsauri menyatakan bahwa jika sampai (khabar) kepadamu tentang seseorang di
arah timur ada pendukung sunnah dan yang lainnya di arah barat maka kirimkanlah
salam kepadanya dan doakanlah mereka. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal
Jamaah.
Jadi kita dapat
menyimpulkan bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah firqah yang berada di antara
firqah-firqah yang ada, seperti juga kaum muslimin berada di tengah-tengah
milah-milah lain. Penisbatan kepadanya, penamaan dengannya dan penggunaan nama
ini menunjukkan atas luasnya i'tiqad dan manhaj.
Nama Ahlus
Sunnah merupakan perkara yang baik dan boleh serta telah digunakan oleh para
ulama salaf. Di antara yang paling banyak menggunakan istilah ini ialah Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Istilah ahlu
sunnah dan jamaah ini timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham gilongan
Muktazilah, yang telah dikembangkan dari tahun 100 H atau 718 M. Dengan
perlahan-lahan paham Muktazilah tersebut memberi pengaruh kuat dalam masyarakat
Islam. Pengaruh ini mencapai puncaknya pada zaman khalifah-khalifah Bani Abbas,
yaitu Al-Makmun, Al-Muktasim, dan Al-Wasiq (813 M-847 M). Pada masa Al-Makmun,
yakni tahun 827 M bahkan aliran Muktazilah diakui sebagai mazhab resmi yang
dianut negara.
Ajaran yang
ditonjolkan ialah paham bahwa Al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru dan
diciptakan. Menurut mereka yang qadim hanyalah Allah. Kalau ada lebih dari satu
zat yang qadim, berarti kita telah menyekutukan Allah. Menurut mereka Al-Qur’an
adalah makhluk yang diciptakan Allah. Sebagai konsekuensi sikap khalifah
terhadap mazhab ini, semua calon pegawai dan hakim harus menjalani tes
keserasian dan kesetiaan pada ajaran mazhab.
Mazhab ahlu
sunnah wal jaamaah muncul atas keberanian dan usaha Abul Hasan Al-Asy’ari.
Ajaran teologi barunya kemudian dikenal dengan nama Sunah wal Jamaah. Untuk
selanjutnya Ahli Sunah wal jamaah selalu dikaitkan pada kelompok pahan teologi
Asy’ariyah ataupun Maturidiyah.
Asy'ariyah
banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini. Kebanyakan di kalangan
mereka mengatakan bahwa madzhab salaf "Ahlus Sunnah wa Jamaah" adalah
apa yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi.
Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah itu Asy'ariyah,
Maturidiyah,dan Madzhab Salaf.
Sebenarnya,
antara Asy’ariyah dan Maturidiyah sendiri memiliki beberapa perbedaan, di
antaranya ialah dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Tentang
sifat Tuhan
Pemikiran
Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa Tuhan
itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya,
bukan dengan zat-Nya. Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya,
bukan dengan zat-Nya.
2. Tentang
Perbuatan Manusia
Pandangan
Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Menurut Maturidiyah, perbuatan
manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Dalam masalah ini,
Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa
semua yang dikerjakan manusia itu semata-mata diwujdukan oleh manusia itu
sendiri.
3. Tentang
Al-Quran
Pandangan
Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama mengatakan
bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim. Mereka berselisih paham
dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu makhluq.
4. Tentang
Kewajiban Tuhan
Pandangan
Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Maturidiyah berpendapat bahwa
Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. Pendapat Maturidiyah ini sejalan
dengan pendapat Mu`tazilah.
5. Tentang
Pelaku Dosa Besar
Pandangan
Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama mengatakan bahwa seorang mukmin
yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak gugur ke-Islamannya.
Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu berada pada tempat diantara dua
tempat “Manzilatun baina manzilatain”.
6. Tentang
Janji Tuhan
Keduanya sepakat bahwa Tuhan akan melaksanakan janji-Nya.
Seperti memberikan pahala kepada yang berbuat baik dan memberi siksa kepada
yang berbuat jahat.
7. Tetang Rupa
Tuhan
Keduanya
sama-sama sependapat bahwa ayat-ayat Al-Quran yang mengandung informasi tentang
bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus ditakwil dan diberi arti majaz dan
tidak diartikan secara harfiyah.
Az-Zubaidi
menyatakan bahwa jika dikatakan Ahlus Sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka
itu adalah Asy'ariyah dan Maturidiyah.
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengemukakan bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal Jamaah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi.
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengemukakan bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal Jamaah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi.
Al-Ayji
menuturkan bahwa Al-Firqatun Najiyah yang terpilih adalah orang-orang yang
Rasulullah berkata tentang mereka, "Mereka itu adalah orang-orang yang
berada di atas apa yang aku dan para shahabatku berada diatasnya." Mereka
itu adalah Asy'ariyah dan Salaf dari kalangan Ahli Hadits dan Ahlus Sunnah wal
Jamaah.
Hasan Ayyub menuturkan bahwa ahlus sunnah adalah Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka berdua. Mereka berjalan di atas petunjuk Salafus Shalih dalam memahami aqaid.
Hasan Ayyub menuturkan bahwa ahlus sunnah adalah Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka berdua. Mereka berjalan di atas petunjuk Salafus Shalih dalam memahami aqaid.
Uraian di atas
menjelaskan bahwa Asy’ariyah adalah ahlus sunnah wal jamaah itu sendiri.
Pengakuan tersebut disanggah oleh Ibrahim Said dalam majalah Al-Bayan bahwa:
1. Bahwa pemakaian istilah ini oleh pengikut Asy'ariyah dan
Maturidiyah dan orang-orang yang terpengaruh oleh mereka sedikit pun tidak
dapat merubah hakikat kebid'ahan dan kesesatan mereka dari Manhaj Salafus
Shalih dalam banyak sebab.
2. Bahwa penggunaan mereka terhadap istilah ini tidak
menghalangi kita untuk menggunakan dan menamakan diri dengan istilah ini
menurut syar'i dan yang digunakan oleh para ulama Salaf. Tidak ada aib dan
cercaan bagi yang menggunakan istilah ini. Sedangkan yang diaibkan adalah jika
bertentangan dengan i'tiqad dan madzhab Salafus Shalih dalam pokok (ushul) apa
pun
Sayangnya,
Ibrahim Said dalam makalahnya tidak menjelaskan kebatilan paham Asy’ariyah yang
didakwakannya. Dalam buku Nasy’atul Asy’ariyyah wa Tathawwuruha, disebutkan
bahwa istilah ahlus sunah wal jamaah memiliki dua makna, yaitu umum dan khusus.
Makna secara umum dimaksudkan sebagai lawan dari Syi’ah yang di dalamnya juga
masuk golongan Muktazilah dan Asya’irah. Makna khusus digunakan untuk menyebut
Asya’riyah tanpa selainnya dari aliran-liran kalam dalam pemikiran filsafat
Islam.
Jadi, makna ahlus
sunnah secara umum dimaksudkan sebagai lawan dari kelompok Syi’ah, Muktazilah,
dan bahkan Asy’ariyah itu sendiri. Adapun makna khususnya digunakan untuk
menyebut Asy’ariyah untuk membedakannya dengan aliran-aliran kalam dalam
pemikiran filsafat Islam.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Asy`ariyah adalah sebuah
paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ariy. Nama lengkapnya
ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin
Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari,
seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya
sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.
Ada tiga
periode dalam hidupnya yang berbeda dan merupakan perkembangan ijtihadnya dalam
masalah akidah.
a. Periode Pertama
Beliau hidup di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran
Muktazilah. Bahkan sampai menjadi orang kepercayaannya. Periode ini berlangsung
kira-kira selama 40-an tahun. Periode ini membuatnya sangat mengerti
seluk-beluk akidah Muktazilah, hingga sampai pada titik kelemahannya dan
kelebihannya.
b.
Periode Kedua
Di
antara pemikirannya pada periode ini adalah beliau menetapkan 7 sifat untuk
Allah lewat logika akal, yaitu: Al-Hayah (hidup), Al-Ilmu (ilmu), Al-Iradah (berkehendak),
Al-Qudrah (berketetapan), As-Sama' (mendengar), Al-Bashar (melihat), Al-Kalam
(berbicara).
c.
Periode Ketiga
Beliau para periode ini menerima
bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya.
Beliau tidak melakukan: takyif: menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan
kaki Allah, ta'thil: menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki, tamtsil:
menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu , tahrif:
menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna lainnya.
B.Saran-saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan
dapat menjadi tambahan ilmu dan memperluas wawasan pembaca mengenai Asy-ariyah’
selaku Aliran-Aliran dalam islam serta
hal-hal yang terkait dengannya.
DAFTAR PUSTAKA
, Fi’Ilm al-Kalam,
Hanafi,Pengantar Theologi Islam,Jakarta:
Pustaka Al_Husna,1999.
Nasution Harun,Teologi Islam,
Jakarta: Universitas Indonesia, 1919.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar