Kamis, 02 Mei 2013

ASY'ARIYAH


By: MARDIANTO

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pada masa berkembangnya ilmu kalam, kebutuhan untuk menjawab tantangan akidah dengan menggunakan ratio telah menjadi beban. Karena pada waktu itu sedang terjadi penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat Barat yang materialis dan rasionalis ke dunia Islam. Sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat untuk bisa menjawab argumen-argumen yang bisa dicerna akal.
Al-Asy‘ari adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab argumen  Barat ketika menyerang akidah Islam. Karena itulah metode akidah yang beliau kembangkan merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli.
Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di mata Al-Asy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan—manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.
B. Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah berdirinya dan berkembangnya faham Asy’Ariyah?
2.      Bagaimana pemikiran Asy’Ariyah dalam Aqidah?
3.      Bagaimana pandangan-pandangan paham Asy’Ariyah?








BAB II
PEMBAHASAN


A. SEJARAH BERDIRI DAN PERKEMBANGAN ASY’ARIYAH
1. Pendiri
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari, seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.
Abul  al- Hasan’Ali ibnu Ismail  al-Asya’ari dilahirkan di Bashrah poada tahun 873 M dan wafat di Baghdad pada tahun 935 M. Pada mulanya Ia adalah murid Al-Jubbai dan salah seorang terkemuka dalam golongan Mu’tazila sehingga,menurut al-husai Ibn Muhammad al-’Askari, al- Jubba’i berani mempercayakan perdebatan dengan lawan kepadanya[1]
Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubba’i, salah seorang pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan permasalahan kalam sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak hal itu menjadi senjata baginya untuk membantah kelompok Muktazilah.
      2. Pemikiran Al-Asy'ari dalam Masalah Akidah                                                      
Ada tiga periode dalam hidupnya yang berbeda dan merupakan perkembangan ijtihadnya dalam masalah akidah.
  a. Periode Pertama                            
Beliau hidup di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran Muktazilah. Bahkan sampai menjadi orang kepercayaannya. Periode ini berlangsung kira-kira selama 40-an tahun. Periode ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk akidah Muktazilah, hingga sampai pada titik kelemahannya dan kelebihannya.
b. Periode Kedua
Beliau berbalik pikiran yang berseberangan paham dengan paham-paham Mutazilah yang selama ini telah mewarnai pemikirannya. Sebab yang biasa disebut,yang berasal al-subki dan Ibn ‘Asakir, ialah bahwa pada suatru malam al-Asy’ari bermimpi; dalam mimpi itu Nabi Muhammad s.a.w.,mengatakan kepadanya bahwa mazhab Ahli Hadislah yang benar, dan mazhab Mu’tazilah salah[2], ia juga melihat ada perpecahan di kalangan kaum muslimin yang bias melemahkan mereka kalau tidak segera di akhiri. Sebagai seorang muslim yang Qairat akan keutuhan kaum muslimin,ia sangat mengkhawatirkan,kalau Quran dan hadis-hadis Nabi akan menjadikorban faham-fahamaliran Mu’tazilah yang menurut pendapatnya tidak dapat di benarkan, karena di dasarkan atas pemujaan kekuatan akal pikiran,sebagaimana di khawatirkan juga akan menjadi korban sikap ahli hadis anthropomorphist (al-hasiwiyah- the gross anthropomorphism of some of the traditionalist) yang hanya memengangi lahir (bunyi) nas-nas agama dengan meninggalkan jiwanya dan hampir menyeret islam ke lembah kebekuan yang tidak dapat di benarkan[3].  Selai itu, Hal itu juga terjadi setelah beliau merenung dan mengkaji ulang semua pemikiran Mukazilah selama 15 hari. Selama hari-hari itu, beliau juga beristikharah kepada Allah untuk mengevaluasi dan mengkritik balik pemikiran akidah muktazilah.
Di antara pemikirannya pada periode ini adalah beliau menetapkan 7 sifat untuk Allah lewat logika akal, yaitu:
1.      Al-Hayah (hidup)
2.      Al-Ilmu (ilmu)
3.      Al-Iradah (berkehendak)
4.      Al-Qudrah (berketetapan)
5.      As-Sama' (mendengar)
6.      Al-Bashar (melihat)
7.      Al-Kalam (berbicara)
Sedangkan sifat-sifat Allah yang bersifat khabariyah, seperti Allah punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya, maka beliau masih menta'wilkannya. Maksudnya beliau saat itu masih belum mengatakan bahwa Allah punya kesemuanya itu, namun beliau menafsirkannya dengan berbagai penafsiran. Logikanya, mustahil Allah yang Maha Sempurna itu punya tangan, kaki, wajah dan lainnya.
c. Periode Ketiga
Pada periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua sifat Allah yang bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya diterima dan ditetapkan, tanpa takyif, ta'thil, tabdil, tamtsil dan tahrif.
Beliau para periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya. Beliau tidak melakukan:
o   takyif: menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah
o   ta'thil: menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki
o   tamtsil: menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu
o   tahrif: menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna
lainnya.
Pada periode ini beliau menulis kitabnya "Al-Ibanah 'an Ushulid-Diyanah." Di dalamnya beliau merinci akidah salaf dan manhajnya. Al-Asyari menulis beberapa buku, menurut satu sumber sekitar tiga ratus.



B. PENYEBARAN AQIDAH ASY’ARIYAH
Akidah ini menyebar luas pada zaman wazir Nizhamul Muluk pada dinasti bani Saljuq dan seolah menjadi akidah resmi negara. Paham Asy’ariyah semakin berkembang lagi pada masa keemasan madrasah An-Nidzamiyah, baik yang ada di Baghdad maupun di kota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki serta sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Juga didukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha mazhab Asy-Syafi'i dan mazhab Al-Malikiyah periode akhir-akhir. Al-Syafi’I mempunyai pendapat teologi yang berlainan dengan ajaran-ajaran Mu’tazilah,umpamanya al-syafi’ berpendapat bahwa al-Qur’an tidak diciptakan, tetapi berisifat Qadim dan bahwa tuhan dapat dilihat di akhirat nanti[4]. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah Asy-'ariyah ini adalah akidah yang paling populer dan tersebar di seluruh dunia.

C. PANDANGAN-PANDANGAN ASY’ARIYAH
Adapun pandangan-pandangan Asy’ariyah yang berbeda dengan Muktazilah, di antaranya ialah:
1.      Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat, seperti yang
melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan cara seperti yang ada
pada makhluk. Artinya harus ditakwilkan lain.
2.  Al-Qur’an itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.
3.  Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena
diciptakan.
4.  Perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan diciptakan
oleh Tuhan.
5.  Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan
berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka menentang
konsep janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).
6. Mengenai anthropomorfisme, yaitu memiliki atau melakukan sesuatu seperti yang
     dilakukan makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya, melainkan tidak seperti apa
pun.
7. Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebaba tidak
     mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus
           dibedakan antara iman, kafir, dan perbuatan.
Berkenaan dengan lima dasar pemikiran Muktazilah, yaitu keadilan, tauhid, melaksanakan ancaman, antara dua kedudukan, dan amar maksruf nahi mungkar, hal itu dapat dibantah sebagai berikut.
Arti keadilan, dijadikan kedok oleh Muktazilah untuk menafikan takdir. Mereka berkata, “Allah tak mungkin menciptakan kebururkan atau memutuskannya. Karena kalau Allah menciptakan mereka lalu menyiksanya, itu satu kezaliman. Sedangkan Allah Maha-adil, tak akan berbuat zalim.
Adapun tauhid, mereka jadikan kedok untuk menyatakan pendapat bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Karena kalau ia bukan makhluk, berarti ada beberapa sesuatu yang tidak berawal. Konsekuensi pondasi berpikir mereka yang rusak ini bahwa ilmu Allah, kekuasaan-Nya, dan seluruh sifat-Nya adalah makhluk. Sebab kalau tidak akan terjadi kontradiksi.
Ancaman menurut Muktazilah, kalau Allah sudah memberi ancaman kepada sebagian hamba-Nya, Dia pasti menyiksanya dan tak mungkin mengingkari janji-Nya. Karena Allah selalu memenuhi janji-Nya. Jadi, menurut mereka, Allah tak akan memafkan dan memberi ampun siapa saja yang Dia kehendaki.
Adapun yang mereka maksud dengan di antara dua kedudukan bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak keluar dari keimanan, tapi tidak terjerumus pada kekufuran. Sedangkan konsep amar makruf nahi mungkar menurut Muktazilah ialah wajib menyuruh orang lain dengan apa yang diperintahkan kepada mereka. Termasuk kandungannya ialah boleh memberontak kepada para pemimpin dengan memeranginya apabila mereka berlaku zalim.
E. ISTILAH ASY’ARIYAH DAN AHLU SUNNAH WAL JAMAAH
As-Sunnah dalam istilah mempunyai beberapa makna. As-Sunnah menurut para Imam yaitu thariqah (jalan hidup) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di mana beliau dan para shahabat berada di atasnya. Mereka adalah orang yang selamat dari syubhat dan syahwat, sebagaimana yang tersirat dalam ucapan Al-Fudhail bin Iyadh, "Ahlus Sunnah itu orang yang mengetahui apa yang masuk ke dalam perutnya dari (makanan) yang halal.” Karena tanpa memakan yang haram termasuk salah satu perkara sunnah yang besar yang pernah dilakukan oleh Nabi dan para shahabat radhiyallahu'anhum.
Dalam pemahaman kebanyakan ulama muta'akhirin dari kalangan Ahli Hadits dan lainnya, as-sunnah itu ungkapan tentang apa yang selamat dari syubhat-syubhat dalam i'tiqad khususnya dalam masalah-masalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari Akhir, begitu juga dalam masalah-masalah Qadar dan Fadhailush-Shahabah (keutamaan shahabat).
Para Ulama itu menyusun beberapa kitab dalam masalah ini dan mereka menamakan karya-karya mereka itu sebagai "As-Sunnah". Menamakan masalah ini dengan "As-Sunnah" karena pentingnya masalah ini dan orang yang menyalahi dalam hal ini berada di tepi kehancuran. Adapun Sunnah yang sempurna adalah thariqah yang selamat dari syubhat dan syahwat.
Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah shahabatnya radhiyallahu 'anhum. Al-Imam Ibnul Jauzi menyatakan tidak diragukan bahwa Ahli Naqli dan Atsar pengikut atsar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan atsar para shahabatnya, mereka itu Ahlus Sunnah.
Kata "Ahlus-Sunnah" mempunyai dua makna. Pertama, mengikuti sunah-sunah dan atsar-atsar yang datangnya dari Rasulullah shallallu 'alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum, menekuninya, memisahkan yang shahih dari yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam masalah aqidah dan ahkam.
Kedua, lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama di mana mereka menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah, seperti Abu Ashim, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan lain-lain. Mereka maksudkan (As-Sunnah) itu i'tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma'.
Kedua makna itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab Ahlus Sunnah itu kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum. Adapun penamaan Ahlus Sunnah adalah sesudah terjadinya fitnah ketika awal munculnya firqah-firqah.
Ibnu Sirin rahimahullah menyatakan bahwa mereka pada mulanya tidak pernah menanyakan tentang sanad. Ketika terjadi fitnah (para ulama) mengatakan: Tunjukkan (nama-nama) perawimu kepada kami. Kemudian ia melihat kepada Ahlus Sunnah sehingga hadits mereka diambil. Dan melihat kepada Ahlul Bi'dah dan hadits mereka tidak di ambil.
Al-Imam Malik rahimahullah pernah ditanya, "Siapakah Ahlus Sunnah itu? Ia menjawab, “Ahlus Sunnah itu mereka yang tidak mempunyai laqab (julukan) yang sudah terkenal yakni bukan Jahmi, Qadari, dan bukan pula Rafidli.”
Kemudian ketika Jahmiyah mempunyai kekuasaan dan negara, mereka menjadi sumber bencana bagi manusia, mereka mengajak untuk masuk ke aliran Jahmiyah dengan anjuran dan paksaan. Mereka menggangu, menyiksa dan bahkan membunuh orang yang tidak sependapat dengan mereka. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan Al-Imam Ahmad bin Hanbal untuk membela Ahlus Sunnah. Di mana beliau bersabar atas ujian dan bencana yang ditimpakan mereka.
Beliau membantah dan patahkan hujjah-hujjah mereka, kemudian beliau umumkan serta munculkan As-Sunnah dan beliau menghadang di hadapan Ahlul Bid'ah dan Ahlul Kalam. Sehingga, beliau diberi gelar Imam Ahlus Sunnah.
Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa istilah Ahlus Sunnah terkenal di kalangan Ulama Mutaqaddimin (terdahulu) dengan istilah yang berlawanan dengan istilah Ahlul Ahwa' wal Bida' dari kelompok Rafidlah, Jahmiyah, Khawarij, Murji'ah dan lain-lain. Sedangkan Ahlus Sunnah tetap berpegang pada ushul (pokok) yang pernah diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan shahabat radhiyallahu 'anhum.
`Dengan demikian, ahlus sunnah wal jamaah adalah istilah yang digunakan untuk menamakan pengikut madzhab As-Salafus Shalih dalam i'tiqad. Banyak hadits yang memerintahkan untuk berjamaah dan melarang berfirqah-firqah dan keluar dari jamaah. Namun, para ulama berselisih tentang perintah berjamaah ini dalam beberapa pendapat:
1.      Jamaah itu adalah As-Sawadul A'dzam (sekelompok manusia atau kelompok terbesar) dari pemeluk Islam.
2.      Para Imam Mujtahid
3.      Para Shahabat Nabi radhiyallahu 'anhum.
4.      Jamaahnya kaum muslimin jika bersepakat atas sesuatu perkara.
5.      Jamaah kaum muslimin jika mengangkat seorang amir.
Pendapat-pendapat di atas kembali kepada dua makna. Pertama,
bahwa jamaah adalah mereka yang bersepakat mengangkat seseorang amir (pemimpin) menurut tuntunan syara', maka wajib melazimi jamaah ini dan haram menentang jamaah ini dan amirnya.
Kedua, bahwa jamaah yang Ahlus Sunnah melakukan i'tiba' dan meninggalkan ibtida' (bid'ah) adalah madzhab yang haq yang wajib diikuti dan dijalani menurut manhajnya. Ini adalah makna penafsiran jamaah dengan Shahabat Ahlul Ilmi wal Hadits, Ijma' atau As-Sawadul A'dzam.
Syaikhul Islam mengatakan, "Mereka (para ulama) menamakan Ahlul Jamaah karena jamaah itu adalah ijtima' (berkumpul) dan lawannya firqah. Meskipun lafadz jamaah telah menjadi satu nama untuk orang-orang yang berkelompok. Sedangkan ijma' merupakan pokok ketiga yang menjadi sandaran ilmu dan dien. Dan mereka (para ulama) mengukur semua perkataan dan pebuatan manusia zhahir maupun bathin yang ada hubungannya dengan din dengan ketiga pokok ini (Al-Qur'an, Sunnah dan Ijma').
Istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah mempunyai istilah yang sama dengan Ahlus Sunnah. Dan secara umum para ulama menggunakan istilah ini sebagai pembanding Ahlul Ahwa' wal Bida'. Contohnya : Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhum mengatakan tentang tafsir firman Allah Ta'ala, ”Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri dan adapula muka yang muram.” [Ali Imran: 105].
"Adapun orang-orang yang mukanya putih berseri adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah sedangkan orang-orang yang mukanya hitam muram adalah Ahlul Ahwa' wa Dhalalah.”
Sufyan Ats-Tsauri menyatakan bahwa jika sampai (khabar) kepadamu tentang seseorang di arah timur ada pendukung sunnah dan yang lainnya di arah barat maka kirimkanlah salam kepadanya dan doakanlah mereka. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah firqah yang berada di antara firqah-firqah yang ada, seperti juga kaum muslimin berada di tengah-tengah milah-milah lain. Penisbatan kepadanya, penamaan dengannya dan penggunaan nama ini menunjukkan atas luasnya i'tiqad dan manhaj.
Nama Ahlus Sunnah merupakan perkara yang baik dan boleh serta telah digunakan oleh para ulama salaf. Di antara yang paling banyak menggunakan istilah ini ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Istilah ahlu sunnah dan jamaah ini timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham gilongan Muktazilah, yang telah dikembangkan dari tahun 100 H atau 718 M. Dengan perlahan-lahan paham Muktazilah tersebut memberi pengaruh kuat dalam masyarakat Islam. Pengaruh ini mencapai puncaknya pada zaman khalifah-khalifah Bani Abbas, yaitu Al-Makmun, Al-Muktasim, dan Al-Wasiq (813 M-847 M). Pada masa Al-Makmun, yakni tahun 827 M bahkan aliran Muktazilah diakui sebagai mazhab resmi yang dianut negara.
Ajaran yang ditonjolkan ialah paham bahwa Al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Menurut mereka yang qadim hanyalah Allah. Kalau ada lebih dari satu zat yang qadim, berarti kita telah menyekutukan Allah. Menurut mereka Al-Qur’an adalah makhluk yang diciptakan Allah. Sebagai konsekuensi sikap khalifah terhadap mazhab ini, semua calon pegawai dan hakim harus menjalani tes keserasian dan kesetiaan pada ajaran mazhab.
Mazhab ahlu sunnah wal jaamaah muncul atas keberanian dan usaha Abul Hasan Al-Asy’ari. Ajaran teologi barunya kemudian dikenal dengan nama Sunah wal Jamaah. Untuk selanjutnya Ahli Sunah wal jamaah selalu dikaitkan pada kelompok pahan teologi Asy’ariyah ataupun Maturidiyah.
Asy'ariyah banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini. Kebanyakan di kalangan mereka mengatakan bahwa madzhab salaf "Ahlus Sunnah wa Jamaah" adalah apa yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah itu Asy'ariyah, Maturidiyah,dan Madzhab Salaf.
Sebenarnya, antara Asy’ariyah dan Maturidiyah sendiri memiliki beberapa perbedaan, di antaranya ialah dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Tentang sifat Tuhan
Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya. Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.


2. Tentang Perbuatan Manusia
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Menurut Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu semata-mata diwujdukan oleh manusia itu sendiri.
3. Tentang Al-Quran
Pandangan Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim. Mereka berselisih paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu makhluq.
4. Tentang Kewajiban Tuhan
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Maturidiyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. Pendapat Maturidiyah ini sejalan dengan pendapat Mu`tazilah.
5. Tentang Pelaku Dosa Besar
Pandangan Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama mengatakan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak gugur ke-Islamannya. Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu berada pada tempat diantara dua tempat “Manzilatun baina manzilatain”.
6. Tentang Janji Tuhan
Keduanya sepakat bahwa Tuhan akan melaksanakan janji-Nya. Seperti memberikan pahala kepada yang berbuat baik dan memberi siksa kepada yang berbuat jahat.

7. Tetang Rupa Tuhan
Keduanya sama-sama sependapat bahwa ayat-ayat Al-Quran yang mengandung informasi tentang bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus ditakwil dan diberi arti majaz dan tidak diartikan secara harfiyah.
Az-Zubaidi menyatakan bahwa jika dikatakan Ahlus Sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy'ariyah dan Maturidiyah.
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengemukakan bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal Jamaah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi.
Al-Ayji menuturkan bahwa Al-Firqatun Najiyah yang terpilih adalah orang-orang yang Rasulullah berkata tentang mereka, "Mereka itu adalah orang-orang yang berada di atas apa yang aku dan para shahabatku berada diatasnya." Mereka itu adalah Asy'ariyah dan Salaf dari kalangan Ahli Hadits dan Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Hasan Ayyub menuturkan bahwa ahlus sunnah adalah Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka berdua. Mereka berjalan di atas petunjuk Salafus Shalih dalam memahami aqaid.
Uraian di atas menjelaskan bahwa Asy’ariyah adalah ahlus sunnah wal jamaah itu sendiri. Pengakuan tersebut disanggah oleh Ibrahim Said dalam majalah Al-Bayan bahwa:
1.      Bahwa pemakaian istilah ini oleh pengikut Asy'ariyah dan Maturidiyah dan orang-orang yang terpengaruh oleh mereka sedikit pun tidak dapat merubah hakikat kebid'ahan dan kesesatan mereka dari Manhaj Salafus Shalih dalam banyak sebab.
2.      Bahwa penggunaan mereka terhadap istilah ini tidak menghalangi kita untuk menggunakan dan menamakan diri dengan istilah ini menurut syar'i dan yang digunakan oleh para ulama Salaf. Tidak ada aib dan cercaan bagi yang menggunakan istilah ini. Sedangkan yang diaibkan adalah jika bertentangan dengan i'tiqad dan madzhab Salafus Shalih dalam pokok (ushul) apa pun
Sayangnya, Ibrahim Said dalam makalahnya tidak menjelaskan kebatilan paham Asy’ariyah yang didakwakannya. Dalam buku Nasy’atul Asy’ariyyah wa Tathawwuruha, disebutkan bahwa istilah ahlus sunah wal jamaah memiliki dua makna, yaitu umum dan khusus. Makna secara umum dimaksudkan sebagai lawan dari Syi’ah yang di dalamnya juga masuk golongan Muktazilah dan Asya’irah. Makna khusus digunakan untuk menyebut Asya’riyah tanpa selainnya dari aliran-liran kalam dalam pemikiran filsafat Islam.
Jadi, makna ahlus sunnah secara umum dimaksudkan sebagai lawan dari kelompok Syi’ah, Muktazilah, dan bahkan Asy’ariyah itu sendiri. Adapun makna khususnya digunakan untuk menyebut Asy’ariyah untuk membedakannya dengan aliran-aliran kalam dalam pemikiran filsafat Islam.
















BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
                       
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari, seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.
Ada tiga periode dalam hidupnya yang berbeda dan merupakan perkembangan ijtihadnya dalam masalah akidah.
a.      Periode Pertama
Beliau hidup di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran Muktazilah. Bahkan sampai menjadi orang kepercayaannya. Periode ini berlangsung kira-kira selama 40-an tahun. Periode ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk akidah Muktazilah, hingga sampai pada titik kelemahannya dan kelebihannya.
b.      Periode Kedua
Di antara pemikirannya pada periode ini adalah beliau menetapkan 7 sifat untuk Allah lewat logika akal, yaitu: Al-Hayah (hidup), Al-Ilmu (ilmu), Al-Iradah (berkehendak), Al-Qudrah (berketetapan), As-Sama' (mendengar), Al-Bashar (melihat), Al-Kalam (berbicara).
c.       Periode Ketiga  
Beliau para periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya. Beliau tidak melakukan: takyif: menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah, ta'thil: menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki, tamtsil: menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu , tahrif: menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna lainnya.
B.Saran-saran 
Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat menjadi tambahan ilmu dan memperluas wawasan pembaca mengenai Asy-ariyah’ selaku Aliran-Aliran dalam islam  serta hal-hal yang terkait dengannya.



DAFTAR PUSTAKA


                                , Fi’Ilm al-Kalam,
Hanafi,Pengantar Theologi Islam,Jakarta: Pustaka Al_Husna,1999.
Nasution Harun,Teologi Islam, Jakarta: Universitas Indonesia, 1919.


[1] Harun Nasution,Teologi Islam (Salemba 4,Jakarta,Universitas Indonesia,1919),cet.5. hal. 65
[2] Ibid,
[3] A.Hanafi MA,Theology Islam,(Jakarta,Pustaka AL-Husna) hlm.105
[4] Fi’Ilm al-Kalam,hlm. 187

Tidak ada komentar:

Posting Komentar