By: MARDIANTO
BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Selain
dalam hal pemikiran modern, arah pembaharuan pemikiran Rasyid Ridha tidak jauh
berbeda dengan sang guru, Muhammad Abduh. Ide-ide pembaharuan penting yang
dikumandangkan Rasyid Ridha antara lain dalam bidang agama, pendidikan, dan
politik. Di bidang agama, Ridha mengatakan bahwa umat Islam lemah karena mereka
tidak lagi mengamalkan ajaran-ajaran Islam yang murni seperti yang dipraktikkan
pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat. Melainkan ajaran-ajaran yang
menyimpang dan lebih banyak bercampur dengan bid’ah dan khurafat.
Ridha
menegaskan jika umat Islam ingin maju, mereka harus kembali berpegang kepada
Alquran dan sunah. Ia membedakan antara masalah peribadatan (yang berhubungan
dengan Allah SWT) dan masalah muamalah (yang berhubungan dengan manusia).
Adapun masalah yang pertama menurut Ridha, telah tertuang dalam Alquran dan
hadits, yang ketentuannya harus dilaksanakan serta tidak berubah meskipun
situasi masyarakat terus berubah dan berkembang.
Sedangkan
untuk hal kedua, dasar dan prinsipnya telah diberikan, seperti keadilan,
persamaan, dan hal lain. Namun, pelaksanaan dasar-dasar itu diserahkan kepada
manusia untuk menentukan dengan potensi akal pikiran dan melihat situasi dan
kondisi yang dihadapi, sepanjang tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dasar
ajaran Islam.Di bidang pendidikan, Rasyid Ridha berpendapat bahwa umat Islam
akan maju jika menguasai bidang ini. Oleh karenanya, dia banyak mengimbau dan
mendorong umat Islam untuk menggunakan kekayaannya bagi pembangunan
lembaga-lembaga pendidikan. Dalam bidang ini, Ridha pun berupaya memajukan ide
pengembangan kurikulum dengan muatan ilmu agama dan umum. Dan sebagai bentuk
kepeduliannya, ia mendirikan sekolah di Kairo pada tahun 1912 yang diberi nama
Madrasah Ad-Da’wah wa Al-Irsyad. Dalam bidang politik, Ridha tertarik dengan
ide Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam). Sebab, Ridha banyak melihat
penyebab kemunduran Islam antara lain karena perpecahan yang terjadi di
kalangan mereka sendiri.Untuk itu, dia menyeru umat Islam agar bersatu kembali
dibawah satu keyakinan, satu sistem moral, satu sistem pendidikan, dan tunduk
dalam satu sistem hukum dalam satu kekuasaan yang berbentuk negara.
Namun,
negara yang diinginkannya bukan seperti konsep Barat, melainkan negara dalam
bentuk khilafah (kekhalifahan) seperti pada masa Al-khulafa ar-Rasyidin. Dia
menganjurkan pembentukan organisasi Al-jami’ah al-Islamiyah (Persatuan Umat
Islam) dibawah naungan khalifah.
Berangkat
darik ini pemakalah mencoba mengkaji pemikiran Rasyid Ridah lebih dalam lagi
sehingga tidak muncul lagi keraguan dalam menaggapinya.
B. Rumusan masalah
Dari
latar belakan yang di ajukan di atas maka dapat di tarik beberapa rumusan
masalah sebagai berikut:
1.
Jelaskan Biografi Singkat Muhammad Rasyid Ridha ?
2. Bagaimana
peranan Muhammad Rasyid Ridha?
3.
Bagaimana Pemikiran Pembaruan Muhammad Rasyid Ridha?
BAB I
PEMBAHASAN
A.
Biografi Singkat Muhammad Rasyid Ridha
Muhammad
Rasyid Ridha lahir di al-Qalamun di
pesisir Laut Tengah pada tanggal 23 September 1865 M. Suatu desa di lebanon
yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli (Siria). Menurut keterangann ia
berasal dari keturunan Al-Husain, cucu Nabi Muhammad SWA. Oleh karena itu ia
memakai gelar Al-Sayyid di depan namanya.[[1]] Dan
dia wafat pada tahun 1935 M. dari garis Husain bin Ali bin Abi Thalib. Pendidikannya dimulai di Madrasah al-Kitâb di al-Qalamun
kemudian dilanjutkan di Madrasah al-Rasyidiyyah di Tripoli. Pada usia 18 tahun
ia melanjutkan pendidikan di Madrasah al-Wathaniyyah al-Islâmiyyah] kemudian melanjutkan di al-Azhar pada tahun 1898
M.
B. Peranan Muhammad Rasyid Ridha
Muhammad Rasyid Ridha
sangat mengagumi pemikiran dan gerakan Jamaluddin al-Afghani serta seorang
muridnya, Muhammad Abduh. Melalui majalah al-’Utwatul Wuśqa, Ridha
mengenal pemikiran-pemikiran Jamaluddin Al-Afghani serta muridnya tersebut.
Sejak itu ia ingin sekali bertemu dengan kedua idolanya tersebut agar ia bisa
menimba pengalaman dari keduanya. Ia sempat ingin bergabung dengan al-Afghani
saat tokoh ini menetap di Istambul, tetapi niat itu tidak pernah tercapai.
Sewaktu Abduh diasingkan ke Beirut, kesempatan itu dipergunakan oleh Rasyid
Ridha untuk menemuinya. Semenjak itu ia lebih mengenal Abduh bahkan menjadi
salah satu murid setianya.
Bersama-sama Abduh, Rasyid
Ridha menerbitkan majalah al-Manâr. Majalah ini memiliki tujuan yang
sama dengan ’Urwatul Wuśqa, di antaranya adalah pembaruan dalam bidang
agama, sosial, ekonomi, memberantas khurafat dan bid’ah-bid’ah yang masuk
kedalam tubuh Islam, menghilangkan faham
fatalisme yang terdapat dalam kalangan umat islam, serta faham-faham yang
dibawa tarekat-tarekat tasawwuf, meningkatkan mutu pendidikan dan membela umat
Islam terhadap permainan politik negar-negar barat.[[2]]
Rasyid Ridha juga berjasa
besar dalam melanjutkan usaha gurunya dalam penafsiran al-Qur’an secara modern.
Tafsir itu kemudian dikenal dengan nama Tafsir al-Manâr. Tafsir al-Manâr
ini disusun Rasyid Ridha berdasarkan ceramah-ceramah Muhammad Abduh. Sebelum
menyelesaikan tafsir seluruh ayat al-Qur’an, Muhammad Abduh meninggal dunia.
Oleh karenanya Rasyid Ridha kemudian menyelesaikannya.
Majalah al-Manar
mulai terbit pada tanggal 22 syawwal 1315H/15 maret 1898 M. pada mulanya
majalah tersebut terbit dalam bentuk tabloid, sekali dalam seminggu, kemudian
setengah bulan sekali, kemudian sebulan sekali, dan kadang-kadang Sembilan
nomor dalam satu setahunya. Majalah itu dapat diterbitkan Ridha’ seorang diri
hingga akhir hayatnya. Apa yang telah di lakukan oleh Ridha merupakan prestasi besar
yang sulit ditandingi orang lain. Selama al-Manar terbit, sebanyak 34
jilid besar dan setiap jilidnya berisi 1000 halaman telah terkumpul seluruhnya.
Setelah Ridha wafat, masih ada upaya dari kalangan keluarga dan sahabatnya
untuk meneruskan penerbitan majalah tersebut. Namun, mereka hanya mampu
menerbitkan dua nomor, kemudian dihimpun menjadi jilid ke-35.[[3]]
Sesuai
dengan visinya di atas, maka misi yang dilaksanakan Ridha untuk mencapai visi
tersebut terlihat dengan jelas pada tujuan diterbitkannya majalah al-Manar
pada nomor perdananya dijelaskan bahwa tujuan majalah tersebut antara lain
melaksanakan pembeharuan di bidang agama, sosial, dan ekonomi; menjelaskan
bukti-bukti kebenaran Islam dan keserasianya dengan kemajuan zaman; meneruskan
cita-cita al-Urwah al-Wustqa; memberantas bid’ah, khurafat, takhayul,
kepercayaan jabar dan fatalis paham-paham yang keliru tentang kada dan kadar;
praktik-praktik bid’ah atau sesat yang terdapat dalam tarekat-tarekat sufi;
meningkatkan mutu pendidikan Islam; dan memacu umat Islam agar dapat mengejar
umat-umat lain dalam berbagai bidang yang diperlukan untuk mencapai kemajuan
dan kesejahteraan umat.[[4]]
Seesuai
dengan tujuan tersebut, maka majalah al-Manar memuat dan memublikasikan
banyak ide pembaharuan al-Afghani, Abduh, dan juga Ridha’. Ide pembaruan Ridha
pada prinsipnya tidak berbeda dengan ide
pembaruan dari gurunya, Muhammad Abduh dan Jamal al-Afghani.[[5]]
C. Pemikiran Pembaruan Muhammad Rasyid Ridha
Untuk
membicarakan pemikiran pembeharu yang di cetuskan oleh Rasyid Rida perlu di
bahas tentang beberapa kajian meliputiaspek-aspek teologi, syariat dan
pendidikan.
a. Kemurnian
aqidah
Muhammad
Rasyid Rida hidup dalam kurung waktu 1282 H/1863M-1354H/1935M dalam suasana
politik pemerintahan kerajaan usmani. Pemikiranya yang berkaitan dengan teologi
terutama mengajak umat Islam kembali ke zaman awal di saat umat Islam masih
memiliki akidah yang murni.[[6]]
Zaman ini disebut dengan zaman salaf yang meliputi masa rasul dan
sahabat.keutamaan generasi awal ini telah diisyaratkan dalam al-Qur’an surat 9
(al-Taubah) ayat 100, sebagai berikut:
cqà)Î6»¡¡9$#ur
tbqä9¨rF{$#
z`ÏB
tûïÌÉf»ygßJø9$#
Í$|ÁRF{$#ur
tûïÏ%©!$#ur
Nèdqãèt7¨?$#
9`»|¡ômÎ*Î/
Å̧
ª!$#
öNåk÷]tã
(#qàÊuur
çm÷Ztã
£tãr&ur
öNçlm;
;MȬZy_
Ìôfs?
$ygtFøtrB
ã»yg÷RF{$#
tûïÏ$Î#»yz
!$pkÏù
#Yt/r&
4 y7Ï9ºs
ãöqxÿø9$#
ãLìÏàyèø9$#
ÇÊÉÉÈ
Artinya:
orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan
anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka
kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.
Akida
Islam pada saat itu masih belum tercemar oleh unsur-unsur tradisri dan
pemikiran filosofis. Pemahaman terhadap agama mereka masih bersandar pada sumber
yang utentik yaitu al-Qur’an dan hadis.[7]
b. Akal dan
wahyu
Kajian
teologis berkenaan dengan akal dan wahyu di kalangan mutakallimin
mempermasalahkan kesanggupan akal dan fungsi wahyu terhadap persoalan pokok
Islam dalam agama yaitu Tuhan serta kebaikan dan kejahatan. Pertanyaan yang
dimajukan adalah sebagai berikut:
1.
Dapatkah akal mengetahui adanya Tuhan?
2.
Kalau ya, dapatkah akal mengetahui kewajiban
berterima kasih kepada Tuhan?
3.
Dapatkah akal mengetahui apa yang baik dan apa
yang jahat?
4.
Kalau ya,dapatkah akal mengetahui bahwa wajib
bagi manusia berbuat baik dan wajib baginya menjauhi perbuatan jahat?
Dalam menjawab keempat pertanyaan
tersebut kaum teolog terbagi dua aliran yaitu aliran rasioanal dan aliran
tradisional.kalangan aliran rasional seperti Mu’tazilah dan Maturidiah
Samarkand menempatkan akal sebagai mempunyai daya yang kuat. Sedangkan bagi
kalangan aliran tradisional seperti Asy’ariah dan maturidia Bukhara menempatkan
akal daya yang lemah.
Intensitas kekuatan akal dalam
mengkaji masalah-masalah ketuhanan terutama untuk menjawab empat macam
pertanyaan sebaimana dinyatakan Harun Nasution sebagai berikut:
Kalau kita selidiki buku-buku
klasik tentang ilmu kalam akan kita jumpai bahwa persoalan kekuasaan dan fungsi
wahyu ini dihubungkan dengan dua masalah pokonya masing-masing bercabang dua.
Maslah pertama di hubungakan dengan dua masalah yang masing-masing bercabang
dua. Masalah pertama ialah soal pnegetahuan Tuhan dan masalah kedua soal baik
dan jahat. Masalah pertama bercabang dua menjadi mengetahui Tuhan dan kewajiban
mengetahui Tuhan, yang dalam istilah Arab disebut husnul ma’rifat Allah dan
wujud ma’rifat Allah. Kedua cabang dari masalah ialah mengetahui baik dan
jahat dan kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan jahat
atau ma’rifat husn wa al qubh dan wujud ub I’tin’aq al
hasan wa ijtin’ab al qabih yang juga disebut al-tahs in wa al taqb’in.
Polemik yang terjadi di kalangan
Islam rasional dan tradisional terhadap empat persoalan ketuhanan tersebut
terutama mencakup manakah yang dapat diperoleh dengan akal dan mana yang
diperoleh melalui wahyu.
Pemikiran Rasyid Rida dalam aspek
ketuhanan menghendaki agar urusan keyakinan mengakui petunjuk dari wahyu.
Sungguhpun demikian akal tetap diperlukan untuk memberikan penjelasan dan
argumentasi terutama kapada mereka yang masih ragu-ragu. Dengan kat lain Rasid
Rida melihat wahyu mempunyai fungsi yang sangat penting untuk memahami
persoalan-persoalan pokok dalam agama. Pada sisi lain akalpun memeiliki
kesanggupan untuk memperoleh pemahaman terhadap persoalan-persoalan pokok
keagamaan karena pada dasarnya wahyu
member motivasi agar manusia menggunakan akalnya serta mencelah mereka yang
memiliki keyakinan terhadap Tuhan tampa dibarengi dengan argumen-argumen
rasional yang kuat.
c.
Sifat Tuhan
Bagi Rasyid Rida, dengan memahami teks
al-Qur’an yang berkenaan dengan soal
Tuhan dipahami bahwa Tuhan itu mempunyai sifat, sebagaimana halnya dengan
pandangan golongan salafiah Ahmad Ibnuhambal dan Ibnu Taimiah.[[8]]
Oleh karean itu, dalam memahami sifat
Tuhan, Rasyid Rida memiliki corak teologi Asy’ariyah. Namun demikian terdapat
perbedaan dalam memberikan interpretasi tentang sifat-sifat Tuhan Asy’ariah
menyikapi sifat Tuhan dengan pandangan bili kaifa (tampa perlu
memberikan takwil) dan demikian pula Ahmad Ibn Hambal.[[9]]
Pemahaman Rasyid Rida terhadap sifat-sifat
Tuhan pada dasarnya mengaku dan menetapkan adanya sifat(isba’at al-sifat).
Ia menyebut bahwa sifat-sifat Tuhan itu tergambar dalam al-asma’ al-husn’a.
d.
Perbuatan Manusia
Perbuatan
Manusia, menurut Rasyid Rida sudah
dipolakan oleh suatu hukum yang telah ditetapakan Tuhan yang disebut
sunnatullah, yang tidak mengalami perubahan. Tuhan berfirman dalam surat
Al-Fath ayat 23 sebagai berikut:
sp¨Zß
«!$#
ÓÉL©9$#
ôs%
ôMn=yz
`ÏB
ã@ö6s%
( `s9ur
yÅgrB
Ïp¨ZÝ¡Ï9
«!$#
WxÏö7s?
ÇËÌÈ
23. sebagai suatu sunnatullah yang telah
Berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan peubahan bagi
sunnatullah itu.
Berkenaan dengan sunnatullah, Rasyid Rida
menjelaskan sebaimana berikut:
“bahwa
Allah SWT membuat aturan-aturan tentang penciptaan-penciptaan atau kejadian-
kejadian yang memberikan petunjuk kepada manusia sebagai hukum umum yang
menjelaskan tentang sebab-sebab dan musabab-musabab. Hal itu tidak terjadi perbedaan antara seseorang dengan lainya.[[10]]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Di
antara pemikiran-pemikiran Muhammad Rasyid Ridho adalah:
1)
Sikap aktif dan dinamis di kalangan umat.
2)
Umat Islam harus meninggalkan sikap fatalisme
(jabariyyah).
3)
Akal dapat dipergunakan untuk menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an ataupun hadis tanpa meninggalkan prinsip umum.
4)
Jika ingin maju, umat Islam harus
menguasai sains dan teknologi.
5)
Kemunduran umat Islam disebabkan oleh banyaknya unsur
bid’ah dan khurafat yang masuk ke dalam ajaran Islam.
6)
Kebahagiaan di dunia dan di akhirat diperoleh melalui
hukum alam yang diciptakan Allah.
7)
Perlunya menghidupkan kembali sistem pemerintahan
Khulafaur Rasyidin.
8)
Khalifah adalah penguasa di seluruh dunia Islam yang
menguasai bidang agama dan politik.
9)
Khalifah harus seorang mujtahid besar yang dibantu para
ulama dalam menerapkan prinsip-prinsip hukum Islam sesuai dengan tuntutan
zaman.
B. Saran-saran
Penulisan makalah ini tentulah banyak sekali
kekurangannya, sehingga diharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat
membangun baik dari dosen mata kuliah aqidah/Ilmu kalam maupun dari rekan-rekan
mahasiswa.
DAFTAR
PUSTAKA
. Athaillah.Rasyid Ridha: konsep teologi rasional dalam tafsir
al-Manar.Jakarta:Penerbit Erlangga.2006.
Muhaimin, M.A.Pembaharuan Islam:Refleksi pemikiran Rasyid Rida dan
Tokoh-Tokoh Muammadiah,. Yogyakarta:Pustaka Dinamika,2000.
Nasution, Harun.Pembaharuan dalam Islam:Sejarah Pemikiran dan Gerakan,.Jakarta:Bulan
Bintang,1992.
[1] Prof.
Dr. Harun Nasution,Pembaharuan dalam Islam:Sejarah Pemikiran dan Gerakan,(Cet.9,Jakarta:Bulan
Bintang,1992),Hlm.69
[2] Ibid,Hlm.70
[3] A.
Athaillah,Rasyid Ridha: konsep teologi rasional dalam tafsir al-Manar,(Jakarta:Penerbit
Erlangga,2006),Hlm.33
[4] Ibid,Hlm.34
[5] Ibid,
[6]
Prof.Dr.H. Muhaimin, M.A,Pembaharuan Islam:Refleksi pemikiran Rasyid Rida
dan Tokoh-Tokoh Muammadiah,(Cet.1,Yogyakarta:Pustaka Dinamika,2000),Hlm.17
[7] Ibid,.Hlm.18
[8] Ibid,Hlm.32
[9] Ibid,.
[10] Ibid,
Hlm.40
Tidak ada komentar:
Posting Komentar