Kamis, 02 Mei 2013

RASYID RIDHA


 By: MARDIANTO

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
           
            Selain dalam hal pemikiran modern, arah pembaharuan pemikiran Rasyid Ridha tidak jauh berbeda dengan sang guru, Muhammad Abduh. Ide-ide pembaharuan penting yang dikumandangkan Rasyid Ridha antara lain dalam bidang agama, pendidikan, dan politik. Di bidang agama, Ridha mengatakan bahwa umat Islam lemah karena mereka tidak lagi mengamalkan ajaran-ajaran Islam yang murni seperti yang dipraktikkan pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat. Melainkan ajaran-ajaran yang menyimpang dan lebih banyak bercampur dengan bid’ah dan khurafat.
Ridha menegaskan jika umat Islam ingin maju, mereka harus kembali berpegang kepada Alquran dan sunah. Ia membedakan antara masalah peribadatan (yang berhubungan dengan Allah SWT) dan masalah muamalah (yang berhubungan dengan manusia). Adapun masalah yang pertama menurut Ridha, telah tertuang dalam Alquran dan hadits, yang ketentuannya harus dilaksanakan serta tidak berubah meskipun situasi masyarakat terus berubah dan berkembang.
Sedangkan untuk hal kedua, dasar dan prinsipnya telah diberikan, seperti keadilan, persamaan, dan hal lain. Namun, pelaksanaan dasar-dasar itu diserahkan kepada manusia untuk menentukan dengan potensi akal pikiran dan melihat situasi dan kondisi yang dihadapi, sepanjang tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dasar ajaran Islam.Di bidang pendidikan, Rasyid Ridha berpendapat bahwa umat Islam akan maju jika menguasai bidang ini. Oleh karenanya, dia banyak mengimbau dan mendorong umat Islam untuk menggunakan kekayaannya bagi pembangunan lembaga-lembaga pendidikan. Dalam bidang ini, Ridha pun berupaya memajukan ide pengembangan kurikulum dengan muatan ilmu agama dan umum. Dan sebagai bentuk kepeduliannya, ia mendirikan sekolah di Kairo pada tahun 1912 yang diberi nama Madrasah Ad-Da’wah wa Al-Irsyad. Dalam bidang politik, Ridha tertarik dengan ide Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam). Sebab, Ridha banyak melihat penyebab kemunduran Islam antara lain karena perpecahan yang terjadi di kalangan mereka sendiri.Untuk itu, dia menyeru umat Islam agar bersatu kembali dibawah satu keyakinan, satu sistem moral, satu sistem pendidikan, dan tunduk dalam satu sistem hukum dalam satu kekuasaan yang berbentuk negara.
Namun, negara yang diinginkannya bukan seperti konsep Barat, melainkan negara dalam bentuk khilafah (kekhalifahan) seperti pada masa Al-khulafa ar-Rasyidin. Dia menganjurkan pembentukan organisasi Al-jami’ah al-Islamiyah (Persatuan Umat Islam) dibawah naungan khalifah.
Berangkat darik ini pemakalah mencoba mengkaji pemikiran Rasyid Ridah lebih dalam lagi sehingga tidak muncul lagi keraguan dalam menaggapinya.
B. Rumusan masalah
Dari latar belakan yang di ajukan di atas maka dapat di tarik beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Jelaskan Biografi Singkat Muhammad Rasyid Ridha ?
2.      Bagaimana peranan Muhammad Rasyid Ridha?
3.      Bagaimana Pemikiran Pembaruan Muhammad Rasyid Ridha?




BAB I
PEMBAHASAN

A.   Biografi Singkat Muhammad Rasyid Ridha

Muhammad Rasyid Ridha lahir di al-Qalamun di pesisir Laut Tengah pada tanggal 23 September 1865 M. Suatu desa di lebanon yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli (Siria). Menurut keterangann ia berasal dari keturunan Al-Husain, cucu Nabi Muhammad SWA. Oleh karena itu ia memakai gelar Al-Sayyid di depan namanya.[[1]] Dan dia wafat pada tahun 1935 M. dari garis Husain bin Ali bin Abi Thalib. Pendidikannya dimulai di Madrasah al-Kitâb di al-Qalamun kemudian dilanjutkan di Madrasah al-Rasyidiyyah di Tripoli. Pada usia 18 tahun ia melanjutkan pendidikan di Madrasah al-Wathaniyyah al-Islâmiyyah] kemudian melanjutkan di al-Azhar pada tahun 1898 M.

B.   Peranan Muhammad Rasyid Ridha

Muhammad Rasyid Ridha sangat mengagumi pemikiran dan gerakan Jamaluddin al-Afghani serta seorang muridnya, Muhammad Abduh. Melalui majalah al-’Utwatul Wuśqa, Ridha mengenal pemikiran-pemikiran Jamaluddin Al-Afghani serta muridnya tersebut. Sejak itu ia ingin sekali bertemu dengan kedua idolanya tersebut agar ia bisa menimba pengalaman dari keduanya. Ia sempat ingin bergabung dengan al-Afghani saat tokoh ini menetap di Istambul, tetapi niat itu tidak pernah tercapai. Sewaktu Abduh diasingkan ke Beirut, kesempatan itu dipergunakan oleh Rasyid Ridha untuk menemuinya. Semenjak itu ia lebih mengenal Abduh bahkan menjadi salah satu murid setianya.

Bersama-sama Abduh, Rasyid Ridha menerbitkan majalah al-Manâr. Majalah ini memiliki tujuan yang sama dengan ’Urwatul Wuśqa, di antaranya adalah pembaruan dalam bidang agama, sosial, ekonomi, memberantas khurafat dan bid’ah-bid’ah yang masuk kedalam tubuh  Islam, menghilangkan faham fatalisme yang terdapat dalam kalangan umat islam, serta faham-faham yang dibawa tarekat-tarekat tasawwuf, meningkatkan mutu pendidikan dan membela umat Islam terhadap permainan politik negar-negar barat.[[2]]
Rasyid Ridha juga berjasa besar dalam melanjutkan usaha gurunya dalam penafsiran al-Qur’an secara modern. Tafsir itu kemudian dikenal dengan nama Tafsir al-Manâr. Tafsir al-Manâr ini disusun Rasyid Ridha berdasarkan ceramah-ceramah Muhammad Abduh. Sebelum menyelesaikan tafsir seluruh ayat al-Qur’an, Muhammad Abduh meninggal dunia. Oleh karenanya Rasyid Ridha kemudian menyelesaikannya.

Majalah al-Manar mulai terbit pada tanggal 22 syawwal 1315H/15 maret 1898 M. pada mulanya majalah tersebut terbit dalam bentuk tabloid, sekali dalam seminggu, kemudian setengah bulan sekali, kemudian sebulan sekali, dan kadang-kadang Sembilan nomor dalam satu setahunya. Majalah itu dapat diterbitkan Ridha’ seorang diri hingga akhir hayatnya. Apa yang telah di lakukan oleh Ridha merupakan prestasi besar yang sulit ditandingi orang lain. Selama al-Manar terbit, sebanyak 34 jilid besar dan setiap jilidnya berisi 1000 halaman telah terkumpul seluruhnya. Setelah Ridha wafat, masih ada upaya dari kalangan keluarga dan sahabatnya untuk meneruskan penerbitan majalah tersebut. Namun, mereka hanya mampu menerbitkan dua nomor, kemudian dihimpun menjadi jilid ke-35.[[3]]

Sesuai dengan visinya di atas, maka misi yang dilaksanakan Ridha untuk mencapai visi tersebut terlihat dengan jelas pada tujuan diterbitkannya majalah al-Manar pada nomor perdananya dijelaskan bahwa tujuan majalah tersebut antara lain melaksanakan pembeharuan di bidang agama, sosial, dan ekonomi; menjelaskan bukti-bukti kebenaran Islam dan keserasianya dengan kemajuan zaman; meneruskan cita-cita al-Urwah al-Wustqa; memberantas bid’ah, khurafat, takhayul, kepercayaan jabar dan fatalis paham-paham yang keliru tentang kada dan kadar; praktik-praktik bid’ah atau sesat yang terdapat dalam tarekat-tarekat sufi; meningkatkan mutu pendidikan Islam; dan memacu umat Islam agar dapat mengejar umat-umat lain dalam berbagai bidang yang diperlukan untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan umat.[[4]]

Seesuai dengan tujuan tersebut, maka majalah al-Manar memuat dan memublikasikan banyak ide pembaharuan al-Afghani, Abduh, dan juga Ridha’. Ide pembaruan Ridha pada prinsipnya tidak berbeda dengan  ide pembaruan dari gurunya, Muhammad Abduh dan Jamal al-Afghani.[[5]]

C.   Pemikiran Pembaruan Muhammad Rasyid Ridha
Untuk membicarakan pemikiran pembeharu yang di cetuskan oleh Rasyid Rida perlu di bahas tentang beberapa kajian meliputiaspek-aspek teologi, syariat dan pendidikan.

a.       Kemurnian aqidah
Muhammad Rasyid Rida hidup dalam kurung waktu 1282 H/1863M-1354H/1935M dalam suasana politik pemerintahan kerajaan usmani. Pemikiranya yang berkaitan dengan teologi terutama mengajak umat Islam kembali ke zaman awal di saat umat Islam masih memiliki akidah yang murni.[[6]] Zaman ini disebut dengan zaman salaf yang meliputi masa rasul dan sahabat.keutamaan generasi awal ini telah diisyaratkan dalam al-Qur’an surat 9 (al-Taubah) ayat 100, sebagai berikut:
šcqà)Î6»¡¡9$#ur tbqä9¨rF{$# z`ÏB tûï̍Éf»ygßJø9$# Í$|ÁRF{$#ur tûïÏ%©!$#ur Nèdqãèt7¨?$# 9`»|¡ômÎ*Î/ šÅ̧ ª!$# öNåk÷]tã (#qàÊuur çm÷Ztã £tãr&ur öNçlm; ;M»¨Zy_ ̍ôfs? $ygtFøtrB ㍻yg÷RF{$# tûïÏ$Î#»yz !$pkŽÏù #Yt/r& 4 y7Ï9ºsŒ ãöqxÿø9$# ãLìÏàyèø9$# ÇÊÉÉÈ  
Artinya:
orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.

Akida Islam pada saat itu masih belum tercemar oleh unsur-unsur tradisri dan pemikiran filosofis. Pemahaman terhadap agama mereka masih bersandar pada sumber yang utentik yaitu al-Qur’an dan hadis.[7]

b.      Akal dan wahyu

Kajian teologis berkenaan dengan akal dan wahyu di kalangan mutakallimin mempermasalahkan kesanggupan akal dan fungsi wahyu terhadap persoalan pokok Islam dalam agama yaitu Tuhan serta kebaikan dan kejahatan. Pertanyaan yang dimajukan adalah sebagai berikut:
1.      Dapatkah akal mengetahui adanya Tuhan?
2.      Kalau ya, dapatkah akal mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan?
3.      Dapatkah akal mengetahui apa yang baik dan apa yang jahat?
4.      Kalau ya,dapatkah akal mengetahui bahwa wajib bagi manusia berbuat baik dan wajib baginya menjauhi perbuatan jahat?
           
            Dalam menjawab keempat pertanyaan tersebut kaum teolog terbagi dua aliran yaitu aliran rasioanal dan aliran tradisional.kalangan aliran rasional seperti Mu’tazilah dan Maturidiah Samarkand menempatkan akal sebagai mempunyai daya yang kuat. Sedangkan bagi kalangan aliran tradisional seperti Asy’ariah dan maturidia Bukhara menempatkan akal daya yang lemah.
            Intensitas kekuatan akal dalam mengkaji masalah-masalah ketuhanan terutama untuk menjawab empat macam pertanyaan sebaimana dinyatakan Harun Nasution sebagai berikut:
            Kalau kita selidiki buku-buku klasik tentang ilmu kalam akan kita jumpai bahwa persoalan kekuasaan dan fungsi wahyu ini dihubungkan dengan dua masalah pokonya masing-masing bercabang dua. Maslah pertama di hubungakan dengan dua masalah yang masing-masing bercabang dua. Masalah pertama ialah soal pnegetahuan Tuhan dan masalah kedua soal baik dan jahat. Masalah pertama bercabang dua menjadi mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan, yang dalam istilah Arab disebut husnul ma’rifat Allah dan wujud ma’rifat Allah. Kedua cabang dari masalah ialah mengetahui baik dan jahat dan kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan jahat atau ma’rifat husn wa al qubh dan wujud ub I’tin’aq al hasan wa ijtin’ab al qabih yang juga disebut al-tahs in wa al taqb’in.
           
            Polemik yang terjadi di kalangan Islam rasional dan tradisional terhadap empat persoalan ketuhanan tersebut terutama mencakup manakah yang dapat diperoleh dengan akal dan mana yang diperoleh melalui wahyu.
            Pemikiran Rasyid Rida dalam aspek ketuhanan menghendaki agar urusan keyakinan mengakui petunjuk dari wahyu. Sungguhpun demikian akal tetap diperlukan untuk memberikan penjelasan dan argumentasi terutama kapada mereka yang masih ragu-ragu. Dengan kat lain Rasid Rida melihat wahyu mempunyai fungsi yang sangat penting untuk memahami persoalan-persoalan pokok dalam agama. Pada sisi lain akalpun memeiliki kesanggupan untuk memperoleh pemahaman terhadap persoalan-persoalan pokok keagamaan  karena pada dasarnya wahyu member motivasi agar manusia menggunakan akalnya serta mencelah mereka yang memiliki keyakinan terhadap Tuhan tampa dibarengi dengan argumen-argumen rasional yang kuat.
c.       Sifat Tuhan
      Bagi Rasyid Rida, dengan memahami teks al-Qur’an  yang berkenaan dengan soal Tuhan dipahami bahwa Tuhan itu mempunyai sifat, sebagaimana halnya dengan pandangan golongan salafiah Ahmad Ibnuhambal dan Ibnu Taimiah.[[8]]
      Oleh karean itu, dalam memahami sifat Tuhan, Rasyid Rida memiliki corak teologi Asy’ariyah. Namun demikian terdapat perbedaan dalam memberikan interpretasi tentang sifat-sifat Tuhan Asy’ariah menyikapi sifat Tuhan dengan pandangan bili kaifa (tampa perlu memberikan takwil) dan demikian pula Ahmad Ibn Hambal.[[9]]
      Pemahaman Rasyid Rida terhadap sifat-sifat Tuhan pada dasarnya mengaku dan menetapkan adanya sifat(isba’at al-sifat). Ia menyebut bahwa sifat-sifat Tuhan itu tergambar dalam  al-asma’ al-husn’a.
                       
d.      Perbuatan Manusia
      Perbuatan Manusia, menurut Rasyid Rida sudah  dipolakan oleh suatu hukum yang telah ditetapakan Tuhan yang disebut sunnatullah, yang tidak mengalami perubahan. Tuhan berfirman dalam surat Al-Fath ayat 23 sebagai berikut:
sp¨Zß «!$# ÓÉL©9$# ôs% ôMn=yz `ÏB ã@ö6s% ( `s9ur yÅgrB Ïp¨ZÝ¡Ï9 «!$# WxƒÏö7s? ÇËÌÈ  
23. sebagai suatu sunnatullah yang telah Berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan peubahan bagi sunnatullah itu.

             Berkenaan dengan sunnatullah, Rasyid Rida menjelaskan sebaimana berikut:
      “bahwa Allah SWT membuat aturan-aturan tentang penciptaan-penciptaan atau kejadian- kejadian yang memberikan petunjuk kepada manusia sebagai hukum umum yang menjelaskan tentang sebab-sebab dan musabab-musabab. Hal itu tidak terjadi  perbedaan antara seseorang dengan lainya.[[10]]






BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan

Di antara pemikiran-pemikiran Muhammad Rasyid Ridho adalah:
1)          Sikap aktif dan dinamis di kalangan umat.
2)          Umat Islam harus meninggalkan sikap fatalisme (jabariyyah).
3)          Akal dapat dipergunakan untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an ataupun hadis tanpa meninggalkan prinsip umum.
4)          Jika ingin maju, umat Islam harus menguasai sains dan teknologi.
5)          Kemunduran umat Islam disebabkan oleh banyaknya unsur bid’ah dan khurafat yang masuk ke dalam ajaran Islam.
6)          Kebahagiaan di dunia dan di akhirat diperoleh melalui hukum alam yang diciptakan Allah.
7)          Perlunya menghidupkan kembali sistem pemerintahan Khulafaur Rasyidin.
8)          Khalifah adalah penguasa di seluruh dunia Islam yang menguasai bidang agama dan politik.
9)          Khalifah harus seorang mujtahid besar yang dibantu para ulama dalam menerapkan prinsip-prinsip hukum Islam sesuai dengan tuntutan zaman.

B. Saran-saran

               Penulisan makalah ini tentulah banyak sekali kekurangannya, sehingga diharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun baik dari dosen mata kuliah aqidah/Ilmu kalam maupun dari rekan-rekan mahasiswa.











DAFTAR PUSTAKA



. Athaillah.Rasyid Ridha: konsep teologi rasional dalam tafsir al-Manar.Jakarta:Penerbit Erlangga.2006.
Muhaimin, M.A.Pembaharuan Islam:Refleksi pemikiran Rasyid Rida dan Tokoh-Tokoh Muammadiah,. Yogyakarta:Pustaka Dinamika,2000.
Nasution, Harun.Pembaharuan dalam Islam:Sejarah Pemikiran dan Gerakan,.Jakarta:Bulan Bintang,1992.



[1] Prof. Dr. Harun Nasution,Pembaharuan dalam Islam:Sejarah Pemikiran dan Gerakan,(Cet.9,Jakarta:Bulan Bintang,1992),Hlm.69
[2] Ibid,Hlm.70
[3] A. Athaillah,Rasyid Ridha: konsep teologi rasional dalam tafsir al-Manar,(Jakarta:Penerbit Erlangga,2006),Hlm.33
[4] Ibid,Hlm.34
[5] Ibid,
[6] Prof.Dr.H. Muhaimin, M.A,Pembaharuan Islam:Refleksi pemikiran Rasyid Rida dan Tokoh-Tokoh Muammadiah,(Cet.1,Yogyakarta:Pustaka Dinamika,2000),Hlm.17
[7] Ibid,.Hlm.18
[8] Ibid,Hlm.32
[9] Ibid,.
[10] Ibid, Hlm.40

Tidak ada komentar:

Posting Komentar