By: MARDIANTO
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan bernegara, bermasyarakat bahkan
berkelompok social kita tidak akan lepas dari namanya permasalahan utamanya masalah
tentang Ketuhanan yang banyak di perbincaangkan dari segenap lembaga-lembaga.
Tampaknya dalam membahas tentang ketuhanan itu banyak sekali pemahaman yang
berbeda-beda. Namun kali ini pemakalah akan membahas tentang Keesaan Tuhan dan
Keberagaman Makhluk yang dapat memberikan pengetahuan tentang bagaiman cara
bertauhid dengan murni untuk kembali kepada jalan yang benar.
Berangkat dari ini pemakala mencoba memberikan pemahaman
tentang cara-cara bertauhid dengan murni yang di ajarkalan dalam agama sehingga
dapat kita aplikasikan dalam kehidupan agar menjadi manusia yang bertakwa.
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan
Pengertian keesaan dalam keberagaman makhluk?
2. Bagaimana
cara Allah memperkenalkan diri-Nya?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Keesaan (Tauhid)
Dalam Keberagaman
Arti Keesaan(
Tauhid) menurut bahasanya: mensatukan atau membulatkan tekad untuk satu, atau
menuju kearah satu[1]
dan meyakini Allah itu “Satu” tidak ada syarikat bagi-Nya[2].
Sedangkan dalam istilah Keesaan ( Tauhid) merupakan Iktikad atau keyakinan
bahwa Allah SWT adalah Esa; Tunggal; Satu. Pengertian ini sejalan dengan
pengertian Tauhid yang digunakan dalam bahasa Indonesia, yaitu “Keesaan Allah”;
mentauhidkan berarti “mengakui keesaan Allah; mengesakan Allah”.[3]
Pada dasarnya
inti pokok ajaran al-Qur’an adalah tauhid. Nabi Muhammad SAW di utus Allah kepada umat manusia adalah
juga untuk mengajarkan ketauhidan tersebut[4].
Karena itu, ajaran tauhid yang terdapat di dalam al-Qur’an dipertegas dan
diperjelas oleh Rasullah SAW sebagai mana tercermin dalam hadis-hadisnya.
Adapun penegasan ketauhidan di dalam al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah
SWT itu Esa di antaranya:
ö@è%
uqèd
ª!$#
îymr&
ÇÊÈ ª!$#
ßyJ¢Á9$#
ÇËÈ öNs9
ô$Î#t
öNs9ur
ôs9qã
ÇÌÈ öNs9ur
`ä3t
¼ã&©!
#·qàÿà2
7ymr&
ÇÍÈ
1. Katakanlah:
"Dia-lah Allah, yang Maha Esa.
2. Allah
adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
3. Dia
tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
4. dan
tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."
Ayat di atas
tegas sekali menyatakan bahwa Allah itu Esa; Satu Tunggal. Bahkan Allah memberikan
penegasan khusus bahwa Allah tidak beranak,tidak pula diperanakkan[5].
Bertambah
bersih cara kita berfikir, bertambah terbukalah jalan kepada tauhid. Akhir dari
perjalanan akal,walaupun dari pangkal yang mana kita mulai hanyalah satu ucapan
saja, yaitu: “La ilaha illal lah”( Tiada Tuhan melainkan Allah)[6].
Dan untuk
meluruskan kembali ajaran langit yang sudah bengkok dalam artian kembali kepada
agama tauhid yang murni yaitu dengan cara:
Pertama: bahwa seorang muslim harus berani mengatakan tidak
pada kebatilan,pada menifestasai thaghut’dan padasetiap ketidakberneran.
Kedua: setelah seorang bertauhid meniadakan apa-apa yang
selain Allah, (famayyakfuru bithaguthuti),kemudian (wayu’min billah),beriman
kepada Allah.yaitu memiliki keyakinan kepadaAllah secara penuh.
Ketiga: manusia muslim
mempunyai proclamation atau declaration of life, proklamasi atau
deklarasi kehidupan yang dituntunkan al-Qur’an sendiri, yaitu dengan kata-kata qul,
katakanlah wahai Muhammad, wahai pemeluk agama-agama Muhammad.
Keempat: berusaha
menerjamahkan keyakinan kita menjadi konkret, menjadi satu sikap budaya untuk
mengembangknan amal saleh.
Kelima: orang yang
bertauhid megambil kriteria atau ukuran baik dan buruk, ukuran yang terpujidan
tercelah atau terkutuk, kembali kepada tuntunan Ilahi[7].
Keesaan dalam
keragaman atau keragaman dalam keesaan diakui hampir di semua agama. Hanya saja
untuk sampai ke pemahaman seperti ini diperlukan kesadaran yang lebih tinggi.Hanyalah
orang yang berada di dalam makam tertentu bisa melihat dan merasakan hakikat
keberadaan Yang Mahaesa di dalam keberagaman wujud (Makhluk).
B. Allah memperkenalkan dirinya
Berawal dari
keinginan Allah SWT untuk memperkenalkan diri-Nya, sebagaimana diungkapkan di
dalam hadis Qudsi, “Aku pada mulanya harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin
dikenal, maka kuciptakanlah makhluk dan melalui Aku mereka pun kenal pada-Ku.”
Dengan kata lain, Tuhan sendirilah yang mesti mengatakan kepada manusia perihal
diri-Nya. Bagaimanapun juga, masih amat sulit memahami orang lain, dan
hampir tidak mungkin melakukanya kecuali mereka mengungkapkan perihal diri
mereka melalui perkataan[8].
Sebelum Allah
SWT memperkenalkan diri-Nya maka tidak ada yang bisa mengerti Allah SWT selain
Diri-Nya. Allah SWT ketika itu masih tetap pada puncak dari segala puncak
rahasia (sirr al-asrar) atau dalam Islatilah Ibnu Arabi Allah SWT dalam kapasitasnya
sebagai Ahadiyah.
Ketika Ia mau
memperkenalkan diri-Nya, maka Ia memperkenalkan identitas diri-Nya yang oleh
para teolog (mutakallimin) lebih dikenal dengan nama-nama-Nya (al-Asma) dan
oleh para sufi lebih dikenal dengan sifat-sifat-Nya (al-Aushaf).
Keberadaan
potensi dan aktualisasi yakni sebuah keberadaan yang masih bersifat potensial
dan tersembunyi dalam pengetahuan Tuhan (Ilmiyyah al-Haq). Keberadaan ini juga
sering disebut berada pada level Wahidiyyah. Keberadaan ini belum berada
pada level alam yang sudah merupakan keberadaan aktualitas yang konkret
(maujud/existence) atau menurut Ibnu Arabi disebut dengan al-A'yan
al-Kharijiyyah, yakni sesuatu yang berwujud di level konkret melalui proses
emanasi agung (al-faidh al-muqaddas).
Keberadaan
entitas-entitas ini merupakan hasil emanasi awal (al-tajalli al-awwal/al-faidh
al-aqdas). Proses emanasi agung melahirkan al-A’yan al-Kharijiyyah, yaitu keberadaan
yang sudah aktual, bukan lagi keberadaan potensial. Disebut demikian karena
berada di lingkaran luar dari al-A’yan al-Tsabitah. Keberadaan yang terakhir
ini tidak lagi disebut entitas tetap (al-tsabit) karena sudah bersifat aktual
dan menerima perubahan (al-hawadits).
Wujud
potensial berupa nama-nama atau sifat-sifat ini menuntut aktualisasi. Allah SWT
sebagai Tuhan Yang Disembah (Rab/Ilah), maka sudah barang tentu memerlukan
penyembah (marbub/makhluk). Contoh lain, Allah SWT memiliki sejumlah nama atau
sifat, seperti al-Khaliq (Mahapencipta), al-Wahhab (Mahapemberi), al-Rahim
(Mahapenyayang), dan al-Gafur (Mahapengampun), dan al-Tawwab (Mahapenerima
taubat), dan seterusnya. Untuk
mengaktualisasikan nama-nama dan sifat-sifat itu memerlukan obyek. Sebab,
bagaimana mungkin mengatakan Sang Khalik tanpa makhluk, Sang Mahapemberi tanpa
obyek yang diberi, Sang Mahapenyayang tanpa obyek yang disayangi, Sang
Mahapengampun dan Sang Penerima Taubat tanpa ada obyek yang melakukan kesalahan
dan kekurangan yang perlu di ampuni.
Dari sini
dapat dipahami, Tuhan menimbulkan realitas dan realitas menimbulkan entitas.
Asal-usul penciptaan keragaman makhluk yang berasal dari Mahaesa rupanya
dibahas juga di dalam agama-agama lain. Kadang-kadang, pembahasan agama lain
dapat digunakan untuk memahami dalil-dalil penciptaan makhluk di dalam Islam.
Namun yang
banyak menjadi permasalahan dalam keesaan Tuhan dan keberagaman makhluk adalah
tidak sedikit manusia berpikir kreatif
yang amal kreatifitasnya (proses) menjauhkan diri dari ketauhidan terhadap
Rabbul Jalali[9]. Bertumpuk sudah dalil yang terlontar dari
para ahli kitab yang getol memodeifikasi ajaran-ajaran langit yang lurus
menjadi bengkok, namun kepalsuan piker mereka akhirnya dibongkar-gamblang oleh
firman-firman kebenaran yang mutakhir, yang berlaku buat segala ruang-waktu,
yang lugas menajamkan lagi nilai ketauhidan Ilahiyah, yang telah lama
didistorsi oleh kekusutan pikir manusia! Dialah al-Qur’anul Karim yang
menginginkan kembali akan buruknya pikiran-pikiran para ahli kitab yang telah
berani mencercah-cercah, ke-Esa-an Allah[10].
Bahkan setelah dicerca-cercah, doktrin tauhid itu diaduk-aduk lagi dengan (pikiran-pikiran
Thabi’y)[11]
masa lampau yang jelas-jelas penuh nilai kekhurafatan.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
pembahasan yang di paparkan di atas maka pemakalah dapat menyimpulkan beberapa
inti permasalahan yang bisa kita jadikan sebagai renungan dalam hidup yaitu:
1.
Arti Keesaan( Tauhid)
menurut bahasanya: mensatukan atau membulatkan tekad untuk satu, atau menuju
kearah satu dan meyakini Allah itu “Satu” tidak ada syarikat bagi-Nya.
Sedangkan dalam istilah Keesaan ( Tauhid) merupakan Iktikad atau keyakinan
bahwa Allah SWT adalah Esa; Tunggal; Satu. Pengertian ini sejalan dengan
pengertian Tauhid yang digunakan dalam bahasa Indonesia, yaitu “Keesaan Allah”;
mentauhidkan berarti “mengakui keesaan Allah; mengesakan Allah”.
2.
Allah SWT memperkenalkan
diri-Nya, sebagaimana diungkapkan di dalam hadis Qudsi, “Aku pada mulanya harta
yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka kuciptakanlah makhluk dan
melalui Aku mereka pun kenal pada-Ku.” Dengan kata lain, Tuhan sendirilah yang
mesti mengatakan kepada manusia perihal diri-Nya. Bagaimanapun juga, masih amat
sulit memahami orang lain, dan hampir tidak mungkin melakukanya kecuali
mereka mengungkapkan perihal diri mereka melalui perkataan.
B.
Saran dan Kritik
Dengan adanya makalah ini semoga dapat menambah wawasan pemakalah
dan pembaca mengenai “Ke-Esaan Tuhan dan keberagaman Makhluk”. Dan kami sangat mengarapkan
kepada para pelajar untuk senantiasa memanfaatkan makala ini sebagai bahan
bacaan.
Dan apabila
dalam pembuatan makalah ini yang sangat sederhana, tentulah banyak suatu kekurangan
dan kesalahan yang akan timbul. Maka dari itu kami sebagai penyusun
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak agar menjadi
bahan pembelajaran bagi penyusun makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Syekh
Muhammad. 1412 H/1992 M. Risalah Tauhid.Jakarta:Bulan Bintang.
Asmuni, M.Yusran.1993.Ilmu Tauhid.
Jakarta: citra niaga Rajawali Pers.
Aziz,Abdul.1982.Kebersihan Iman
dan Tauhid. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Dedy
Suardi.1993.Vibrassi Tauhid:Meresonansi Keesaan Tuhan.Bandung:PT. Remaja
Rosdakarya.
Hamka.1992.Pelajaran Agama Islam.Jakarta:Bulan
Bintang.
Murata,
Sachiko dan William C. Chittick.1997.Trilogi Islam:Islam,Iman dan Ihsan,Jakarta:PT
Raja Grafindo Persada.
Rais, M.
Amin. 1998.Tauhid Sosial:Formula Menggempur Kesenjangan. Bandung:Mizan.
[1]
Abdul Aziz,Kebersihan Iman dan Tauhid,( Surabaya: PT. Bina Ilmu,1982),Hlm.3
[2]
Syekh Muhammad Abduh,Risalah Tauhid,(Cet.9,Jakarta:Bulan Bintang, 1412
H/1992 M),Hlm.3
[3]
H.M.Yusran Asmuni,Ilmu Tauhid,(Cet. 1, Jakarta: citra niaga Rajawali
Pers,1993),Hlm.1
[4]
Ibid, Hlm.15
[5]
Ibid, Hlm. 15-16
[6]
Hamka,Pelajaran Agama Islam(Cet.11,Jakarta:Bulan Bintang,1992),Hlm.60
[7]M.
Amin Rais, Tauhid Sosial:Formula Menggempur Kesenjangan, (Cet.1,
Bandung:Mizan, 1998) Hlm.38-43
[8]
Sachiko Murata dan William C. Chittick,Trilogi Islam:Islam,Iman dan Ihsan,(Cet.
1,Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,1997), Hlm.22-23
[9]
Dedy Suardi,Vibrassi Tauhid:Meresonansi Keesaan Tuhan,(Cet.1,Bandung:PT
Remaja Rosdakarya,1993),Hlm.26
[10]
Ibid,
[11]
Pikiran-pikiran Thabi’y merupakan agama yang timbul dari
angan-angan manusiayang ingin beragama,
ingin mengabdi, dan memuja terhadap sesuatu yang dianggap mahakuasa atas
dirinya;tampa bersal dari wahyu ilahi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar