Kamis, 02 Mei 2013

KESATUAN DALAM KEBERAGAMAN


By: MARDIANTO

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
            Dalam kehidupan bernegara, bermasyarakat bahkan berkelompok social kita tidak akan lepas dari namanya permasalahan utamanya masalah tentang Ketuhanan yang banyak di perbincaangkan dari segenap lembaga-lembaga. Tampaknya dalam membahas tentang ketuhanan itu banyak sekali pemahaman yang berbeda-beda. Namun kali ini pemakalah akan membahas tentang Keesaan Tuhan dan Keberagaman Makhluk yang dapat memberikan pengetahuan tentang bagaiman cara bertauhid dengan murni untuk kembali kepada jalan yang benar.
            Berangkat dari ini pemakala mencoba memberikan pemahaman tentang cara-cara bertauhid dengan murni yang di ajarkalan dalam agama sehingga dapat kita aplikasikan dalam kehidupan agar menjadi manusia yang bertakwa.
B. Rumusan Masalah
1.      Jelaskan Pengertian keesaan dalam keberagaman makhluk?
2.      Bagaimana cara Allah memperkenalkan diri-Nya?






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Keesaan (Tauhid) Dalam Keberagaman

Arti Keesaan( Tauhid) menurut bahasanya: mensatukan atau membulatkan tekad untuk satu, atau menuju kearah satu[1] dan meyakini Allah itu “Satu” tidak ada syarikat bagi-Nya[2]. Sedangkan dalam istilah Keesaan ( Tauhid) merupakan Iktikad atau keyakinan bahwa Allah SWT adalah Esa; Tunggal; Satu. Pengertian ini sejalan dengan pengertian Tauhid yang digunakan dalam bahasa Indonesia, yaitu “Keesaan Allah”; mentauhidkan berarti “mengakui keesaan Allah; mengesakan Allah”.[3]
Pada dasarnya inti pokok ajaran al-Qur’an adalah tauhid. Nabi Muhammad  SAW di utus Allah kepada umat manusia adalah juga untuk mengajarkan ketauhidan tersebut[4]. Karena itu, ajaran tauhid yang terdapat di dalam al-Qur’an dipertegas dan diperjelas oleh Rasullah SAW sebagai mana tercermin dalam hadis-hadisnya. Adapun penegasan ketauhidan di dalam al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah SWT  itu Esa di antaranya:
ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ   ª!$# ßyJ¢Á9$# ÇËÈ   öNs9 ô$Î#tƒ öNs9ur ôs9qムÇÌÈ   öNs9ur `ä3tƒ ¼ã&©! #·qàÿà2 7ymr& ÇÍÈ  
1. Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa.
2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
4. dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."
Ayat di atas tegas sekali menyatakan bahwa Allah itu Esa; Satu Tunggal. Bahkan Allah memberikan penegasan khusus bahwa Allah tidak beranak,tidak pula diperanakkan[5].
Bertambah bersih cara kita berfikir, bertambah terbukalah jalan kepada tauhid. Akhir dari perjalanan akal,walaupun dari pangkal yang mana kita mulai hanyalah satu ucapan saja, yaitu: “La ilaha illal lah”( Tiada Tuhan melainkan Allah)[6].
Dan untuk meluruskan kembali ajaran langit yang sudah bengkok dalam artian kembali kepada agama tauhid yang murni yaitu dengan cara:

Pertama: bahwa seorang muslim harus berani mengatakan tidak pada kebatilan,pada menifestasai thaghut’dan padasetiap ketidakberneran.
Kedua:   setelah  seorang bertauhid meniadakan apa-apa yang selain Allah, (famayyakfuru bithaguthuti),kemudian (wayu’min billah),beriman kepada Allah.yaitu memiliki keyakinan kepadaAllah secara penuh.
Ketiga:    manusia muslim mempunyai proclamation atau declaration of life, proklamasi atau deklarasi kehidupan yang dituntunkan al-Qur’an sendiri, yaitu dengan kata-kata qul, katakanlah wahai Muhammad, wahai pemeluk agama-agama Muhammad.
Keempat:   berusaha menerjamahkan keyakinan kita menjadi konkret, menjadi satu sikap budaya untuk mengembangknan amal saleh.
Kelima:     orang yang bertauhid megambil kriteria atau ukuran baik dan buruk, ukuran yang terpujidan tercelah atau terkutuk, kembali kepada tuntunan Ilahi[7].

Keesaan dalam keragaman atau keragaman dalam keesaan diakui hampir di semua agama. Hanya saja untuk sampai ke pemahaman seperti ini diperlukan kesadaran yang lebih tinggi.Hanyalah orang yang berada di dalam makam tertentu bisa melihat dan merasakan hakikat keberadaan Yang Mahaesa di dalam keberagaman wujud (Makhluk).

B. Allah memperkenalkan dirinya

Berawal dari keinginan Allah SWT untuk memperkenalkan diri-Nya, sebagaimana diungkapkan di dalam hadis Qudsi, “Aku pada mulanya harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka kuciptakanlah makhluk dan melalui Aku mereka pun kenal pada-Ku.” Dengan kata lain, Tuhan sendirilah yang mesti mengatakan kepada manusia perihal diri-Nya. Bagaimanapun juga, masih amat sulit memahami orang lain, dan hampir tidak mungkin melakukanya kecuali mereka mengungkapkan perihal diri mereka melalui perkataan[8].
Sebelum Allah SWT memperkenalkan diri-Nya maka tidak ada yang bisa mengerti Allah SWT selain Diri-Nya. Allah SWT ketika itu masih tetap pada puncak dari segala puncak rahasia (sirr al-asrar) atau dalam Islatilah Ibnu Arabi Allah SWT dalam kapasitasnya sebagai Ahadiyah.
Ketika Ia mau memperkenalkan diri-Nya, maka Ia memperkenalkan identitas diri-Nya yang oleh para teolog (mutakallimin) lebih dikenal dengan nama-nama-Nya (al-Asma) dan oleh para sufi lebih dikenal dengan sifat-sifat-Nya (al-Aushaf).
Keberadaan potensi dan aktualisasi yakni sebuah keberadaan yang masih bersifat potensial dan tersembunyi dalam pengetahuan Tuhan (Ilmiyyah al-Haq). Keberadaan ini juga sering disebut berada pada level Wahidiyyah. Keberadaan ini belum berada pada level alam yang sudah merupakan keberadaan aktualitas yang konkret (maujud/existence) atau menurut Ibnu Arabi disebut dengan al-A'yan al-Kharijiyyah, yakni sesuatu yang berwujud di level konkret melalui proses emanasi agung (al-faidh al-muqaddas).
Keberadaan entitas-entitas ini merupakan hasil emanasi awal (al-tajalli al-awwal/al-faidh al-aqdas). Proses emanasi agung melahirkan al-A’yan al-Kharijiyyah, yaitu keberadaan yang sudah aktual, bukan lagi keberadaan potensial. Disebut demikian karena berada di lingkaran luar dari al-A’yan al-Tsabitah. Keberadaan yang terakhir ini tidak lagi disebut entitas tetap (al-tsabit) karena sudah bersifat aktual dan menerima perubahan (al-hawadits).
Wujud potensial berupa nama-nama atau sifat-sifat ini menuntut aktualisasi. Allah SWT sebagai Tuhan Yang Disembah (Rab/Ilah), maka sudah barang tentu memerlukan penyembah (marbub/makhluk). Contoh lain, Allah SWT memiliki sejumlah nama atau sifat, seperti al-Khaliq (Mahapencipta), al-Wahhab (Mahapemberi), al-Rahim (Mahapenyayang), dan al-Gafur (Mahapengampun), dan al-Tawwab (Mahapenerima taubat), dan seterusnya.  Untuk mengaktualisasikan nama-nama dan sifat-sifat itu memerlukan obyek. Sebab, bagaimana mungkin mengatakan Sang Khalik tanpa makhluk, Sang Mahapemberi tanpa obyek yang diberi, Sang Mahapenyayang tanpa obyek yang disayangi, Sang Mahapengampun dan Sang Penerima Taubat tanpa ada obyek yang melakukan kesalahan dan kekurangan yang perlu di ampuni.

Dari sini dapat dipahami, Tuhan menimbulkan realitas dan realitas menimbulkan entitas. Asal-usul penciptaan keragaman makhluk yang berasal dari Mahaesa rupanya dibahas juga di dalam agama-agama lain. Kadang-kadang, pembahasan agama lain dapat digunakan untuk memahami dalil-dalil penciptaan makhluk di dalam Islam.

Namun yang banyak menjadi permasalahan dalam keesaan Tuhan dan keberagaman makhluk adalah tidak sedikit manusia  berpikir kreatif yang amal kreatifitasnya (proses) menjauhkan diri dari ketauhidan terhadap Rabbul Jalali[9].  Bertumpuk sudah dalil yang terlontar dari para ahli kitab yang getol memodeifikasi ajaran-ajaran langit yang lurus menjadi bengkok, namun kepalsuan piker mereka akhirnya dibongkar-gamblang oleh firman-firman kebenaran yang mutakhir, yang berlaku buat segala ruang-waktu, yang lugas menajamkan lagi nilai ketauhidan Ilahiyah, yang telah lama didistorsi oleh kekusutan pikir manusia! Dialah al-Qur’anul Karim yang menginginkan kembali akan buruknya pikiran-pikiran para ahli kitab yang telah berani mencercah-cercah, ke-Esa-an Allah[10]. Bahkan setelah dicerca-cercah, doktrin tauhid itu diaduk-aduk lagi dengan (pikiran-pikiran Thabi’y)[11] masa lampau yang jelas-jelas penuh nilai kekhurafatan.



BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
           
                  Dari pembahasan yang di paparkan di atas maka pemakalah dapat menyimpulkan beberapa inti permasalahan yang bisa kita jadikan sebagai renungan dalam hidup yaitu:

1.      Arti Keesaan( Tauhid) menurut bahasanya: mensatukan atau membulatkan tekad untuk satu, atau menuju kearah satu dan meyakini Allah itu “Satu” tidak ada syarikat bagi-Nya. Sedangkan dalam istilah Keesaan ( Tauhid) merupakan Iktikad atau keyakinan bahwa Allah SWT adalah Esa; Tunggal; Satu. Pengertian ini sejalan dengan pengertian Tauhid yang digunakan dalam bahasa Indonesia, yaitu “Keesaan Allah”; mentauhidkan berarti “mengakui keesaan Allah; mengesakan Allah”.

2.      Allah SWT memperkenalkan diri-Nya, sebagaimana diungkapkan di dalam hadis Qudsi, “Aku pada mulanya harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka kuciptakanlah makhluk dan melalui Aku mereka pun kenal pada-Ku.” Dengan kata lain, Tuhan sendirilah yang mesti mengatakan kepada manusia perihal diri-Nya. Bagaimanapun juga, masih amat sulit memahami orang lain, dan hampir tidak mungkin melakukanya kecuali mereka mengungkapkan perihal diri mereka melalui perkataan.
B.     Saran dan Kritik
Dengan adanya makalah ini semoga dapat menambah wawasan pemakalah dan pembaca mengenai “Ke-Esaan Tuhan dan keberagaman Makhluk”. Dan kami sangat mengarapkan kepada para pelajar untuk senantiasa memanfaatkan makala ini sebagai bahan bacaan.
            Dan apabila dalam pembuatan makalah ini yang sangat sederhana, tentulah banyak suatu kekurangan dan kesalahan yang akan timbul. Maka dari itu kami sebagai penyusun mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak agar menjadi bahan pembelajaran bagi penyusun makalah ini.



DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Syekh Muhammad. 1412 H/1992 M. Risalah Tauhid.Jakarta:Bulan Bintang.
Asmuni, M.Yusran.1993.Ilmu Tauhid. Jakarta: citra niaga Rajawali Pers.
Aziz,Abdul.1982.Kebersihan Iman dan Tauhid. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Dedy Suardi.1993.Vibrassi Tauhid:Meresonansi Keesaan Tuhan.Bandung:PT. Remaja Rosdakarya.
 Hamka.1992.Pelajaran Agama Islam.Jakarta:Bulan Bintang.
Murata, Sachiko dan William C. Chittick.1997.Trilogi Islam:Islam,Iman dan Ihsan,Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.
Rais, M. Amin. 1998.Tauhid Sosial:Formula Menggempur Kesenjangan. Bandung:Mizan.



[1] Abdul Aziz,Kebersihan Iman dan Tauhid,( Surabaya: PT. Bina Ilmu,1982),Hlm.3
[2] Syekh Muhammad Abduh,Risalah Tauhid,(Cet.9,Jakarta:Bulan Bintang, 1412 H/1992 M),Hlm.3
[3] H.M.Yusran Asmuni,Ilmu Tauhid,(Cet. 1, Jakarta: citra niaga Rajawali Pers,1993),Hlm.1
[4] Ibid, Hlm.15
[5] Ibid, Hlm. 15-16
[6] Hamka,Pelajaran Agama Islam(Cet.11,Jakarta:Bulan Bintang,1992),Hlm.60
[7]M. Amin Rais, Tauhid Sosial:Formula Menggempur Kesenjangan, (Cet.1, Bandung:Mizan, 1998) Hlm.38-43
[8] Sachiko Murata dan William C. Chittick,Trilogi Islam:Islam,Iman dan Ihsan,(Cet. 1,Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,1997), Hlm.22-23
[9] Dedy Suardi,Vibrassi Tauhid:Meresonansi Keesaan Tuhan,(Cet.1,Bandung:PT Remaja Rosdakarya,1993),Hlm.26
[10] Ibid,
[11] Pikiran-pikiran Thabi’y merupakan agama yang timbul dari angan-angan  manusiayang ingin beragama, ingin mengabdi, dan memuja terhadap sesuatu yang dianggap mahakuasa atas dirinya;tampa bersal dari wahyu ilahi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar