BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah
makhluk yang memiliki kelebihan dan kekurangan. Puncak kelebihannya bisa lebih
mulia dari malaikat, dan titik terendah kekurangannya lebih hina dari binatang
. Tetapi dibalik kelebihan dan kekurangannya itu, manusia adalah makhluk yang
penuh misteri. Tidaklah mengherankan jika kemudian muncul begitu banyak kajian,
penelitian ataupun pemikiran tentang manusia dalam segala aspeknya. Salah
satunya adalah tentang jiwa.
Pemahaman tentang jiwa pada manusia
merupakan salah satu bagian dari kajian filsafat. Plato banyak menghabiskan
waktunya melakukan penelitian tentang jiwa. Bahkan Sokrates mencurahkan seluruh
pemikirannya untuk mengetahui kemisterian jiwa, sebagaimana dalam ungkapannya
“kenalilah dirimu”. Dua kata inilah, ia memulai filsafatnya dan dengan dua kata
ini pulalah ia mengakhiri hidupnya.
Kenyataan yang tidak dapat dinyalahi
bahwa persoalan jiwa adalah salah satu rahasia Tuhan yang ada pada diri
hamba-Nya, ia hadir menjadi teka-teki yang belum terpecahkan secara sempurna,
tetapi menimbulkan banyak pendapat. Oleh karena itu, kajian tentang jiwa
merupakan suatu hal yang urgen untuk dilakukan.
B. Rumusan Masalah
Pokok permasalahan dalam makalah ini
adalah, Kajian kritis terhadap pemikiran Islam tentang jiwa dalam filsafat
Islam. selanjutnya akan diurai dalam beberapa sub-pokok bahasan. Di antaranya ;
1.
Apa yang dimaksud dengan jiwa?
2.
Bagaimana persepsi Al-Qura’an terhadap Jiwa?
3.
Bagaimana pandangan filosof muslim tentang jiwa?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengetian Jiwa
Secara leksikografis, jiwa merupakan kata benda
yang berarti roh manusia, nyawa; seluruh kehidupan batin, sesuatu yang utama
yang menjadi semangat; maksud sebenarnya, isi yang sebenarnya, arti yang
tersirat, buah hati, kekasih, orang (dalam perhitungan penduduk)
Telaah pemikiran Islam tentang jiwa dalam kaitannya dengan filsafat Islam, akan ditilik dari akar kata bahasa Arab, yaitu kata al-nafs. Al-nafs (nun-fa-sin) menunjukkan arti keluarnya angin lembut bagaimana pun adanya. Al-nafs juga diartikan darah , atau hati (qalb) dan sanubari (damir), padanya ada rahasia yang tersembunyi . Juga berarti ruh, saudara, ‘indahu (kepemilikan) .
Telaah pemikiran Islam tentang jiwa dalam kaitannya dengan filsafat Islam, akan ditilik dari akar kata bahasa Arab, yaitu kata al-nafs. Al-nafs (nun-fa-sin) menunjukkan arti keluarnya angin lembut bagaimana pun adanya. Al-nafs juga diartikan darah , atau hati (qalb) dan sanubari (damir), padanya ada rahasia yang tersembunyi . Juga berarti ruh, saudara, ‘indahu (kepemilikan) .
Dari uraian di atas dapat dipahami
bahwasanya jiwa kadangkala diartikan sebagai sesuatu yang berbentuk fisik yang
materil melekat pada diri manusia, tampak dan tidak tersembunyi, tetapi pada
waktu lain ia mengandung arti sebagai sesuatu yang berbentuk non-materil, yang
mengalir pada diri fisik manusia sebagai jauhar (substansi), substansi ruh
ataupun substansi berfikir.
Jauhar tersebut merupakan substansi
yang berbeda dengan badan ini, ia bukan badan tetapi merupakan makna antara
substansi dan makna, demikian menurut Al-Hariri yang diriwayatkan dari Ja’far
bin Mubasyir . Jauhar tersebut menurut Aristoteles adalah jauharun basit
(sederhana, tidak tersusun, tidak panjang dan tidak lebar) menyebar ke setiap
yang memiliki ruh pada alam ini, agar supaya makhluk dapat bekerja dan mengatur
urusan-urusannya.
Dalam ensiklopedi Arab, kata ruh
(ra-wa-ya) memiliki keluasan makna dan keumuman hukum. Dengan kasrah, al-rih
artinya hembusan angin. Dengan fathah, al-raha berarti tenang/ istirahat, al-raih
artinya hembusan udara ketika bernafas. Ruh juga berarti awal kehidupan yang
padanyalah kehidupan jiwa .
Dari penjelasan di atas, penulis
berkesimpulan bahwa jiwa adalah sesuatu yang maujud (ada), tetapi bagaimana
wujudnya? Inilah yang berbeda di kalangan para filosof, theologi dan ahlu
sunnah dan tasawwuf. Jika sebagian golongan ahlu hadits dan tasawwuf meyakini
jiwa berbeda dengan ruh, maka sebagian yang lain dari para filosof Muslim
justru menganggap jiwa dan ruh itu adalah sinonim. Letak perbedaan tersebut
bisa dipahami karena adanya perbedaan pada disiplin ilmu. sehingga berbeda pula
sudut pandangnnya.
B. Pengertian
Fisik/badan/tubuh/jasmani/raga/benda
Dalam
kamus besar filsafat fisik atau badan merupakan:
1.
Dipaka sebagai sinonim dengan obyek material
atau materi
Misalnya:
“benda yang sedang bergerak akan tetap bargerak”
2.
Menunjukkan komposisi materi dari manusia untuk
di bedakan dari pikiran, roh atau jiwa.
3.
Hal-hal yang dapat diamati secara inderawi di
sekeliling kita disebut benda (bodies).
4.
Ciri umum dari semua benda adalah keluasan
(kuantitas) dan mengisi suatu ruang tertentu.
5.
Kompenetrasi benda-benda sebenarnya berarti
bahwa beberapa benda menempati ruang yang sama. Sebenarnya, kompenetrasi ini
mustahil meskipun tidak mengandung kontradiksi di dalam dri sendiri (inner
contradiction). Tidak ada kompenetrasi( dalam pengertian filosofis) dalam
larutan kiamiawi atau di dalam persenyawaan gas-gas yang berlainan.[1]
B. Jiwa Dalam Al-Quran
Kata jiwa
di dalam al-Quran disebutkan lebih dari 250 kali dengan berbagai varian
(perubahan) katanya. Di antaranya Al-Fi’l (kata kerja) seperti تنفس إذا,
al-Ism (kata benda), baik isim al-nakirah نفس, Isim al-ma’rifah
المتنافسون
, mufrad نفسا ataupun jamak الأنفس, serta yang
bergandengan dengan damir seperti نفسي,
أنفسكم
.
Dengan
jumlahnya yang lebih dari dua ratus lima puluh kali, dapat dipastikan bahwa lafaz
al-nafs mempunyai arti yang lebih dari satu dan maksud yang beragam, yakni:
1.
Al-Qalb
(Hati), terdapat pada Q.S. Qaf : 16
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ
وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ
الْوَرِيدِ ...
2.
Minkum
(dari kalian) terdapat pada Q.S. Al-Taubah : 128
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُم...
3.
Al-Insan
(manusia), terdapat pada Q.S. al-Maidah : 32
مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ
فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا...
4.
Ba’dukum
(sebagian di antara kalian), terdapat pada Q.S. al-Baqarah/2:54
فَتُوبُوا إِلَى بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ
لَكُمْ عِنْدَ بَارِئِكُمْ...
5.
Al-Ruh
(roh), terdapat pada Q.S. al-Zumar : 42
اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ
حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا...
6.
Ahli al-Din
(ahli agama), terdapat pada Q.S. Al-Nisa :29
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا...
7.
Diri manusia,
terdapat pada Q.S. al-Nisa : 66
وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ أَوِ
اخْرُجُوا مِنْ دِيَارِكُمْ...
8.
‘Uqubat
(balasan/hukuman), terdapat pada Q.S. Ali Imran/3 :28
وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ...
9.
Al-Umm
(ibu), terdapat pada Q.S. Al-Nur : 12
لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ
بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ ...
10.
Al-Gaib
(gaib), terdapat pada Q.S. al-Maidah/4: 116
تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا
أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ …
C. Pandangan Filosof Muslim Tentang Jiwa
1.
Al-Kindi
Jiwa kata al-Kindi adalah
kesempurnaan pertama bagi jisim alami yang memiliki kehidupan secara potensial,
dan mengatakan jiwa adalah kesempurnaan jisim alami yang organis yang menerima
kehidupan[2].Artinya
jiwa merupakan kesempurnaan esensial bagi jisim,yang tanpanya jisim tidak
berfungsi sama sekali, jisim akan binasa jika telah ditinggalkan jiwa[3].jadi,
hakikat jiwa menurut al-Kindi adalah jauhar basith (tunggal, tidak tersusun, tidak
panjang, dalam, dan lebar)[4]. Jiwa
mempunyai wujud tersendiri, terpisah dan berbeda dengan jasad atau badan[5]
Argumen tentang berbedanya jiwa
dengan badan, menurut al-Kindi adalah jiwa menentang keinginan hawa nafsu.
Apabila nafsu marah mendorong manusia untuk melakukan kejahatan,maka jiwa
menentangnya. Hal ini dapat dijadikan sebagai indikasi bahwa jiwa sebagai yang
melarang tentu tidak sama dengan hawa nafsu sebagai yang dilarang.
Al-Kindi ,dalam tulisanya juga,
menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat tiga daya: daya bernafsu (al-Quwwat
al-Syahwaniyyat) yang terdapat di perut, daya marah(al-Quwwat al-Ghadabiyyat)
yang terdapat di dada, dan daya pikir (al-Quawwat al-Aqliyat) yang
berpusat di kepala[6].
2.
Al - Farabi
Jiwa manusia beserta materi asalnya memancar dari Akal kesepuluh. Jiwa adalah
jauhar rohani sebagai form bagi jasad. Kesatuan keduanya merupakan kesatuan
secara accident, artinya masing-masing keduanya subtansi yang berbeda dan
binasanya jasad tidak membawa binasa pada jiwa. Jiwa manusia disebut dengan al-nafs
al-nathinqah, yang berasal dari alam Ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam
khalq, berbentuk, berupa, berkadar, dan bergerak[7].
Begitu pula al-Farabi mengemukakan bahwa
manusia terdiri dari dua unsur yakni jasad dan jiwa. Jasad dari alam ciptaan
sedangkan jiwa berasal dari alam perintah[8].
Bagi al-Farabi,jiwa manusia
mempunyai daya - daya sebagai berikut:
a.
Daya al-Muharrikat (gerak), yang
mendorong untuk makan, memelihara, dan berkembang.
b.
Daya al-Mudrikat (mengetahui), yang
mendorong untuk merasa dan berimajinasi.
c.
Daya al-Nathiqat (berpikir), yang
mendorong untuk berpikir secara treoritis dan praktis.
Daya teoritis terdiri dari tiga tingakat yaitu:
a.
Akal Potensial (al-hayyulani), ialah
akal yang baru mempunyai potensi berpikir dalam arti: melepaskan arti-arti dan
bentuk-bentuk dari materinya.
b.
Akal Aktual (al-Alq-bi al-fi’il), akal
yang telah dapat melepaskanarti-arti dari materinya,dan arti-arti itu telah
mempunyai wujud dalam akal dengan sebenarnya,bukan lagi dalam bentuk
potensial,tetapi telah dalam bentuk aktual.
c.
Akial Mustrafad (al-‘aql al-Mustafad),
akal yang telah dapat menangkap bentuk semata-mata yang tidak di kaitkan dengan
materi dan mempunyai kesanggupan untuk mengadakan komunikasi dengan akal
kesepuluh.
Tentang bahagia dan sengsaranya
jiwa, Al-Farabi mengaitkan dengan filsafat Negara utamanya. Bagi jiwa yang
hidup pada Negara utama, yakni jiwa yang kenal dengan Allah dan melaksanakan
segala perintahnya, maka jiwa ini, akan kembali ke alam Nufus (alam kejiwaan)
dan abadi dalam kebahagiaan. Jiwa yang hidup pada Negara Fasiqah, yakni jiwa
yang kenal dengan Allah, tetapi ia tidak melaksanakan perintahnya, ia akan
kembali ke alam Nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam kesengsara. Sementara itu
jiwa yang hidup pada Negara jahilah, yakni jiwa yang tidak kenal dengan Allah
dan tidak pula pernah melakukan perintahnya, ia lenyap bagaikan jiwa hewan[9].
3. Ibnu
Sina
Harus diakui bahwa keistimewaan pemikiran Ibnu
Sina terletak pada filsafat jiwa yang mendefinisikan jiwa sebagimana
Aristoteles mendefinisikan pada waktu sebelumnya. Menurut Ibnu Sina, jiwa
adalah kesempurnaan awal, karena dengannya
spesies (jin) menjadi sempurna sehingga menjadi manusia nyata.
Pengertian kesempurnaan menurut Ibnu Sina adalah sesuatu yang dengan
keberadaanya tabiat jenis menjadi manusia.
Ibnu Sina dan Aristoteles berbeda
pandangan dalam memahami makna kesempurnaan. Aristoteles memahami kesempurnaan
sebagai Potret. Ketika Aristoteles mendifinisikan jiwa sebagai suatu
kesempurnaan awal bagi Tubuh Alami, maka yang dimaksudkan adalah potret bagi
fisik Alami dan Prinsip perbuatanya yang dinamis. Sedangkan kesempurnaan kedua
adalah sifat yang berkaitan dengan Manusia seperti pemahaman inderawi bagi
manusia dan memotong bagi pedang[10].
Ibnu Sina
membagi jiwa dalam tiga bagian :
a.
Jiwa tumbuhan dengan daya-daya: makan, tumbuh,
berkembang biak.
b.
Jiwa binatang dengan daya-daya: gerak,
menangkap, Indera bersama yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca
indera.
c.
Jiwa manusia dengan daya-daya: Praktis yang
hubungannya dengan badanTeoritis yang hubungannya adalah dengan hal-hal
abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan :
1)
Akal materil yang semata-mata mempunyai
potensi untuk berfikir dan belum dilatih walau sedikit pun.
2)
Intelectual in habits, yang telah mulai
dilatih untuk berfikir tentang hal-hal abstrak.
3)
Akal actuil, yang telah dapat berfikir
tentang hal-hal abstrak.
4)
Akal mustafad yaitu akal yang telah
sanggup berfikir tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya.
Menurut Ibnu Sina jiwa manusia
merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan.
Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat
menerima jiwa, lahir di dunia ini.
4. Al-Razi
Jiwa
universal merupakan al-Mabda al-Qadim al-Sany (sumber kekal yang kedua).
Padanya terdapat daya hidup yang bergerak, sulit diketahui karena ia tampa
rupa, tetapi karena ia dikuasai naluri untuk bersatu dengan al-hayula al-ula (materi
pertama), terjadilah pada zatnya rupa yang dapat menerima fisik, Allah datang
menolong roh dengan menciptakan alam semesta, termasuk tubuh manusia yang
ditempati roh.
Jiwa yang tidak dapat menyucikan
dirinya dengan filsafat, ia akan tetap tinggal atau berkelana di dalam materi.
Akan tetapi, apilah ia sudah bersih ia dapat kembali ke alam asalnya,saat itu
alam hancur dan jiwa serta materi kembali kepada keadaanya semula[11].
Kemudian tentang keterlibatan jiwa
dalam mencari pengetahuan yang sempurna, hal itu merupakan kenikmatan pada hari ini dan kebahagian
pada hari yang akan datang (akhirat).ini disebabkan otoritas jiwa terhadap
dunia jasadiah dikondisikan oleh hubungan jiwa dengan tubuh[12].mengenai
kenyataan bahwa jiwa menerima manefestasi Murni (suci) dan pengetahuan
Ilahiyah,ini tidak tergantung pada hubungan jiwa dengan tubuh. Hubungan ini
sebagaimana fitrahnya,dapat menjadi suatu rintangan dalam mencapai
kesempurnaan. Manakalah hubungan ini terputus maka Manifestasi Ilahiyah yang
akan menjadi penerang. Oleh karena itu, bahwa perhatian terhadap suatu bidang
yang lebih tinggi,bagi seorang pencari yang menerima Manefestasi Ilahiyah
mengharuskan adanya kesempurnaan di hari ini (dunia) dan hari kemudian
(akhirat)[13].
5. Ibnu
Miskawai
Jiwa adalah jauhar rohani yang tidak
hancur dengan sebab kematian jasad. Ia
adalah kesatuan yang tidak terbagi-bagi,ia tidak dapat diraba dengan panca
indera karena ia bukan jisim dan bagian dari jisim. Jiwa dapat menangkap keberadaan
zatnya dan ia argument yang dimajukanya ialah jiwa dapat menangkap bentuk
sesuatu yang berlawanan dalam waktu yang bersamaan,seperti warna hitam dan
putih, sedangkan badan tidak dapat
demikian.
Pendapat yang terakhir di atas, dimaksudkan
Ibnu Miskawaih untuk mematahkan pandangan kaum materialis yang meniadakan jiwa
bagi manusia. Ternyata Ibnu Miskawaih
berhasil membuktikan adanya pada diri manusia dengan argumen seperti di atas.
Namun, jiwa tidak dapat bermateri, sekalipun ia bertempat pada materi, karena
materi hanya menerima satu bentuk dalam waktu tertentu[14]. Jadi,
Ibnu Miskawih mensinyalkan bahwa jiwa yang tidak dapat di bagi-bagi itu tidak
mempunyai unsur, sedangkan unsur-unsur hanya terdapat pada materi. Namun
demikian, jiwa dapat menyerap mareri yang kompleks dan nonmateri yang sederhana[15].
6. Ikwan Al-Shafa’
Seperti halnya Al-Kindi,
Ar-Razi, dan Al-Farabi, Ikhwan Ash Shafa’ memandang manusia terdiri dari dua unsur,
yaitu jiwa yang bersifat materi, dan tubuh yang merupakan campuran dari tanah,
air, udara, dan Api. Dalam tulisan mereka dikatakan bahwa masuknya jiwa kedalam
tubuh merupakan hukuman kepada jiwa yang telah melakukan pelanggaran (kisah
Adam a.s dan pasanganya, Hawa). Sehingga, jiwa di usir dari surga yakni alam
rohani dan harus turun ke bumi, masuk ke dalam tubuh[16].
Jiwa
manusia bersumber dari jiwa universal. Dalam perkembanganya jiwa manusia
banyak dipengaruhi materi yang mengitarinya. Agar jiwa tidak kecewa dalam
perkembanganya, maka di bantu oleh akal yang merupakan daya bagi jiwa untuk
berkembang[17].
7.
Al-Ghazali
Manusia
menurut Al-Gazali diciptakan Allah
sebagai makhluk yang terdiri dari jiwa dan jasad. Jiwa yang menjadi inti
hakikat manusia adalah makahluk spuiritual rabbania yang sangat halaus (latifah
rabbaniyah). Istilah- istilah yang digunakn Al-Ghazali untuk itu adalah qalb,
ruh, nafs dan ‘aql[18].
8. Ibnu
Bajjah
Setiap manusia mempunyai satu jiwa.
Jiwa ini tidak mengalami perubahan sebagaiman jasmani. Jiwa adalah penggerak
bagi manusia. Jiwa digerakkan dengan dua jenis alat: alat-alat jasmani dan
alat-alat rohani. Alat-alat jasmani diantaranya ada berupa berupa buatan dan
ada pula yang merupakan alamiah seperti kaki dantangan. Alat-alat alamiah ini
lebih dahulu daria alat buatan,yang diserbut juga oleh Ibnu Bajjah dengan
pendorong naluri( al-harr al-gaharisa atau roh insting. Ia terdapat pada setiap
makhluk yang berdara[19].
9.
Ibnu Thufail
Jiwa manusia, menurut Ibnu Thufail
adalah makhluk yang tertinggal martabatnya. Manusia terdiri dari dua unsur,
yakni jasad dan roh (al-madat wa al-ruh). Badan tersusun atas unsur-unsur,
sedangkan jiwa tidak tersusun jiwa bukan jizim dan bukan pula suatu daya yang
ada di jalan jisim. Setelah badan hancur atau mengalami kematian, jiwa lepas
dari badan, dan jiwa yang pernah mengenal Allah selama berada dalam jasad akan
hidup dan kekal.
10. Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd mencoba menggambarkan
kebangkitan rohani dengan analog tidur. Sebagaimana tidur, jiwa tetap hidup,
begitu pula ketika manusia mati, badan hancur, jiwa tetap hidup dan jiwalah
yang akan dibangkitkan. Kutipan lengkap sebagi berikut:
“…perbandingan
antara kematian dan tidur dalam masalah
ini adalah bukti yang terang bahwa jiwa itu hidup terus karena aktivitas
dari jiwa bekerja pada saat tidur denga cara membuat tidak bekerja organ-organ
tubuhnya,tetapi keberadaan atau kehidupan jiwa tidaklah terhenti maka sudah semestinya keadaanya pada saat
kematian akan sama dengan keadaabnya
pada saat tidur ….dan bukti inilah yang
dapat dipahami oleh seluruh orang dan
yang cocok untuk diyakini oleh orang banyak atau orang awam, dan akan
menunjukkan jalan bagi orang-orang yang terpelajar yang keberlangsunganya hidup dari pada pada
ujiwa itu adalah satu hal yang pasti. Dan hal ini pun terang gambling dari
firman Tuhan,’Tuhan mengambil jiwa – jiwa pada saat kematiannya untu kembali
kepada-Nya; dan jiwa-jiwa orang yangbelum mati pada saat tidur mereka[20].
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. jiwa kadangkala diartikan sebagai sesuatu
yang berbentuk fisik yang materil melekat pada diri manusia, tampak dan tidak
tersembunyi, tetapi pada waktu lain ia mengandung arti sebagai sesuatu yang
berbentuk non-materil, yang mengalir pada diri fisik manusia sebagai jauhar
(substansi), substansi ruh ataupun substansi berfikir.
2. Beberapa pandangan al-Qur’an tentang jiwa diantaranya:
a. Al-Qalb (Hati), terdapat pada Q.S.
Qaf : 16
b. Minkum (dari kalian) terdapat pada
Q.S. Al-Taubah : 128
c. Al-insan (manusia), terdapat pada
Q.S. al-Maidah : 32
d. Ba’dukum (sebagian di antara
kalian), terdapat pada Q.S. al-Baqarah/2:54
e. Al-ruh (roh), terdapat pada Q.S.
al-Zumar : 42
f. Ahli al-din (ahli agama), terdapat
pada Q.S. Al-Nisa :29
g. Diri manusia, terdapat pada Q.S.
al-Nisa : 66
h. ‘Uqubat (balasan/hukuman), terdapat
pada Q.S. Ali Imran/3 :28
i.
Al-umm (ibu), terdapat pada Q.S. Al-Nur : 12
j.
Al-gaib (gaib), terdapat pada Q.S. al-Maidah/4: 116
3. Beberapa filosof
Muslim seperti al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Miskawaih, al-Kindi, Ibnu Bajjah
berpendapat hampir sama tentang makna jiwa. Mereka berpendapat bahwa jiwa
adalah jauhar (substansi) rohani sebagai form bagi jasad. Hubungan kesatuan
jiwa dengan badan merupakan kesatuan secara accident, artinya keduanya tidak
dapat dibagi-bagi, tetapi keduanya berdiri sendiri dan mempunyai susbtansi yang
berbeda, sehingga binasanya jasad tidak membawa binasa pada jiwa.
B. Saran
. Dengan adanya makalah ini semoga dapat menambah
wawasan pemakalah dan pembaca mengenai “Pandanga Filosof Islam tentang Jiwa”.
Dan kami sangat mengarapkan kepada para pelajar untuk senantiasa
memanfaatkan makala ini sebagai bahan bacaan.
Dan apabila dalam pembuatan makalah ini yang sangat
sederhana, tentulah banyak suatu kekurangan dan kesalahan yang akan timbul.
Maka dari itu kami sebagai penyusun mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari berbagai pihak agar menjadi bahan pembelajaran bagi penyusun
makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Nihaya dan Nasir Siola. Pengantar
Filsafat Islam. Jakarta: Alauddin Press. 2010.
Al-Razi, Imam. Ruh dan Jiwa. Surabaya:
Risalah Gusti. 2001.
Supriadi, Dedi. Pengantar
Filsafat Islam. Bandung: Pusataka Setia, 2009.
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2004.
www.google.com
[1] Lorens Bagus,Kamus
Filsafat,(cet.2,Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama,2000),H.107
[2]
H.Nihaya dan Nasir Siola, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Alauddin Press,
2010) hlm. 61
[3]
Ibid.
[4]
H. Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, cet. 1, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada,2004.) hlm. 59
[5]
Ibid.
[6]
Ibid.hlm. 60
[7]
Ibid.hlm. 87
[8]
H.Nihaya dan Nasir Siola,Op.Cit., hlm. 72-73
[9]
H. Sirajuddin Zar, Op.Cit., hlm. 88
[10]
H.Nihaya dan Nasir Siola, Op.Cit., hlm. 84
[11]
H. Sirajuddin, Op.Cit., hlm. 118
[12]
Imam Ar-Razi,Ruh dan Jiwa,( Surabaya: Risalah Gusti, 2001) cet. II, hlm. 85
[13]
Ibid. hlm. 86
[14]
H. Sirajuddin,Op.Cit., (Jakarta: Rajawali Pers, 2010) cet. IV hlm. 134
[15]
Ibid.
[16]
Dedi Supriadi, pengantar Filsafat Islam,(Bandung: Pusataka Setia, 2009), cet.
I, hlm. 107
[17]
Ibid. hlm. 152
[18]
Ibid, hlm. 174
[19]H.Sirajuddin
Zar, Op.Cit. 195
[20]
Dedi Supriyadi, Op.Cit.,hlm. 324-325
arti badan disini apa ya ?
BalasHapus