Kamis, 02 Mei 2013

SYIAH


By: MARDIANTO
 
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sejarah Islam mencatat bahwa hingga saat ini terdapat dua macam aliran besar dalam Islam. Keduanya adalah Ahlussunnah (Sunni) dan Syi’ah. Tak dapat dipungkiri pula, bahwa dua aliran besar teologi ini kerap kali terlibat konflik kekerasan satu sama lain, sebagaimana yang kini bisa kita saksikan di negara-negara seperti Irak dan Lebanon.
Terlepas dari hubungan antara keduanya yang kerap kali tidak harmonis, Syi’ah sebagai sebuah mazhab teologi menarik untuk dibahas. Diskursus mengenai Syi’ah telah banyak dituangkan dalam berbagai kesempatan dan sarana. Tak terkecuali dalam makalah kali ini. Dalam makalah ini kami akan membahas pengertian, sejarah, tokoh, ajaran, dan sekte Syi’ah. Semoga karya sederhana ini dapat memberikan gambaran yang utuh, obyektif, dan valid mengenai Syi’ah, yang pada gilirannya dapat memperkaya wawasan kita sebagai seorang Muslim.

B.     Masalah yang dibahas
1.      Apakah yang dimaksud dengan aliran syi’ah?
2.      Apa sebab munculnya aliran syi’ah?
3.      Apa saja doktrin – doktrin aliran syi’ah?
4.      Apa saja sekte – sekte aliran Syi’ah?

C.    Tujuan Pembahasan
1.      Mengetahui aliran Syi’ah.
2.      Mengetahui sebab munculnya aliran Syi’ah.
3.      Mengetahui doktrin – doktrin aliran Syi’ah.
4.      Mengetahui sekte – sekte aliran Syi’ah.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN SYI’AH
Syi’ah di lihat dari bahasa berarti pengikut , pendukung, partai, atau kelompok, sedangkan secara terminology adalah sebagian kaum muslim yang dalam bidang spiritual dan keagamaannya selalu merujuk pada keturunan Nabi Muhammad Saw. Atau orang di sebut sebagai  ahlul-bait. Poin penting dalam doktrin syi’ah adalah pernyataan bahwa segalah petunjuk agama itu bersumber dari ahlul-bait. Mereka menolak petunjuk-petunjuk keagamaan dari para sahabat yang bukan ahlul-bait atau para pengikutnya.[1]
Menurut thabathbai, istilah syi’ah untuk pertama kalinya di tujukan pada para ‘Para pengukut Ali yang di sebut syi’ah itu diantaranya adalah Abu Dzar Al-Ghiffari,Miqad  bin Al-Aswad, dan Ammar bin Yasir.[2]
Pengertian bahasa dan terminology di atas hanya merupakan dasar yang membedakan syi’ah dengan kelompok islam yng lain. Di dalam nya belum ada penjelasan yang memadai mengenai syi’ah berikut doktrin-doktrinnya. Meskipun demikian pengertian di atas merupakan titik tolak penting bagi mazhab syi’ah dalam mengembangkan dan membangun doktrin-doktrinnya yang meliputi segalah aspek kehidupan, seperti Imamah, Taqiyah, Mut’ah dan sebagainnya[3].

B.     Sebab munculnya Aliran Syi’ah
Mengenai kemunculan syi’ah dalam sejarah, terdapat perbedaan pendampat di kalangan para ahli.. Menerut Abu Zahrah, syi’ah mulai muuncul pada masa akhir pemerintahan Utsman bin Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Adapun menurut Watt, syi’ah baru benar-benar muncul
ketika berlangsung peperangan antara Ali dan mu’awiyah yang di kenal dengan perang siffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap Arbitrase yang di tawarkan mu’awiyah, pasukan Ali di ceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap Ali-kelak di sebut syi’ah dan kelompok lain menolak sikap Ali,kelak di sebut khawarij.
Kalangan syi’ah sendiri perpendapat bahwa kemunculan syi’ah berkaitan dengan masalah pengganti (khilafah) Nabi Saw. Mereka menolak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin khathab, dan Usman bin Affan karena dalam pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thaliblah yang berhak menggantikan Nabi. Kepemimpimpinan Ali dalam pandangan syi’ah tersebut sejalan dengan isyarat-isyarat yang di berikan oleh Nabi Saw.pada masa hidupnya. Pada awal kenabian,ketika Muhammad Saw di perintahkan menyampaikan dakwah kepada kerabatnya, yang pertama-tama menerima adalah Ali Bin abi Thalib. Di ceritakan bahwa Nabi pada saat itu mengatakan bahhwa orang yang pertama-tama memenuhi ajakannaya akan menjadi penerus dan pewarisnya. Selain itu, sepanjang kenabian Muhammad. Ali merupakan orang yang menunjukkan perjuangan dan pengabdian yang luar biasa besar. Bukti utama tentang sahnya Ali sebagai penerusnya Nabi adalah peristiwa Ghaddir khumm. Di ceritakan bahwa ketika kembali dari haji terakhir, dalam perjalanan dari mekkah ke madinah, di suatu padang pasir yang bernama ghaddir khumm. Nabi memilih Ali sebagai penggantinya di hadapan massa yang penuh sesak yang menyertai beliau, pada peristiwa itu. Nabi tidak hanya menetapkan Ali sebagai pemimpin di umum umat (walyat-I ammali), tetapi juga menjadikan Ali sebagaimana Nabi sendiri, sebagai pelindung (wali) mereka. Namun, realitas ternyata berbicara lain.
Berlawanan dengan harapan mereka, justru ketika Nabi wafat dan jasadnya belum di kuburkan, sedangkan anggota keluarganya dan beberapa orang sahabat sibuk dengan persiapan upacara pemakamannya, teman dan pengikut Ali mendengar kabar adanya kelompok lain yang telah pergi ke masjid, tempat umat berkumpul menghadapi hilangnya pemimpin yang tiba-tiba. Kelompok ini, yang kemudian menjadi mayoritas, bertindaklebih jauh, dan dengan sangat tergese-gesa memilih pimpinan kaum muslimin dengan maksud menjaga kesejahteraan umat dan memecahkan masalah mereka saat itu. Mereka melakukan hal itu tampa berunding dengan ahlul bait, keluarga, ataupun para
                                                                 

sahabat yang sedang sibuk dengan upacara pemakaman, dan sedikitpun tidak memberitahukan mereka. Dengan demikian kawan-kawan Ali di hadapkan kepada suatu keadaan yang sudah tak dapat berubah lagi. Berdasarkan realitas itulah, muncul sikap di kalangan sebagian kaum muslimin yang menentang kekhalifahan dan menolak kaum mayoritas dalam masalah-masalah kepercayaan tertentu. Mereka tetap berpendapat bahwa pengganti Nabi  dan penguasa keagama yang sahadalah Ali. Mereka berkeyakinan bahwa semua persoalan kerohanian dan agama harus merujuk kepadanya serta mengajak masyarakat untuk mengikutinya. Inilah yang kemudian di sebut sebagai syi’ah. Namun lebih dari itu, seperti di katakana nasr, sebab utama munculnya syi’ah terletak pada kenyataan bahwa kemungkinan ini ada dalam wahyu islam sendiri, sehingga mesti di wujudkan.
Perbedaan pendapat di kalangan para ahli mengenai kalangan syi’ah merupakan sesuatu yang wajar. Para ahli berpegang teguh pada fakta sejarah `perpecahan’ dalam islam yang memang mulai mencolok pada masa pemerintahan Usman bin Affan dan memperoleh momentumnya yang paling kuat pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, tepatnya setelah perang shiffin. Adapun kaum syi’ah berdasarkan hadis-hadis yang mereka terima dari ahlul bait, berpendapat bahwa perpecahan itu sudah mulai ketika Nabi Saw wafat dan kekhalifah jatuh ke tangan Abu bakar, Segerah setelah itu terbentuklah syi’ah.

C.    Daerah dan waktu lahirnya syi’ah
               Golongan syi’ah muncul pada akhir masa khalifah ketiga, Usman kemudian tumbuh dan berkembang pada masa khalifah Ali. Ali sendiri tidak pernah berusaha untuk mengembangkannya, tetapi bakat-bakat yang di milikinya telah mendorong perkembangan itu. Ketika Ali wafatn pemikiran ke syi’a-an berkembang menjadi mazhab-mazhab. Sebagainya menyimpang dan sebagian lainnya lurus. Namun keduanya sama-sama fanatik terhadap keluarga Nabi. Masa pemerintahan umawiyyah merupakan masa yang kondusif bagi pengkultusan Ali karena mu’awiyah telah menciptakan buruk pada masanya yang berlanjut pada masa anaknya, yazid, dan para penggantinya sampai masa Umar bin Abdul Aziz. Tradsi buruk itu ialah mengutuk Imam Al-Huda, Ali ibn abi thalib pada setiap menutup khutbah jum’at. Para sahabat telah berusaha melang mu’aiyyah dan pejabat-pejabatnya melakukan hal itu. Bahkan umum salamah,istri Nabi,menulis surat kepada mu’awiyyah, ”sesungguhnya anda telah mengutuk Allah dan Rasulnya karena anda mengutuk Ali bin abn Abi thalib dan orang-orang yang di cintainya. Saya bersaksi bahwa rasulullah mencintainya.”
               Pada masa Yazis, Husain Ibn Ali di bunuh secara kejam , dan darah nya mengalir secara keji, tanpa mengindahkan kehormatan Agama. Pada hal berdasarkan keterangan suatu hadis, ia dan saudaranya, Hasan di sebutkan sebagai pimpinan para pemuda ahli surga. Anak-anak perempuan Husain dan Ali pun di tawan oleh Yazis ibn Mua’wiyah, sedangkan mereka adalah anak cucu Nabi. Rakyat menyaksikan hal itu tanpa bisa mencegah dan mengubahnya. Mereka hanya dapat menahan kemarahan, menekan perasaan, dan menanggung penderitaan yang sangat berat. Karena itu mereka terdorongg untuk memeberikan penghragaan yang berlebihan terhadap orang-orang yang di aniaya secara kejam oleh bani umayyah. Perlakuan pemerintahan itu telah menciptakkan tekanan menntal dan jiwa pada diri para pendukung Ali,  dan itu mendorong mereka untuk memberikan penghargaan yang berlebihan terhadapnya, karena rasa kasih dan sayang dapat pendorong timbulnya sikap membesar-besarkan ddan melebih-lebihkan.
               Mazhab syi’ah timbul di mesir untuk pertama kali pada masa pemerintah Usman, karena di sana para propagandis menemukan lahan yang subur, kemuudian tersebar luas di iran yang dalam perkembangan berikutnya menjadi markas dan tempat menetap para penganutnya. Kalau madinah dan mekka serta koto-kota lainnya di kawasan hijas menjadi tempat tumbuh kembangnya sunah/ hadis, kemudian syi’ah menjadi buaian orang-orang rumawi, maka iran menjadi tempa tinggal  syi’ah.[4]


D.  Ajaran-ajaran Syi’ah
1.      Ahlulbait. Secara harfiah ahlulbait berarti keluarga atau kerabat dekat. Dalam sejarah Islam, istilah itu secara khusus dimaksudkan kepada keluarga atau kerabat Nabi Muhammad saw. Ada tiga bentuk pengertian Ahlulbait. Pertama, mencakup istri-istri Nabi Muhammad saw dan seluruh Bani Hasyim. Kedua, hanya Bani Hasyim. Ketiga, terbatas hanya pada Nabi sendiri, ‘Ali, Fathimah, Hasan, Husain, dan imam-imam dari keturunan ‘Ali bin Abi Thalib. Dalam Syi’ah bentuk terakhirlah yang lebih populer. Al-Badâ’. Dari segi bahasa, badâ’ berarti tampak. Doktrin al-badâ’ adalah keyakinan bahwa Allah swt mampu mengubah suatu peraturan atau keputusan yang telah ditetapkan-Nya dengan peraturan atau keputusan baru. Menurut Syi’ah, perubahan keputusan Allah itu bukan karena Allah baru mengetahui suatu maslahat, yang sebelumnya tidak diketahui oleh-Nya (seperti yang sering dianggap oleh berbagai pihak). Dalam Syi’ah keyakinan semacam ini termasuk kufur. Imam Ja’far al-Shadiq menyatakan, “Barangsiapa yang mengatakan Allah swt baru mengetahui sesuatu yang tidak diketahui-Nya, dan karenanya Ia menyesal, maka orang itu bagi kami telah kafir kepada Allah swt.” Menurut Syi’ah, perubahan itu karena adanya maslahat tertentu yang menyebabkan Allah swt memutuskan suatu perkara sesuai dengan situasi dan kondisi pada zamannya. Misalnya, keputusan Allah mengganti Isma’il as dengan domba, padahal sebelumnya Ia memerintahkan Nabi Ibrahim as untuk menyembelih Isma’il as.
2.      Asyura. Asyura berasal dari kata ‘asyarah, yang berarti sepuluh. Maksudnya adalah hari kesepuluh dalam bulan Muharram yang diperingati kaum Syi’ah sebagai hari berkabung umum untuk memperingati wafatnya Imam Husain bin ‘Ali dan keluarganya di tangan pasukan Yazid bin Mu’awiyah bin Abu Sufyan pada tahun 61 H di Karbala, Irak. Pada upacara peringatan asyura tersebut, selain mengenang perjuangan Husain bin ‘Ali dalam menegakkan kebenaran, orang-orang Syi’ah juga membaca salawat bagi Nabi saw dan keluarganya, mengutuk pelaku pembunuhan terhadap Husain dan keluarganya, serta memperagakan berbagai aksi (seperti memukul-mukul dada dan mengusung-usung peti mayat) sebagai lambang kesedihan terhadap wafatnya Husain bin ‘Ali. Di Indonesia, upacara asyura juga dilakukan di berbagai daerah seperti di Bengkulu dan Padang Pariaman, Sumatera Barat, dalam bentuk arak-arakan tabut
3.      Imamah (kepemimpinan). Imamah adalah keyakinan bahwa setelah Nabi saw wafat harus ada pemimpin-pemimpin Islam yang melanjutkan misi atau risalah Nabi. Atau, dalam pengertian Ali Syari’ati, adalah kepemimpinan progresif dan revolusioner yang bertentangan dengan rezim-rezim politik lainnya guna membimbing manusia serta membangun masyarakat di atas fondasi yang benar dan kuat, yang bakal mengarahkan menuju kesadaran, pertumbuhan, dan kemandirian dalam mengambil keputusan. Dalam Syi’ah, kepemimpinan itu mencakup persoalan-persoalan keagamaan dan kemasyarakatan. Imam bagi mereka adalah pemimpin agama sekaligus pemimpin masyarakat. Pada umumnya, dalam Syi’ah, kecuali Syi’ah Zaidiyah, penentuan imam bukan berdasarkan kesepakatan atau pilihan umat, tetapi berdasarkan wasiat atau penunjukan oleh imam sebelumnya atau oleh Rasulullah langsung, yang lazim disebut nash. ‘Ishmah. Dari segi bahasa, ‘ishmah adalah bentuk mashdar dari kata ‘ashama yang berarti memelihara atau menjaga. ‘Ishmah ialah kepercayaan bahwa para imam itu, termasuk Nabi Muhammad, telah dijamin oleh Allah dari segala bentuk perbuatan salah atau lupa. Ali Syari’ati mendefinisikan ‘ishmah sebagai prinsip yang menyatakan bahwa pemimpin suatu komunitas atau masyarakat—yakni, orang yang memegang kendali nasib di tangannya, orang yang diberi amanat kepemimpinan oleh orang banyak—mestilah bebas dari kejahatan dan kelemahan. Mahdawiyah. Berasal dari kata mahdi, yang berarti keyakinan akan datangnya seorang juru selamat pada akhir zaman yang akan menyelamatkan kehidupan manusia di muka bumi ini. Juru selamat itu disebut Imam Mahdi. Dalam Syi’ah, figur Imam Mahdi jelas sekali. Ia adalah salah seorang dari imam-imam yang mereka yakini. Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, misalnya, memiliki keyakinan bahwa Muhammad bin Hasan al-Askari (Muhammad al-Muntazhar) adalah Imam Mahdi. Di samping itu, Imam Mahdi ini diyakini masih hidup sampai sekarang, hanya saja manusia biasa tidak dapat menjangkaunya, dan nanti di akhir zaman ia akan muncul kembali dengan membawa keadilan bagi seluruh masyarakat dunia. Marja’iyyah atau Wilâyah al-Faqîh. Kata marja’iyyah berasal dari kata marja’ yang artinya tempat kembalinya sesuatu. Sedangkan kata wilâyah al-faqîh terdiri dari dua kata: wilâyah berarti kekuasaan atau kepemimpinan; dan faqîh berarti ahli fiqh atau ahli hukum Islam. Wilâyah al-faqîh mempunyai arti kekuasaan atau kepemimpinan para fuqaha.[25]
4.      Raj’ah. Kata raj’ah berasal dari kata raja’a yang artinya pulang atau kembali. Raj’ah adalah keyakinan akan dihidupkannya kembali sejumlah hamba Allah swt yang paling saleh dan sejumlah hamba Allah yang paling durhaka untuk membuktikan kebesaran dan kekuasaan Allah swt di muka bumi, bersamaan dengan munculnya Imam Mahdi. Sementara Syaikh Abdul Mun’eim al-Nemrmendefinisikan raj’ah sebagai suatu prinsip atau akidah Syi’ah, yang maksudnya ialah bahwa sebagian manusiaakan dihidupkan kembali setelah mati karena itulah kehendak dan hikmat Allah, setelah itu dimatikan kembali. Kemudian di hari kebangkitan kembali bersama makhluk lain seluruhnya. Tujuan dari prinsip Syi’ah seperti ini adalah untuk memenuhi selera dan keinginan memerintah. Lalu kemudian untuk membalas dendam kepada orang-orang yang merebut kepemimpinan ‘Ali. Taqiyah. Dari segi bahasa, taqiyah berasal dari kata taqiya atau ittaqâ yang artinya takut. Taqiyah adalah sikap berhati-hati demi menjaga keselamatan jiwa karena khawatir akan bahaya yang dapat menimpa dirinya. Dalam kehati-hatian ini terkandung sikap penyembunyian identitas dan ketidakterusterangan. Perilaku taqiyah ini boleh dilakukan, bahkan hukumnya wajib dan merupakan salah satu dasar mazhab Syi’ah. Tawassul. Adalah memohon sesuatu kepada Allah dengan menyebut pribadi atau kedudukan seorang Nabi, imam atau bahkan seorang wali suaya doanya tersebut cepat dikabulkan Allah swt. Dalam Syi’ah, tawassul merupakan salah satu tradisi keagamaan yang sulit dipisahkan. Dapat dikatakan bahwa hampir setiap doa mereka selalu terselip unsur tawassul, tetapi biasanya tawassul dalam Syi’ah terbatas pada pribadi Nabi saw atau imam-imam dari Ahlulbait. Dalam doa-doa mereka selalu dijumpai ungkapan-ungkapan seperti “Yâ Fâthimah isyfa’î ‘indallâh” (wahai Fathimah, mohonkanlah syafaat bagiku kepada Allah), dsb. Tawallî dan tabarrî. Kata tawallî berasal dari kata tawallâ fulânan yang artinya mengangkat seseorang sebagai pemimpinnya. Adapun tabarrî berasal dari kata tabarra’a ‘an fulân yang artinya melepaskan diri atau menjauhkan diri dari seseorang. Kedua sikap ini dianut pemeluk-pemeluk Syi’ah berdasarkan beberapa ayat dan hadis yang mereka pahami sebagai perintah untuk tawallî kepada Ahlulbait dan tabarrî dari musuh-musuhnya. Misalnya, hadis Nabi mengenai ‘Ali bin Abi Thalib yang berbunyi: “Barangsiapa yang menganggap aku ini adalah pemimpinnya maka hendaklah ia menjadikan ‘Ali sebagai pemimpinnya. Ya Allah belalah orang yang membela Ali, binasakanlah orang yang menghina ‘Ali dan lindungilah orang yang melindungi ‘Ali.” (H.R. Ahmad bin Hanbal)
5.       Sekte-sekte Syi’ah
1.      syi’ah itsna asyariyah (syi’ah dua belas/syi’ah imamiyah)
a)      Asal usul penyebutan Imamiyah dan syi’ah Itsna Asyariyah
Dinamakan syi’ah Imamiyah karena yang menjadi dasar Aqidahnya adalah persoaln imam dalam arti pemimpin relegio polotik, yakni Ali berhak menjadi kekhalifah buka hanya karena kecakapannya atau kemulian akhlaknya, tetapi juga karena dia telah di tunjuk nash dan pantas menjadi khalifah pewarisan kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. Ide tentang hak Ali dan keturunannya untuk menduduki jabatan khalifah telah ada sejak nabi wafat, yaitu dalam perbincangan politik di saqiffah bani sa’idah.
Syi’ah itsna asyariyah sepakat bahwa ali adalah penerima wasiat Nabi mauhammad seperti yang di tunjukan nas. Adapun Al-ausiya (penerima wasiat) setelah ali bin abi Thalib adalah keturunan dari garis Fatimah, yaitu Hasan bin Ali kemudian Husen bin Ali sebagaimana yang di sepakati. Setelah husen adalah Ali zaenal abiding, kemudian secara berturut-turut; Muhammad Al-baqir, Abdullah ja’far Ash-shadiq, Musa Al-kahzim, Ali Ar-Rida, Muhammad Al-jawwad, Ali al-Hadi, Hasan Al-Askari dan terakhir adalah Muhammad Al-mahdi sebagai imam kedua belas. Demikianlah, karena berbaiat di bawah imamah dua belas imam, mereka di kenal dengan sebutan, syi’ah itsna AsyariyahItsna asyariyah). Nama dua belas (itsna asyariyah) merngandung pesan penting dalam tinjauan sejarah, yaitu golongan ini terbentuk setelah lahirnya kedua belas imam yaitu kira-kira pada tahun 260 H/878 M. pengikut sekte ini menganggap bahwa imam kedua belas, Muhammad Al-mahdi, di nyatakan gaibah(accultation). Muhammad al-mahdi bersembunyi diruang  bawah tanah rumah ayahnya di samara dan tidak kembali. Itulah sebabnya, kembalinya Imam al-mahdi ini selalu di tunggu-tunggu pengikut sekte syi’ah Itsna Asyariyah. Ciri khas kehadirannya adalah sebagai ratu Adil yang akan turun di akhir zaman. Oleh karena inilah, Muhammad Al-mahdi di juluki sebagai Imam Mahdi Al-Muntazhar(yang di tungguu).
b)     Doktrin-doktrin syi’ah Itsna Asyariyah
Di dalam sekte syi’ah Itsna Asyariyah di kenal konsep Usul Ad-Din. Konsep ini menjadi akar atau fondasi pragmatisme agama. Konsep Ushuluddin mempunyai lima akar.
                                                                   I.            Tauhid (The Define Unity
Tuhan adalah esa, baik esensi maupun eksistensi-Nya. Keesaan tuhan adalah Mutlak. Ia bereksistensi dengan sendiri-Nya. Tuhan adalah qadim. Maksudnya Tuhan bereksistensi dengan senderinya sebelun ada ruang dan waktu. Ruang dan waktu di ciptakan oleh Tuhan. Tuhan maha tahu, maha mendengar, sesalu hidup, mengerti semua bahasa, selelu benar dan bebas berkehendak. Keesaan Tuhan tidak murakkab(tersusun). Tuhan tidak membutuhkan sesuatu, ia berdiri sendiri, tidak di batasi oleh ciptaan-Nya.Tuhan tidak bisa di lihat dengan mata biasa.
                                                                II.            Keadilan (The Define justice)
Tuhan menciptakan kebaikan di alam semesta ini merupakan keadilan. Ia tidak pernah menghiasi ciptaan-Nya dengan ketidakadilan. Karena ketidak adilan dan kelaliman terhadap yang lain merupakan tanda kebodohan dan ketidakmampuan dan sifat ini jauh keabsolutan dan kehendak Tuhan.Tuhan memberikan akal kepada manusia untuk mengetahui perkara yang benar atau shalat melalui perasaan. Manusia dapat menggunakan penglihatan, pendengaran, dan indera lain nya untuk melakukan perbuatan, baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Jadi manusia dapat memanfaatkan potensi berkehendak sebagai anugerah Tuhan untuk mewujudka dan bertanggung jawab atas perbuatannya.
                                                             III.            Nubuwwah (aphostleship)
Setiap mahluk sekalipun telah di beri insting, masih membutuhkan petunjuk, baik petunjuk dari tuhan maupun dari manusia. Rasul merupakan petunjuk hakiki utusan tuhan yang secara transendel di utus untuk memberikan acuan dalam membedakan antara yang baik dan yang buruk di alam semesta. Dalam keyakinan syi’ah itsna syariyah tuhan telah mengutusan 124.000 Rasul untuk memberikan petunjuk kepada manusia.
Syi’ah itsna asyariyah percaya mutlak tentang ajaran tauhid dengan kerasulan sejak Adam hingga Muhammad dan tidak ada Nabi atau Rasul setelah muahammad. Mereka percaya adanya kiamat.Kemurnian dan keaslian Al-quran jauh dari tahrif perubahan, atau tambahan.
                                                             IV.            Ma’ad (The last Day)
Ma’ad adalah hari akhir(Kiamat) untuk menghadap pengadilan Tuhan di akhirat. Setiap muslim harus yakin akan keberadaan kiamat dan kehidupan suci setelah di nyatakan bersidang lurus di dalam pengadilan tuhan.Mati adalah periode transip dari kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat.
                                                                V.            Imamah (The Define Guidance)
Imamah adalah institusi yang di inagurasikan tuhan mermberikan petunjuk manusia yang di pilih dari keturunan Ibrahim dan di legasikan kepada keturunan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul terakhir. Selanjutnya dalam sisi yang bersifat mahda syi’ah atsna asyariyah brpijak kepada delapan cabang agama di sebut dengan furru atdin. Delapan cabang tersebut terdiri atas Shalat,Puasa,Haji,Zakat,Kumus atau Pajak sebesar seperlima dari penghasilan,jihad,al-amr bil al-ma’ruf dan annahyu an al-mungkar.[5]


2.      syi’ah sab’iyah (syi’ah tujuh)
Asal-usul penyebutan syi’ah sab’iyah

 Istilah syi’ah sab’iyah (syi’ah tujuh) di analogikan dengan syi’ah itsna Asyariyah. Istilah itu memberikan pengertian bahwa sekte syi’ah sab’iyah hanya mengakui tujuh imam yaitu Ali, hasan, husen, Ali zainal abiding, Muhammad Al-baqir,Ja’far as-sadiq, dan ismail bin ja’far. Karena di nisbatkan pada imam ketujuh, Isma’il bin ja’far as-sadiq, syi’ah sab’iyah di sebut juga syi’ah isma’iliyah.Berbeda dengan syi’ah sab’iyah,syi’ah itsna asyari’ah membatalkan isma’il bin ja’far sebagai imam ke tujuh karena di samping memiliki kebiasaan tak terpuji juga karena dia wafat (143 H/760 M) pendahului ayahnya,ja’far (wafat 765). Seabagai penggantinya musah Al-katsim, adik isma’il. Syi’ah sab’iyah menolak pembatalan tersebut berdasarkan sistim pengangkatan imam dalam syi’ah dan menganggap isma’il sebagai imam ke tujuh dan di ganti oleh putranya yang tertua, Muhammad bin Isma’il.
3.      Doktrin Imamah dalam pandangan syi’ah sab’iyah
 Para pengikut syi’ah sab’iyah percaya bahwa islam di bangun oleh tujuh pilar seperti di jelaskkan Al-kadhi An-Nu’Man dalam Da’aim al-islam.Tujuh pilar tersebut adalah iman,tahara,shalat,zakat,saum,haji, dan jihad.
Berkaitan dengan pilar(rukun) pertam yitu iman,Qadhi An-Num’man(974 M)  memerincinya sebagai berikut:
Imam kepada Allah, tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, imam kepada surge,imam kepada neraka,imam kepada hari kebangkitan,imam kepada hari pengadilan,imam kepada para Nabi dan Rasul,imam kepada imam,percaya,mengetahui, dan membenarkan imam zaman. Dalam pandangan sekelompok syi’ah sab’iyah keimanan hanya dapat di terima bila mam adala seseorang yang menuntun umatnya kepada pengetahuan (ma’rifat). Dengan pengetahuan tersebut, seorang muslim akan menjadi seorang mukmin yang sebenar-benarnya. Untuk itu, mereka berargumen bahwa manusia akan memasuki kehidupan spiritual, kehidupan format-materi sebagai individu dan kehidupan social yang semuanya memerlukan ukuran. Manusia tidak dapat melalui kehidupan itu kecuali dengan bimbingan yang meliputi kepemimpinan dan pembaharuanm kehidupan, pengetahuan, aturan-aturan, dan bimbingan pemerintahanyang berdasarkan islam. Pribadi yang dapat melakukan bimbingan seperti itu adalah pribadi yang di tunjuk oleh Allah dan Rasul Nya dan rasul pun menunjuknya atas perintah Allah. Imam adalah penunjukan melalui wasiat.
Syarat-syarat seorang imam dalam pandangan syi’ah sab’iyah adalah sebagai berikut:
Ø  Imam harus berasal dari keturunan Ali melalui perkawinannya dengan  Fatimah yang kemudian di kenal dengan ahlul bait.
Ø  berbeda dengan aliran kaisaniyah, pengikut mukhtar Ats-I’saqati, mempropagandakan bahwa keimaman harus dari keturunan Ali melalui pernikahannya dengan seorang wanita dari bani hanifah dan mempunyai anak yang bernama Muhammad bin Al-hanafiyah.
Ø  Imam harus berdasarkan penunjukan atau nas.Syi’ah sab’iyah meyakini bahwa setelah Nabi wafat, Ali menjadi imam berdasarkan penunjukkan khusus yang di lakukan Nabi sebelum beliau wafat. Sukseksi keimaman menurut doktrin dan tradisi syi;ah harus berdasarkan nas oleh imam terdahulu.
Ø  Keimaman jatuh pada anak tertua. Syi’ah sab’iyah menggariskan bahwa seorang imam memperoleh keimaman dengan jalan wiratsah(heredity). Jadi, ayahnya yang menjadi imam menunjuk anaknya yang paling tua.
Ø  Imam harus maksum(Immunity from sin an error). Sebagaimana sekte syi’ah lainnya, syi’ah sabiyah menggariskan bahwa seorang imam harus terjaga dari salah-satu dosa. Bahkan lebih dari itu, syi’ah sab’iyah berpendapat bahwa sungguhpun imam berbuat salah, perbuatannya itu tidak salah. Keharusan maksum bagi imam dapat di telusuri dengan opendekatan sejarah. Pada sejarah Iran pra-islam terdapat ajaran yang menyatakan bahwa raja itu merupakan keturunan tuhan; atau seorang raja adalah penguasa yang mendapat tetesan Ilahi(Devine grace) dan dalam bahasa persianya adalah farr-i Izadi. Oleh sebab itu, orang raja haruslah maksum.
Ø  Imam harus di jabat oleh seorang yang paling baik(best of man). Berbedah dngan zaidah, syi’ah sab’iyah dan syi’ah dua belas tidak membolehkan adanya imam mafdul. Dalam pandangan syi’ah sab’iyah, perbuatan dan ucapan imam tidak boleh bertentangan dengan syari’at. Sifat dan kekuasaan seorang imam hampir sama dengan nabi. Perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa Nabi mendapatkan wahyu, sedangkan imam tidak mendapatkannya.
4.      Ajaran syi’ah sab’iyah lainnya
Ajaran sab’iyah lainnya pada dasarnya sama dengan ajaran sekte-sekte syi’ah lainnya. Perbedaan terletak pada kopnsep kemaksuman imam, Adanya aspek batin pada setiap yang lahir, dan ponolakannya terhadap Al-Mahdi Al-muntazdhar. Bila di bandngkan dengan sekte syi’ah lainnya, sa’biyah sangat ekstrim dalam menjelaskan kemaksuman imam. Sebagaimana telah di jelaskan, kelompok ini berpendapat bahwa imam, walaupun kelihatan melakukan kesalahan dan menyimpang dari syari’at, ia tidaklah menyimpang karena tidak mempunyai pengetahuan yang tidak di miliki manusia biasa. Konsep kemaksuman imam seperti itu merupakan konsekuensi logisn dari doktrin sab’iyah tentang pengetahuan imam kan ilmu batin. Ada satu sekte dalam sab’iyah yang berpendapat bahwa tuhan mengambil tempat dalam diri imam. Oleh karena itu, imam harus di
sembah. Salah seorang khalifah dinasti fatimiyah, Al-hakim bin Amrillah, berkeyakinan bahwa dalam dirinya terdapat tuhan sehingga ia memaksa rakyat untuk menyembahnya.
Menurut sab’iyah, Al-Qur’an memiliki makna batin selain makna lahir. Di katakana bahwa segi-segi lahir atau tersurat dari syari’at itu diperuntukkan bagi orang awamyang kecerdasannya terbatas dan tidak memiliki kesempurnaan rohani. Bagi orang-orang tertentu, mungkin saja terjadi perubahan dan peralihan dan bahkan penolakan terhadap pelaksanaan syari’at tersebut karena mendasarkan pada yang batin tadi. Yang di maksud dengan orang-orang tertentu ialah para imam yang memiliki ilmu jahir dan ilmu batin.
5.      Syi’ah  Zaidiyah
1.      Asal-usul penamaan zaidiyahzaidiyah
            Di sebut zaidiyah karena sekte ini mengakui Zaid bin Ali sebagai imam kelima,putra imam ke empat, Ali zainal Abidin. Kelompok ini berbeda dengan sekte syi’ah lain yang mengakui Muhammad Al-Baqir, putra zainal Abidin yang lain, sebagai imam ke lima. Dari nama Zain bin Ali inilah, nama zaidiyah di ambil. Syi’ah zaidiyah merupakan sekte shyi’ah yang moderat. Abu Zahra menyatakan bahwa kelompok ini merupakan sekte yang paling dekat dengan sunni.
2.      Doktrin Imamah menurut Syi’ah Zaidiyah
            Imamah, sebagaimana telah di sebutkan, merupakan doktrin fundamental dalam syi’ah secara umum. Berbeda dengan doktrin Imamah yang di kembangkan syi’ah lain, syi’ah Zaidiyah mengembanhkan doktrin imamah yang tipikal. Kaum Zaidiyah menolak pandangan yang menyatakan bahwa seorang imam yang mewarisi kepemimpinan Nabi Saw. Telah di tentukan nama dan orangnya oleh Nabi, tetapi hanya di tentukan sifat-sifatnya saja. Ini jelas berbeda dengan sekte syi’ah lain yang percaya bahwa Nabi Saw telah menunjuk Ali sebagai orang yang pantas menjabat sebagai imam setelah Nabi wafat karena Ali memiliki sifat-sifat yang tidak di miliki oleh orang lain, seperti keturunan Bani Hasyim,wara(salehmenjauhkan diri dari segala dosa), bertaqwa, baik, dan mmembaur dengan rakyat untuk mengajak kepada mereka hingga mengakuinya sebagai imam.[6]




BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Syi’ah adalah salah satu aliran dalam Islam yang meyakini bahwa ‘Ali bin Abi Thalib dan keturunannya adalah imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad saw. Doktrin-doktrin yang diyakini para pengikut Syi’ah secara garis besar ada 11 macam, yaitu konsepsi tentang Ahlulbait, al-badâ’, asyura, imamah, ‘ishmah, mahdawiyah, marjâ’iyah atau wilâyah al-faqîh, raj’ah, taqiyah, tawassul, dan tawallî dan tabarrî yang dalam banyak hal memiliki perbedaan (pemahaman) dengan kalangan Sunni. Dalam Syi’ah terdapat berbagai macam sekte/kelompok yang memiliki perbedaan satu sama lain dalam memandang ajaran-ajaran seperti tertulis di atas.
B.     Saran
        Dalam penulisan makalah ini mungkin ada kelebihan atau kekurangan  yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu kami dari penulis makalah ini mengharapkan agar dapat memakluminya.









IV.      Daftar Pustaka
 
Abdul,Rozak ,M.Ag.  “Ilmu kalam” (cet.IV; Bandung:CV PUSTAKA SETIA, February,2009)

Aceh, Abubakar. Perbandingan Mazhab Syi’ah: Rasionalisme dalam Islam. Solo: Ramadhani, t.t.

Zahrah,Muhammad Imam Abu “ALIRAN POLITIK DAN AQIDAH DALAM ISLAM”.(cet.       I;Jakarta:Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT).1996.



[1]DR. Rozak Abdul,M.Ag.  “Ilmu kalam” (cet.IV; Bandung:CV PUSTAKA SETIA, February,2009)

[2] Ibid.hlm.89

[3] Ibid.hlm.89



[4] Prof. DR.Muhammad Imam Abu Zahrah “ALIRAN POLITIK DAN AQIDAH DALAM ISLAM”.(cet. I;Jakarta:Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT).1996.
[5] Aceh, Abubakar. Perbandingan Mazhab Syi’ah: Rasionalisme dalam Islam. Solo: Ramadhani, t.t.

[6] DR. Rozak Abdul,M.Ag.  “Ilmu kalam” (cet.IV; Bandung:CV PUSTAKA SETIA, February,2009)hlm.104


Tidak ada komentar:

Posting Komentar