By: MARDIANTO
BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah Islam mencatat bahwa hingga
saat ini terdapat dua macam aliran besar dalam Islam. Keduanya adalah
Ahlussunnah (Sunni) dan Syi’ah. Tak dapat dipungkiri pula, bahwa dua aliran
besar teologi ini kerap kali terlibat konflik kekerasan satu sama lain,
sebagaimana yang kini bisa kita saksikan di negara-negara seperti Irak dan
Lebanon.
Terlepas dari hubungan antara keduanya
yang kerap kali tidak harmonis, Syi’ah sebagai sebuah mazhab teologi menarik
untuk dibahas. Diskursus mengenai Syi’ah telah banyak dituangkan dalam berbagai
kesempatan dan sarana. Tak terkecuali dalam makalah kali ini. Dalam makalah ini
kami akan membahas pengertian, sejarah, tokoh, ajaran, dan sekte Syi’ah. Semoga
karya sederhana ini dapat memberikan gambaran yang utuh, obyektif, dan valid
mengenai Syi’ah, yang pada gilirannya dapat memperkaya wawasan kita sebagai
seorang Muslim.
B. Masalah
yang dibahas
1. Apakah yang dimaksud dengan
aliran syi’ah?
2. Apa sebab munculnya aliran syi’ah?
3. Apa saja doktrin – doktrin
aliran syi’ah?
4. Apa saja sekte – sekte
aliran Syi’ah?
C. Tujuan
Pembahasan
1. Mengetahui aliran Syi’ah.
2. Mengetahui sebab munculnya
aliran Syi’ah.
3. Mengetahui doktrin –
doktrin aliran Syi’ah.
4. Mengetahui sekte – sekte
aliran Syi’ah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
SYI’AH
Syi’ah di lihat dari bahasa berarti
pengikut , pendukung, partai, atau kelompok, sedangkan secara terminology
adalah sebagian kaum muslim yang dalam bidang spiritual dan keagamaannya selalu
merujuk pada keturunan Nabi Muhammad Saw. Atau orang di sebut sebagai ahlul-bait. Poin penting dalam doktrin syi’ah
adalah pernyataan bahwa segalah petunjuk agama itu bersumber dari ahlul-bait.
Mereka menolak petunjuk-petunjuk keagamaan dari para sahabat yang bukan ahlul-bait
atau para pengikutnya.[1]
Menurut thabathbai, istilah syi’ah untuk
pertama kalinya di tujukan pada para ‘Para pengukut Ali yang di sebut syi’ah
itu diantaranya adalah Abu Dzar Al-Ghiffari,Miqad bin Al-Aswad, dan Ammar bin Yasir.[2]
Pengertian bahasa dan terminology di
atas hanya merupakan dasar yang membedakan syi’ah dengan kelompok islam yng
lain. Di dalam nya belum ada penjelasan yang memadai mengenai syi’ah berikut
doktrin-doktrinnya. Meskipun demikian pengertian di atas merupakan titik tolak
penting bagi mazhab syi’ah dalam mengembangkan dan membangun doktrin-doktrinnya
yang meliputi segalah aspek kehidupan, seperti Imamah, Taqiyah, Mut’ah dan
sebagainnya[3].
B.
Sebab
munculnya Aliran Syi’ah
Mengenai kemunculan syi’ah dalam
sejarah, terdapat perbedaan pendampat di kalangan para ahli.. Menerut Abu
Zahrah, syi’ah mulai muuncul pada masa akhir pemerintahan Utsman bin Affan
kemudian tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib.
Adapun menurut Watt, syi’ah baru benar-benar muncul
ketika berlangsung peperangan antara Ali
dan mu’awiyah yang di kenal dengan perang siffin. Dalam peperangan ini, sebagai
respon atas penerimaan Ali terhadap Arbitrase yang di tawarkan mu’awiyah,
pasukan Ali di ceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap
Ali-kelak di sebut syi’ah dan kelompok lain menolak sikap Ali,kelak di sebut
khawarij.
Kalangan syi’ah sendiri perpendapat
bahwa kemunculan syi’ah berkaitan dengan masalah pengganti (khilafah) Nabi Saw.
Mereka menolak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin khathab, dan Usman bin Affan
karena dalam pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thaliblah yang berhak menggantikan
Nabi. Kepemimpimpinan Ali dalam pandangan syi’ah tersebut sejalan dengan
isyarat-isyarat yang di berikan oleh Nabi Saw.pada masa hidupnya. Pada awal
kenabian,ketika Muhammad Saw di perintahkan menyampaikan dakwah kepada
kerabatnya, yang pertama-tama menerima adalah Ali Bin abi Thalib. Di ceritakan
bahwa Nabi pada saat itu mengatakan bahhwa orang yang pertama-tama memenuhi
ajakannaya akan menjadi penerus dan pewarisnya. Selain itu, sepanjang kenabian
Muhammad. Ali merupakan orang yang menunjukkan perjuangan dan pengabdian yang
luar biasa besar. Bukti utama tentang sahnya Ali sebagai penerusnya Nabi adalah
peristiwa Ghaddir khumm. Di ceritakan bahwa ketika kembali dari haji terakhir,
dalam perjalanan dari mekkah ke madinah, di suatu padang pasir yang bernama
ghaddir khumm. Nabi memilih Ali sebagai penggantinya di hadapan massa yang
penuh sesak yang menyertai beliau, pada peristiwa itu. Nabi tidak hanya
menetapkan Ali sebagai pemimpin di umum umat (walyat-I ammali), tetapi juga
menjadikan Ali sebagaimana Nabi sendiri, sebagai pelindung (wali) mereka.
Namun, realitas ternyata berbicara lain.
Berlawanan dengan harapan mereka, justru
ketika Nabi wafat dan jasadnya belum di kuburkan, sedangkan anggota keluarganya
dan beberapa orang sahabat sibuk dengan persiapan upacara pemakamannya, teman
dan pengikut Ali mendengar kabar adanya kelompok lain yang telah pergi ke
masjid, tempat umat berkumpul menghadapi hilangnya pemimpin yang tiba-tiba.
Kelompok ini, yang kemudian menjadi mayoritas, bertindaklebih jauh, dan dengan
sangat tergese-gesa memilih pimpinan kaum muslimin dengan maksud menjaga
kesejahteraan umat dan memecahkan masalah mereka saat itu. Mereka melakukan hal
itu tampa berunding dengan ahlul bait, keluarga, ataupun para
sahabat
yang sedang sibuk dengan upacara pemakaman, dan sedikitpun tidak memberitahukan
mereka. Dengan demikian kawan-kawan Ali di hadapkan kepada suatu keadaan yang
sudah tak dapat berubah lagi. Berdasarkan realitas itulah, muncul sikap di
kalangan sebagian kaum muslimin yang menentang kekhalifahan dan menolak kaum
mayoritas dalam masalah-masalah kepercayaan tertentu. Mereka tetap berpendapat
bahwa pengganti Nabi dan penguasa
keagama yang sahadalah Ali. Mereka berkeyakinan bahwa semua persoalan
kerohanian dan agama harus merujuk kepadanya serta mengajak masyarakat untuk
mengikutinya. Inilah yang kemudian di sebut sebagai syi’ah. Namun lebih dari
itu, seperti di katakana nasr, sebab utama munculnya syi’ah terletak pada
kenyataan bahwa kemungkinan ini ada dalam wahyu islam sendiri, sehingga mesti
di wujudkan.
Perbedaan pendapat di kalangan para ahli
mengenai kalangan syi’ah merupakan sesuatu yang wajar. Para ahli berpegang
teguh pada fakta sejarah `perpecahan’ dalam islam yang memang mulai mencolok
pada masa pemerintahan Usman bin Affan dan memperoleh momentumnya yang paling
kuat pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, tepatnya setelah perang
shiffin. Adapun kaum syi’ah berdasarkan hadis-hadis yang mereka terima dari
ahlul bait, berpendapat bahwa perpecahan itu sudah mulai ketika Nabi Saw wafat
dan kekhalifah jatuh ke tangan Abu bakar, Segerah setelah itu terbentuklah syi’ah.
C. Daerah dan waktu lahirnya syi’ah
Golongan
syi’ah muncul pada akhir masa khalifah ketiga, Usman kemudian tumbuh dan
berkembang pada masa khalifah Ali. Ali sendiri tidak pernah berusaha untuk
mengembangkannya, tetapi bakat-bakat yang di milikinya telah mendorong
perkembangan itu. Ketika Ali wafatn pemikiran ke syi’a-an berkembang menjadi
mazhab-mazhab. Sebagainya menyimpang dan sebagian lainnya lurus. Namun keduanya
sama-sama fanatik terhadap keluarga Nabi. Masa pemerintahan umawiyyah merupakan
masa yang kondusif bagi pengkultusan Ali karena mu’awiyah telah menciptakan
buruk pada masanya yang berlanjut pada masa anaknya, yazid, dan para
penggantinya sampai masa Umar bin Abdul Aziz. Tradsi buruk itu ialah mengutuk
Imam Al-Huda, Ali ibn abi thalib pada setiap menutup khutbah jum’at. Para sahabat
telah berusaha melang mu’aiyyah dan pejabat-pejabatnya melakukan hal itu.
Bahkan umum salamah,istri Nabi,menulis surat kepada mu’awiyyah, ”sesungguhnya
anda telah mengutuk Allah dan Rasulnya karena anda mengutuk Ali bin abn Abi
thalib dan orang-orang yang di cintainya. Saya bersaksi bahwa rasulullah
mencintainya.”
Pada
masa Yazis, Husain Ibn Ali di bunuh secara kejam , dan darah nya mengalir
secara keji, tanpa mengindahkan kehormatan Agama. Pada hal berdasarkan
keterangan suatu hadis, ia dan saudaranya, Hasan di sebutkan sebagai pimpinan
para pemuda ahli surga. Anak-anak perempuan Husain dan Ali pun di tawan oleh
Yazis ibn Mua’wiyah, sedangkan mereka adalah anak cucu Nabi. Rakyat menyaksikan
hal itu tanpa bisa mencegah dan mengubahnya. Mereka hanya dapat menahan
kemarahan, menekan perasaan, dan menanggung penderitaan yang sangat berat.
Karena itu mereka terdorongg untuk memeberikan penghragaan yang berlebihan
terhadap orang-orang yang di aniaya secara kejam oleh bani umayyah. Perlakuan
pemerintahan itu telah menciptakkan tekanan menntal dan jiwa pada diri para
pendukung Ali, dan itu mendorong mereka
untuk memberikan penghargaan yang berlebihan terhadapnya, karena rasa kasih dan
sayang dapat pendorong timbulnya sikap membesar-besarkan ddan melebih-lebihkan.
Mazhab
syi’ah timbul di mesir untuk pertama kali pada masa pemerintah Usman, karena di
sana para propagandis menemukan lahan yang subur, kemuudian tersebar luas di
iran yang dalam perkembangan berikutnya menjadi markas dan tempat menetap para
penganutnya. Kalau madinah dan mekka serta koto-kota lainnya di kawasan hijas
menjadi tempat tumbuh kembangnya sunah/ hadis, kemudian syi’ah menjadi buaian
orang-orang rumawi, maka iran menjadi tempa tinggal syi’ah.[4]
D. Ajaran-ajaran Syi’ah
1.
Ahlulbait. Secara
harfiah ahlulbait berarti keluarga atau kerabat dekat. Dalam sejarah
Islam, istilah itu secara khusus dimaksudkan kepada keluarga atau kerabat Nabi
Muhammad saw. Ada tiga bentuk pengertian Ahlulbait. Pertama, mencakup
istri-istri Nabi Muhammad saw dan seluruh Bani Hasyim. Kedua, hanya Bani
Hasyim. Ketiga, terbatas hanya pada Nabi sendiri, ‘Ali, Fathimah, Hasan,
Husain, dan imam-imam dari keturunan ‘Ali bin Abi Thalib. Dalam Syi’ah bentuk
terakhirlah yang lebih populer. Al-Badâ’. Dari segi bahasa, badâ’
berarti tampak. Doktrin al-badâ’ adalah keyakinan bahwa Allah swt mampu
mengubah suatu peraturan atau keputusan yang telah ditetapkan-Nya dengan
peraturan atau keputusan baru. Menurut Syi’ah, perubahan keputusan Allah itu
bukan karena Allah baru mengetahui suatu maslahat, yang sebelumnya tidak
diketahui oleh-Nya (seperti yang sering dianggap oleh berbagai pihak). Dalam
Syi’ah keyakinan semacam ini termasuk kufur. Imam Ja’far al-Shadiq
menyatakan, “Barangsiapa yang mengatakan Allah swt baru mengetahui sesuatu
yang tidak diketahui-Nya, dan karenanya Ia menyesal, maka orang itu bagi kami
telah kafir kepada Allah swt.” Menurut Syi’ah, perubahan itu karena adanya
maslahat tertentu yang menyebabkan Allah swt memutuskan suatu perkara sesuai
dengan situasi dan kondisi pada zamannya. Misalnya, keputusan Allah mengganti
Isma’il as dengan domba, padahal sebelumnya Ia memerintahkan Nabi Ibrahim as
untuk menyembelih Isma’il as.
2.
Asyura. Asyura berasal dari
kata ‘asyarah, yang berarti sepuluh. Maksudnya adalah hari kesepuluh
dalam bulan Muharram yang diperingati kaum Syi’ah sebagai hari berkabung umum
untuk memperingati wafatnya Imam Husain bin ‘Ali dan keluarganya di tangan
pasukan Yazid bin Mu’awiyah bin Abu Sufyan pada tahun 61 H di Karbala, Irak.
Pada upacara peringatan asyura tersebut, selain mengenang perjuangan Husain bin
‘Ali dalam menegakkan kebenaran, orang-orang Syi’ah juga membaca salawat bagi
Nabi saw dan keluarganya, mengutuk pelaku pembunuhan terhadap Husain dan
keluarganya, serta memperagakan berbagai aksi (seperti memukul-mukul dada dan
mengusung-usung peti mayat) sebagai lambang kesedihan terhadap wafatnya Husain
bin ‘Ali. Di Indonesia, upacara asyura juga dilakukan di berbagai daerah
seperti di Bengkulu dan Padang Pariaman, Sumatera Barat, dalam bentuk arak-arakan
tabut
3.
Imamah (kepemimpinan).
Imamah adalah keyakinan bahwa setelah Nabi saw wafat harus ada
pemimpin-pemimpin Islam yang melanjutkan misi atau risalah Nabi. Atau, dalam pengertian Ali
Syari’ati, adalah kepemimpinan progresif dan revolusioner yang bertentangan
dengan rezim-rezim politik lainnya guna membimbing manusia serta membangun
masyarakat di atas fondasi yang benar dan kuat, yang bakal mengarahkan menuju
kesadaran, pertumbuhan, dan kemandirian dalam mengambil keputusan. Dalam Syi’ah,
kepemimpinan itu mencakup persoalan-persoalan keagamaan dan kemasyarakatan.
Imam bagi mereka adalah pemimpin agama sekaligus pemimpin masyarakat. Pada
umumnya, dalam Syi’ah, kecuali Syi’ah Zaidiyah, penentuan imam bukan
berdasarkan kesepakatan atau pilihan umat, tetapi berdasarkan wasiat atau
penunjukan oleh imam sebelumnya atau oleh Rasulullah langsung, yang lazim
disebut nash. ‘Ishmah. Dari segi bahasa, ‘ishmah adalah
bentuk mashdar dari kata ‘ashama yang berarti memelihara atau menjaga. ‘Ishmah
ialah kepercayaan bahwa para imam itu, termasuk Nabi Muhammad, telah dijamin
oleh Allah dari segala bentuk perbuatan salah atau lupa. Ali Syari’ati
mendefinisikan ‘ishmah sebagai prinsip yang menyatakan bahwa pemimpin
suatu komunitas atau masyarakat—yakni, orang yang memegang kendali nasib di
tangannya, orang yang diberi amanat kepemimpinan oleh orang banyak—mestilah
bebas dari kejahatan dan kelemahan. Mahdawiyah. Berasal dari kata mahdi,
yang berarti keyakinan akan datangnya seorang juru selamat pada akhir zaman
yang akan menyelamatkan kehidupan manusia di muka bumi ini. Juru selamat itu
disebut Imam Mahdi. Dalam Syi’ah, figur Imam Mahdi jelas sekali. Ia adalah
salah seorang dari imam-imam yang mereka yakini. Syi’ah Itsna ‘Asyariyah,
misalnya, memiliki keyakinan bahwa Muhammad bin Hasan al-Askari (Muhammad
al-Muntazhar) adalah Imam Mahdi. Di samping itu, Imam Mahdi ini diyakini masih
hidup sampai sekarang, hanya saja manusia biasa tidak dapat menjangkaunya, dan
nanti di akhir zaman ia akan muncul kembali dengan membawa keadilan bagi
seluruh masyarakat dunia. Marja’iyyah atau Wilâyah al-Faqîh. Kata
marja’iyyah berasal dari kata marja’ yang artinya tempat
kembalinya sesuatu. Sedangkan kata wilâyah al-faqîh terdiri dari dua
kata: wilâyah berarti kekuasaan atau kepemimpinan; dan faqîh
berarti ahli fiqh atau ahli hukum Islam. Wilâyah al-faqîh mempunyai arti
kekuasaan atau kepemimpinan para fuqaha.[25]
4.
Raj’ah. Kata raj’ah
berasal dari kata raja’a yang artinya pulang atau kembali. Raj’ah
adalah keyakinan akan dihidupkannya kembali sejumlah hamba Allah swt yang
paling saleh dan sejumlah hamba Allah yang paling durhaka untuk membuktikan
kebesaran dan kekuasaan Allah swt di muka bumi, bersamaan dengan munculnya Imam
Mahdi. Sementara Syaikh Abdul Mun’eim al-Nemrmendefinisikan raj’ah
sebagai suatu prinsip atau akidah Syi’ah, yang maksudnya ialah bahwa sebagian
manusiaakan dihidupkan kembali setelah mati karena itulah kehendak dan hikmat
Allah, setelah itu dimatikan kembali. Kemudian di hari kebangkitan kembali bersama makhluk lain
seluruhnya. Tujuan dari prinsip Syi’ah seperti ini adalah untuk memenuhi selera
dan keinginan memerintah. Lalu kemudian untuk membalas dendam
kepada orang-orang yang merebut kepemimpinan ‘Ali. Taqiyah. Dari segi
bahasa, taqiyah berasal dari kata taqiya atau ittaqâ yang
artinya takut. Taqiyah adalah sikap berhati-hati demi menjaga
keselamatan jiwa karena khawatir akan bahaya yang dapat menimpa dirinya. Dalam
kehati-hatian ini terkandung sikap penyembunyian identitas dan
ketidakterusterangan.
Perilaku taqiyah ini boleh dilakukan, bahkan hukumnya wajib dan
merupakan salah satu dasar mazhab Syi’ah. Tawassul. Adalah memohon
sesuatu kepada Allah dengan menyebut pribadi atau kedudukan seorang Nabi, imam
atau bahkan seorang wali suaya doanya tersebut cepat dikabulkan Allah swt.
Dalam Syi’ah, tawassul merupakan salah satu tradisi keagamaan yang sulit
dipisahkan. Dapat dikatakan bahwa hampir setiap doa mereka selalu terselip
unsur tawassul, tetapi biasanya tawassul dalam Syi’ah terbatas
pada pribadi Nabi saw atau imam-imam dari Ahlulbait. Dalam doa-doa mereka
selalu dijumpai ungkapan-ungkapan seperti “Yâ Fâthimah isyfa’î ‘indallâh”
(wahai Fathimah, mohonkanlah syafaat bagiku kepada Allah), dsb. Tawallî
dan tabarrî. Kata tawallî berasal dari kata tawallâ fulânan
yang artinya mengangkat seseorang sebagai pemimpinnya. Adapun tabarrî
berasal dari kata tabarra’a ‘an fulân yang artinya melepaskan diri atau
menjauhkan diri dari seseorang. Kedua sikap ini dianut pemeluk-pemeluk Syi’ah
berdasarkan beberapa ayat dan hadis yang mereka pahami sebagai perintah untuk tawallî
kepada Ahlulbait dan tabarrî dari musuh-musuhnya. Misalnya, hadis Nabi
mengenai ‘Ali bin Abi Thalib yang berbunyi: “Barangsiapa yang menganggap aku
ini adalah pemimpinnya maka hendaklah ia menjadikan ‘Ali sebagai pemimpinnya.
Ya Allah belalah orang yang membela Ali, binasakanlah orang yang menghina ‘Ali
dan lindungilah orang yang melindungi ‘Ali.” (H.R. Ahmad bin Hanbal)
5.
Sekte-sekte Syi’ah
1.
syi’ah
itsna asyariyah (syi’ah dua belas/syi’ah imamiyah)
a) Asal usul
penyebutan Imamiyah dan syi’ah Itsna Asyariyah
Dinamakan
syi’ah Imamiyah karena yang menjadi dasar Aqidahnya adalah persoaln imam dalam
arti pemimpin relegio polotik, yakni Ali berhak menjadi kekhalifah buka hanya
karena kecakapannya atau kemulian akhlaknya, tetapi juga karena dia telah di
tunjuk nash dan pantas menjadi khalifah pewarisan kepemimpinan Nabi Muhammad
Saw. Ide tentang hak Ali dan keturunannya untuk menduduki jabatan khalifah
telah ada sejak nabi wafat, yaitu dalam perbincangan politik di saqiffah bani
sa’idah.
Syi’ah
itsna asyariyah sepakat bahwa ali adalah penerima wasiat Nabi mauhammad seperti
yang di tunjukan nas. Adapun Al-ausiya (penerima wasiat) setelah ali bin abi
Thalib adalah keturunan dari garis Fatimah, yaitu Hasan bin Ali kemudian Husen
bin Ali sebagaimana yang di sepakati. Setelah husen adalah Ali zaenal abiding,
kemudian secara berturut-turut; Muhammad Al-baqir, Abdullah ja’far Ash-shadiq,
Musa Al-kahzim, Ali Ar-Rida, Muhammad Al-jawwad, Ali al-Hadi, Hasan Al-Askari
dan terakhir adalah Muhammad Al-mahdi sebagai imam kedua belas. Demikianlah,
karena berbaiat di bawah imamah dua belas imam, mereka di kenal dengan sebutan,
syi’ah itsna AsyariyahItsna asyariyah). Nama dua belas (itsna asyariyah)
merngandung pesan penting dalam tinjauan sejarah, yaitu golongan ini terbentuk
setelah lahirnya kedua belas imam yaitu kira-kira pada tahun 260 H/878 M. pengikut
sekte ini menganggap bahwa imam kedua belas, Muhammad Al-mahdi, di nyatakan
gaibah(accultation). Muhammad al-mahdi bersembunyi diruang bawah tanah rumah ayahnya di samara dan tidak
kembali. Itulah sebabnya, kembalinya Imam al-mahdi ini selalu di tunggu-tunggu
pengikut sekte syi’ah Itsna Asyariyah. Ciri khas kehadirannya adalah sebagai
ratu Adil yang akan turun di akhir zaman. Oleh karena inilah, Muhammad Al-mahdi
di juluki sebagai Imam Mahdi Al-Muntazhar(yang di tungguu).
b) Doktrin-doktrin
syi’ah Itsna Asyariyah
Di
dalam sekte syi’ah Itsna Asyariyah di kenal konsep Usul Ad-Din. Konsep ini
menjadi akar atau fondasi pragmatisme agama. Konsep Ushuluddin mempunyai lima
akar.
I.
Tauhid (The
Define Unity
Tuhan
adalah esa, baik esensi maupun eksistensi-Nya. Keesaan tuhan adalah Mutlak. Ia
bereksistensi dengan sendiri-Nya. Tuhan adalah qadim. Maksudnya Tuhan
bereksistensi dengan senderinya sebelun ada ruang dan waktu. Ruang dan waktu di
ciptakan oleh Tuhan. Tuhan maha tahu, maha mendengar, sesalu hidup, mengerti
semua bahasa, selelu benar dan bebas berkehendak. Keesaan Tuhan tidak
murakkab(tersusun). Tuhan tidak membutuhkan sesuatu, ia berdiri sendiri, tidak
di batasi oleh ciptaan-Nya.Tuhan tidak bisa di lihat dengan mata biasa.
II.
Keadilan (The
Define justice)
Tuhan
menciptakan kebaikan di alam semesta ini merupakan keadilan. Ia tidak pernah
menghiasi ciptaan-Nya dengan ketidakadilan. Karena ketidak adilan dan kelaliman
terhadap yang lain merupakan tanda kebodohan dan ketidakmampuan dan sifat ini
jauh keabsolutan dan kehendak Tuhan.Tuhan memberikan akal kepada manusia untuk
mengetahui perkara yang benar atau shalat melalui perasaan. Manusia dapat
menggunakan penglihatan, pendengaran, dan indera lain nya untuk melakukan
perbuatan, baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Jadi manusia dapat
memanfaatkan potensi berkehendak sebagai anugerah Tuhan untuk mewujudka dan
bertanggung jawab atas perbuatannya.
III.
Nubuwwah
(aphostleship)
Setiap
mahluk sekalipun telah di beri insting, masih membutuhkan petunjuk, baik petunjuk
dari tuhan maupun dari manusia. Rasul merupakan petunjuk hakiki utusan tuhan
yang secara transendel di utus untuk memberikan acuan dalam membedakan antara
yang baik dan yang buruk di alam semesta. Dalam keyakinan syi’ah itsna syariyah
tuhan telah mengutusan 124.000 Rasul untuk memberikan petunjuk kepada manusia.
Syi’ah
itsna asyariyah percaya mutlak tentang ajaran tauhid dengan kerasulan sejak
Adam hingga Muhammad dan tidak ada Nabi atau Rasul setelah muahammad. Mereka
percaya adanya kiamat.Kemurnian dan keaslian Al-quran jauh dari tahrif
perubahan, atau tambahan.
IV.
Ma’ad (The last
Day)
Ma’ad
adalah hari akhir(Kiamat) untuk menghadap pengadilan Tuhan di akhirat. Setiap
muslim harus yakin akan keberadaan kiamat dan kehidupan suci setelah di
nyatakan bersidang lurus di dalam pengadilan tuhan.Mati adalah periode transip
dari kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat.
V.
Imamah (The
Define Guidance)
Imamah
adalah institusi yang di inagurasikan tuhan mermberikan petunjuk manusia yang
di pilih dari keturunan Ibrahim dan di legasikan kepada keturunan Muhammad
sebagai Nabi dan Rasul terakhir. Selanjutnya dalam sisi yang bersifat mahda
syi’ah atsna asyariyah brpijak kepada delapan cabang agama di sebut dengan
furru atdin. Delapan cabang tersebut terdiri atas Shalat,Puasa,Haji,Zakat,Kumus
atau Pajak sebesar seperlima dari penghasilan,jihad,al-amr bil al-ma’ruf dan
annahyu an al-mungkar.[5]
2. syi’ah sab’iyah
(syi’ah tujuh)
Asal-usul
penyebutan syi’ah sab’iyah
Istilah syi’ah sab’iyah (syi’ah tujuh) di
analogikan dengan syi’ah itsna Asyariyah. Istilah itu memberikan pengertian
bahwa sekte syi’ah sab’iyah hanya mengakui tujuh imam yaitu Ali, hasan, husen,
Ali zainal abiding, Muhammad Al-baqir,Ja’far as-sadiq, dan ismail bin ja’far. Karena
di nisbatkan pada imam ketujuh, Isma’il bin ja’far as-sadiq, syi’ah sab’iyah di
sebut juga syi’ah isma’iliyah.Berbeda dengan syi’ah sab’iyah,syi’ah itsna
asyari’ah membatalkan isma’il bin ja’far sebagai imam ke tujuh karena di
samping memiliki kebiasaan tak terpuji juga karena dia wafat (143 H/760 M)
pendahului ayahnya,ja’far (wafat 765). Seabagai penggantinya musah Al-katsim,
adik isma’il. Syi’ah sab’iyah menolak pembatalan tersebut berdasarkan sistim
pengangkatan imam dalam syi’ah dan menganggap isma’il sebagai imam ke tujuh dan
di ganti oleh putranya yang tertua, Muhammad bin Isma’il.
3. Doktrin Imamah
dalam pandangan syi’ah sab’iyah
Para pengikut syi’ah sab’iyah percaya bahwa
islam di bangun oleh tujuh pilar seperti di jelaskkan Al-kadhi An-Nu’Man dalam
Da’aim al-islam.Tujuh pilar tersebut adalah iman,tahara,shalat,zakat,saum,haji,
dan jihad.
Berkaitan
dengan pilar(rukun) pertam yitu iman,Qadhi An-Num’man(974 M) memerincinya sebagai berikut:
Imam
kepada Allah, tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, imam kepada
surge,imam kepada neraka,imam kepada hari kebangkitan,imam kepada hari
pengadilan,imam kepada para Nabi dan Rasul,imam kepada imam,percaya,mengetahui,
dan membenarkan imam zaman. Dalam pandangan sekelompok syi’ah sab’iyah keimanan
hanya dapat di terima bila mam adala seseorang yang menuntun umatnya kepada
pengetahuan (ma’rifat). Dengan pengetahuan tersebut, seorang muslim akan
menjadi seorang mukmin yang sebenar-benarnya. Untuk itu, mereka berargumen
bahwa manusia akan memasuki kehidupan spiritual, kehidupan format-materi
sebagai individu dan kehidupan social yang semuanya memerlukan ukuran. Manusia
tidak dapat melalui kehidupan itu kecuali dengan bimbingan yang meliputi
kepemimpinan dan pembaharuanm kehidupan, pengetahuan, aturan-aturan, dan
bimbingan pemerintahanyang berdasarkan islam. Pribadi yang dapat melakukan
bimbingan seperti itu adalah pribadi yang di tunjuk oleh Allah dan Rasul Nya
dan rasul pun menunjuknya atas perintah Allah. Imam adalah penunjukan melalui
wasiat.
Syarat-syarat
seorang imam dalam pandangan syi’ah sab’iyah adalah sebagai berikut:
Ø Imam
harus berasal dari keturunan Ali melalui perkawinannya dengan Fatimah yang kemudian di kenal dengan ahlul
bait.
Ø berbeda
dengan aliran kaisaniyah, pengikut mukhtar Ats-I’saqati, mempropagandakan bahwa
keimaman harus dari keturunan Ali melalui pernikahannya dengan seorang wanita
dari bani hanifah dan mempunyai anak yang bernama Muhammad bin Al-hanafiyah.
Ø Imam
harus berdasarkan penunjukan atau nas.Syi’ah sab’iyah meyakini bahwa setelah
Nabi wafat, Ali menjadi imam berdasarkan penunjukkan khusus yang di lakukan
Nabi sebelum beliau wafat. Sukseksi keimaman menurut doktrin dan tradisi syi;ah
harus berdasarkan nas oleh imam terdahulu.
Ø Keimaman
jatuh pada anak tertua. Syi’ah sab’iyah menggariskan bahwa seorang imam
memperoleh keimaman dengan jalan wiratsah(heredity). Jadi, ayahnya yang menjadi
imam menunjuk anaknya yang paling tua.
Ø Imam
harus maksum(Immunity from sin an error). Sebagaimana sekte syi’ah lainnya,
syi’ah sabiyah menggariskan bahwa seorang imam harus terjaga dari salah-satu
dosa. Bahkan lebih dari itu, syi’ah sab’iyah berpendapat bahwa sungguhpun imam
berbuat salah, perbuatannya itu tidak salah. Keharusan maksum bagi imam dapat
di telusuri dengan opendekatan sejarah. Pada sejarah Iran pra-islam terdapat
ajaran yang menyatakan bahwa raja itu merupakan keturunan tuhan; atau seorang
raja adalah penguasa yang mendapat tetesan Ilahi(Devine grace) dan dalam bahasa
persianya adalah farr-i Izadi. Oleh sebab itu, orang raja haruslah maksum.
Ø Imam
harus di jabat oleh seorang yang paling baik(best of man). Berbedah dngan
zaidah, syi’ah sab’iyah dan syi’ah dua belas tidak membolehkan adanya imam
mafdul. Dalam pandangan syi’ah sab’iyah, perbuatan dan ucapan imam tidak boleh
bertentangan dengan syari’at. Sifat dan kekuasaan seorang imam hampir sama
dengan nabi. Perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa Nabi mendapatkan wahyu,
sedangkan imam tidak mendapatkannya.
4.
Ajaran
syi’ah sab’iyah lainnya
Ajaran sab’iyah lainnya
pada dasarnya sama dengan ajaran sekte-sekte syi’ah lainnya. Perbedaan terletak
pada kopnsep kemaksuman imam, Adanya aspek batin pada setiap yang lahir, dan
ponolakannya terhadap Al-Mahdi Al-muntazdhar. Bila di bandngkan dengan sekte
syi’ah lainnya, sa’biyah sangat ekstrim dalam menjelaskan kemaksuman imam.
Sebagaimana telah di jelaskan, kelompok ini berpendapat bahwa imam, walaupun
kelihatan melakukan kesalahan dan menyimpang dari syari’at, ia tidaklah
menyimpang karena tidak mempunyai pengetahuan yang tidak di miliki manusia
biasa. Konsep kemaksuman imam seperti itu merupakan konsekuensi logisn dari
doktrin sab’iyah tentang pengetahuan imam kan ilmu batin. Ada satu sekte dalam
sab’iyah yang berpendapat bahwa tuhan mengambil tempat dalam diri imam. Oleh
karena itu, imam harus di
sembah. Salah seorang
khalifah dinasti fatimiyah, Al-hakim bin Amrillah, berkeyakinan bahwa dalam
dirinya terdapat tuhan sehingga ia memaksa rakyat untuk menyembahnya.
Menurut sab’iyah,
Al-Qur’an memiliki makna batin selain makna lahir. Di katakana bahwa segi-segi
lahir atau tersurat dari syari’at itu diperuntukkan bagi orang awamyang
kecerdasannya terbatas dan tidak memiliki kesempurnaan rohani. Bagi orang-orang
tertentu, mungkin saja terjadi perubahan dan peralihan dan bahkan penolakan
terhadap pelaksanaan syari’at tersebut karena mendasarkan pada yang batin tadi.
Yang di maksud dengan orang-orang tertentu ialah para imam yang memiliki ilmu
jahir dan ilmu batin.
5. Syi’ah Zaidiyah
1. Asal-usul
penamaan zaidiyahzaidiyah
Di sebut zaidiyah karena sekte ini
mengakui Zaid bin Ali sebagai imam kelima,putra imam ke empat, Ali zainal
Abidin. Kelompok ini berbeda dengan sekte syi’ah lain yang mengakui Muhammad
Al-Baqir, putra zainal Abidin yang lain, sebagai imam ke lima. Dari nama Zain
bin Ali inilah, nama zaidiyah di ambil. Syi’ah zaidiyah merupakan sekte shyi’ah
yang moderat. Abu Zahra menyatakan bahwa kelompok ini merupakan sekte yang
paling dekat dengan sunni.
2. Doktrin Imamah
menurut Syi’ah Zaidiyah
Imamah, sebagaimana telah di
sebutkan, merupakan doktrin fundamental dalam syi’ah secara umum. Berbeda
dengan doktrin Imamah yang di kembangkan syi’ah lain, syi’ah Zaidiyah
mengembanhkan doktrin imamah yang tipikal. Kaum Zaidiyah menolak pandangan yang
menyatakan bahwa seorang imam yang mewarisi kepemimpinan Nabi Saw. Telah di
tentukan nama dan orangnya oleh Nabi, tetapi hanya di tentukan sifat-sifatnya
saja. Ini jelas berbeda dengan sekte syi’ah lain yang percaya bahwa Nabi Saw
telah menunjuk Ali sebagai orang yang pantas menjabat sebagai imam setelah Nabi
wafat karena Ali memiliki sifat-sifat yang tidak di miliki oleh orang lain,
seperti keturunan Bani Hasyim,wara(salehmenjauhkan diri dari segala dosa),
bertaqwa, baik, dan mmembaur dengan rakyat untuk mengajak kepada mereka hingga
mengakuinya sebagai imam.[6]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Syi’ah adalah salah satu aliran
dalam Islam yang meyakini bahwa ‘Ali bin Abi Thalib dan keturunannya adalah
imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad saw.
Doktrin-doktrin yang diyakini para pengikut Syi’ah secara garis besar ada 11
macam, yaitu konsepsi tentang Ahlulbait, al-badâ’, asyura, imamah,
‘ishmah, mahdawiyah, marjâ’iyah atau wilâyah al-faqîh, raj’ah, taqiyah,
tawassul, dan tawallî dan tabarrî yang dalam banyak hal
memiliki perbedaan (pemahaman) dengan kalangan Sunni. Dalam Syi’ah terdapat
berbagai macam sekte/kelompok yang memiliki perbedaan satu sama lain dalam
memandang ajaran-ajaran seperti tertulis di atas.
B.
Saran
Dalam penulisan
makalah ini mungkin ada kelebihan atau kekurangan yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu
kami dari penulis makalah ini mengharapkan agar dapat memakluminya.
IV. Daftar Pustaka
Abdul,Rozak ,M.Ag. “Ilmu kalam” (cet.IV; Bandung:CV PUSTAKA
SETIA, February,2009)
Aceh, Abubakar. Perbandingan Mazhab Syi’ah:
Rasionalisme dalam Islam. Solo:
Ramadhani, t.t.
Zahrah,Muhammad Imam Abu “ALIRAN
POLITIK DAN AQIDAH DALAM ISLAM”.(cet.
I;Jakarta:Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT).1996.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar