Rabu, 29 Oktober 2014

Pengertian Non-Muslim dalam Ilmu Fikih


Oleh: Mardianto
 
         Berdasarkan terminologi fikih Islam klasik, non-muslim disebut zimmi, yang diartikan sebagai kaum yang hidup dalam pemerintahan Islam yang dilindungi keamanan hidupnya dan dibebaskan dari kewajiban militer dan zakat, namun diwajibkan membayar pajak (jizyah).
       Pada zaman penaklukan wilayah oleh pemerintahan politik Islam, yang berlangsung secara besar-besaran sejak zaman Khulafa Rasyidin, kemudian dimapankan pada zaman daulah Bani Umayyah dan Bani Abbasyiah sesudahnya. Non-muslim pada masa itu diberi alternatif yakni memeluk Islam atau tetap dalam agamanya dan rela hidup dan diatur oleh pemerintahan politik Islam yang menaklukkannya. Mereka yang memilih tetap pada agamanya dan taat bersama pada pemerintahan Islam yang berkuasa dan melindungi keamanan hidupnya itulah yang kemudian disebut dengan Ahl al- Zimmah yaitu orang-orang yang dilindungi.
        Non-muslim yang tinggal di negara Islam dan memperoleh hak-hak asasi mereka yang ditetapkan dalam perlindungan hukum syariah. Hak- hak yang diberikan kepada orang kafir zimmi merupakan suatu ketetapan yang tidak dapat ditarik kembali. Orang muslim wajib melindungi kehidupan, harta kekayaan dan kehormatan non-muslim karena itu bagian dari iman.
Para ulama telah mengelompokkan warga non-muslim yang boleh tinggal di negara Islam dalam beberapa kategori, yaitu:
  1. Kaum zimmi: Ahl al-Zimmah atau mereka yang mengakui hegemoni negara Islam, yang mempunyai persoalan yang ditetapkan oleh perjanjian keamanan. Negara Islam wajib melindungi mereka berdasarkan keamanan tersebut.
  2. Penduduk yang ditaklukkan: orang non-muslim adalah orang yang berperang melawan kaum muslimin, lalu mereka dikalahkan oleh kaum muslimin dan tidak lagi mempunyai kekuatan. Mereka ini otomatis menjadi zimmi atau menjadi tanggung jawab negara Islam. Mereka harus membayar jizyah yang ditetapkan, namun mereka tetap mendapat perlindungan dalam hidup mereka, kekayaan dan kehormatan seperti yang diberlakukan terhadap orang Islam.
  3. Orang non-muslim yang tinggal di negara Islam sebagai warga negara.
  4. Orang non-muslim yang tinggal di negara Islam untuk sementara.
  5. Penduduk asing yang memilih dengan sukarela hidup di wilayah negara Islam.
       Ada sejumlah pedoman dalam al-Quran dan sunnah yang menjelaskan tentang upaya memperkuat hubungan antara muslim dan non-muslim. Dasar hubungan tersebut termaktub dalam Q.S. Muntahah 60/ 8-9. Ayat ini memberi penjelasan bahwa orang muslim dituntut untuk bersikap baik dan adil terhadap orang-orang kafir, kecuali kalau mereka memerangi atau mengusir kaum muslimin dan agama mereka.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Hamka Haq, Syariat Islam, Wacana dan Penerapannya (Makassar: Yayasaan al- Ahkam, 2003). A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Syari’ah). (Cet.I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002).